Fantasi Hayalan Sedarah Yang Jadi Kenyataan ( Bagian 4 )
Kekagumanku kepada Tante Irenka semakin mendalam setelah melihat dia begitu lincahnya memeriksa ketiga kapal tanker itu satu persatu. Bahkan ruangan demi ruangan diperiksanya dengan teliti.
Yang sangat membesarkan hatiku, Tante Irenka selalu mengacungkan jempolnya setiap kali habis memeriksa bagian demi bagian ketiga kapal tanker itu. Terlebih lagi setelah memeriksa kapal ULCC (Ultra Large Cruder Carrier) yang ukurannya terbesar di antara ketiga kapal tanker itu, ia langsung mengajakku berbicara di cabin.
Di situlah ia berkata, “Kapal ULCC ini bisa kujual dengan harga yang sangat mahal. Jadi… begini aja… aku setuju dengan harga yang telah Chepi ajukan. Tapi di dalam transaksinya nanti, harga ketiga kapal itu akan kunaikkan limapuluh persen dari harga yang sudah ditawarkan itu. So… Chepi harus menandatangani harga yang sudah dimark up limapuluh persen.
“Apakah realistis harga yang sudah dimark up itu?” tanyaku ragu.
“Lho… aku kan decision maker dari pihak buyer. Dalam transaksi nanti, hanya ada dua orang yang jadi decision maker, Chepi decision maker dari pihak owner dan aku decision maker dari pihak buyer. Yang lain - lain hanya sebagai pelengkap saja.”
“Iya Tante,” sahutku dengan hati berbunga - bunga. Karena aku sudah menaikkan harga ketiga kapal tanker itu, untuk membelikan rumah bagi Anna. Namun ternyata mark upku tidak ada apa - apanya jika dibandingkan dengan mark up Tante Irenka.
Akhirnya aku menyatakan hendak mengikuti “prosedur” Tante Irenka saja. Sambil membayangkan betapa banyaknya aku akan memiliki dana dari jatah yang 25% itu.
Memang banyak prosedur yang harus dilewati. Ada juga beberapa orang yang ditugaskan oleh Tante Aini untuk membantuku sampai selesai bertransaksi dengan Tantge Irenka.
Untuk itu aku dan Tante Irenka sampai 8 hari harus tinggal di Surabaya. Sampai pada suatu hari, tanpa sepengetahuan Tante Irenka aku menghubungi Tante Aini by phone :
“Transaksi sudah selesai Tante. Uangnya sudah mengendap di rekening perusahaan semua.”
“Syukurlah, berarti kamu punya faktor keberuntungan dalam banyak hal Chepi. Anggaplah hasil penjualan kapal - kapal tanker itu sebagai investasi untuk mengembangkan perusahaan yang Chepi pegang sekarang.”
“Banyak sekali investasinya Tante. Bisakah kita mengembangkan jenis usahanya?”
“Tentu saja bisa. Asalkan sesuai dengan aktivitas yang tercantum di dalam badan hukum kita. Ekspor - impor dan perdagangan umum kan?”
“Iya Tante. Perdagangan umum kan universal sifatnya Tante. Kalau perlu kita bikin lagi PT baru, yang sesuai dengan rancangan aktivitas kita Tante.”
“Lakukanlah apa pun yang menurutmu baik dan menyehatkan perusahaan kita. Aku kan sudah memasrahkan segalanya padamu. Silakan saja cari aktivitas baru, tapi yang sesuai dengan kemampuanmu. Jangan terlalu memaksakan diri, karena kamu masih kuliah juga kan?”
“Aku sudah mengajukan cuti kuliah selama setahun Tante.”
“Ohya?! Kasihan juga keponakanku tersayang sampai harus cuti kuliah segala.”
“Nggak apa Tante. Nanti aku akan kejar ketertinggalanku di tahun depan. Sekarang mau fokus ke bisnis dulu. Mumpung enerjiku sedang berkobar Tante.”
“Iya, iya… kamu pasti tau mana jalan terbaik bagi kita semua Chep. Aku merestui semua jalan yang kamu pandang positif nanti. Aku bangga punya keponakan sekaligus kekasihku.”
“By the way, kira - kira kapan Tante mau melahirkan?”
“Sekitar dua bulan lagi Sayang. Ohya… anak kita sudah ketahuan jenis kelaminnya. Ternyata anak kita ini laki - laki Sayang. Semoga anak kita setampan kamu.”
“Amiiin…”
“Ohya… coba kuasa buyer kapal tanker itu tawari kapal pesiar bekas, tapi umurnya baru sekitar tiga dan lima tahunan. Semuanya masih jalan dan terawat.”
“Ada berapa kapal pesiar yang mau dijual itu Tante?”
“Semuanya ada lima kapal. Pemiliknya orang Arab semua. Mereka ingin ganti dengan kapal pesiar yang lebih mewah lagi.”
“Iya Tante. Nanti kutanyakan sama orangnya.”
Lalu Tante Aini menceritakan bagaimana senangnya Sang Suami setelah mendengar bahwa bayi yang masih di dalam kandungannya itu laki - laki.
Lalu kami ngobrol ke barat ke timur ke utara ke selatan.
Setelah menghubungi Tante Aini, semangatku semakin berkobar.
Ternyata Tante Irenka pun tampak semakin bersemangat setelah transaksi ketiga kapal tanker itu selesai. Dia juga menceritakan bahwa sang Buyer yang sebenarnya minta agar Tante Irenka mencari lagi kapal tanker sebanyak mungkin.
Aku tidak tahu mau beroperasi di mana kapal - kapal tanker itu. Dan aku tidak menanyakannya kepada Tanter Irenka. Karena hal itu sudah bukan urusanku lagi. Yang penting, ketiga kapal tanker itu sudah terjual lunas. Dan aku mengendapkan dana yang sangat banyak di rekening pribadiku. Dana yang 25% dari Tante Irenka itu.
By the way, hubunganku dengan Tante Irenka dalam waktu 8 hari ini semakin lengket saja rasanya. Khususnya tentang masalah sex, Tante Irenka bukan seorang wanita yang hypersex. Tapi bukan pula wanita yang frigid. Maka selama bersamaku di Surabaya, dia “hanya” minta jatah dua hari sekali. Berarti selama 8 hari itu Tante Irenka kugauli sebanyak 4 kali.
Bahkan pada suatu saat, ketika aku sedang mencumbu Tante Irenka yang sudah telanjang bulat di kamar hotel, Tante Irenka berkata, “Yang penting hubungan sex itu bobotnya atau kualitasnya. Bukan keseringannya. Dan sejauh ini hubungan sex dengan Chepi terasa sangat berkualitas. Makanya dua malam sekali pun lebih dari cukup.
“Kalau ketahuan sama Oom Safiq bagaimana?” tanyaku.
“Gak apa - apa. Aku dan pamanmu sudah punya kesepakatan baru.”
“Kesepakatan mengenai apa?”
“Pamanmu sangat mencintaiku. Dia memohon agar aku jangan sampai meninggalkan dia setelah dia mengalami stroke dan selalu gagal memuaskan gairah biologisku. Dia bahkan sudah mengijinkanku untuk selingkuh dengan lelaki lain, asalkan aku tetap hidup bersama pamanmu.”
“Waktu mau berangkat ke Surabaya ini, Oom Safiq tau kalau Tante pergi bersamaku?”
“Tau. Dia bahkan menganjurkan untuk menjadikan Chepi sebagai kekasihku.”
“Ohya?! Kok Tante baru bilang sekarang?”
“Soalnya hal itu tidak penting Chep. Diijinkan atau tidak oleh pamanmu, aku tetap akan berjuang untuk mendapatkanmu. Dan sekarang aku sudah mendapatkanmu. Kebetulan pula kamu sangat mirip dengan mantan pacarku dahulu. Jadi… aku menyerahkan tubuhku padamu secara total. Karena hatiku pun sudah kamu miliki sekarang Sayang.
Pada saat itu aku sedang merapatkan pipiku ke pipi Tante Irenka, sementara jemariku sedang menggerayangi kemaluannya yang sangat bersih itu.
Ketika kurasakan liang memek istri Oom Safiq itu sudah basah, kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memeknya sambil berkata, “Sebenarnya aku sudah punya calon istri. Tapi Tante sudah mendapat tempat istimewa di dalam hatiku. Maka aku pun berharap agar hubungan kita tetap terjalin, baik dalam bisnis mau pun birahi kita.
Lalu kudesakkan batang kemaluanku sekuat tenaga. Dan… mulai membenam sediukit demi sedikit… blesssssskkkkkkkk…
“Ooooh… sudah masuk Sweetheart… “rintih Tante Irenka sambil melingkarkan lengannya di leherku. Lalu menciumi bibirku bertubi - tubi.
Aku tidak berdusta waktu mengatakan bahwa Tante Irenka ini punya tempat istimewa di dalam hatiku. Karena selain cantik dan bertubuh putih mulus, liang memeknya pun terasa legit dan menjepit. Lebih dari itu semua, kayaknya aku bakal punya hubungan bisnis terus dengannya kelak. Karena itu aku pun harus membuatnya benar - benar puas setiap kali aku menyetubuhinya.
Kebetulan Tante Irenka hanya menyukai posisi missionary. Padahal kalau nonton di bokep - bokep, orang bule itu di awalnya saja sudah langsung main doggy. Lalu posisi miring, WOT dan sebagainya. Tapi Tante Irenka hanya suka main dalam posisi missionary. Karena ia ingin benar - benar menikmati gesekan dan sentuhanku.
Mungkin Tante Irenka ini pada dasarnya senang diperlakukan secara romantis.
Karena itu aku pun berusaha untuk memberikan kepuasan padanya dengan apa yang bisa kulakukan.
Aku bahkan sudah bhafal di mana saja titik - titik sensitif pada tubuh Tante Irenka. Maka kumulai mengentotnya sambil menjilati daun telinganya. Aksi ini mulai membuat Tante Irenka terpejam - pejam.
Terlebih lagi ketika aku mengentotnya sambil menjilati ketiaknya, disertai dengan sedotan - sedotan kuat, maka Tante Irenka pun semakin menggelinjang - gelinjang sambil berdesah dan merintih histeris, “Chepiiii… aku bisa tergila - gila olehmu Chep. Apa pun yang kamu lakukan padaku… selalu saja membuatku serasa sedang melayang - layang di surga…
Ooooh… Chepppiiii… kamu jangan tinggalkan aku sampai kapan pun yaaaa… aku sudah menganggapmu sebagai pangeran yang diturunkan dari langit untuk mengucurkan keindahan dan kenikmatan padaku… ooo… ooooohhhh… Cheeeepiiii… entot terus Cheeeeep… penismu luar biasa enaknya Sweetheart…
Sementara itu aku menilai bahwa yang paling indah di tubuh Tante Irenka ini adalah sepasang payudaranya. Karena selain gede, bentuknya sangat lonjong yang indah sekali. Kali ini aku ingin meremas sekuatnya. Maka kucoba meremas toket indah itu lebih kuat dari biasanya. “Tidak sakit kuremas sekuat ini Tante?
“Tidak sayang. Pamanmu kularang meremas terlalu kuat. Karena aku ingin agar payudaraku tetap indah bentuknya. Tapi khusus untukmu… silakan remas sekuatnya. Karena dirimu mungkin akan jadi pelabuhan cintaku yang terakhir Chep…”
Maka tangan kiriku mulai meremas toket kanan Tante Irenka, sementara mulutku asyik mengemut pentil toket kirinya yang tegang dan kemerahan ini. Sedangkan kontolku makin masive mengentot liang memek Tante Irenka yang luar biasa legit dan sempit menjepit ini.
Terkadang aku mengentotnya sambil sedikit mengangkat tubuhku, karena ingin memperhatikan maju mundurnya kontolku di dalam mulut memek wanita bule itu.
Lalu kuhempaskan lagi dadaku ke atas sepasang toket yang bentuknya sangat erotis itu. Disambut lagi dengan rengkuhan dan pelukan Tante Irenka.
Keringat pun mulai berjatuhan ke atas dada dan leher serta wajah Tante Irenka. Bercampur baur dengan keringatnya sendiri.
Dan manakala tangan Tante Irenka terangkat ke dekat kepalanya, kujilati lagi ketiaknya yang sudah basah oleh keringat, tanpa menimbulkan perasaan risih sedikit pun.
Namun pada suatu saat Tante Irenka berkelojotan sambil berucap terengah, “Aku sudah mau orgasme Chep… barengin lagi yok kayak kemaren…”
Aku pun berusaha mengikuti keinginan istri Oom Safiq itu, dengan mempercepat entotanku, seperti pelari yang sudah mendekati garis finish.
Kontolku maju mundur dengan cepatnya di dalam jepitan liang sanggama Tante Irenka.
Dan ketika sekujur tubuh Tante Irenka mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat… aku pun membenamkan kontolku sedalam mungkin, sambil meremas sepasang toket wanita bule itu.
Lalu detik - detik yang sangat indah ini pun terjadi. Bahwa ketika liang memek Tante Irenka berkedut - kedut kencang, diikuti dengan gerakan sekujur liang sanggamanya yang seolah belitan ular meremas batang kemaluanku… kontolku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Croooottttt… croootttt… crottt… croooottttttt… crooootttt… crooootttt…!
Aku meninggalkan Surabaya dengan gejolak batin seolah panglima yang baru menggondol kemenangan di medan perang.
Tante Irenka pun tampak sangat bersemangat. Bahkan pada suatu saat ia bertanya, “Chepi tau siapa buyerku yang telah membeli ketiga kapal tanker itu?”
“Siapa Tante?” aku balik bertanya.
“Ayahku sendiri.”
“Ayah Tante?!”
“Iya. Dan yang sangat menyenangkan ketiga kapal tanker itu sudah dibeli lagi oleh seorang pengusaha minyak dari Afrika Selatan. Sekarang ketiga kapal tanker itu sudah melaut menuju Afrika.”
“Begitu cepatnya proses itu terjadi?!”
“Tidak terlalu cepat juga. Kita kan menghabiskan waktu dua minggu selama ini. Kemaren buyer dari Afrika Selatan itu datang ke Surabaya, beserta nakhoda - nakhoda dan crew kapalnya.”
“Baguslah. Berarti kita sudah mencapai sukses yang gemilang, ya Tante.”
“Iya… itu suatu pertanda bahwa hubungan kita harus berlanjut terus sampai tua.”
“Siap Tante.”
“Duit pembagian keuntungan itu mau dipakai untuk apa Chep?”
“Biar mengendap aja dulu di rekeningku Tante. Itu kan bukan duit sedikit. Harus dipikirkan sematang mungkin mau dipakai apa nanti.”
“Mau dijadikan tambahan modal usahamu?”
“Sebaiknya begitu. Kalau tidak diputar, lama kelamaan bisa habis juga nanti.”
“Kamu masih sangat muda. Tapi pola pikirmu sudah sangat dewasa dan penuh tanggung jawab. Itu salah satu kelebihanmu Sayang,” ucap Tante Irenka sambil mengecup pipi kiriku.
“Terima kasih Irenka Sayang,” ucapku di belakang setir mobil Tante Irenka.
“Mmmm… aku suka sekali kamu panggil aku dengan sebutan Irenka Sayang itu… membuatku makin dalam mencintaimu Honey.”
Tante Irenka sudah berterus terang bahwa yang menjadi buyer ketiga kapal tanker itu adalah ayahnya sendiri. Tapi aku tetap merahasiakan siapa pemilik ketiga kapal tanker itu. Karena takut berbuntut panjang kalau beritanya menyebar ke mana - mana. Selain daripada itu, percuma juga aku menyebut nama Tante Aini.
Yang membuatku agak ragu - ragu, Tante Irenka memintaku mengantarkannya sampai di rumahnya. Berarti aku akan berjumpa dengan Oom Safiq. Dan itu membuatku takut juga sih.
Tapi Tante Irenka berkata, “Nanti kita harus bersikap seperti belum terjadi apa - apa di antara kita berdua. Santai aja Milenec.”
“Milenec?!”
“Milenec itu kekasih di dalam bahasa Czech.”
“Tante dibesarkan di Jerman. Tapi bahasa Czech tetap digunakan juga ya.”
“Iya. Di dalam keluargaku tetap menggunakan bahasa Czech. Tapi kalau di luar rumah kami menggunakan bahasa Jerman.”
Akhirnya aku berhasil menabahkan diri untuk mengantarkan Tante Irenka ke rumahnya. Berarti aku harus menjumpai Oom Safiq tanpa perasaan takut atau pun kuatir. Karena Tante Irenka sudah menjamin takkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Ternyata sore itu Oom Safiq sedang duduk di teras belakang, di atas kursi rodanya, menghadap ke arah taman yang berada di pekarangan belakang rumahnya.
Tante Irenka duluan menghampiri Oom Safiq. Lalu mencium sepasang pipi adik Papa itu.
“Bagaimana? Sukses?” tanya Om Safiq dengan suara yang agak pelo. Mungkin salah satu dampak kena stroke itu.
“Sukses Pap. Itu anaknya Bang Adrian ikut,” sahut Tante Irenka sambil menunjuk ke arahku.
“Mana?” Oom Safiq memutar arah kursi rodanya. Mungkin untuk menoleh pun tidak bisa.
Cepat aku berlutut di depan kursi roda adik kandung Papa itu. “Ini Chepi Oom,” ucapku sambil mencium tangan Oom Safiq.
“Waduh… Chepi sudah ja… jadi pemuda gini? Papamu sehat?” tanya Oom Safiq dengan suara yang kurang jelas, sambil mengusap - usap rambutku.
“Sehat Oom. Papa suka ke sini kan?”
“Sering,” sahut Oom Safiq, “Sejak aku kena stroke, papamu suka nengok ke sini. seminggu sekali.”
“Owh… terus adek - adek ke mana Oom?”
“Elke dan Hania pada kuliah di Australia.”
“Jadi di sini Oom cuma berdua dengan Tante Irenka saja?”
“Bertiga dengan adik tantemu itu,” sahut Oom Safiq.
“Owh iya… tunggu sebentar ya Chep. Kamu harus kenal juga dengan adikku,” kata Tante Irenka sambil melangkah ke lorong menuju pintu - pintu yang berderet.
Pada saat itulah Oom Safiq berkata padaku, “Apakah tantemu sudah bilang mengenai sesuatu yang harus dirahasiakan itu?”
“Su… su… sudah Oom,” sahutku tergagap.
“Aku titip tantemu itu ya Chep. Aku sudah tidak berdaya dalam masalah sex. Tapi aku tak mau kehilangan dia.”
“Iya Oom.”
“Nah… daripada dia selingkuh dengan orang luar, mendingan kamu yang mewakili aku untuk memuaskan libidonya yang masih kenceng.”
“Iii… iya Oom.”
“Yang penting dia tetap mendampingiku sampai aku mati nanti. Tapi Chepi yang harus bisa memuasi hasrat birahinya. Aku ingin membahagiakannya dengan caraku sendiri. Tapi jangan ngomong apa - apa sama papamu ya. Jadikan hal ini rahasia kita bertiga, aku, tantemu dan kamu Chep.”
“Iya Oom…”
“Emangnya selama di Surabaya kalian belum pernah melakukan apa - apa?”
“Be… belum Oom. Di Surabaya kami sibuk mengurus bisnis. Lagian aku ingin kejelasan dari Oom dulu,” sahutku berbohong, seperti yang disarankan oleh Tante Irenka dalam perjalanan dari Surabaya tadi.
“Sekarang sudah jelas kan? Tantemu tidak berbohong. Aku sendiri yang menganjurkannya seperti yang sudah diceritakan barusan. Bisa kan kamu membantuku dalam hal yang harus dirahasiakan itu?”
“Si… siap Oom.”
Tak lama kemudian Tante Irenka muncul, bersama seorang cewek bule cantik, mengenakan gaun panjang ditutup oleh jaket tebal. Cantik dan segar kelihatannya. Aku yakin usianya pun masih belasan tahun.
“Nih kenalin adikku,” kata Tante Irenka. “Namanya Anastazie. Kalau di negara lain sih namanya bisa jadi Anastasia atau Anastasya. Tapi bagi orang Czech namanya Anastazie. Chepi bisa menggil Zie aja sama dia, biar gak sulit ngucapinnya.”
Lalu aku berjabatan tangan dengan adik Tante Irenka yang bernama Anastazie itu.
Yang membuatku terlongong adalah… Anastazie itu… cantik sekali…!
Maka diam - diam aku melakukan sesuatu yang nakal. Bahwa ketika aku berjabatan tangan dengannya, ujung telunjukku mengorek - ngorek telapak tangan Anastazie. Dan cewek bule itu menatapku dengan senyum manis di bibirnya…!
Namun tak lama aku melakukan hal itu. Karena tampak Oom Safiq menggerakkan kursi rodanya yang lumayan canggih. Kursi roda yang dilengkapi dengan tenaga listrik, sehingga tangannya tak perlu mengayuh rodanya, cukup dengan memijat tombol saja. “Aku mau istirahat dulu ya Chepi,” kata Oom Safiq, “Kamu mau nginap di sini kan?
“Mmm… iya Oom,” sahutku terlontar begitu saja.
Tante Irenka pun mengikuti kursi roda electric itu, sementara aku dan Anastazie masih berada di teras belakang rumah Oom Safiq yang lumayan besar dan megah itu.
“Can you speak Indonesian?” tanyaku.
“Bisa,” sahut Zie, “Aku kan sudah enam tahun tinggal di Indonesia.”
“Wow, kirain belum lama di sini.”
“Sejak kelas satu SMP aku tinggal di sini.”
Tak lama kemudian, Tante Irenka muncul lagi dan memberi isyarat padaku agar mengikutinya menuju pintu pertama yang berderet di lorong itu.
Aku pun mengikuti langkahnya, masuk ke dalam kamar pertama.
Setelah berada di dalam kamar, Tante Irenka berkata, “Oom Safiq mengijinkanku untuk bercinta denganmu sekarang. Tapi aku akan memberikan jatahku kepada Zie. Kasihan dia itu. Usianya sudah delapanbelas tahun tapi belum pernah merasakan hubungan sex. Kalau di Jerman sih cewek baru berusia empatbelas atau limabelas pun banyak yang sudah merasakannya.
“Iya, aku pernah dengar masalah itu di Eropa, bukan hanya di Jerman.”
“Zie memang cantik. Tapi ada sesuatu yang membuatnya minder, sehingga setelah tinggal di sini gak mau bergaul.”
“Memangnya kenapa dia Tante?”
“Toketnya gede banget. Jauh lebih gede daripada toketku,” sahut Tante Irenka, “Makanya dia selalu memakai jaket, untuk menyembunyikan kegedean toketnya itu. Chepi mau kan menolongnya?”
“Dengan cara apa aku bisa menolongnya?”
Setengah berbisik Tante Irenka menyahut, “Kasih dia pengalaman bersetubuh. Supaya sikapnya ceria lagi seperti di masa kecilnya.”
“Tante serius nih?”
“Sangat serius. Masa aku main - main dalam masalah yang seperti itu. Aku sangat menyayangi adikku itu. Sehingga aku ingin berusaha membahagiakannya, agar jangan murung terus begitu. Chepi mau kan membantuku untuk membahagiakan adik kesayanganku itu?”
“Memangnya Zie pasti mau melakukannya denganku?”
“Pasti mau lah. Masa dikasih cowok setampan kamu gak mau? Aku aja sampai jatuh cinta sama kamu. Bagaimana? Kamu mau kan Sayang?”
“Mmm… atur - atur ajalah. Tapi aku harus mandi dulu. Biar seger badannya.”
“Mandilah. Itu kan ada kamar mandi, “Tante Irenka menunjuk ke pintu kamar mandi yang ada di dalam kamar ini.
“Oke, aku mau ngambil tas pakaianku dulu di mobil.”
Lalu aku keluar menuju garasi. Untuk mengambil tas pakaianku dari bagasi mobil Tante Irenka.
Hari pun mulai malam.
Aku mandi sebersih mungkin di bathroom yang berada di kamar itu.
Selesai mandi, kukenakan celana pendek dan baju kaus serba putih. Lalu keluar dari kamar mandi.
Ternyata Tante Irenka dan Anastazie sudah duduk di sofa yang tak jauh dari bed.
Setelah aku muncul di bedroom, Tante Irenka berkata dalam bahasa Czech kepada adiknya, yang aku belum mengerti artinya. Hanya di ujungnya kudengar Tante Irenka berkata, “Nebuď stydlivý …” yang kalau tidak salah artinya jangan malu - malu.
Lalu Tante Irenka bangkit dari sofa. Memegang bahuku sambil berkata, “Titip adikku ya. Senangkanlah hatinya.”
“Iya, “aku mengangguk, “Tante mau ke mana?”
“Mau istirahat dulu di kamar yang di ujung sana,” sahut Tante Irenka sambil melangkah ke luar. Meninggalkan Anastazie sendirian di sofa, dalam gaun dan jaket tebal yang sejak tadi dikenakannya.
Dan aku pura - pura tidak tahu apa alasan Anastazie mengenakan jaket tebal itu. “Lagi sakit?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.
“Tidak. Aku sehat - sehat aja,” sahutnya.
“Lalu kenapa pakai jaket?” tanyaku lagi sambil memegang tangannya dan mengusap - usap telapaknya.
“Malu… takut kelihatan payudaraku besar sekali…” sahutnya tersipu.
“Lho… payudara besar itu suatu kelebihan, bukan kekurangan. Harusnya dijadikan kebanggaan. Bukan harus membuatmu malu Zie.”
“Chepi suka sama payudara besar?” tanyanya sambil menatapku.
“Sangat suka. Kalau payudara besar kan bisa dipakai buat jepit ini,” sahutku sambil meletakkan tangan Anastazie di celana pendekku, tepat di bagian penisku.
“Owh… kamu benar - benar mau melakukannya denganku?” tanyanya sambil meremas - remas celana pendekku, sehingga batang kemaluanku yang bersembunyi di baliknya, mulai bangun.
“Iya. Aku akan melakukannya sesuai dengan perintah Tante Irenka.”
“Mau melakukannya cuma karena diperintah oleh Irenka?”
“Perintah itu merupakan kejutan untukku. Karena waktu kita berjabatan tangan tadi, kamu ingat apa yang kulakukan ya?”
“Iya. Kamu menggelitik telapak tanganku.”
“Nah itu terjadi sebelum ada perintah dari Tante Irenka,” kataku, “Berarti aku sudah suka sama kamu sejak berjabatan tangan tadi. Padahal aku belum dianjurkan untuk bersamamu oleh saudaramu. Makanya… lepaskanlah jaketmu. Aku ingin melihat seksinya sekujur tubuhmu.”
“Kamu aja yang lepasin,” sahut Anastazie sambil mengangsurkan dadanya ke dekatku.
“Oke,” ucapku sambil memegang ritsleting jaket tebal berwarna abu - abu itu. Lalu menurunkannya sampai terlepas di bagian bawah jaket itu.
Kemudian kulepaskan jaket itu. Kususul dengan melepaskan gaunnya yang berwarna pink. Ternyata di balik gaun berwarna pink itu pun ada dua macam benda yang berwarna pink juga. Beha dan celana dalamnya.
Dan setelah behanya pun kulepaskan, tampaklah dengan jelas bahwa sepasang toket Anastazie memang benar - benar gede. Jauh lebih gede daripada toket Tante Irenka…!
Sebenarnya aku terkejut menyaksikan payudara segede itu. Kalau Anastazie sudah berumur limapuluhan, mungkin aku takkan begitu kaget melihatnya. Tapi Anastazie baru berumur 18 tahun dan punya toket segede itu. Maka wajarlah dia selalu minder dalam kesehariannya.
Tapi aku tetap bertenggang rasa. Aku menyembunyikan kekagetanku dan bahkan berkata, “Sebenarnya cewek bertoket gede seperti inilah yang kucari dari dulu. Dan sekarang aku menemukannya. Jadi… kamu laksana bidadari yang diturunkan dari langit untuk mewujudkan khayalan lamaku…”
“Memangnya kamu suka sama aku?” tanyanya.
“Sangat suka,” sahutku diikuti dengan kecupan mesra di bibir sensualnya.
Zie tersenyum. Manis sekali senyum itu.
“Kamu benar - benar belum pernah merasakan hubungan sex?” tanyaku sambil memainkan toket gede Zie.
“Belum pernah, “Zie menggeleng.
“Dan sekarang sudah siap untuk merasakannya bersamaku?”
“Siap Chep… teman - temanku di Eropa sih sejak umur tigabelas tahun juga banyak yang sudah merasakannya. Sedangkan aku… sudah delapanbelas tahun.”
“Oke. Kita lakukan di sana aja yuk,” ajakku sambil menunjuk ke arah bed.
Aku ini laksana seekor kucing yang pantang menolak kalau ditawari ikan segar. Apalagi ikan segar itu cantik, bertubuh tinggi langsing dan bule pula. Mengenai toketnya yang over size itu, aku tak peduli. Bahkan aku ingin punya koleksi atau simpanan yang toketnya gede sekali seperti itu.
Aku juga tak peduli dengan jembut yang menghiasi kemaluannya. Karena sepengetahuanku, cewek Eropa pun tidak semuanya senang menggunduli kemaluannya. Banyak juga yang seperti sengaja memelihara jembutnya, tapi dengan digunting dan dirapikan supaya menjadi bentuk segitiga, icon love dan sebagainya.
Anastazie pun tampak senang karena aku sama sekali tidak mempermasalahkan toket super gedenya. Aku bahkan menciumi pentil toketnya yang kemerahan, sebagai tanda bahwa aku suka pada buah dadanya super gede itu.
Aku memang ingin membahagiakan dan membesarkan hatinya dengan apa pun yang bisa kulakukan.
Lalu aku mulai menyasar bibirnya yang sensual itu. Memagut dan melumatnya. Disambut dengan dekapannya di pinggangku.
Kami memang sudah sama - sama telanjang bulat. Tapi aku ingin foreplay dulu, sampai dia benar - benar horny dan memeknya siap untuk diterobos oleh batang kemaluanku.
Setelah puas melumat bibirnya, mulutku turun untuk mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku mulai meremas toket kanannya.
Tubuh cewek bule itu mulai menghangat.
Terlebih lagi setelah jemari tangan kiriku menyosor ke bawah, mulai menembus jembut dan meraba - raba permukaan kemaluannya tanpa berani menyelinapkan jari tanganku ke dalam celahnya, takut mengganggu hymen (selaput dara) nya, kalau ia memang masih perawan.
Tapi Anastazie sangat reaktif. Setelah kemaluannya terjamah, ia pun menggenggam batang kemaluanku sambil menciumi bibirku. Agak lama kami dibuai dengan aksi ini. Saling pegang kemaluan sambil berciuman.
Lalu aku melorot turun sampai wajahku berhadapan dengan kemaluan cewek bule itu. Kemaluan yang berjembut tapi tidak terlalu melebar, karena ada bekas dirapihkan dengan gunting.
Ketika kucoba mengangakan kemaluannya, ternyata mudah saja mataku menyaksikan bagian dalam kemaluannya yang berwarna pink itu. Kuamati sejenak… memang masih menutup, sehingga liang sanggamanya belum kelihatan jelas.
Dan tanpa basa basi lagi kujilati bagian yang berwarna pink itu, sehingga Anastazie tersentak. Tapi lalu terdiam, meski sesekali tubuhnya menggeliat.
Tak cuma bagian dalam yang berwarna pionk itu sasaran lidahku. Setelah menemukan clitorisnya, aku pun mulai menjilati clitoris alias itil itu. Bahkan sesekali kusedot dan kujilati clitorisnya yang sebesar kacang kedelai itru.
Zie pun mulai menggeliat - geliat dan mendesah - desah, “Aaaaa… aaaaaah… aaaa… aaaaaah… aaaaa… aaaaaahhhhh… aaaaaa… aaaaaah…”
Sementara aku diam - diam mengalirkan air lurku ke dalam celah memeknya. Terus - terusan kualirkan air liurku, sampai celah memek cewek bule itu benar - benar basah. Dan siap untuk dipenetrasi.
Aku pun mulai mendorong sepasang paha Zie sampai mengangkang sejauh mungkin. Kemudian kupegang batang kemaluanku dan kucolek - colekkan moncongnya ke celah memek Zie.
Setelah terasa tepat arahnya, aku mengumpulkan tenagaku. Kemudian kudorong kontol ngacengku sekuatnya. Stttttt… meleset…! Kubetulkan lagi letaknya, lalu kodorong lagi kontolku dan… stttt… meleset lagi.
Akhirnya Zie ikut membantuku. Memegangi kontolku sambil menariknya di mulut kemaluannya.
Lalu kudorong lagi kontolku sekuat tenaga… uuuuugggghhhh…
Dan… kontolku mulai melesak masuk ke dalam liang memek Zie. Baru masuk kepalanya saja. Maka kudorong lagi sekuatnya… masuk lagi makin dalam, sampai batas leher kontolku.
Saat itulah aku menghempaskan dadaku ke atas sepasang toket gede Anastazie. Sambil mendesakkan lagi kontolku agar membenam lebih dalam lagi.
Ia menyambutku dengan merengkuh leherku ke dalam pelukannya, sambil bertanya, “Already entered?”
(Sudah masuk?)
“Sudah… baru sedikit,” sahutku, “Sakit?”
“Tidak… lanjutkanlah…” sahutnya sambil menatapku dengan bola mata yang begitu bening dan indahnya. Memang setelah diuperhatikan dari jarak dekat begini, Anastazie ini cantik sekali. Cantik yang alamiah, tiada polesan make up sedikit pun, kecuali bibirnya saja yang dipoles lipstick.
Sedikit demi sedikit batang kemaluanku melesak ke dalam liang memek Zie yang begini sempitnya. Meski belum melihat darah perawannya, aku percaya Zie ini masih perawan.
Setelah batang kemaluanku masuk lebih dari separohnya, mulailah aku mengayunnya perlahan - lahan dan hati - hati agar jangan sampai lepas.
Terasa tubuh Anastazie sampai bergetar - getar ketika kontolku mulai maju - mundur di dalam liang sanggamanya yang sangat sempit tapi sudah licin ini. Terlebih ketika entotanku mulai digencarkan, ia mulai menggeliat - geliat sambil mendesah - desah… mulai merintih - rintih histeris. “Aaaaaaaah…
Aku tersenyum sambil membisikinya, “Entot… bukan endot…”
“Iii… iiiyaaaaa… entoooottt… oooooh… kondolmu enak sekali Cheeeeep…”
“Kontol, bukan kondol…”
“Kontol? Iiii… iyaaaaaa… kontolmu enak sekali Chepiiii…”
“Memekmu juga enak Zie.”
“Mekmek?”
“Meeemeeek… !”
“Owh… memek, iya memek.”
Aku memaklumi kalau Zie salah sebut kata - kata jorok. Karena mungkin jarang sekali mendengar kata - kata vulgar.
Ketika entotanku masih agak pelan, aku sempat juga mengangkat badanku sambil memperhatikan batang kemaluanku yang sedang bermaju - mundur dalam memek berjembut brunette itu. Memang ada garis - garis darah di batang kemaluanku. Berarti benarlah pengakuan Zie, bahwa ia memang belum pernah merasakan hubungan sex sebelum kontolku menerobos virginitasnya ini.
Masuk di akal kalau Zie belum pernah merasakannya. Karena ia minder gara - gara toketnya yang kegedean untuk gadis yang baru berusia 18 tahun ini. Terlebih lagi Zie hidup di perantauan, bukan di negaranya sendiri. Sehingga ia menjadi seorang cewek yang kurang gaul di Nusantara.
Hal itu justru menjadi keberuntunganku. Karena tanpa diduga - duga Tante Irenka ngasih “bonus”, adiknya yang bertoket sangat gede dan masih perawan ini…!
Hanya beberapa menit aku mengayun batang kemaluanku dalam gerakan seret, karena sempitnya liang memek Zie ini. Namun setelah liang sanggama cewek bule ini beradaptasi dengan ukuran zakarku, aku pun bisa mempercepat genjotan kontolku sampai pada kecepatan normal.
Aku tak cuma mengayun kontolku, karena tangan dan mulutku pun mulai beraksi. Kukulum dan kusedot - sedot pentil toge kirinya, sementara tangan kiriku asyik meremas - remas toket super gede itu. Kalau dadaku menghimpit dada Zie secara lurus, kedua pentil toket Zie jadi berada di samping kanan dan kiri dadaku, saking lebarnya buah dada cewek bule itu.
Desahan dan rintihan Anastazie pun semakin menjadi - jadi. “Aaaaah… aaaaah… aaaahhhh… Cheeeeepiiiii… aaaaah… ooooooohhhhh… aaaaah… Chepiiii…”
Makin lama makin riuh juga rintihan - rintihan histeris cewek bule ini. Bahkan pada suatu saat ia berucap terengah, “Chepppiii… ooooh… rasanya vaginaku seperti mau ambrol… tapi… ini luar biasa enaknya… oooooohhhhh…”
“Itu pertanda mau orgasme Zie… ayo nikmati saja orgasmemu sepuasnya…” sahutku sambil menggencarkan entotanku.
Zie pun berkelojotan beberapa detik. Kemudian mengejang tegang sambil menahan nafasnya. Pada saat itulah kubenamkan kontolku sedalam mungkin, tanpa digerakkan lagi, karena ingin ikut merasakan indahnya perempuan yang sedang menikmati orgasme.
Lalu terasa liang sanggama Zie berkedut - kedut kencang, disusul dengan gerakan dinding liang memeknya yang seperti spiral membelit batang kemaluanku.
“Ooooooooh… “Zie melepaskan nafasnya, lalu terkulai lemas.
Pada saat yang sama, tiba - tiba terdengar suara Tante Irenka yang sudah melangkah ke dekat bed, “Wah… wah… waaaah… asyiknya sepasang anak muda yang tengah memadu birahi…”
Aku agak kaget dan langsung tersadar bahwa pintu sudah kututup tadi, tapi memang lupa menguncinya. Sehingga Tante Irenka bisa masuk ke dalam kamar ini. Tapi biarlah, aku malah senang melihat kehadiran Tante Irenka itu. Terlebih setelah ia melepaskan gaun tidur putihnya, sehingga tubuh indahnya langsung telanjang bulat, karena di balik gaun tidur putihnya itu tiada beha mau pun celana dalam.
Kemudian Tante Irenka naik ke atas bed. Mengusap - usap dahi Anastazie yang keringatan, “Kenapa kelihatan lemas gini?”
Aku yang menjawab, “Dia baru orgasme Tante.”
“Ohya?! Berarti giliranku dong sekarang,” ucap Tante Irenka sambil tersenyum menggoda.
Aku pun mencabut kontolku dari liang memek Zie. Dan kulihat di bawah bokong Zie ada genangan darah yang sudah mengering. Darah yang bisa dijadikan saksi, bahwa Zie masih perawan sebelum diterobos batang kemaluanku tadi.
Tante Irenka pun melihat darah yang sudah mengering di kain seprai itu. Lalu bergegas ia membuka lemari dan mengeluarkan seprai lain yang masih bersih. Ia mengajak Zie untuk bersama - sama memasang seprai baru itu.
Setelah merapikan seprai baru itu, Zie menggulung kain seprai yang sudah ternoda darah perawannya itu sambil menundukkan kepala.
“Nggak apa… itu hal biasa Zie,” kata Tante Irenka sambil memegang bahu adiknya, lalu mengecup pipinya.
Zie mengangguk sambil tersenyum.
“Nanti lihat dulu cara bersetubuh yang benar ya,” ucap Tante Irenka yang lalu naik ke atas bed dan menangkap batang kemaluanku. Lalu menjilatinya dengan lahap, sementara Zie pun naik ke atas bed sambil memperhatikan yang sedang dilakukan oleh kakaknya.
Aku memberi isyarat kepada Tante Irenka, sambil menunjuk ke arah Zie.
“Gak apa - apa. Zie sudah tau bahwa aku mendapat anjuran dari suamiku seperti Zie mendapat anjuran dariku.”
Lalu Tante Irenka mengoral kontolku dengan binalnya. Menyelomoti kepala dan leher kontolku, sementara tangannya mulai mengurut - urut badan kontolku. Terkadang kontolku dikulum sampai lebih dari setengahnya, disertai sedotan - sedotan dan gelutan lidah di dalam mulutnya.
Anastazie memperhatikan semua yang dilakukan oleh kakaknya dengan sorot serius sekali. Seolah murid yang sedang menyimak pelajaran dari gurunya.
Tante Irenka memang trampil sekali permainan oralnya. Mungkin Oom Safiq selalu harus dioral dulu agar ereksi. Maklum beliau sudah tua, hanya dua tahun lebih muda daripada Papa.
Tapi karena batang kemaluanku masih ngaceng berat, tak lama kemudian Tante Irenka mulai berusaha memasukkan kontolku ke dalam liang memeknya, sambil berjongkok, dengan kedua kaki berada di kanan - kiri pinggulku. Sambil memegang batang kemaluanku, Tante Irenka pun menurunkan memeknya yang sudah ternganga.
Kontolku mulai “ditelan” oleh liang memek Tante Irenka sedikit demi sedikit.
“Katanya cuma suka posisi missionary,” ucapku ketika batang kemaluanku sudah sepenuhnya berada di dalam jepitan liang memek istri Oom Safiq itu.
“Ini kan sedang ngajarin Zie,” sahut Tante Irenka yang lalu mengayun bokongnya seperti wanita sedang menunggang kuda. Sehingga batang kemaluanku terasa dibesot - besot oleh liang memek wanita bule itu.
Aku pun tidak tinggal diam. Meski sedang celentang, aku bisa mengentotkan kontolku di dalam cengkraman liang memek Tante Irenka. Sehingga kontolku bergerak secara berlawanan dengan memek Tante Irenka. Ketika liang memeknya turun, kontolku maju. Dan ketika dia menarik memeknya ke atas, aku pun menarik kontolku ke bawah.
Sementara Zie memperhatikan aksi kakaknya dengan sorot serius sekali. Sambil mengusap - usap memeknya sendiri.
Tapi hanya belasan menit Tante Irenka beraksi di atas tubuhku. Lalu ia mengelojot dan ambruk di atas dadaku sambil mengeluh, “Inilah yang aku tidak suka. Kalau main dalam posisi WOT, jadi cepat orgasme.”
“Aku kan gak minta Tante main di atas,” sahutku yang kuikuti dengan kecupan hangat di bibir sensualnya.
“Kan ngajarin Zie, biar dia tau banyak mengenai sex,” sahut Tante Irenka, “Lanjutin sama dia lagi gih. Dia udah horny lagi tuh.”
Aku memang sudah tahu, bahwa Zie sudah horny lagi. Karena itu setelah Tante Irenka mengangkat memeknya tinggi - tinggi, sehingga kontolku terlepas dari liang memeknya, aku pun spontan mendekati Zie yang masih mengusap - usap selangkangan dan memeknya.
Kudorong dada Zie sambil berkata, “Kita sih pakai posisi yang tadi aja ya. Kamu kan masih pemula. Biar hafal pelajaran pertama aja dulu.”
“Iya,” sahut Zie sambil tersenyum.
Terdengar suara Tante Irenka, “Kalau Chepi punya minat menikahi Zie, aku ijinkan. Asalkan hubunganku dengan Chepi tetap berjalan.”
Kusahut, “Tapi Zie harus jadi mualaf dulu. Karena di sini perkawinan antar dua agama tidak diijinkan. Harus ada salah seorang yang melebur.”
Tiba - tiba Zie berkata perlahan, “Aku sudah jadi mualaf sejak tiga tahun yang lalu.”
“Haaa?! Betul Zie sudah jadi mualaf Tante?” tanyaku sambil menoleh ke arah Tante Irenka.
“Betul, “Tante Irenka mengangguk, “Sejak kelas satu SMA dia sudah menjadi mualaf. Atas anjuran Oom Safiq. Karena Zie ingin punya suami orang Indonesia. Kalau aku dengan Oom Safiq kan nikahnya di catatan sipil Jerman. Makanya aku sampai sekarang belum jadi mualaf.”
Aku tidak menanggapi ucapan Tante Irenka itu, Karena sedang mengarahkan moncong kontolku di ambang mulut memek Zie.
Kali ini membenamkan batang kemaluanku ke dalam liang memek Zie, tidaklah sesulit yang pertama tadi. Karena liang memeknya masih melar dan cepat beradaptasi dengan ukuran batang kelelakianku.
Maka tak lama kemudian kontolku sudah bisa “memompa” liang memek cewek bule itu. Aku pun bisa merasakan kembali nikmatnya mengentot liang memek yang masih sangat sempit ini. Sementara Zie pun mulai mendesah dan merintih histeris lagi.
“Chepiii… ooooohhhh… Chepiiii… oooooohhhhh… ini luar biasa enaknya Cheeeep… aaaaaaah… aaaaah… Cheeepiiii… aaaaa… aaaaah… aaaah… Chepiiii… aaaaah… aaahhhhh… aaaaahhhhh…”
Tante Irenka tampak sayang sekali kepada adiknya. Ia duduk di dekat kepala Zie dan membelai rambut adiknya. Terkadang diciuminya dahi Zie. Di saat lain ia mencium bibirku dengan mesranya.
Sedangkan Zie tetap merintih - rintih histeris dengan mata terpejam - pejam.
Kali ini cukup lama aku menyetubuhi Zie. Sehingga keringat pun mulai membanjiri tubuhku, bercampur aduk dengan keringat cewek bule itu.
Kali ini aku tak bisa mempertahankan diri lagi. Ketika Zie mulai berkelojotan, aku pun sudah tiba di detik - detik krusialku. Maka kugencarkan entotanku. Dan ketika Zie mengejang tegang, kupertahankan agar jangan ejakulasi dulu. Karena aku meletuskan lendir kenikmatanku dalam jepitan sepasang toket super gede itu.
Setelah terasa liang memek Zie berkedut - kedut kencang, cepat kucabut kontolku dari liang memek Zie. Lalu aku bergerak sedemikian rupa, sehingga batang kemaluanku berada di antara sepasang toket Zie.
Tante Irenka pun ikut campur, karena Zie belum tahu apa yang harus dia lakukan. Ditekannya sepasang toket gede Zie dari kanan - kirinya, sehingga terasa menjepit kontolku yang hampir muncrat ini.
Lalu… kontolku mengejut - ngejut di dalam jepitan sepasang toket Zie.
Croootttt… crooottt… crotttcrottt… croooottttttt… crooottttt… croootttt…!
Air maniku bermuncratan ke leher dan ke wajah Zie… Tante Irenka pun dengan lahapnya menjilati air maniku. Sementara Zie pun menggunakan tangannya untuk memasukkan air maniku ke dalam mulutnya. Kemudian menelannya, seperti juga Tante Irenka yang menjilati air maniku di setiap bagian yang menciprati wajah dan leher Zie.
Lalu aku terkapar lemas, diapit oleh Tante Irenka dan adiknya.
Kami pun tertidur dnegan nyenyaknya, dalam keadaan telanjang semua.
Ketika aku terbangun keesokan paginya, Tante Irenka dan Zie sudah tidak ada di atas bed. Mungkin mereka sudah masuk ke kamarnya masing - masing. Aku pun turun dari bed dan masuk ke kamar mandi. Lalu mandi sebersih mungkin dan mengenakan pakaian lengkap. Karena aku teringat banyak yang harus kuselesaikan hari ini.
Begitu aku selesai berpakaian, Zie muncul dalam daster putih bersihnya. Dengan senyum manis di bibir sensualnya dan ucapan, “Selamat pagi Chepi Tercinta…”
“Selamat pagi Zie Cantik,” sahutku sambil memeluknya, disusul dengan ciuman mesra di bibirnya.
“Udah lama bangun?” tanyaku.
“Sejam yang lalu. Mmm… ada sesuatu yang berubah padaku pagi ini,” sahut Zie.
“Apa tuh? Ohya… kamu jadi semakin cantik pagi ini Zie.”
“Bukan masalah wajah. Ini nih yang berubah,” ucap Zie sambil menyingkapkan daster putihnya.
Ternyata Zie memamerkan memeknya yang tidak bercelana dalam. Memek yang sudah dibersihkan jembutnya. Membuatku terlongong dan mendorong dada Zie agar celentang di atas bed.
Lalu kuamati memek Zie dari jarak dekat sekali. “Dicukur?”
“Pakai wax,” sahutrnya, “Irenka yang ngewaxing tadi. Dia bilang sekarang sudah gak zamannya lagi membiarkan jembut tumbuh.”
“Pantesan bersih sekali. Mmm… memekmu cantik sekali Zie,” ucapku disusul dengan ciuman - ciuman lahap di memeknya yang sudah berubah drastis itu.
“Terima kasih.”
“Tapi sekarang aku banyak kerjaan yang harus diselesaikan Sayang. Sedangkan luka di dalam vaginamu juga harus kering dulu. Nanti kalau sudah benar - benar sembuh lukanya, call aku ya.”
“Iya. Tapi aku ingin menyampaikan sesuatu Chep.”
“Apaan tuh?”
Zie menciumi pipiku, lalu berbisik di dekat telingaku, “Aku cinta kamu Chep.”
“Sama. Aku juga mencintaimu. Tapi bisakah kamu menerima Irenka yang sudah duluan punya hubungan denganku?”
“Nggak apa - apa. Aku dan Irenka saling menyayangi kok.”
“Sukurlah kalau begitu. Pokoknya kita bertiga nanti harus selalu kompak ya.”
Zie mengangguk sambil tersenyum manis.
Setelah tukaran nomor hape dengan Zie, aku pun menghampiri Tante Irenka dan Oom Safiq di kursi rodanya, dalam ruang keluarga. Untuk pamitan pulang.
“Lho… masa gak makan sarapan pagi dulu Chep?” tanya Tante Irenka.
“Gak usah Tante. Aku harus ke kantor dulu, banyak yang harus dikerjain hari ini.”
Ketika aku berjongkok di depan kursi roda Oom Safiq dan mencium tangan adik Papa itu, Oom Safiq mengusap - usap rambutku, “Terima kasih atas bantuanmu Chep. Aku minta agar Chepi datang ke sini secara rutin ya. Minimal seminggu dua kali.”
“Iya Oom. Kalau tidak sibuk, pasti aku akan datang ke sini.”
Tante Irenka mau mengantarkanku ke rumah. Tapi aku menolaknya, karena takut merepotkan. Maka pagi itu aku pulang ke rumah dengan memakai taksi.
Setibanya di rumah, aku langsung menjumpai Nike di ruang kerjaku.
Setelah mencium bibirnya, aku berkata, “Ayo ikut aku sekarang Beib.”
“Siap, “Nike langsung berdiri dan mengikuti langkahku menuju garasi.
Beberapa saat kemudian aku sudah berada di belakang setir mobil kesayanganku. Nike pun sudah duduk di samping kiriku.
Yang kutuju adalah restoran langgananku. Untuk menyantap sarapan pagi bersama kekasih utamaku.
“Seandainya pernikahan kita dipercepat, gimana Beib?” tanyaku pada waktu menyantap mie goreng seafood, sementara Nike menyantap lasagna.
“Kalau Abang menganggap hal itu jalan yang terbaik, aku setuju aja,” sahut Nike dengan senyum manisnya yang senantiasa membuat hatiku sejuk.
“Dua bulan lagi kantor baru kita selesai pembangunannya. Aku ingin agar pernikahan kita dilaksanakan sebelum pembukaan kantor baru itu. Karena kamu akan kuangkat sebagai dirut, sementara aku akan menjadi komisaris utamanya.”
“Wow… aku mau dijadikan dirut?” ucap Nike dengan sorot ceria.
“Iya. Kalau sudah jadi istriku, masa mau jadi sekretaris terus. Lagian belakangan ini kamu sudah sering mempelajari buku - buku managemen kan?”
“Sering. Malah isinya sudah ngelotok di dalam otakku.”
“Aku percaya dalam soal itu sih. Lagian tau bahwa mayoritas orang Tionghoa bisa bekerja secara profesional dalam bidangnya masing - masing.”
Selesai sarapan, kutujukan mobilku ke arah kompleks perumahan yang paling elit di kotaku. Tepatnya sekitar 25 kilometer di luar kotaku.
“Mau mengunjungi relasi bisnis?” tanya Nike setelah mobilku memasuki gerbang perumahan elit itu.
“Nggak,” sahutku “Aku mau membelikanmu rumah baru yang layak untuk ditempati oleh seorang dirut sekaligus istri tercintaku.”
“Wow! Rumah - rumah di sini milyaran harganya Honey.”
“Nggak apa - apa. Kebetulan bisnisku di Surabaya sukses. Karena itu kamu harus punya rumah sendiri. Bahkan sebagai seorang dirut, kamu juga harus punya mobil.”
“Apakah itu tidak berlebihan Honey?”
“Tidak berlebihan. Karena aku menyesuaikan dengan statusmu kelak, lagian kebetulan rejekinya ada.”
Kemudian kami mendatangi kantor managemen perumahan itu. Kebetulan banyak rumah baru yang siap huni. Kusuruh Nike memilih sendiri rumah mana yang disukainya.
Setelah memilih - milih, akhirnya pilihan Nike jatuh pada sebuah rumah yang punya dua kamar di lantai satu dan sebuah kamar di lantai dua.
Kemudian kami langsung diantar oleh pihak managemen untuk melihat - lihat rumah baru itu. Tentu saja rumahnya masih kosong, belum ada perlengkapannya. Tapi tampaknya Nike langsung jatuh cinta kepada rumah itu, karena di samping rumah itu ada sebuah taman untuk bermain anak - anak.
“Kalau sudah punya anak nanti, tak usah main jauh - jauh. Diasuh di taman itu aja,” kata Nike.
“Iya, “aku mengangguk sambil tersenyum, “Besok furniture dan perabotan lainnya kita beli.”
“Ohya… kantor baru itu kan gak jauh dari sini kan?”
“Iya. Dari gerbang perumahan ini hanya duaratus meteran jaraknya. Jadi letak rumah ini sangat strategis kan?”
“Iya. Tapi Mama pasti sedih ditinggal sendirian di rumah kelak.”
“Ajak aja mamamu pindah ke sini. Kan kamarnya ada tiga tuh. Kalau kurang, bangun lagi kamar baru di tanah yang masih kosong di belakang itu. Jadi mamamu bisa tinggal di sini. Niko juga kalau pas lagi datang, bisa nginap di sini.”
“Mama boleh diajak pindah ke sini?” tanya Nike.
“Tentu aja boleh. Kan kamu juga harus punya teman di sini. Karena aku takkan bisa setiap malam tidur di sini.”
“Iya iya… aku mengerti soal itu sih. Abang kan pasti sibuk sekali.”
Aku tidak menanggapinya. Karena aku teringat Tante Esther, mamanya Nike itu.
Sejauh ini aku dan Tante Esther masih bisa menutupi hubungan rahasiaku dengan Tante Esther. Padahal paling telat seminggu sekali aku suka mendatangi rumahnya, sementara Nike sedang berada di kantor. Bukan cuma menyetubuhi mamanya Nike itu, tapi juga diam - diam aku sering memberinya uang untuk kebutuhan sehari - harinya.
Setelah membayar DP rumah itu di kantor managemen dan berjanji untuk melunasinya besok di depan notaris yang biasa dipakai oleh managemen perumahan itu, aku mengantarkan Nike ke kantor lagi. Kemudian aku mengarahkan mobilku menuju rumah Papa.
Selama aku di Surabaya, aku teringat terus pada Mamie dan anakku yang sudah diberi nama oleh Papa itu. Adelanie namanya. Gabungan antara nama Papa dengan Mamie. Adrian dan Melanie.
Papa sempat nelepon aku, apakah aku setuju dengan nama yang akan diberikan kepada “adikku” yang sebenarnya anakku itu? Aku pun spontan menyetujuinya. Karena secara hitam di atas putih, bayi itu anak Papa dan Mamie. Tapi secara biologis, Adelanie itu anak pertamaku.
Setibanya di rumah Papa, kukeluarkan sebotol parfum impor dan setangkai bunga mawar merah dari laci dashboard mobilku. Kulihat tidak ada mobil Papa di garasi, karena saat itu jam kerja. Kemudian aku berjalan mengendap - endap menuju kamar Mamie.
Kebetulan pintunya sedikit terbuka, sehingga aku bisa masuk ke dalam kamar Mamie. Ternyata Mamie sedang meneteki anakku. Dan Mamie terbelalak melihatku sudah berdiri di dalam kamarnya, sambil menyembunyikan parfum dan bunga mawar merah di punggungku.
“Chepi Sayang… ke mana aja selama ini?” tanya Mamie sambil membiarkan Adelanie tetap
“Kan di Surabaya Mam.”
“Oh iya, Papa bilang kamu sedang ngurus penjualan kapal - kapal tanker itu ya?”
“Betul. Baru tadi malam pulang,” sahutku sambil menyerahkan parfum dan setangkai bunga mawar itu kepada Mamie, sambil berlutut di dekat kakinya.
“Mmmm… you are so sweet and romantic… “Mamie menerima pemberianku dengan sebelah tangan, karena tangan satunya lagi sedang menahan aisan Ade.
Ketika Mamie mencium bunga mawar itu, kulingkarkan lenganku di pinggangnya. Dan bertanya setengah berbisik, “Sekarang sudah boleh ditengok memeknya?”
“Belum Sayang. Secara tradisional harus empatpuluh hari setelah melahirkan baru boleh digituin. Sekarang sebulan juga masih kurang empat hari. Jadi… dua minggu lagi deh mamie kasih gumurihnya sama kamu.”
“Gumurih? Apa itu gumurih?”
“Kan setelah empatpuluh hari sehabis melahirkan, rasanya enak sekali katanya. Bahkan ada yang bilang lebih enak dari perawan. Itulah yang disebut gumurih.”
“Ohya? Kalau gitu biarin deh aku mau bersabar selama dua minggu. Aku juga ingin merasakan seperti apa enaknya memek yang sedang gumurih itu.”
“Iya. Nanti kamu akan mendapat prioritas pertama. Sebelum dikasihkan sama Papa, kamu dulu yang akan merasakannya.”
Sebenarnya aku merasa kecewa juga, karena tidak bisa menyetubuhi Mamie. Hal itu membuatku jadi gragasan. Maka ketika Mamie sedang menidurkan Ade, aku keluar dari kamarnya dan menghampiri adik Mamie yang bernama Anna itu. Lalu kubisikkan sesuatu di dekat telinganya. Tapi apa jawabannya? “Aku lagi datang bulan Sayang.
Akhirnya aku pulang lagi ke kantorku, karena saat itu baru jam duabelas siang. Masih jam kerja.
Tapi di kantor sedang sepi. Karena jam makan siang. Karyawan dan karyawatiku memang diijinkan untuk makan di luar selama sejam. Tadinya Mbak Nindie yang mengurus makanan mereka. Tapi belakangan Mbak Nindie lebih sering tinggal di rumahnya dan tidak mengurusi makan karyawanku lagi. Sehingga karyawanku diijinkan untuk makan di luar sambil istirahat selama sejam.
Tiba - tiba satpam memberitahuku bahwa di luar ada seorang wanita yang ingin menghadap padaku. Meski kantor sedang istirahat, kuijinkan tamu itu masuk ke ruang kerjaku.
Alangkah kagetnya aku ketika kulihat tamu itu, seorang wanita bule yang sudah sangat kukenal, karena beliau dosenku yang blasteran Indo-Spanyol bernama Claudia…!
“Chepi?!” ucapnya setelah berhadapan denganku.
“Bu Claudia?!” sahutku dengan perasaan resah. Takut mempertanyakan kenapa aku cuti kuliah selama setahun.
“Jadi yang pasang iklan itu Chepi?”
“Iya Bu. Silakan duduk.”
“Kantornya sepi begini Chep?” Bu Claudia duduk di sofa ruang tamu kantor.
“Sedang pada makan siang Bu.”
“Owh. Jadi kesibukan dalam bisnismu yang membuat cuti kuliah dua semester Chep?”
“Betul Bu. Terus Ibu mau menitipkan siapa?”
“Aku datang untuk diriku sendiri Chep. Karena membaca iklanmu itu.”
“Ibu kan dosen. Masa mau nyari kerja pula.”
“Why not? Kalau ada pekerjaan yang punya prospek lebih bagus, apa salahnya aku beralih profesi?”
“Ibu pakai apa ke sini?”
“Pakai taksi.”
“Kalau begitu bisa Ibu ikut aku ke kantor yang baru akan dibuka dua bulan lagi?”
“Boleh.”
“Nanti kita ngobrolnya di sana saja ya Bu.”
“Iya Boss.”
“Aaah, jangan manggil boss dulu lah. Ibu kan belum jadi karyawati saya.”
Aku memang memasang iklan di media cetak dan elektronik. Isinya, mencari tenaga profesional untuk beberapa posisi manager. Tapi gak nyangka kalau dosen yang terkenal jutek di kampus itu akan melamar kerja pula.
Tak lama kemudian Bu Claudia sudah berada di dalam mobilku, menuju kantor yang masih dibangun dan mendekati tahap finishing itu.
Kantor yang sedang dibangun itu terletak di luar kota, dekat perumahan di mana aku sudah membelikan rumah untuk Nike itu.
Dosen - dosen di kampusku memang banyak blasterannya. Bahkan yang asli bule juga ada. Tapi tentu saja mereka sudah bisa berbahasa Indonesia semua.
Menurut berita dari mulut ke mulut, Bu Claudia itu blasteran Indo Spanyol. Ayahnya orang Indonesia, ibunya orang Spanyol. Tapi melihat dari bentuknya yang tinggi langsing itu, Bu Claudia itu seperti bule asli. Tidak kelihatan darah Indonesianya sedikit pun.
Bu Claudia memang cantik. Tapi sayang, sikapnya di kampus selalu jutek. Sehingga aku kurang menyukainya. Tapi kalau dia menjadi anak buahku kelak, pasti lain lagi masalahnya.
“Ibu ingin mengisi posisi yang mana?” tanyaku ketika mobilku sudah meluncur di jalan raya.
“Maunya sih manager marketing. Biar sesuai dengan pendidikanku Chep.”
Meski Bu Claudia itu dosenku, tetap kupertimbangkan keinginannya secara profesional. Terutama setelah aku tahu sikap sehari - harinya yang jutek itu. Mungkin lebih tepat beliau kutempatkan sebagai manager produksi.
Maka tanyaku, “Kalau manager produksi bagaimana?”
“Yang diproduksi apa saja Chep?” Bu Claudia balik bertanya.
Lalu kujelaskan apa saja yang akan diproduksi setelah perusahaan baru itu aktif.
“Kalau jadi manager produksi, aku harus belajar dulu dong. Aku kan harus menguasai ilmu mengenal barang - barang yang diproduksi itu,” kata Bu Claudia.
“Jadi Ibu berkeras ingin mendapatkan jabatan manager marketing?” tanyaku.
“Bukan berkeras… aku cuma memohon padamu agar ditempatkan sebagai manager marketing,” sahut Bu Claudia dengan suara memohon.
“Maaf Bu… boleh aku bicara terus - terang?”
“Tentu aja. Sebaiknya kita sama - sama berterus terang Chep,” sahut Bu Claudia sambil memegang lutut kiriku. Nah… ini pertama kalinya dosen jutek itu menyentuh fisikku.
Tapi aku berusaha untuk tetap bersikap profesional. Maka kataku, “Di samping pendidikannya harus sesuai dengan jabatannya, manager marketing itu harus ramah dan murah senyum Bu.”
“Hihihi…! Kamu nyindir ya? Karena aku jarang tersenyum di kampus?”
“Tidak pernah tersenyum. Bukan jarang lagi.”
“Di kampus kan beda dengan di perusahaan Chep. Nih lihat… sekarang aku tersenyum buat Chepi…”
Aku menoleh. Gila… dia tersenyum padaku dalam jarak yang sangat dekat dengan wajahku.
“Nah… kalau tersenyum begitu… kelihatan jelas bahwa Ibu ini sangat cantik.”
“Masa sih?! Mmm… sebenarnya ada latar belakang yang membuatku sering kelihatan murung di kampus. Murung ya, bukan jutek.”
Aku tidak menanggapi.
Bu Claudia melanjutkan, “Suamiku menderita kanker hati. Hal itu sangat menyita waktuku. Membuatku murung juga. Dan akhirnya, enam bulan yang lalu suamiku meninggal.”
“Owh… maaf… aku ikut belasungkawa Bu.”
“Terima kasih.”
“Tapi sekarang Ibu sudah bisa move on kan?”
“Dari mana Chepi tau kalau aku sudah mulai move on?”
“Sekarang Ibu kan sudah bisa tersenyum dan tertawa.”
“Iyalah. Suamiku sudah beristirahat untuk selama - lamanya. Sementara aku harus berjuang terus untuk menghidupi diriku sendiri.”
“Bu Claudia belum punya anak?”
“Belum.”
“Kalau masalahnya seperti itu, mungkin aku bisa mempertimbangkan Ibu untuk menduduki jabatan manager marketing.”
“Naaah… aku bahagia sekali mendengarnya.”
Kemudian aku menjelaskan gaji dan profit yang akan dia terima setelah menjadi manager marketing nanti. Tentu saja Bu Claudia kaget, karena nominal gaji dan profitnya pasti jauh di atas gajinya sebagai dosen.
Tiba - tiba Bu Claudia mencium pipi kiriku, disusul dengan ucapan, “Jadikan aku manager marketing ya. Aku mohon Chep…”
Aku terkesiap, karena tak menduga bakal mendapat kecupan di pipi segala. Maka aku pun tidak bisa bersikap kaku lagi. Kubelokkan mobilku ke bahu jalan, lalu kuhentikan tapi mesinnya tetap aktif.
“Kenapa berhenti di sini Chep?” tanyanya.
“Ciuman Ibu barusan membuat hatiku berdesir. Jadi harus kutenangkan dulu.”
“Hihihiii… kamu bisa aja. Kalau aku diterima sebagai manager marketing, nanti aku berikan semuanya untukmu Chep.”
“Terus profesi Ibu sebagai dosen gimana?”
“Ya ditinggalkan aja. Aku ingin move on dan seolah dilahirkan kembali, dengan profesi dan suasana baru.”
“Ibu lihat bangunan yang belum selesai di sebrang jalan itu?”
“Owh… keren sekali… itu bangunan yang akan dijadikan kantor barumu Chep?”
“Iya. Mau lihat - lihat ke sana?”
“Gak usahlah. Kecuali kalau Chepi mau memeriksanya ke sana.”
“Aku tidak ada urusan dengan buruh yang sedang bekerja di situ. Aku hanya berurusan dengan kontraktornya. Kalau dua bulan lagi belum siap juga, aku pasti claim nanti.”
“Kalau Chepi gak keberatan, sekarang anterin aja aku pulang. Supaya Chepi tau di mana rumahku.”
“Boleh. Tapi kita makan siang dulu ya.”
“Terserah Boss,” sahutnya sambil tersenyum.
Gila… dalam keadaan tersenyum seperti itu, Bu Claudia memang cantik sekali. Terutama matanya yang sayu dan bibibrnya yang sensual itu… membuatku jadi rikuh. Ingin sekali mencium bibirnya. Tapi aku masih menghormatinya sebagai dosenku.
Tapi Bu Claudia seolah tahu apa yang kuinginkan. Dan… ia mendahuluiku. Mencium bibirku dengan mesranya. Membuatku gelagapan, tapi lalu kulingkarkan lenganku di lehernya. Dan melumat bibirnya dengan lahap.
Bermenit - menit kami saling lumat bibir di dalam mobilku yang kacanya gelap semua ini. Tanpa rasa takut kelihatan dari luar.
Setelah ciuman kami terlepas, Bu Claudia menyandarkan kepalanya di bahu kiriku. Lalu terdengar suaranya, “Kalau aku diangkat sebagai manager marketing, Chepi akan menjadi orang pertama move-on ku.”
Aku tidak cepat menyahut, meski hatiku sudah menerimanya. “Sekarang kita isi perut dulu ya. Kalau perut lapar, tidak bisa bicara secara normal.”
Tapi Bu Claudia bicara terus: “Kalau aku dijadikan manager marketing, dijadikan perempuan simpananmu pun aku siap Boss.”
“Is that your promise?” tanyaku.
“Yes. That’s my promise,” sahutnya.
Di belakang setir mobil yang sudah kujalankan di jalan raya, aku membayangkan seandainya hal itu terjadi. Bahwa dosenku yang usianya 31 atau 32 tahunan, yang kulitnya bule, berperawakan tinggi langsing dan sangat cantik itu menjadi simpananku… pasti menyenangkan.
Lalu belokkan mobilku ke pelataran parkir sebuah restoran bertaraf internasional.
Suasana di dalam restoran itu kebetulan sedang lengang, karena jam makan siang sudah lewat. Sudah jam empat sore.
Sementara itu suasana perasaanku jadi berubah drastis kalau dibvandingkan dengan suasana di kampus. Karena Bu Claudia terus - terusan menatapku dengan mata sayunya, bibir sensualnya pun menyunggingkan senyum manis terus.
Aku memesan steak double combo, whiskey cola dan kopi esspresso tanpa gula. Sementara Bu Claudia memesan spaghetti bolognesse, hot wings dan juice guava.
“Jadi keputusannya gimana? Apakah aku diterima?” tanya Bu Claudia pada suatu saat.
“Dua - duanya diterima,” sahutku.
“Dua - duanya gimana?”
Akuj menengok ke sekitarku, karena takut ada yang ikut nguping pembicaraan kami. Setelah merasa aman, aku berkata perlahan, “Diterima sebagai manager marketing dan menjadi perempuan simpananku.”
“Hihihiii… point kedua sih bukan lamaran. Harus Chepi yang nembak duluan.”
“Ya udah, sekarang kutembak… dooorrr…” ucapku sambil menodongkan telunjukku ke dada Bu Claudia.
Bu Claudia memegang dadanya sambil memejamkan mata dan berkata, “Aku siap meladeni boss siang mau pun malam.”
Aku yang duduk di sampingnya pun mendekatkan mulutku ke telinganya, lalku berbisik, “Si dede langsung bangun Sweetheart…”
Bu Claudia menatapku dengan bola mata bergoyang. Dan berkata perlahan, “Nanti nginep aja di rumahku ya.”
“Boleh?”
“Boleh lah. Aku kan sendirian di rumah. Ada juga pembantu, biasanya jam segini sudah pulang.”
“Oke. Untuk pendekatan profesi dan pribadi, aku akan tidur di rumah Ibu.”
“Aku kan calon anak buahmu. Jangan manggil Ibu lah. Panggil apa saja asal jangan manggil Ibu.”
“Manggil Beib boleh?”
“Hihihiii… iya… enak juga dipanggil beib sama brondong.”
“Umurku sudah sembilanbelas tahun Beib.”
“Iya… sebelas tahun lebih muda dariku.”
“Memangnya udah tigapuluh tahun? Kelihatannya kayak di bawah duapuluhlima.”
“Masa sih?! “Bu Claudia mengerling centil. Memang perempuan paling suka kalau dibilang cantik dan lebih muda daripada usianya. Padal tadi aku mengira usianya sudah di atas 30 tahun. Ternyata pas 30.
“Itu kopi esspresso tanpa gula?”
“Iya.”
“Bagus tuh minum kopi tanpa gula. Biar terasa manfaatnya. Apalagi espresso begitu.”
“Iya Beib.”
Bu Claudia mengerling manja lagi mendengar sebutan Beib terlontar dari mulutku.
Setelah selesai makan, kami tinggalkan pelataran parkir restoran itu, menuju ke rumah Bu Claudia. Ternyata rumahnya terletak di kompleks perumahan kelas menengah. Tidak sederhana namun tidak terlalu mewah.
Tapi begitu masuk ke dalam rumah dosenku itu, kelihatan penataannya serba klasik. Mungkin almarhum suaminya punya selera serba klasik. Tapi untuk seorang dosen seperti Bu Claudia, penataan serba klasik begitu memang cocok. Sehingga segalanya tampak serba intelektual.
“Mau minum apa?” tanya Bu Claudia setelah aku duduk di ruang tamu.
“Gak usah repot - repot. Duduk aja sini,” kataku sambil menepuk sofa klasik yang tengah kududuki.
“Sebentar ya. Mau ganti baju dulu,” sahutnya sambil melangkah masuk ke dalam.
Aku ditinggalkan sendirian di ruanmg tamu itu. Dengan perasaan seperti sedang bermimpi. Bahwa Bu Claudia yang terkenal jutek di kampus itu, kini hampir berada di dalam genggamanku.
Tak lama kemudian Bu Claudia muncul lagi. Sudah mengenakan gaun tanpa lengan yang terbuat dari bahan kaus berwarna biru tua.
Tadinya kupikir dia akan langsung duduk di sampingku. Tapi ternyata tidak. Dia malah berdiri di depanku sambil menyingkapkan gaun kaus birunya tinggi - tinggi, sehingga paha putih mulusnya terlihat jelas.
“Bagaimana? Apakah aku punya nilai yang sesuai dengan kriteriamu untuk dijadikan kekasih rahasiamu?”
“O my God! Sa… sangat sesuai…!” sahutku dengan mata melotot.
Aku masih berdiri terpaku ketika Bu Claudia sedang menelanjangi dirinya tanpa keraguan sedikit pun. Begitu mulus tubuh tinggi semampainya. Mulai membayangkan betapa romantisnya kalau aku sudah menggaulinya nanti.
Lalu ia menarik pergelangan tanganku. Dan menuntunku masuk ke dalam kamarnya.
Di dalam kamarnya itulah ia melepaskan busanaku sehelai demi sehelai sampai tubuhku telanjang bulat seperti dirinya. Dan… ia spontan menggenggam kontolku yang sudah agak tegang ini sambil berdesis, “Yessssss… Chepi punya kejutan… bahwa di balik wajah tampan ini ternyata penis Chepi ini XL size…
Lalu ia meraihku ke atas bednya yang berbentuk klasik, seperti tempat tidur para raja di Eropa pada zaman dahulu.
“Bentuk Chepi perfect sekali. Aku yakin bisa move on, lalu akan menjadikan Chepi satu - satunya kekasihku,” ucap Bu Claudia sambil menghimpit dadaku, laluj menciumi bibirku dengan lahapnya.
Sementara aku asyik meremas - remas bokongnya yang indah. Tidak terlalu gede, tapi juga tidak tepos.
Karena Bu Claudia mewnelungkupi dada dan perutku, dengan sendirinya kontolku bertempelan dengan memeknya. Dan ini membuat nafsuku semakin menjadi - jadi. Kontolku pun mulai sangat ngaceng. Namun aku tidak langsung menerjang memeknya yhang bersih plontos itu. Aku masih suka beraksi dari perut ke atas.
Dan pada suatu saat aku mulai melorot turun. Wajahku pun mulai berhadapan dengan kemaluan Bu Claudia yang tercukur bersih. Dan tanpa ragu aku mulai menjilati kemaluannya yang tampak jelas lipatan - lipatan kulitnya itu, sambil mendorong sepasang pahanya agar merenggang selebar mungkin.
Terdengar suara Bu Claudia, “Ooooh… sejak suamiku meninggal, ini pertama kalinya vaginaku disentuh lelaki Chep…”
Aku tidak menjawabnya, karena mulutku sedang terbenam di permukaan memek Bu Claudia. Memek yang membuatku tenggelam dalam keasyikan. Karena memek Bu Claudia ini sedagalanya serba jelas. Mana bagian luar dan bagian dalamnya, mana pula kelentitnya. Setelah lidahku puas menggasak bagian dalamnya, lalu mengarah ke kelentitnya yang tampak jelas itu, sementara jari tengahku pun mulai kubenamkan ke dalam liang memeknya.
Bu Claudia menggeliat - geliat sambil merintih - rintih manja, “Chepppiii oooo… ooooh Cheeeep… Cheeepiiiii… ooooh… Cheeeepiiii… su… sudah… jangan terlalu lama jilatinnya… nanti keburu becek Cheeep… !”
Mendengar rintihan Bu Claudia seperti itu, aku pun cepat menjauhkan mulutku dari memek gundulnya, lalu meletakkan moncong kontolku tepat di ambang “pintu” dosenku. Dan dengan sekuat tenaga kudorong kontol ngacengku… langsung melesak masuk ke dalam liang memek dosenku yang 75% bule itu… blessss…
Bu Claudia merangkul leherku ke dalam pelukannya. Disusul dengan ciuman yang bertubi - tubi di bibirku.
Setelah ciuman itu terlepas, aku bergumam, “Serasa bermimpi… dosenku yang selalu jutek di kampus, sekarang bisa jadi milikku…”
“Iya. Aku memang sudah jadi milikmu sekarang Boss…” sahutnya sambil tersenyum manis.
Aku pun mulai mengayun batang kemaluanku, bermaju - mundur di dalam liang memek yang terasa ngepas dengan keinginanku. Terlalu sempit tidak, longgar pun tidak. Pokoknya aku bisa menggerakkan kontolku secara leluasa. Dan gesekan antara kontolku dengan dinding liang memek Bu Claudia ini, terasa sekali.
Ternyata Bu Claudia pun merasakan hal yang sama. Ketika kontolku mulai mengentot liang sanggamanya sambil menjilati lehernya, ia berbisik terengah, “Chepi… ooooh… belum pernah aku merasakan ML yang seenak ini Chep… ooooh… aku jadi langsung jatuh hati padamu… langsung sayang padamu Chep…
“Sayangnya seorang dosen kepada mahasiswanya?” pancingku.
“Aku malu mengakuinya. Ini sudah bukan sayang biasa Chep… aku sudah jatuh cinta padamu… karena… karena kamu sangat memenuhi kriteriaku. Malu aku mengakui hal ini. Oooh… karena kamu jauh lebih muda dariku…”
“Cinta tidak mengenal usia Beib…” ucapku yang kususul dengan ciuman lahapku di bibir sensualnya. Sambil mempergencar entotanku. Bu Claudia pun semakin menggeliat - geliat dan merintih - rintih histeris. “Cheppiii… oooh… cheeeep… aaaaah… aaaaaa… aaaaah… Cheeeepiiiii… aaaaa…
Di saat lain, kuemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket mediumnya yang masih sangat kencang itu. Semakin merem melek juga lah mata sayu dosenku itu.
Bahkan ketika aku mulai gencar menjilati ketiaknya yang bersih dan harum itu, disertai dengan sedotan - sedotan kuat, tubuh tinggi putih mulus itu pun semakin menggeliat - geliat dan mengejang - ngejang.
Aku pun semakin gencar mengentotnya, sambil menjilati leher jenjangnya atau ketiak bersih harumnya.
Cukup lama aku melakukan semuanya ini. Sehingga keringat pun mulai membasahi tubuhku, bercampur aduk dengan keringat Bu Claudia.
Sampai pada suatu saat, Bu Claudia mulai memperlihatkan gejala - gejala akan mencapai orgasmenya. Ia mengejang tegang… tegang sekali. Sementara nafasnya tertahan, matanya pun terpejam.
Lalu… kurasakan liang memeknya seperti spirel… seperti ular yang sedang membelit batang kemaluanku. Disusul dengan hembusan nafasnya yang tertahan beberapa detik, “Aaaaaaaah… indah sekali Chep…”
Lalu ia berkali - kali mendaratkan kecupan mesranya di bibirku.
“Udah orgasme?” tanyaku.
“Udah.”
“Tapi aku masih jauh.”
“Lanjutin aja. Gak apa - apa. Siapa tau aku bisa orgasme lagi nanti.”
Aku pun melanjutkan aksiku, mengayun batang kemaluanku dalam kecepatan standar. Memang liang memek Bu Claudia jadi licin sekali, sehingga kontolku lancar mengentotnya. Tapi anehnya liang memek wanita 75% bule itu tidak becek. Padahal biasanya wanita yang sudah orgasme, liang memeknya jadi becek. Memek Tante Irenka juga becek memeknya setelah orgasme.
Ketika aku sedang asyik - asyiknya mengentot Bu Claudia, tiba - tiba dosenku berbisik, “Ganti posisi yuk. Aku di atas. Gimana?”
“Oke, “aku menghentikan entotanku. Lalu mencabut kontolku dari liang memek wanita bule itu.
Kemudian aku menelentang, sementara Bu Claudia berusaha memasukkan moncong kontolku ke dalam memeknya. Dan ketika memeknya itu menurun, bleessss… kontolku pun langsung membenam ke dalam liang memek Bu Claudia yang licin dan hangat itu.
Tadinya kupikir Bu Claudia akan melakukan posisi seperti penunggang kuda di atas tubuhku. Tapi ternyata tidak. Setelah kontolku membenam ke dalam liang memeknya, Bu Claudia menghempaskan dadanya ke atas dadaku. Sehingga aku berinisiatif untuk mengayun kontolku, meski posisiku berada di bawah. Sementara Bu Claudia pun mengayun memeknya untuk membesot - besot kontolku.
Namun beberapa saat kemudian Bu Claudia lebih asyik mencium dan melumat bibirku, sementara memeknya hanya bergerak sedikit - sedikit. Tentu saja aku harus berperan untuk beraksi. Dengan mengayun kontolku segencar mungkin, sambil meremas - remas bokong dosenku yang jelita itu.
Namun semuanya ini berpengaruh padaku. Rasanya detik - detik krusialku mulai datang. Tapi aku berusaha untuk mengatur nafasku, agar aku tidak terlalu cepat berejakulasi.
Sampai pada suatu saat, Bu Claudia mulai merintih - rintih histeris lagi, “Chepiiii… oooo… oooooooh… Cheeeeepiiii… oooooh… ooooh… ooooh… Cheeeepiiiii… oooh… ooooh… aku mau orgasme lagi Cheeep…”
Kini terasa Bu Claudia berkelojot - kelojot di atas perutku. Lalu sekuijur tubuhnya terasa kejang… kejang sekali. Pada saat itu pula aku menancapkjan kontolku sedalam mungkin di dalam liang memek Bu Claudia yang terasa sedang berkedut - kedut kencang ini.
Dan… akhirnya aku berhasil meraih detik - detik indah ini. Bahwa ketika lendir libido Bu Claudia terasa mengalir membasahi kontolku, pada saat itu pula moncong kontolku memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crooootttt… cretttt… croooottttt… crettt… crooootttt… creettt… crooootttt…!
Bu Claudia terkapar di atas perutku, dengan tubuh bermandikan keringat. Aku pun terkulai lemas, sambil meresapi nikmatnya persetubuhan yang baru selesai ini.
Malam itu aku habis - habisan melampiaskan nafsu birahiku kepada Bu Claudia. Kebetulan Bu Claudia sendiri laksana seekor harimau betina yang haus belaian dan gesekan.
Malam itu sampai tiga ronde aku menyetubuhi dosenku yang cantik bermata sayu itu. Bu Claudia pun memperlihatkan betapa dahaganya akan belaian dan cumbuan lelaki. Setelah dua ronde aku menyetubuhinya, tanpa segan - segan lagi ia mengoral kontolku. Tentu saja ini bereaksi pada alat kejantananku. Ngaceng lagi.
Sampai lewat tengah malam barulah semuanya selesai. Lalu kami bersih - bersih di kamar mandi. Dan sama - sama merebahkan diri di atas bed.
Sebelum tidur, masih sempat Bu Claudia menuturkan kisah pribadinya.
Aku terharu mendengar curhat Bu Claudia tentang masa lalunya. Bahwa ia menikah dengan seorang pengusaha yang baru menceraikan istrinya, karena Bu Claudia tidak mau dijadikan istri kedua.
Lalu hidupnya bahagia di samping pengusaha itu, meski lelaki itu 20 tahun lebih tua dari Bu Claudia.
Pengusaha itu sangat memanjakan Bu Claudia. Maklum perbedaan usia mereka sangat jauh. Sehingga pengusaha itu memperlakukan Bu Claudia seperti perlakuan terhadap anak kandungnya sendiri.
Bu Claudia pun berusaha untuk mencintai lelaki itu, meski usianya jauh lebih tua dari harapan awalnya. Dan akhirnya ia merasakan bahagianya bersuamikan lelaki yang sudah tua. Karena lelaki itu seolah sudah membuang egonya, lalu hanya megutamakan kebahagiaan Bu Claudia.
Katakanlah Bu Claudia tidak merasa kekurangan apa pun dalam kehidupannya. Karena selalu dimanjakan oleh suaminya.
Namun ternyata kebahagiaan itu hanya berlangsung dua tahun. Karena pada tahun ketiga, lelaki tua itu mengidap kanker hati, yang mustahil bisa disembuhkan. Lalu lelaki itu dirawat di sebuah rumah sakit paling terkenal di Singapore.
Cukup lama dia dirawat di rumah sakit yang terkenal dan termahal di Singapore itu. Tentu saja ia harus menjalani berbagai macam cara pengobatan di rumah sakit itu, agar dia bisa sembuh. Tapi ia hanya hanya bisa bertahan selama 7 bulan dirawat di Singapore. Setelah berkali - kali menjalani kemoterapi dan sebagainya, lelaki iktu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukan Bu Claudia.
Lalu bagaimana dengan harta peninggalan pengusaha itu? Boleh dibilang habis untuk membiayai perawatannya selama di Singapore. Hanya rumah yang ditinggali oleh Bu Claudia itu sisanya, berikut segala isinya.
Sedangkan Bu Claudia sudah terbiasa hidup bergelimang harta, tanpa kekurangan apa - apa. Tapi setelah suaminya meninggal, dosenku itu seolah harus mulai dari nol lagi.
Banyak sekali kekurangan yang harus ditutupi oleh Bu Claudia.
Belakangan ini Bu Claudia sering memikirkan semua itu. Bahkan setelah berhari - hari mempertimbangkannya, akhirnya dia memutuskan untuk resign sebagai dosen, lalu mencari pekerjaan baru di perusahaan swasta. Sampai akhirnya dia membaca iklan yang kumuat di media cetak dan elektronik.
“Begitulah ceritanya,” ucap Bu Claudia di akhir penuturannya, “Kalau aku mempertahankan statusku sebagai seorang dosen, aku akan selalu banyak kekurangan. Karena aku harus selalu membantu Mama dan adik - adikku.”
“Orangtua masih ada?” tanyaku.
“Tinggal Mama yang masih ada. Papaku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu,” sahutnya.
“Adiknya berapa orang?”
“Dua orang. Yang besar baru selesai es-satu. Sedang nyari kerja juga. Yang kecil baru tamat SMA dan sedang mendaftar untuk menjadi polwan.”
“Berarti adiknya yang kecil cewek ya.”
“Dua - duanya cewek. Kami tiga bersaudara, cewek semua.”
Aku tidak menanggapinya.
Bu Claudia melanjutkan, “Tadinya aku jadi tulang punggung mama dan adik - adikku. Tapi sekarang aku tidak bisa membantu mereka lagi.”
“Yang cewek es-satu dari fakultas apa?”
“Psikologi.”
“Kalau begitu rekrut saja dia untuk menjadi manager personalia.”
“Haaa?! Serius Sayang?” Bu Claudia memegang kedua pergelangan tanganku.
“Serius. Tapi gajinya tentu tidak sebesar gaji manager marketing. Lagian gaji es-satu tentu tak bisa sama dengan gaji Bu Claudia yang sudah es-dua kan.”
“Tentu saja. Tapi tidak apa - apa. Dia pasti mau kok. Memangnya gaji manager personalia berapa?”
Lalu kusebutkan nominal gaji dan uang makan manager personalia.
Spontan Bu Claudia berkata, “Wah, segitu sih gede dong. Aurora pasti mau.”
“Aurora? Dewi Fajar?” tanyaku sengaja mau bercanda.
“Nama adikku yang S1 psikologi itu.”
“Baru Spsi, kenapa gak sekalian ambil program psikolog?”
“Biayanya sayang. Nanti kalau sudah bekerja sih mudah - mudahan aja bisa ngambil S2 psikolog.”
“Sekarang psikolog harus S2 ya?”
“Iya. Notaris juga kan harus S2 dulu.”
Lalu kami terdiam. Dalam kantuk tak tertahankan.
Dan akhirnya sama - sama tertidur nyenyak, sambil saling berpelukan.
Besoknya, pagi - pagi sekali aku sudah bangun karena teringat rencanaku untuk menyelesaikan pembayaran rumah untuk Nike itu, sekaligus berniat membeli perabotan untuk mengisi rumah barunya.
Tapi setelah mandi dan mengganti pakaianku dengan pakaian casual, Bu Claudia sudah menyediakan dua gepok roti bakar isi smoke beef dan secangkir black coffee.
“Kopinya tidak pakai gula kan?” tanya Bu Claudia ketika aku sudah duduk di depan meja makan kecil dan bundar.
“Iya. Ibu sudah ngerti kebiasaanku ya.”
“Sayang, jangan manggil Ibu terus dong. Sebulan lagi aku sudah resign sebagai dosen. Jadi setelah cutimu habis, Chepi takkan menemukanku di kampus lagi.”
“Lalu aku harus manggil apa?”
“Panggil apa aja, asal jangan manggil Ibu lagi. Rasanya risih mendengar sebutan itu dari mulut lelaki yang sudah menggauliku.”
“Panggil Clody aja,” kata Bu Claudia, “Adikku juga namanya Aurora, tapi dalam keseharian dipanggil Rory aja. Adik bungsuku bernama Catalina, tapi dalam kesehairian dipanggil Cathy aja.”
“Rasanya kurang ajar manggil namamu langsung Beib,” ucapku.
“Kalau di Eropa, saling manggil nama dengan yang jauh lebih tua pun biasa saja. Bahkan ada juga anak yang memanggil nama saja kepada ibunya. Gak apa - apa.”
“Okelah. Aku mau memanggilmu Clod aja… Clody.”
“Iya. Dua bulan lagi aku kan bakal jadi anak buahmu Boss.”
“Oke deh. Tapi sebulan lagi kita harus melakukan meeting dulu. Semua manager harus dikumpulkan. Nanti aku akan menjadi komisaris utama. Semengtara calon dirutnya… calon istriku sendiri Beib.”
“Iya.”
“Nggak enak ya dengar calon istriku bakal jadi dirut nanti?”
“Biasa - biasa aja. Aku kan tidak akan menuntut untuk menjadi istrimu Sayang. Yang penting hubungan rahasia kita sebaiknya berjalan terus secara rapi.”
“Itu pasti Beib. Aku sendiri kan membutuhkanmu. Tapi kalau kamu hamil nanti, gimana?” tanyaku sambil memegang tangan Claudia yang terletak di atas meja bundar itu.
“Biarin aja. Aku mau kok hamil olehmu. Asal jangan dalam waktu dekat - dekat ini. Karena aku harus bekerja dulu sebaik mungkin di perusahaanmu kan?”
Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam mobilku, sambil memijat nomor hape Nike. Lalu :
“Kamu sudah ada di kantor Beib?”
“Iya. Bukankah kemaren udah janjian mau ke perumahan itu lagi?”
“Oke. Tunggu aja, sebentar lagi juga aku tiba di kantor.”
Dari rumah klasik Bu Claudia, hanya dibutuhkan waktu setengah jam untuk mencapai rumahku.
Tapi aku tidak memasukkan mobil ke garasi rumahku. Kuminta Nike agar keluar dari kantor dan masuk ke dalam mobilku, agar bisa menghemat waktu. Karena aku ingin ke toko yang menjual segala perabotan rumah, dari segala jenis furniture sampai ke barang - barang elektronik tersedia lengkap di toko itu. Tak usah disebut namanya ya, nanti disangka iklan terselubung pula.
Menghabiskan waktu lebih dari sejam aku dan Nike di toko yang serba lengkap itu. Kemudian aku meminta agar semua yang telah kubeli itu diantarkan ke rumah di kompleks perumahan elit itu, sekaligus minta dipasangkan semua pada tempatnya masing - masing.
Kemudian kami menuju kompleks perumahan yang terletak agak di luar kota itu.
Pada waktu para tukang yang membawa perabotan rumah itu sedang memasangkan segala yang sudah kubeli di tempatnya masing - masing, aku dan Nike menuju kantor managemen perumahan itu. Untuk menyelesaikan pembayaran rumah yang telah dip;ilih oleh Nike. Tentu saja Nike yang harus menandatangani akte jual beli rumah itu di depan notaris yang sudah hadir di kantor managemen.
Keuntungan dari penjualan ketiga kapal tanker itu sangat banyak. Sehingga dana yang kupakai untuk membeli rumah itu terasa sedikit, meski nilainya milyaran.
Setelah transaksi di depan notaris itu selesai, aku dan Nike kembali ke rumah yang sudah kubayar lunas itu.
Ternyata semua perabotan baru itu sudah selesai dipasang di tempatnya masing - masing. Aku pun tak lupa memberikan uang tip kepada para tukang yang sudah memasang dan menata semua perabotan itu.
Setelah para tukang itu berlalu, Nike tampak ceria sekali. Karena kemaren rumah itu masih kosong melompong, tapi kini sudah lengkap semua. Bahkan peralatan kitchen pun sudah dilengkapi oleh perabotannya yang serba baru (tentunya serba mahal pula).
“Aku jadi speechless Bang. Karena aku tak menyangka akan mendapatkan hadiah yang selengkap dan semahal ini,” kata Nike sambil memeluk dan menciumi pipiku.
“Kan sebulan lagi kamu akan menjadi permaisuriku Beib.”
“Siap Sayang. Aku kan sudah menjadi milikmu. Jadi apa pun yang akan kamu lakukan, aku akan selalu mengikutinya.”
“Sebulan setelah menikah, kamu akan menjadi direktur utama pula. Jadi mulai saat ini kamu harus bisa menjaga wibawa, agar tidak ada yang berani melecehkanmu kelak. Soalnya para manager yang akan menjadi anak buahmu, semuanya sudah sarjana. Sedangkan kamu baru mulai kuliah semester pertama. Jadi… pandai - pandailah memimpin perusahaan nanti ya.
“Siap Bang. Aku akan berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk perusahaan. Aku sudah banyak membaca dan menghapalkan buku - buku tentang managemen, leadership dan sebagainya. Mudah - mudahan aja pengetahuanku tidak kalah oleh manager - manager yang semuanya sarjana itu.”
“Besok kan hari Sabtu. Jadi kita habiskan weekend kita di rumah ini ya.”
“Iya Bang. Hitung - hitung refreshing aja ya.”
“Iya, sekalian membuktikan keperawananmu. Siap?”
“Siap Sayang. Kalau Abang mau, sekarang juga siap.”
“Gak usah terburu - buru. Besok saja, hitung - hitung bulan madu pre wedding.”
Nike tersenyum. Lalu mencium bibirku dengan mesranya. Disusul dengan kata kata, “Terima kasih Bang Chepi Sayang… aku bahagia sekali mendapatkan semua ini.”
“Iya Sayang. Kamu kan calon permaisuriku. Jadi… segalanya harus serba perfect. Tinggal mobilnya yang belum ada.”
“Kantornya kan deket dari sini. Jalan kaki juga bisa. Hitung - hitung olah raga tiap hari.”
“Hushhh… jangan Sayang. Kita belum pada jadi sarjana. Sementara para manager sarjana semua. Kekurangan itu harus diimbangi dengan tampil seperfect mungkin. Mana ada direktur utama jalan kaki? Nanti diketawain oleh anak buah kita Nik.”
“Mmm… iya deh. Tapi kalau mau beliin mobil, pilih yang matic ya. SOalnya kalau manual, aku belum bisa nyetirnya.”
“Ya iyalah. Mobilku sendiri bisa manual bisa matic. Tapi aku selalu menggunakan matic tiap kali nyetir. Di zaman sekarang yang sering macet di jalan, mobil matic lebih tepat untuk digunakan. Makanya pabrik - pabrik mobil juga punya rencana bahwa kelak mobil itu harus matic semua. Menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Beberapa saat kemudian kami pulang ke kantor lagi, karena masih jam kerja. Aku dan Nike sudah janjian bahwa besok pagi dia harus sudah ada di rumah baru itu sebelum jam sembilan pagi. Dan aku berniat untuk “membuktikan keperawanannya” besok juga. Sementara pernikahanku dengan Nike sudah kujadwalkan pada bulan depan di tanggal muda.
Tante Irenka juga termasuk yang harus kukasih tau rencana pernikahanku dengan Nike.
“Nanti pernikahan kita sederhana saja ya. Jangan pesta gede - gedean. Yang penting keluargamu dan keluargaku hadir semua,” kataku ketika masih dalam perjalanan pulang.
“Iya. Aku juga tidak menginginkan pesta besar - besaran. Yang penting kita disahkan dulu sebagai suami istri Bang.”
“Memangnya kamu udah siap untuk menjadi ibu rumah tangga Beib?”
“Siap Bang. Aku sudah ingin meladeni cowok yang sangat kucintai.”
“Jika pada suatu saat kamu dimadu olehku, bagaimana?”
“Kalau memang harus begitu, silakan aja. Karena aku sudah banyak mempelajari, bahwa istri yang rela dimadu oleh suaminya, akan ditempatkan di surga.”
“Seandainya aku ini raja, kamu adalah permaisuriku. Yang lain hanya selir.”
“Yang penting aku jangan disakiti aja nanti Yang.”
“Mana mungkin aku mau menyakitimu? Percayalah… kamu ini sosok yang paling kucintai di dunia ini.”
Nike mencium pipi kiriku, lalu berkata, “Abang juga cowok yang paling kucintai di dunia ini.”
Sebelum tiba di rumahku, kubelokkan mobilku ke pekarangan sebuah restoran yang letaknya tidak jauh dari rumahku. “Kita makan dulu ya. Aku sudah lapar sekali Beib.”
Nike cuma mengangguk dengan senyum manis, lalu turun dari mobilku. Dan bersama melangkah ke restoran itu.
Setelah makan barulah kami lanjutkan bergerak menuju rumahku yang letaknya sekitar 100 meter dari restoran itu.
Setibanya di rumahku, Nike langsung masuk ke ruang kerjanya yang bersatu dengan ruang kerjaku. Sementara aku langsung masuk ke dalam kamarku.
Di dalam kamar kantukku malah datang. Menguap terus, sampai akhirnya tertidur nyenyak sekali.
Ketika hari mulai malam barulah aku terbangun. Itu pun karena terbangunkan oleh bunyi denting handphoneku. WA dari Nike.
Nike : - Bang ada masalah nih. Mama maksa ingin lihat rumah baru itu. Karena aku baru ngasih tahu dikasih rumah oleh Abang. -
Aku : - Terus? -
Nike : - Ini aku sudah berada di rumah baru itu Bang. -
Aku : - Ya, gakpapa. Kan mamamu juga berhak tahu milik anaknya. Lalu masalahnya di mana? -
Nike : - Mama ingin ngerasain tidur di rumah ini Bang -
Aku : - Ya izinkan aja. Kan ada tiga kamar di situ. -
Nike : - Masalahnya kita kan punya rencana besok pagi. Gimana? -
Aku : - Gampang soal itu sih. Rencananya kita lakukan di villa aja. Bilang sama mamamu, ada urusan bisnis di luar kota, gitu. -
Nike: - Iya. Tapi Abang gak marah nih? -
Aku: - Masa marah. Malah seneng kalau mamamu udah berada di rumahmu itu. Lagian besok jadi ada yang nungguin rumah pada waktu kita sedang berada di villa. -
Nike: - Iya Bang. Terima kasih atas kebijaksanaan Abangku Sayang ya. -
Aku: -Tadi gimana reaksinya setelah mamamu tahu keadaan rumahmu itu? -
Nike :- Uuuh dia tampak girang sekali. Sampai menciumiku sambil meneteskan air mata. Dia pun menasehatiku, agar selalu setia padamu Yang. -
Aku: - Kamu bilang kalau kita bakal kawin sebulan lagi? -
Nike: -Soal itu sih udah bilang seminggu yang lalu. Mama seneng kok dengar kita mau kawin. -
Aku: - Syukurlah. Oke… besok aku jemput ke rumah baru aja ya. Bilang sama mamamu ada urusan bisnis di luar kota giktu. Jangan bilang mau ke villa. -
Nike: - Iya sayang. Sampai jumpa besok pagi yaaa. -
Aku :-Iya. -
Setelah chat lewat WA selesai, kuletakkan handphoneku di atas meja tulisku. Sambil tersenyum sendiri. Karena membayangkan seperti apa perasaan Tante Esther setelah menyaksikan rumah untuk anaknya itu. Sudah lengkap dengan perabotan serba mahal pula.
Tentu saja Tante Esther akan merasa senang. Karena kalau hubunganku dengan Nike berlanjut ke pelaminan, berarti hubungan rahasiaku dengannya akan berlanjut terus. Bukankah selama ini minimal seminggu sekali aku “menengok” memeknya di jam - jam kerja? Bukankah aku pun selalu mentransfer duit ke rekening tabungannya, sehingga dia takkan merasa kekurangan lagi.
Esok paginya, tepat seperti yang dijanjikan, jam sembilan pagi mobilku sudah diparkir di depan rumah baru yang sudah menjadi milik Nike itu.
Di depan Nike, aku bersikap seperti biasa kepada mamanya. Mencium tangannya dengan sikap sopan. Seolah belum pernah terjadi apa - apa di antara aku dengan mamanya yang semok dan seksi abis itu.
“Sebentar… aku mau pakai make up dulu ya,” ucap Nike, yang lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya setelah aku mengangguk.
Pada saat itulah Tante Esther berbisik di dekat telingaku, “Nanti kalau Nike tidur di rumah ini, sekali - sekali nginep di rumahku ya. Main siang terus… sekali - sekali ingin juga ngerasain main malam.”
Aku mengangguk sambil menahan tawaku.
O, betapa jahanamnya diriku ini. Calon mertua pun sering kuentot…!
Dan sekarang… aku sedang merencanakan untuk “membuktikan keperawanan” anaknya pula.
Tapi khusus mengenai Nike, cintaku padanya memang sudah mendalam sekali. Sehingga terkadang aku merasa takkan bisa hidup tanpa Nike. Karena segala sikap dan perilakunya selalu menyenangkan hatiku. Dan tentu saja karena dia cantik sekali di mataku.
Beberapa saat kemudian Nike sudah duduk di dalam mobilku yang sudah kugerakkan meninggalkan perumahan elit itu.
“Mentalmu sudah siap Beib?” tanyaku di belakang setir mobilku.
“Siap Yang,” sahutnya.
“Siap apa?” tanyaku lagi.
“Siap untuk menyerahkan keperawananku padamu Sayang.”
Aku tersenyum mendengarnya.
Mobilku meluncur terus ke arah utara, menuju villa yang letaknya tidak jauh dari kotaku. Hanya belasan kilometer jaraknya.
Villa yang sebenarnya punya Tante Aini itu terletak di ketinggian, sehingga udaranya selalu sejuk. “Tersembunyi” pula di balik pepohonan tinggi. Dan kalau ingin menikmati keindahan alam di sekelilingnya, harus naik dulu ke lantai atas.
Tapi pagi itu aku tidak ingin menikmati indahnya alam di sekitar villa yang tampak sederhana dari luar tapi mewah di dalamnya itu. Aku hanya ingin menikmati bagaimana indahnya tubuh tinggi semampai Nike dalamn keadaan telanjang bulat.
Dan Nike patuh saja ketika kuminta agar melepaskan seluruh busananya. Sehingga tubuh putih mulus itu terbuka di depan mataku.
Tubuh yang nyaris sempurna itu sudah siap untuk kumiliki dari ujung kaki sampai ujung rambutnya. Tubuh yang tinggi langsing, tetapi tidak kurus, berkulit putih kekuningan sebagaimana lazimnya kulit keturunan Chinese. Bokong yang seksi tapi masih dalam ukuran wajar. Sepasang toket yang tidak gede, tapi kecil pun tidak.
Aku memang ingin punya istri - istri yang variatif bentuknya. Aku sudah punya rencana menikahi Nike, kemudian Anna (adik Mamie) dan Anastazie (adik Tante Irenka). Dengan memiliki mereka bertiga, mungkin aku merasa sudah lengkap. Satu - satunya yang belum kumiliki adalah cewek yang kulitnya gelap. Seandainya kelak aku ingin melengkapi “jatahku” dengan memiliki 4 orang istri, mungkin aku akan mencari cewek yang kulitnya berwarna sawomatang atau kalau perlu yang hitam sekalian.
Tapi kalau bisa aku akan bertahan dengan tiga orang istri saja. Kecuali kalau memang sudah merasakan butuhnya istri keempat, barulah aku akan mencarinya.
Dan kini si cantik Nike sudah merebahkan dirinya di atas bed villa, dalam keadaan telanjang bulat. Inilah pertama kalinya aku menyaksikan Nike telanjang.
Sebelum ia telanjang, aku sudah menyiapkan mental, bahwa seandainya ada kekurangan di tubuhnya, aku akan melupakannya. Karena aku sudah sangat mencintainya.
Tapi ternyata tiada cela setitik pun di tubuh putih mulus itu. Sehingga aku pun mulai menelanjangi diriku sendiri, kemudian naik ke atas bed.
Sambil duduk di sisi Nike, kupegang pergelangan kaki kanannya. Kemudian kuciumi betisnya… naik ke atas… kuciumi lutut dan pahanya, sampai ke pangkalnya.
Bintik menghitam di atas vaginanya. Bintik - bintik rambut yang baru akan tumbuh lagi.
Kemudian kurentangkan sepasang pahanya lebar - lebar, karena aku akan mulai membasahi kemaluannya dengan air liurku.
Nike menurut saja. Setelah pahanya mengangkang, aku pun menelungkup di antara kedua pahanya itu, sambil menciumi memek amoy cantik itu.
Nike diam saja. Bahkan ketika aku mengangakan bibir memeknya, sehingga tampak bagian dalamnya yang berwarna pink itu, Nike pun masih terdiam.
Namun ketika aku mulai menjilati bagian yang berwarna pink itu, Nike mengejut, kemudian menggeliat sambil memegangi sepasang bahuku.
Dan ketika aku semakin gencar menjilati bagian yang berwarna pink itu, Nike mulai menggeliat - geliat dan mendesah - desah, “Aaaaaaah… Baaaang… aaaaaaah… aaaaaahhhhh… aaaaaaaah… Baaaaaang… aaaaaaah… aaaaaahhhh…”
Bahkan ketika aku sudah menemukan kelentitnya dan mulai menjilatinya dengan gencar, Nike mulai mengejang - ngejang dengan rintihan histerisnya yang tiada henti berlontaran dari mulutnya.
“Baaaaang… oooooooh… Baaaaang… oooooohhhhhh… Baaaaaang… oooooh… ooooooohhhhh… Baaaaaang… oooooohhhhhh… aku… aku merasa seperti… melayang - layang gini Baaaaang… ooooh… Baaaaang… ooooohhhhh… Baaaaang… aku melayang ini Baaaaang… oooooohhhhhhh …
Aku tidak mempedulikan rintihan Nike. Karena targetku ingin secepatnya membuat bagian dalam memeknya basah oleh air liurku bercampur dengan lendir libido Nike sendiri.
Dan setelah terasa bagian dalam memeknya itu sudah sangat basah, aku pun menjauhkan mulutku dari vaginanya. Lalu meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek amoy cantik itu.
Kuarah - arahkan moncong kontolku sebentar. Dan setelah terasa sudah pas arahnya, kudorong batang kemaluanku sekuat tenaga. Uuuuggghhhhhhh… kontolku malah melengkung ke atas, seperti pacet (lintah darat) mau melompat.
Tidak meleset. Tapi arahnya masih kurang tepat. Maka setelah mengamatinya sejenak di mana letak mulut liang sanggamanya, kubetulkan letak moncong kontolku. Diikuti dengan dorongan sekuatnya. Mmmmm… mulai melesak masuk sedikit demi sedikit…!
Kepala penisku sudah masuk. Setelah didorong berulang - ulang, membenam lagi sampai lehernya.
Gila. Sempit sekali liang memek Nike ini. Maka kukerahkan tenagaku agar masuk minimal setengahnya. Pada saat aku sedang mendorong kontolku inilah Nike memeluk leherku sambil berbisik terengah, “Su… sudah masuk ya?”
“Iya, baru sedikit,” sahutku, “Kalau sakit tahan sedikit ya.”
“Iii… iya… kata orang sih yang pertama suka sakit sedikit… lanjutkan aja Honey…” sahut Nike lirih.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk membenamkan lagi sedikit demi sedikit. Berhasil; juga membenamkan kontolku separohnya.
Lalu mulailah aku menarik kontolku sedikit, lalu mendorongnya lagi. Menariknya lagi dan mendorongnya lagi.
Makin lama batang kemaluanku bisa masuk makin dalam ketika aku sedang mendorongnya. Sedikit demi sedikit liang memek Nike mulai beradaptasi dengan ukuran kontolku yang memang di atas rata - rata ini.
Meski gerakannya masih perlahan, kontolku sudah mulai mengentot liang memek Nike yang super sempit ini.
Makin lama makin lancar juga entotanku, karena mungkin lendir libido Nike “ikut campur” untuk melicinkan liang memeknya.
Nike pun mulai mendesah dan merintih - rintih, sambil mendekap pinggangku erat -erat.
“Sayaaaaang… aaaaaaah… ini luar biasa rasanya Sayaaaang… terasa mengalir dari ujung kaki ke ujung rambut… aaaaah… aku… aku merasa seperti sedang melayang - layang di atas langit Sayaaaaang… oooooh… aku… aku semakin mencintaimu Sayaaaang…”
Aku pun “melengkapi” aksiku. Dengan menciumi dan menjilati leher Nike, disertai gigitan - gigitan kecil. Semakin hangat juga tubuh kekasih tercintaku ini. Bahkan setelah belasan menit akuj mengentotnya, keringat Nike mulai membasahi leher dan wajahnya. Lalu bercampur - aduk dengan keringatku.
Tanganku pun mulai beraksi. Ketika aku masih “sibuk” menjilati lehernya, tanganku ikut beraksi, untuk meremas toketnya yang masih sangat kencang ini. Terkadang kupelintir dan kuelus - elus pentilnya, sehingga Nike semakin klepek - klepek.
Karena ini untuk yang pertama kalinya aku menyetubuhi Nike, aku tak bermaksud menyiksanya terlalu lama. Pada waktu aku sedang gencar mengentotnya, diiringi oleh desahan dan rintihan Nike, aku menunggu gejala - gejala akan orgasmenya Nike. Karena aku bermaksud untuk “melepas”nya berbarengan.
Setelah lewat setengah jam, Nike mulai berkelojotan. Nah… pasti dia mau orgasme. Aku pun mempercepat entotanku. Dan ketika Nike mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin. Sampai mentok di dasar liang memek Nike.
Pada saat itulah terjadi sesuatu yang sangat indah. Bahwa ketika liang memek Nike berkedut - kedut kencang, moncong kontolku pun tengah mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crooootttt… cretcret… crooootttt… crott… croooottttt… croooootttt!
Lalu aku terkapar di atas perut Nike. Sementara Nike pun terkapar lemas.
Tapi tak lama kemudian aku mencabut kontolku dari liang memek Nike. Karena aku ingin melihat apakah ada darah perawannya atau tidak.
Ternyata memang ada. Berarti Nike memang masih perawan sebelum kuentot tadi.
Tapi aku tidak mengucapkan apa - apa. Aku hanya mencium bibirnya semesra mungkin. Sebagai tanda cintaku padanya semakin dalam.
Nike pun lalu bangkit dan memandang ke arah darah di bekas bokongnya tadi.
Kemudian dia menciumku diikuti dengan bisikan, “Aku semakin mencintaimu Bang.”
Aku tersenyum dan bertanya, “Enak gak barusan?”
“Luar biasa enaknya,” sahut Nike.
“Dan kamu sudah merasakan permainan orang dewasa.”
“Iya Bang.”
“Mau pakai obat anti hamil dulu gak?” tanyaku.
“Emang ada?”
“Ada tuh di tasku,” kataku sambil menunjuk ke tas kecil yang biasa kubawa kalau bepergian. Isinya memang obat - obatan dan uang cash.
“Kalau bisa, memang jangan hamil dulu Bang.”
“Setuju. Nanti setelah kamu bisa mengembangkan diri di perusahaan, barulah kita rencanakan untuk hamil.”
Setelah menelan pil kontrasepsi, Nike mengenakan pakaian kembali dan duduk di sampingku yang juga sudah berpakaian kembali di atas sofa.
Kubelai rambutnya sambil bertanya, “Apakah kamu sedih karena telah kehilangan keperawananmu?”
“”Nggak. Masa sedih. Aku kan sudah menyerahkan kepada cowok yang sangat kucintai. Lagian bulan depan juga kita menikah kan?”
“Iya. Persiapannya harus dikebut. Karena sebulan itu tidak lama.”
“Iya Sayang,” sahut Nike sambil menciumi pipiku bertubi-tubi.
Posting Komentar untuk "Fantasi Hayalan Sedarah Yang Jadi Kenyataan ( Bagian 4 )"