Intim Sedarah Keluarga Besarku ( Bagian 1 )
Kedatangan Mama mengejutkanku. Karena tidak ada kabar sebelumnya.
Setelah mencium tangan dan cipika cipiki, aku langsung bertanya, “Kenapa gak nelepon dulu kalau Mama mau datang?”
“Memangnya gak seneng ya kalau sekali - sekali mama bikin kejutan sama anak mama?”
“Bukan begitu. Aku kaget aja tau - tau Mama muncul. Naik apa tadi ke sini Mam?”
“Pake kereta api. Dari stasiun ke sini pake taksi.”
“Tapi Mama sehat - sehat aja kan?”
“Sehat. Itu mama bawain balado teri medan dan sambel goreng kentang udang kesukaanmu.”
“Hehehee… iya… terima kasih Mam. Tapi sebentar… Mama ke sini sama siapa?”
“Sendirian aja.”
“Kok gak sama Papa?”
“Ah… papamu lagi main gila sama janda muda. Mana mau dia diajak ke sini. “Ohya, mama pengen nginap di kota ini, biar sekalian bisa jalan - jalan. Tapi mama gak mungkin bisa tidur di sini kan?”
“Iya Mam. Peraturan ibu kos ketat sekali. Gak boleh ada orang luar ikut nginep di sini, meski orang tua sekali pun tidak boleh.”
“Ya udah. Cariin hotel aja yang tidak jauh dari rumah kos ini.”
“Memangnya Mama berani tidur sendirian di hotel?”
“Takutlah. Kan ada kamu yang bisa nemenin mama selama mama di kota ini.”
“Iya deh. Nanti aku temani. Tapi oleh - olehnya bawa ke hotel aja ya. Biar makan di sana aja.”
“Boleh. Mmm… tiap kamar di rumah kos ini dihuni sama dua orang ya?”
“Iya Mam. Teman sekamarku baru berangkat kuliah. Dia dapet kuliah sore sampai malam. Aku sih kuliah pagi tadi.”
“Di rumah kos ini ada ceweknya juga?”
“Gak ada Mam. Semuanya cowok. Ibu kos gak mau terima cewek, takut ada yang hamil gak jelas, katanya.”
“Hihihiii… gitu ya. Ayolah sekarang kita cari hotel dulu.”
“Iya, “aku mengangguk sambil mengganti pakaian di depan Mama. “Rencananya mau berapa hari di Jogja Mam?”
“Maunya sih semingguan. Ingin jalan - jalan ke candi Prambanan dan Borobudur, ingin ke keraton. ke pantai Parangtritis dan sebagainya. Makanya cari hotel yang murah aja, biar bisa jalan - jalan sama kamu. Ohya… hari Senin kan tanggal merah. Kamu libur kan?”
“Iya Mam. Jadi sekarang ini long weekend. Sabtu, Minggu dan Senin libur.”
“Syukurlah. Mama ingin diantar jalan - jalan, mumpung lagi di Jogja.”
“Iya Mam. Dari Selasa sampai Jumat, kuliahku pagi terus. Jadi Mama bisa istirahat dulu, siangnya aku pulang kuliah langsung ke hotel.”
Beberapa saat kemudian, sebuah taksi membawa kami ke sebuah hotel yang sudah kusebutkan kepada sopir taksi. Hotel melati tiga, tapi fasilitasnya bagus. Ada AC dan air panasnya, karena Mama terbiasa mandi pakai air panas. Kamarnya juga bersih dan serba baru, karena hotelnya juga baru dibuka beberapa bulan yang lalu.
Dan yang lebih penting lagi, hotel ini tidak terlalu jauh dari Malioboro. Jadi kalau Mama mau belanja ke Malioboro, bisa jalan kaki dari hotel juga.
Setelah berada di dalam kamar hotel, aku langsung membuka oleh - oleh dari Mama. Ternyata ada nasi timbelnya juga (nasi yang digulung dengan daun pisang).
“Ayo makan dulu Mam,” ajakku.
“Makanlah. Mama masih kenyang, tadi makan nasi goreng di dalam kereta api,” sahut Mama, “Nanti kita jalan - jalan ke Malioboro ya.”
“Iya Mam,” ucapku yang sudah mulai makan oleh - oleh Mama.
Mama mengeluarkan handuk, sabun, shampoo, odol dan sikat gigi dari dalam tas pakaiannya. “Mama mau mandi dulu ah, “katanya.
“Kalau sudah ada rencana mau tidur di hotel, ngapain bawa handuk dan sabun segala? Kan hotel - hotel selalu menyediakan peralatan mandi Mam,” kataku.
“Ah, mama mah suka risih pakai handuk hotel. Takut pernah dipakai oleh orang yang punya penyakit menular.”
“Kan selalu dicuci bersih sebelum diberikan pada tamu yang baru cek in seperti kita ini Mam.”
“Tetep aja risih. Siapa tau ada bakteri atau virus yang tidak mati di mesin cuci,” sahut Mama yang lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Aku pun melanjutkan makan sampai kenyang. Kemudian cuci tangan di washtafel.
“Booon… !” terdengar suara Mama memanggilku dari kamar mandi.
“Ya Mam?” aku menghampiri pintu kamar mandi.
“Tolong ambilin celana corduroy biru tua, baju kaus hitam dan celana dalam dari tas pakaian mama Bon… !”
“Iya Mam,” sahutku sambil bergegas membuka tas pakaian Mama. Untuk mengeluarkan celana corduroy berwarna biru tua, baju kaus berwarna hitam dan celana dalam putih. Kemudian aku melangkah ke pintu kamar mandi sambil menjinjing pakaian Mama itu.
“Ini Mam !” seruku di depan pintu kamar mandi.
“Buka aja pintunya, gak dikunci kok,” sahut Mama.
Kubuka pintu kamar mandi lalu masuk ke dalamnya.
Dan… aaah… Mama sedang telanjang bulat dengan badan masih berbusa sabun…!
Biasanya kalau melihat Mama telanjang, aku suka memalingkan muka, karena jengah. Tapi kali ini aku malah terpaku sambil mengamati keindahan tubuh Mama itu. Tubuh yang tinggi langsing, namun dengan toket dan bokong yang besar.
Kemudian Mama membilas busa sabun di tubuhnya dengan pancaran air shower yang mengepulkan uap, karena airnya panas. Sementara aku malah berdiri terus sambil memperhatikan keindahan tubuh Mama yang… gila… kenapa batinku jadi berdesir - desir aneh begini?
Setelah tubuh Mama bersih dari busa sabun, tampak jelas… kemaluan Mama yang berjembut tipis itu… sehingga bentuknya tetap jelas kelihatan.
Lalu… kenapa pula kontolku mendadak ngaceng begini? Apakah aku mendadak jadi anak yang bejat, yang membayangkan “sesuatu” terhadap ibu kandungku sendiri?
Tapi ketika Mama tampak menyadari kehadiranku yang masih memegang pakaian bersihnya ini, aku pun memalingkan muka sambil mengangsurkan pakaian Mama. Tapi Mama malah menghanduki badannya, sementara tanganku masih menggenggam pakaiannya.
Kemudian Mama mengambil pakaiannya dari tanganku.
Aku pun keluar dari kamar mandi. Tanpa kata - kata lagi.
Tapi batinku berkecamuk. Berkemelut yang sulit meredakannya.
Aku berusaha menenangkan diri dengan keluar dari kamar. Dan duduk di kursi depan kamar, sambil memandang pohon sawo yang tampak sudah berbuah tapi masih kecil - kecil itu. Namun batinku tetap dikuasai oleh sesuatu yang sangat merangsang di kamar mandi tadi.
Yang membuatku jadi resah. Berdiri lagi. Jalan - jalan ke depan hotel, balik lagi ke kamar dan merebahkan diri di atas satu - satunya ranjang dalam kamar ini. Sementara Mama sedang menyisir di depan cermin meja rias.
“Kamu ngantuk Bon?” tanya Mama tanpa beranjak dari depan meja rias sederhana itu.
“Iya Mam. Dibius sama nasi tadi.”
“Makanya kalau makan jangan sampai terlalu kenyang. Ya udah… ke Malioboronya nanti malam aja ya.”
“Iya Mam,” sahutku sambil pura - pura terpejam. Padahal aku sedang memperhatikan Mama secara diam - diam. Bahwa Mama melepaskan kembali celana corduroy biru tua dan baju kaus hitamnya. Bahkan behanya pun dilepaskan. Kemudian Mama mengeluarkan kimono berwarna orange dari dalam tas pakaiannya.
Dikenakannya kimono orange itu. Kemudian Mama naik ke atas bed, sambil memeluk bantal guling, membelakangiku.
“Peluk mama Bon. Dulu waktu masih kecil kamu kan seneng banget melukin mama,” kata Mama.
Memang benar kata Mama. Waktu masih kecil, aku senang sekali memeluk Mama sambil memainkan payudaranya yang montok itu. Tapi sejak lulus SMP, aku tak pernah diajak tidur bareng Mama lagi.
Dan kini aku sudah dewasa. Sudah menyelesaikan kuliah, bahkan sedang menyiapkan skripsi.
Maka jelaslah aku merasa jengah kalau harus memainkan payudara Mama lagi. Tapi aku tetap memeluk mama dari belakang, seperti yang Mama inginkan.
“Mam… Papa itu main perempuan mana lagi?” tanyaku sambil mendekap pinggang Mama.
“Sama janda muda yang sekantor dengannya.”
“Papa gak ada bosannya ya nyakitin Mama.”
“Biarin aja Bon,” sahut Mama sambil menggulingkan badannya jadi berhadapan denganku, “Mama malah akan membalas dendam sama Papa dengan cara mama sendiri.”
“Asal jangan pakai kekerasan aja Mam.”
“Nggak. Mama mau selingkuh aja. Tapi gak mau selingkuh sama orang luar.”
“Lalu mau selingkuh sama siapa Mam?”
“Sama kamu. Mau nggak kita kompak untuk membalas perbuatan Papa?”
“Maksudnya dengan cara gimana?”
Tiba - tiba Mama membisiki telingaku, “Masa sudah hampir sarjana gak ngerti maksud mama?”
“Hmm… samar - samar Mam. Mau selingkuh denganku maksudnya… mau begituan sama aku gitu?”
“Iya. Mama pengen dientot sama kamu.”
Laksana mendengar ledakan petir di siang bolong, aku ternganga sambil memperhatikan senyum dan tatapan mata Mama yang lain dari biasanya.
“Ayo jangan munafik kamu. Mau nggak berselingkuh sama mama?” tanya Mama sambil menarik ritsleting celana jeansku, lalu menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku. Dan menggenggam kontolku yang memang sudah ngaceng sejak disuruh memeluk Mama tadi.
“Bona…! Sejak kapan kontolmu jadi gede dan panjang begini Bon?” seru Mama seperti kaget.
“Sejak aku dewasa aja Mam. Mama kan suka mandiin aku waktu masih kecil. Setelah aku di SMP, Mama gak pernah mandiin aku lagi.”
“Mmm… kontolmu mantap Bon…!” ucap Mama setengah berbisik, sambil meremas kontolku dengan lembut.
“Hehehee… Mama serius mau dientot sama aku?” tanyaku sambil menurunkan celana jeans sekaligus celana dalamku, sampai terlepas dari sepasasng kakiku.
“Iya. Mama ingin mengobati sakit hati dengan cara mama sendiri. Kamu mau kan?”
“Mau… tapi kalau Mama hamil nanti gimana?”
“Aaaah… itu sih pikirin nanti aja. Jangan dipikirin sekarang,” ucap Mama sambil menanggalkan kimononya, sehingga tinggal celana dalam saja yang masih melekat di badannya. Karena tadi, sebelum mengenakan kimono orange itu Mama sudah menanggalkan behanya.
“Ini beneran Mam?”
“Iyalah. Sejak berangkat dari rumah tadi, mama sudah merencanaklan ini semua. Lagian kontolmu juga udah ngaceng begitu, berarti kamu juga nafsu melihat mama telanjang di kamar mandi tadi kan?”
“Iya mam. Jujur aja, tadi waktu melihat Mama telanjang di kamar mandi, gak sari - sarinya kontolku jadi ngaceng.”
“Berarti kita sama - sama kepengen kan?” cetus Mama sambil mendekatkan wajahnya ke kontolku. Lalu menciumi moncongnya.
Aku bukan lagi lelaki yang masih ingusan dalam soal sex. Masa laluku yang sangat dirahasiakan itu, telah membuatku trampil dalam hal memuasi perempuan. Namun aku masih bersikap pasif dahulu, karena semuanya ini masih membuatku shock. Betapa tidak shock. Mama adalah ibuku. Nyaris tak dapat dipercaya bahwa Mama ingin dientot olehku, sebagai wujud dari pembalasan terhadap perselingkuhan Papa.
Tapi seperti kata Mama barusan, aku tak boleh munafik. Bukankah aku sangat terangsang waktu melihat Mama telanjang bulat di kamar mandi tadi, sehingga kontolku jadi ngaceng?
Dan kini, Mama bukan cuma menciumi moncong kontolku. Mama juga menjilatinya, bahkan lalu mengulum kontolku dengan binalnya. Maka tanpa keraguan lagi kubalas peruatan Mama itu dengan mempermainkan pentil toketnya.
Tapi semuanya itu kulakukan sambil memejamkan mataku. Karena kalau bertemu pandang dengan Mama, ada perasaan bersalah di dalam hatiku. Itulah sebabnya aku memejamkan mataku sambil meremas toket Mama dan mengemut pentilnya sambil memejamkan mataku. Sambil membayangkan sedang meremas dan mengemut toket dosenku yang seksi itu.
Namun ketika aku masih memejamkan mata, tangan kananku ditarik oleh Mama, lalu diletakkan di permukaan sesuatu yang berambut tipis dan ada celahnya… yang aku yakin bahwa yang kusentuh ini adalah memek Mama…!
Setelah menyentuh sesuatu yang membangkitkan tanda tanya dan nafsu ini, kubuka mataku. Ternyata Mama sudah menanggalkan celana dalamnya. Dan yang sedang kujamah ini adalah memeknya…!
Sementara Mama pun sudah menelentang sambil tersenyum manis padaku.
“Ayo mau diapain memek mama ini Sayang?” tanyanya sambil mengelus - elus rambutku.
“Ma… mau dijilatin seperti dalam film bokep Mam. Boleh?” aku menatap Mama dengan perasaan masih ragu.
“Boleh,” sahut Mama, “jilatinlah sepuasmu. Anggap aja mama ini orang lain. Bukan ibumu. Ayo… jilatinlah memek mama. “Mama merenggangkan kedua belah paha putih mulusnya sambil tersenyum yang sangat lain dari biasanya.
Kubulatkan hatiku, lalu tengkurap di antara kedua belah paha Mama, dengan wajah berada di atas kemaluan Mama yang jembutnya sangat tipis dan halus itu.
Nafsu birahi sudah semakin menguasai diriku. Sehingga tanpa keraguan lagi kungangakan mulut memek Mama, sehingga bagian yang berwarna pink itu tampak jelas di mataku. Hmmm… betapa menggiurkannya bagian yang berwarna pink itu.
Maka kujilati bagian yang berwarna pink itu dengan lahap. Membuat Mama mulai menggeliat sambil membelai rambutku yang berada di bawah perutnya.
Begitu lahapnya aku menjilati bagian yang berwarna pink di tempik Mama itu. Sehingga Mama semakin menggeliat - geliat sambil berdesah - desah.
“Booon… ooooohhhhh Boooon… kamu sudah pandai gini jilatin memek yaaaa… lanjutkan jilatin Booon… itilnya juga jilatin… ini nih itilnyaaaaa… “Mama menunjuk ke bagian yang nyempil sebesar kacang kedelai itu.
Kuikuti keinginan Mama. Kujilati itilnya yang sebesar kacang kedelai itu. Bahkan kusertai dengan isapan - isapan, membuat Mama mulai klepek - klepek.
Bahkan pada suatu saat Mama berkata terengah, “Cu… cukup Bona…! Ma… masukin aja kontolmu Sayaaaang… !”
Tanpa membantah, kuangsurkan moncong kontolku ke mulut memek Mama.
Mama pun membantu dengan memegangi leher kontolku. Mungkin agar arahnya tepat sasaran. “Iiiih… gedenya kontolmu ini Bon. Gak nyangka kontol anak kesayangan mama sudah sepanjang dan segede ini.”
“Umurku sekarang kan sudah duapuluhtiga tahun Mam.”
“Iya. Tapi kontol papamu aja gak segede dan sepanjang ini Sayang. Ayo dorong… !”
Tanpa mikir lagi kudesakkan kontolku sekuatnya. Dan… langsung melesak masuk ke dalam liang memek Mama.
Mama seperti menahan nafasnya. Lalu berkata, “Terasa sekali bedanya kontolmu dengan punya papamu. Kontolmu jauh lebih gede… pasti jauh lebih enak daripada punya papamu. Ayo entotin Bon.”
Tanpa membantah, aku mulai mengayum kontolku, bermaju mundur di delam liang memek Mama.
“Mam… uuuugggghhhh… Maaaam… ternyata memek Mama enak sekali Maaaaam…” ucapku tanpa memperlambat gerakan entotanku.
Mama memeluk leherku, lalu merapatkan pipinya ke pipiku sambil berkata terengah, “Kon… kontolmu juga… enak sekali Sayaaaang… gak nyangka… kita bakal beginian ya…”
“Iii… iyaaaa… yang penting Mama jangan sakit hati lagi sama Papa…”
Pergesekan kontolku dengan dinding liang memek Mama memang luar biasa nikmatnya. Membuat nafasku jadi berdengus - dengus, diiringi oleh rintihan dan rengekan manja mama yang terdengar sangat erotis di telingaku, “Booonaaaa… aaaaaaahhhh… Booon… aaaaaah… aaaaaaa… aaaaah… entot terus Booon…
Ini luar biasa enaknya Bonaaaa… aaaaa… aaaaah… entoooottt teruussss… entooottttttttt… jangan brenti - brenti… entoooooooottttttt… entoooooottttttt… entooooot Sayaaang… entoooooooootttttttt… aaaaaa… aaaaaah… sambil remes tetek mama Booon… iyaaaa… remes terussss…
Aku semakin bergairah untuk melanjutkan persetubuhan dengan Mama ini. Bahkan ketika mulut Mama ternganga - nganga, kupagut bibir yang sedang ternganga itu. Dan ternyata mama menyambut dengan lumatan binal.
Dekapan Mama di pinggangku pun berubah jadi remasan -remasan di bokongku. Maka aku pun semakin bersemangat untuk menjilati leher mama yang sudah mulai keringatan. Membuat Mama terpejam - pejam dan menahan - nahan nafas.
Tapi aku masih sempat berbisik di dekat telinga mama, “Nanti kalau aku mau ngecrot, lepasin di mana Mam?”
“Di… di dalam… me… memek mama aja… Sayang. Emangnya ka… kamu udah mau ngecrot?”
“Be… belum Mam. Cuma nanya aja.”
Persetubuhan ini semakin bergairah ketika Mama mulai menggoyang pinggulnya… meliuk - liuk dan menghempas - hempas ke kasur. Sehingga kontolku serasa dibesot - besot oleh dinding liang memek Mama yang terasa hangat dan licin ini.
Namun tiba - tiba Mama tampak seperti panik, “Bona… Bona! Mama mau lepas… mau lepas… barengin Bon… biar nikmat… mau lepas Bon… mau lepassss… ayo barengin… barengin…”
Aku jadi ikutan panik. Maka kupercepat entotanku dan berusaha ngecrot bareng seperti yang mama inginkan.
Dan akhirnya kutancapkan kontolku di dalam liang memek Mama, tanpa menggerakkannya lagi. Pada saat itu pula Mama tampak mengejang sambil meremas - remas rambutku, sambil menahan nafasnya dengan mata terpejam erat - erat.
Pada saat itu pula aku sedang melotot sambil merasakan berlompatannya air mani dari moncong kontolku. Crooooootttttt… crooooottttt… crottt… crooottt… crooooooooottttttttt… crot… crooootttt!
Aku terkapar di atas perut Mama. Lalu terkulai lunglai dengan tubuh bermandikan keringat. Seperti Mama juga, yang wajah dan lehernya dibanjiri keringat.
Ketika membuka matanya, Mama tersenyum sambil mencubit pipiku, “Kamu sangat memuaskan Sayaaang… emwuaaaah… emwuaaaaah… !“Mama menciumi sepasang pipiku. Lalu mendorong dadaku, mungkin agar kontolku dicabut dari dalam memeknya.
Aku lakukan itu. Mencabut kontolku yang sudah lemas ini dari liang memek Mama.
Namun setelah mencabut kontol, aku tengkurap lagi di antara sepasang paha Mama yang masih renggang jaraknya.
Dengan serius kuperhatikan bentuk memek Mama yang baru mengalami orgasme itu. Memang benar kata para pakar seks, bahwa memek yang baru mengalami orgasme akan membuka seperti bunga yang baru mekar. Bahkan labia minoranya pun tampak seperti jengger, mengembang dan menghitam. Tapi bagian dalamnya yang berwarna pink itu justru semakin indah dipandang mata.
“Mau diapain lagi memek mama Sayang?” tanya mama sambil duduk dan membelai rambutku.
“Seneng ngeliat memek Mama yang baru orgasme. Jadi seperti bunga mekar,” sahutku.
“Masa sih?! Sebentar… mama mau ke kamar mandi dulu. Pengen kencing.”
Mama turun dari bed dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Aku pun bergegas mengikuti Mama, lalu memperhatikan Mama yang sedang duduk di kloset. “Mau ngapain lagi Sayang?”
“Pengen merhatiin seperti apa bentuk memek yang sedang kencing Mam.”
“Hihihiii… kamu ada - ada aja. Iya deh… liatin nih, seperti apa memek mama kalau sedang kencing…” ucapku sambil berjongkok di dekat kloset, dengan pandangan terpusat ke memek Mama.
Mama tersenyum dan duduk di klosetnya agak mundur, agar aku bisa menyaksikan seperti apa bentuk memek yang sedang kencing itu.
Ssssrrrr… air kencing terpancar dari liang kecil di bagian memek yang berwarna pink itu. Aku tercengang menyaksikannya. “Waktu aku lahir, keluarnya dari lubang yang berbeda dengan lubang kencing ya Mam,” kataku.
“Ya beda lah. Kamu dikeluarkan dari lubang yang dientot sama kamu tadi,” sahut Mama sambil menyemprotkan air shower untuk menceboki memeknya.
“Kapan - kapan kalau Mama kencing, aku pengen nyebokin Mama ah…” ucapku sambil berdiri kembali.
“Iya Sayang. Mmm… perutmu masih kenyang kan?”
“Iya, masih kenyang. Emangnya kenapa?”
“Mama sudah kangen sama gudeg Jogja.”
“Ya ayo kuanter. Dekat hotel ini ada warung gudeg yang murah tapi enak. Di Jogja sih jangan asal - asalan beli gudeg di tempat yang ramai sama turis. Salah - salah bisa ditekuk harganya. Mending kalau enak gudegnya. Yang jualan bukan orang Jogja kok.”
“Iya. Ntar mama mau bersih - bersih dulu. Badan mama penuh keringat nih. Lengket - lengket.”
Aku pun kencing dulu di kloset bekas Mama kencing tadi. Kemudian keluar dari kamar mandi. Mengenakan pakaian kembali. Dan duduk di satu - satunya sofa dalam kamar ini.
Sekilas bayangan masa laluku menggelayuti terawanganku. Tentang segala yang pernah terjadi ketika Papa dan Mama masih tinggal di Sleman. Karena pada saat itu Papa masih bekerja di Jogja.
Tapi setelah Papa dimutasikan ke Jabar, semuanya pindah ke Jabar. Hanya aku yang tetap tinggal di Jogja. Di rumah kos milik Bu Artini itu, karena rumah dinas Papa dihuni oleh keluarga lain setelah Papa dipindahkan ke Jabar.
Tentu saja aku takkan dapat melupakan semuanya itu. Berawal dari dalam rumah kami sendiri. Bahwa aku merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara. Ketiga kakakku perempuan semua. Sebut saja Mbak Weni yang tertua, Mbak Rina yang kedua, Mbak Lidya yang ketiga dan aku bernama Bona (disamarkan semua) yang keempat alias anak bungsu.
Beda usia kami hanya setahun - setahun. Lucu ya? Mbak Weni 21 tahun, Mbak Rina 20 tahun, Mbak Lidya 19 tahun dan aku 18 tahun.
Menurut penuturan Mama, sengaja Papa dan Mama “bikin anak” setahun sekali, lalu distop (masuk KB) setelah anaknya 4 orang. Jadi capeknya sekaligus pada waktu kami masih kecil - kecil. Setelah “target”nya terpenuhi (punya anak empat orang), Mama tidak perlu hamil lagi. Cukup dengan mengasuh kami berempat yang perbedaan usianya dekat - dekat ini.
Ketiga kakakku terasa sangat menyangiku sebagai satu - satunya saudara mereka yang cowok. Begitu juga Papa dan Mama selalu memanjakanku. Apa pun yang kuminta, selalu dikasih. Tapi tentu saja permintaanku bukan yang mahal - mahal. Paling juga minta dibeliin sepatu olahraga, minta dibeliin bat pingpong dan bola basket.
Aku dan kakak - kakakku pada kuliah semua, sesuai dengan indoktrinasi dari Papa, bahwa harta itu ada habisnya. Tapi ilmu takkan habis - habis sampai kapan pun.
Aku sendiri kuliah di fakultas pertanian. Karena sejak masih di SMA, aku ingin sekali jadi insinyur pertanian.
Baik Papa mau pun Mama tidak menghalang - halangi pilihanku. Karena semua fakultas itu baik, kata mereka. Begitu pula kakak - kakakku ikut mendukung saja pada pilihanku untuk kuliah di fakultas pertanian.
Di antara kakak - kakakku, Mbak Weni yang paling baik padaku. Dia sering nraktir makan baso, martabak manis, pizza dan sebagainya. Dia memang selalu banyak duit. Tapi aku tidak tahu darimana dia selalu punya duit banyak begitu. Mungkin dari pacarnya atau entah dari mana. Tapi setahuku Mbak Weni tidak punya pacar.
Tapi biarlah, itu urusan pribadinya yang tak perlu kucampuri. Yang jelas aku merasa Mbak Weni selalu mendukungku dalam hal apa pun. Misalnya pada waktu aku sedang mengikuti pertandingan olah raga, baik pertandingan bola basket mau pun tenis meja, Mbak Weni selalu berusaha membawa teman - temannya untuk menjadi suporterku.
Mbak Weni juga selalu membelaku kalau sedang berdebat dengan Mbak Rina mau pun Mbak Lidya.
Tapi sebenarnya aku tak pernah bertengkar dengan ketiga kakakku. Paling hanya berdebat sedikit, lalu ketawa - ketiwi lagi.
Hari demi hari pun berputar terus tanpa terasa.
Sampai pada suatu hari. Papa dan Mama terbang ke Palembang untuk menghadiri pesta pernikahan saudara sepupuku.
Mbak Rina pun dibawa, karena dia senang merias pengantin. Maklum Mbak Rina bercita - cita ingin memiliki salon yang besar dan punya cabang di beberapa kota.
Sementara itu
Mbak Lidya sedang study tour ke Jawa Timur, sehingga di rumah hanya ada aku, Mbak Weni dan pembantu yang tiap pagi datang, lalu pulang setelah sore.
Aku bahkan diingatkan oleh Papa, agar jangan meninggalkan rumah kalau tidak ada urusan yang penting. Supaya di rumah kami tetap ada cowoknya.
Namun pada saat inilah mulai terjadinya kisah yang takkan kulupakan di seumur hidupku. Awalnya Mbak Weni berkata padaku, “Bona… rumah ini jadi terasa sepi dan agak menakutkan. Nanti malam tidur di kamarku aja ya.”
“Iya Mbak,” sahutku yang selalu menurut kepada kakak sulungku itu. Karena dia juga selalu berbaik hati padaku.
Setelah mandi sore, aku diajak makan bersama Mbak Weni. Pada saat itu Mbak Atiek, pembantu kami, sudah pulang. Sehingga kami bebas mau ngomong apa saja.
Pada waktu makan sore itulah Mbak Weni menanyakan sesuatu yang tidak biasa ditanyakannya.
“Bona… kamu udah punya pacar belum?” tanyanya.
“Belum,” sahutku, “Mbak sendiri udah punya?”
“Dulu waktu masih di SMA sih punya. Sekarang sie gak punya. Pacaran itu buang - buang waktu doang. Teman dekat sih banyak. Tapi gak mau pacaran dulu. Nanti kalau udah sarjana, langsung nyari calon suami aja. Jangan cuma pacaran mulu.”
“Aku juga gitu Mbak. Otak mendingan dipake buat kuliah. Pacaran sih nanti aja kalau udah punya kerja. Pacaran kan butuh biaya juga. Buat traktir makan - makan lah, buat nonton bioskop lah.”
Mbak Weni mengangguk - angguk sambil tersenyum.
Ketika jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, seperti biasa kalau sudah mau tidur, kukenakan celana training dan baju kaus oblong. Lalu masuk ke dalam kamar Mbak Weni.
Kulihat Mbak Weni sedang asyik dengan hapenya. Entah sedang WA sama siapa. Yang jelas dia sering tersenyum sendiri sambil memandang layar hapenya.
Aku pun langsung naik ke atas bednya yang selalu harum parfum mahal. Ini salah satu yang kusukai pada kakak sulungku itu. Kamarnya selalu harum, apalagi tempat tidurnya ini.
Tak lama kemudian Mbak Weni pun mematikan hapenya, lalu men-charge-nya.
Pada saat itu Mbak Weni juga sudah mengenakan dasternya yang berwarna pink polos. Setelah mematikan lampu terang dan menyalakan lampu tidur berwarna biru, dia naik juga ke atas tempat tidurnya.
“Yong… kamu udah pernah ngerasain begituan sama cewek?” tanyanya.
“Haa? Belum lah.”
“Masa sih?!”
“Sumpah, aku belum pernah begituan. Emangnya kenapa?”
“Megang memek cewek sih pernah kan?”
“Belum juga Mbak. Jangankan megang memek. Megang toket juga belum pernah.”
“Kasian… udah jadi mahasiswa belum pernah ngapa - ngapain. Padahal kamu ini ganteng lho. Tapi kamu gak pernah memanfaatkan kegantenganmu ini ya?”
Posting Komentar untuk "Intim Sedarah Keluarga Besarku ( Bagian 1 )"