Cinta Sedarah Bersemi Kembali ( Bagian 5 )
Aku terkejut juga karena Tante Santi begitu spontan menyambut pancinganku. “Sekarang?” tanyaku sambil memeluknya.
“Iya… “Tante Santi mengangguk dengan senyum manis di bibirnya.
Spontan juga kupagut bibir sensual itu ke dalam ciuman hangatku. Dan Tante Santi menyambut dengan dekapan erat di pinggangku.
“Tadinya aku mau mengajak ke bangunan di mana Tante akan ditempatkan,” kataku setelah ciumanku terlepas.
“Hari kan masih siang. Nanti bisa setelah kita ngemprut dulu,” sahut Tante Santi sambil menanggalkan gaun kuning mudanya yang bercorak bintang bintang putih. Ternyata behanya pun terbuat dari bahan yang sama dengan gaunnya. Namun dia mengenakan celana pendek berwarna light ochre. Mungkin di balik celana pendek itu masih ada celana dalam yang bahannya sama dengan beha dan gaunnya.
Namun ketika celana pendek itu dilepaskan… aku langsung melihat bentuk kemaluan tanteku yang berjembut lebat. Ini suatu kebetulan. Bahwa aku sudah keseringan menyetubuhi perempuan bermemek gundul dan gundul terus. Sesekali aku ingin menikmati memek yang berjembut, sebagai pertanda memek dewasa.
Ya… mungkin jembut itulah indikator alami bahwa pemilik memeknya sudah mulai akil balig. Sementara yang belum berjembut, berarti masih di bawah umur.
Ketika Tante Santi sedang melepaskan behanya, aku pun cepat menelanjangi diriku, lalu menerkam tubuh seksi tanteku.
Tante Santi pun menyambut terkamanku dengan ciuman dan lumatan hangat di bibirku. Dengan dekapan erat di pinggangku. Lalu kami bergumul mesra di atas bed. Terkadang aku di atas, tapi terkadang Tante Santi yang berada di atas.
Yang paling mengasyikkan dalam foreplay ini adalah ketika aku mencium bibir Tante Santi, dengan tangan kiri digunakan untuk memainkan pentil toket kanannya, sementara jemari tangan kanan kuselundupkan ke dalam liang memeknya yang sudah agak basah dan licin serta hangat.
Indah sekali rasanya menggerak - gerakkan jari tengah dan telunjukku di dalam liang memek tanteku, yang makin lama makin basah.
Tadinya aku ingin menjilati memek Tante Santi yang berjembut itu. Tapi keburu terdengar suaranya, “Ayo masukin aja kontolmu Don… aku sudah horny berat nih.”
Aku selalu berusaha untuk mengabulkan keinginan pasangan seksual mana pun. Karena aku memegang prinsip bahwa di dalam hubungan seks itu harus selalu ada
Take and give.
Dan tadi, diam - diam kutest kebenaran ucapan temanku yang sudah kuanggap sebagai pakar ngentot itu. Bahwa kalau telapak tangan didekatkan ke tubuh wanita yang akan disetubuhi, terasa menyiarkan hawa hangat, berarti perempuan itu pasti enak memeknya.
Tadi telapak tanganku memang merasakan pancaran hawa hangat dari tubuh Tante Santi. Maka kini aku ingin membuktikannya. Tanpa proses oral - oralan, kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek tanteku.
Tante Santi cukup tanggap. Dia memegang leher kontolku, lalu moncongnya dicolek - colekkan ke belahan memeknya yang licin dan hangat. Sampai akhirnya ia menemukan arah yang tepat. Lalu ia memberi isyarat agar aku mendorong kontolku.
Kulakukan itu. Kudorong kontolku sekuat mungkin. Dan… kontolku mulai melesak ke dalam liang memek berjembut itu, sedikit demi sedikit sampai mmbenam hampir separohnya.
Maka mulailah aku mengayun kontolku, seolah memompa liang memek tanteku yang ternyata… enak sekali! legit tapi licin dan sangat terasa bergerinjal - gerinjal dinding liang memeknya…!
“Ughhhhh… memek Tante enak sekali…” ucapku terengah ketika entotanku masih pelan - pelan.
Tante Santi menyahut, “Kontolmu juga luar biasa enaknya Don… aku bisa ketagihan nanti… gimana?”
Kuhentikan dulu entotanku. Dan berkata, “Ya udah… nanti Tante jadi simpananku aja ya. Karena kalau menikah, pasti gak bisa. Tante akan kuberikan jabatan tertinggi di sebuah pabrik baru nanti. Asalkan Tante setia padaku. Kalau sampai nyeleweng, jabatan itu akan kucopot, diganti oleh orang yang lebih setia padaku.
“Terus aku tinggal di mana? Di sini?”
“Ada rumah yang tak begitu jauh dari pabrik baru itu. Rumah yang akan selalu dijaga petugas security, karena rumah itu adalah tempat tinggal direktur utama.”
“Jadi aku ini akan diangkat menjadi dirut?”
“Iya. Tante sanggup memegang jabatan dirut?”
“Sanggup Boss,” sahut Tante Santi yang diikuti dengan kecupan mesranya di bibirku. Dan setelah mengecup bibirku, Tante Santi menepuk - nepuk punggungku sambil berkata, “Sekarang entot memekku sepuasmu, Sayang… !”
Aku pun mulai mengayun kembali batang kemaluanku. Pelan - pelan dulu, makin lama makin cepat.
Tante Santi pun mulai mengayun pinggulnya… meliuk -liuk, memutar - mutar dan menghempas - hempas.
Memek Tante Santi memang luar biasa enaknya. Gesekan dinding liang mewmeknya dengan kontolku terasa sekali. Membuat mataku sering terpejam dalam nikmat yang sulit diucapkan dengan kata - kata belaka.
Lalu aku pun mengimbanginya. Dengan menjilati lehernya disertai dengan gigitan - gigitan lembut, sementara entotanku semakin kugencarkan.
Desahan dan rintihan histeris Tante Santi pun mulai berkumandang di kamar lantai tiga ini. “Doooon… ooooohhhh… Doooon… aaaaaa… aaaaaaah… kontolmu memang luar biasa Doooooon… luar biasa enaknya… entot terus Dooooooniiiiiiii… luar biasa enaknyaaaa… ooooh… Doooniiiii…
Aku pun menikmatinya. Menikmati sedapnya liang memek Tante Santi. Yang membuatku berdengus - dengus dengan mata sering terpejam. Namun aku tetap “rajin” menjilati leher Tante Santi. Terkadang aku alihkan mulutku ke pentil toket kirinya, untuk mengemut dan mengisap - isap, sementara tangan kiriku sibuk meremas - remas toket kanannya.
Pada saat lain, mulutku nyungsep di ketiak kirinya. Kujilati ketiak kirinya dengan gigitan dan sedotan yang cukup kuat, sementara tangan kananku tetap meremas - remas toket kanannya.
Cukup lama aku melakukan semuanya ini. Sementara Tante Santi tetap menggeol -geolkan pinggulnya sedemikian rupa, sehingga kelentitnya terus - terusan bergesekan dengan batang kemaluanku.
Akibatnya… pada suatu saat Tante Santi berkelojotan. Pertanda akan mencapai orgasme. Aku pun tak mau menunda - nunda ejakulasiku. Karena sebentar lagi aku akan mengajak tanteku ke suatu tempat, di mana salah satu pabrik baruku sudah selesai dan siap beroperasi, karena mesin - esinnya pun sudah datang dan dipasang di tempat yang sudah ditentukan.
Maka ketika Tante Santi mulai berkelojotan, aku pun menggencarkan entotanku. Demikian cepat dan kerasnya, sehingga terdengar bunyi plak… plaaaakkk… plakkk… plaaaaakkk…! Itulah suara pelerku yang menepuk - nepuk bagian bawah kemaluan Tante Santi.
Dan ketika Tante Santi mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat… aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin, sehingga moncong kontolku terasa mentok di dasar liang memek tanteku.
Pada saat itulah kami laksana sepasang manusia yang sedang kerasukan. Kami saling cengkram dan saling remas sekuatnya, dengan mata sama - sama terpejam.
Kemudian detrik - detik terindah ini pun terjadi. Terasa liang memek Tante Santi berkedut - kedut, sementara kontolku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crooottttttt… crooootttt… croooootttt… croooottttt… crootttt… croooottt…!
Lalu kami sama - sama terkapar, dengan tubuh bermandikan keringat.
Mata Tante Santi masih terpejam. Dan ketika mata bening itu terbuka, ia menatapku disertai senyum bernafaskan kehangatan dan kepuassan. “Terima kasih Don… ini persetubuhan terindah di dalam hidupku.”
Aku jawab dengan ciuman mesra di bibirnya. Kemudian kucabut kontolku dari dalam memek tanteku.
“Mandi bareng yuk,” ajakku sambil menarik pergelangan tangan Tante Santi.
“Iya, badan penuh keringat gini sih harus mandi,” sahut Tante Santi sambil mengikuti langkahku menuju kamar mandi di lantai tiga itu.
Beberapa saat kemudian Tante Santi sudah duduk di dalam sedan putihku, yang sedang kularikan menuju arah timur.
Tante Santi memang akan kuserahi jabatan dirut di pabrikku yang letaknya di luar kota, di sebelah timur kotaku. Jadi berlawanan arah dengan pabrik yang sudah kuserahkan kepada Imel untuk memimpinnya.
Rencanaku memang bukan mau memberikan perusahaan - perusahaan itu kepada siapa pun. Aku hanya akan merekrut orang - orang tersayang untuk memimpin dan mengelolanya.
Tante Santi terbengong - bengong setelah tiba di pabrik baru yang sudah lengkap dan siap beroperasi itu. Karena menurutnya, sudah sesuai benar dengan kebutuhannya.
Begitu juga rumah inventaris itu.
Di rumah inventaris dirut itu Tante Santi berkata, “Rasanya seperti bermimpi menyaksikan semuanya ini Don. Semuanya di luar dugaanku dan bahkan lebih bagus daripada pabrik tempatku bekerja di Surabaya itu.”
“Memang sudah nasib Tante yang bagus. Kalau Tante tidak bercerai dan tidak menemuiku, mungkin kedudukan dirut itu akan kuserahkan kepada orang lain,” sahutku.
“Iya, jadi sekarang gak ada lagi penyesalan karena telah bercerai dengan dia.”
“Ohya… Tante punya anak berapa orang?”
“Tak seorang pun. Aku belum pernah hamil Don.”
“Lho… siapa yang mandul? Tante apa Oom Sandi?”
“Gak tau. Kami sama - sama takut memeriksakan diri ke dokter. Takut mendengar hasil pemeriksaannya.”
“Mudah - mudahan aja dia yang mandul.”
“Supaya apa?”
“Supaya Tante bisa hamil olehku.
Tante Santi tersenyum. Lalu mencium pipiku, disusul dengan bisikan, “Mudah - mudahan aja aku bisa dihamili olehmu Sayang. Waktu digauli olehmu tadi, luar biasa enaknya. Semoga saja itu pertanda aku akan hamil olehmu. Karena sekarang ini aku sedang berada di masa subur.”
“Ogitu ya… semoga saja prediksi Tante bakal menjadi kenyataan.”
“Tapi seandainya aku hamil, bundamu dan seluruh keluarga kita jangan ada yang tau.”
“Iya Tante. Tenang aja.”
Di dalam mobil yang telah meninggalkan rumah inventaris dirut itu, aku berpikir bahwa Tante Santi memang layak mendapatkan semuanya itu. Alasannya simple saja. Bahwa… memeknya enak sekali…!
“Tante siap untuk menjadi simpananku kan?”
“Siap Boss.”
“Tapi awas… meski kita tak mungkin menikah secara sah, Tante jangan coba - coba selingkuh dariku.”
“Soal ityu sih kujamin Don. Aku bukan peselingkuh. Waktu masih jadi istri Sandi pun belum pernah selingkuh. Dianya aja cemburuan terus. Dan sekarang, aku sudah menjadi milikmu. Hal itu sudah merupakan tingkat tertinggi dalam kehidupanku. Takkan ada lelaki lain di hatiku kecuali dirimu Sayang,” ucap Tante Santi sambil mengecup pipi kiriku.
Sedan putihku meluncur terus di tengah kepadatan lalu lintas di kotaku.
Entah kenapa, aku merasa bahagia sekali bisa memiliki Tante Santi itu. Apakah ini pertanda cinta yang sudah tumbuh dan berkembang di dalam jiwaku?
Entahlah.
Yang jelas, beberapa hari kemudian kami sudah memasang iklan di sebuah suratkabar lokal, untuk merekrut buruh biasa dan para manager, sesuai dengan kebutuhan.
Tante Santi pun sudah tinggal di rumah inventaris dirut itu.
Setelah selesai menempatkan dan mengurus Tante Santi, aku pun pulang ke rumah Bunda. Memang hampir tiap malam aku menyetubuhi Tante Santi selama ini. Tapi rasa kangenku pada Bunda makin lama makin menjadi - jadi.
Biar bagaimana, tubuh Bunda adalah yang terindah bagi jiwaku. Karena Bunda mampu menyejukkan hatiku setiap kali batinku digoda nafsu.
“Bagaimana Santi sudah ditempatkan di perusahaanmu?” tanya Bunda ketika aku baru muncul di kamarnya, pada saat jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
“Sudah,” sahutku sambil mendekap pinggang Bunda dari belakang dan berusaha menyelinapkan tanganku lewat dasternya yang sudah kusingkapkan dari belakang.
“Bunda lagi datang bulan Sayang,” ucap Bunda sambil menepiskan tanganku dari balik dasternya.
“Ziaaaah… aku lagi kangen banget sama Bunda. Beneran Bunda lagi merah?” tanyaku dalam kekecewaan.
“Bener. Sejak kemaren datangnya, sekarang lagi banyak - banyaknya. Sama Dina aja gih. Temui dia di kamar tamu.”
“Tante Dina kakaknya Tante Santi?” tanyaku.
“Iya. Dia juga ingin ditempatkan seperti Santi. Temui dia gih. Mudah - mudahan aja belum tidur. Kalau Donna sih dari tadi juga sudah nyenyak tidur,” ucap Bunda.
Tanpa membantah, aku mengangguk. Lalu keluar dari kamar Bunda, menuju pintu kamar tamu.
Ketika aku membuka pintu kamar tamu ini, yang ternyata tidak dikunci, tampak Tante Dina sedang duduk di sofa sambil nonton televisi kecil di depannya.
“Belum tidur Tante?” sapaku sambil menghampiri adik Bunda itu.
Tante Dina terkejut dan menoleh, “Eee… Donny…! Jam segini baru pulang?” ucapnya sambil berdiri. Lalu kucium tangannya, disusul dengan cipika - cipiki sebagaimana biasanya kalau berttemu dengan tante - tanteku.
Dan pada waktu cipika - cipiki inilah aku merasakan sesuatu yang istimewa dari adik Bunda ini. Karena pada waktu cipika - cipiki, aku memeluknya erat -erat. Sehingga aku merasakan betapa pepal padatnya tubuh tanteku yang satu ini.
“Tante gak sama Oom Marta?” tanyaku setelah duduk berdampingan di satu - satunya sofa yang ada di kamar tamu itu.
“Oom Marta sudah mati …!” sahut Tante Dina dengan suara bernada geram.
“Lho… mati kenapa? Kecelakaan atau…”
“Mati di hatiku,” ucap Tante Dina memotong.
“Ooo… berarti dia masih hidup, tapi sudah mati di hati Tante?”
“Iya, “Tante Dina mengangguk sambil tersenyum getir, “dia lebih suka sama pelayan toko daripada sama aku. Nyebelin kan?”
“Jadi dia selingkuh sama pelayan toko?”
“Iya. Mending kalau pelayan toko itu cantik. Wajahnya aja kayak… aaaah… pokoknya jelek dah.”
“Kan rumput di pekarangan rumah tetangga suka tampak lebih hijau daripada di pekarangan rumah sendiri Tante.”
“Hmmm… “Tante Dina tersenyum sinis.
“Jadi sekarang status Tante janda?” tanyaku sambil menggelitik pinggangnya.
“Iya… sekarang sih aku bebas mau ngapain juga,” sahutnya sambil merapatkan pipinya yang hangat ke pipiku.
Aku semakin terpancing, ingin merasakan tanteku yang satu ini. Tanteku yang bertoket gede, berbokong semok, berkacamata tapi tampak anggun itu. Maka sambil memegang pergelangan tangannya, aku berkata, “Ngobrolnya di kamarku aja yuk.”
“Emangnya kalau di sini kenapa?”
“Di sini gak ada AC nya. Tivinya juga kecil.”
“Takut dimarahi bundamu.”
“Dijamin Bunda takkan marah. Apa pun yang kulakukan, Bunda tak pernah marah.”
“Iya sih. Kamu kan seolah anak yang hilang, lalu tiba - tiba muncul setelah dewasa dan ganteng gini. Jadi tulang punggung keluarga pula. Pastilah kamu sangat dimanjakan oleh bundamu…” ucap Tante Dina sambil berdiri. Lalu mengikuti langkahku keluar dari kamar tamu menuju kamarku.
Setelah berada di dalam kamarku, Tante Dina menoleh ke sekeliling kamarku sambil menggeleng - geleng dengan senyum di bibirnya. Setelah pintu kamarku ditutup dan dikuncikan, aku mendekap pinggang Tante Dina dari belakang sambil berbisik ke dekat telinganya, “Di sini Tante berteriak setinggi langit pun takkan terdengar apa - apa keluar.
Tante Dina memutar badannya, jadi berhadapan denganku, “Setelah ngobrolnya selesai, aku harus balik lagi ke kamar tadi?”
“Nggak. Tante gak keberatan menemaniku bobo di sini kan?”
“Bundamu kalau tau aku tidur di sini gak bakalan marah?” tanyanya dengan sorot ragu.
“Bunda subuh juga sudah sibuk belanja ke pasar. Donna pun sibuk menata café dengan pegawai café. Tengah hari Bunda baru bisa meninggalkan café. Sementara Donna sampai malam nongkrong id café terus. Santai aja Tante,” sahutku. Tapi aku tak berani bilang bahwa aku menemui Tante Dina adalah atas saran Bunda.
Lalu Tantge Dina duduk di sofa, berdampingan denganku. Dan berkata, “Ohya Don… Santi kan sudah ditempatkan di perusahaanmu. Aku juga kasih kerjaan dong. Tapi aku cuma punya ijazah es-satu. Gak seperti Santi yang sudah es-dua.”
“Tante Santi sudah kutempatkan sebagai dirut di salah satu perusahaanku. Gak apa - apa kalau Tante kutermpatkan sebagai wakil dirut?”
“Gak apa - apa. Meski Santi itu adikku, tapi aku juga tau diri. Dia kan sudah es-dua. Wajar kalau aku jadi wakilnya.”
“Jadi masalah kerjaan selesai. Sekarang aku ingin melenyapkan kepenasarananku,” ucapku sambil menyelinapkan tanganku ke balik baju kausnya. Dan yakin bahwa dia tak mengenakan beha karena kedua pentilnya membayang dari luar.
Dan aku mulai memegang toket gedenya yang terasa masih kencang, seperti belum pernah menyusui anak.
Ketika aku mulai asyik mengelus - elus pentil toketnya yang masih tertutupi baju kausnya, Tante Dina bertanya perlahan, “Toketku masih kenceng kan?”
“Iya Tante. Seperti belum pernah netekin bayi,” sahutku.
“Aku memang belum punya anak Don.”
“Wah asyik dong. Berarti anunya masih sempit.”
“Anunya apa? Memek? Ya jelaslah masih sempit, karena belum pernah dilewati kepala bayi,” sahut Tante Dina sambil menarik zipper celana corduroy biru tuaku, lalu menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku. “Wow… kontolmu gede gini Don… aaaah… bikin aku horny aja…”
“Aku juga udah lama tergiur sama Tante. Baru sekarang bakal kesampaian kayaknya.”
“Ayo deh. Sebagai tanda terimakasihku padamu, apa pun keinginanmu akan kuladeni,” sahut Tante Dina sambil melepaskan baju kaus dan celana pendeknya.
Lalu tubuh seksi Tante Dina yang anggun itu pun telanjang bulat di hadapanku kini. Sepasang toket gedenya… bokong semoknya… bahkan memeknya yang tercukur bersih itu sudah terpampang di depan mataku.
Oooo… betapa menggiurkannya adik kandung Bunda yang satu itu…!
Tante Dina dan Tante Santi kakak beradik langsung (tidak terhalang saudara lain). Tapi bentuk mereka sangat berbeda. Tante Santi berperawakan tinggi langsing, sementara Tante Dina berperawakan tinggi semok, tapi tidak gendut. Yang paling menyolok adalah perbedaan kemaluan mereka. Tante Santi memelihara jembut, sementara memek Tante Dina dicukur bersih.
Dan kini Tante Dina yang anggun tapi seksi itu sudah telanjang bulat di depan mataku.
Spontan aku pun menelanjangi diriku sendiri. Lalu meraih Tante Dina ke atas bedku.
“Aku gak mau munafik Don. Aku memang sedang sangat membutuhkan sentuhan lelaki. Apalagi disentuh oleh cowok semuda dan setampan kamu. Ditambah lagi dengan perasaan berterimakasih telah dijanjikan untuk jadi wakil Santi.”
“Tante Dina dan Tante Santi selain akan menduduki jabatan yang sudah disebutkan tadi, aku akan menjadikan Tante sebagai simpananku ya.”
“Whatever lah… apa pun yang kamu inginkan, akan kulaksanakan.”
Ucapan Tante Dina itu terputus, karena aku sudah menghimpitnya. Lalu mencium dan melumat bibir sensualnya. Setelah ciuman dan lumatanku terlepas, aku berkata, “Oom Marta itu lelaki terbodoh di dunia. Istri seanggun dan seseksi begini disia - siakan.”
“Biarin aja. Aku kan punya keponakan yang ganteng dan baik hati ini,” sahut Tante Dina sambil menepuk - nepuk pipiku perlahan.
Kemudian aku melorot turun. Ingin segera menyentuh memeknya.
Setelah wajahku berada tepat di atas memek Tante Dina, aku agak terngengang. Karena kelentitnya tampak jelas sekali, menonjol di bagian atas memek tembem dan bersih itu.
Kuelus - elus kelentit Tante Dina dengan ujung jariku sambil berkata, “Clitorisnya menonjol sekali Tante.”
“Iya Don. Kalau aku sedang horny berat, itilku suka muncul sendiri,” sahut Tante Dina.
“Jadi mudah menyentuhnya…” ucapku sambil menjulurkan lidahku. Lalu kujilati kelentit Tante Dina itu dengan lahap. Sehingga Tante Dina mulai mengejang - ngejang sambil meremas - remas rambutku.
“Oooo… oooooh… Doooonnniiii… langsung dijilatin itilnya… ooooohhhh… bisa - bisa aku orgasme duluan Dooon… “rengek Tante Dina tersendat - sendat.
“Nggak apa Tante. Kalau sudah orgasme, liang memeknya jadi licin dan becek. Aku malah suka kok memek becek sehabis orgasme. Jadi lain rasanya.”
Tapi aku tak cuma menjilati dan mengisap - isap kelentit Tante Dina. Jari tengahku pun kuselundupkan liang memeknya. Sehingga aku bisa membayangkan “rasa” kemaluan tanteku yang anggun dan seksi ini. Pasti kenyal dan legit. Kalau diibaratkan nasi sih, pasti pulen rasanya.
Karena itu aku tak mau berlama - lama menjilati kelentit yang menonjol dan mengkilap itu. Lalu aku merayap ke atas perut Tante Dina sambil memegang leher kontolku yang sudah kuarahkan moncongnya ke mulut memek Tante Dina.
Tante Dina pun merenggangkan sepasang pahaku, sambil ikut memegangi leher kontolku. Lalu moncongnya dicolek- colekkan ke belahan memeknya. Setelah dianggap pas arahnya, dia memberi isyarat agar aku mendorong batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini.
Aku pun mendesakkan kontolku sekuatg tenaga. Dan melesak separuhnya… blessssss… diiringi desah nafas Tante Dina… “Aaaaaaaah… gede banget kontolmu Dooon… sampe terasa bener melesak masuknya gini… oooooh… ““
“Ayo sekarang sih mau jerit - jerit sekuatnya juga gak apa - apa Tante. Takkan terdengar ke luar…” sahutku sambil mulai mengayun kontolku, maju - mundur di dalam liang memek Tante Dina yang sesuai dengan prediksiku. Legit, kenyal dan hangat.
“Donny… ooooh… Doooon… ooooooh… Doooon… edaaan… ini luar biasa enaknya Dooon… oooooh… gak nyangka kamu punya kontol segede dan sepanjang ini Doooon… adudududuuuuuh enaknyaaaa… ayoooo Dooon… entotlah sepuasmu…”
Aku pun berusaha menyahut meski terengah - engah, “Mem… memek Tante juga edan… gu… gurih dan legit sekali Tanteee… ugh…”
Aku tidak gombal. Di antara semua wanita setengah baya, Bunda menempati peringkat pertama. Peringkat kedua diduduki oleh Tante Santi dan Tante Dina.
Memek Tante Santi dan Tante Dina beda - beda rasanya. Beda - beda pula keistimewaannya. Maka kalau Tante Santi kuberi nilai 9, maka Tante Dina pun mendapatkan nilai 9 juga.
Kalau mereka mau, aku akan menjadikan mereka perempuan simpananku, dua - duanya, meski mereka tante - tanteku sendiri. Dengan sendirinya level kehidupan mereka harus ditingkatkan ke level yang layak.
Kepuasan seksual mereka pun harus kuutamakan.
Itulah sebabnya aku mengentot Tante Dina dengan upaya se-perfect mungkin. Agar dia merasa puas dan jangan sampai mencari kepuasan dengan cowok lain.
Pada waktu entotanku digencarkan, mulut dan tanganku pun ikut beraksi. Mulut digunakan untuk menjilati leher jenjangnya, disertai dengan gigitan - gigitan kecil, sementara tanganku meremas toket gedenya yang masih padat kencang dan mulus sekali itu.
Di saat lain aku menjilati daun telinganya, namun tangan kiriku tetap meremas toket gedenya. Bahkan ketika aku mengemut pentil toket kirinya, tangan kiriku tetap meremas - remas toket kanannya.
Ketika tangan kanannya berada di samping kepalanya, kujilati pula ketiak kanannya, sementara yang kuremas jadi toket kirinya.
Tampaknya hal ini membuat Tante Dina lupa daratan. Sehingga desahan dan rintihannya sem, akin menjadi - jadi. “Donny… oooohhhhh… Dooooon… belum pernah aku merasakan disetubuhi seenak ini Dooon… ooooohhhh… ini luar biasa enaknya Dooooonnnn… ooooohhhhh… oooooohhhhh… Dooooniiiiii…
Tante Dina tak cuma bisa merintih dan merengek. Dia juga bisa mengayun bokong semoknya, memutar - mutar, meliuk - liuk, menghempas - hempas sambil menukik sedemikian rupa, sehingga kelentitnya bisa bergesekan dengan batang kemaluanku. Ini membuatku semakin bersemangat. Bahkan menargetkan untuk mencapai puncak nikmat bersamaan.
Keringatku pun mulai bercucuran. Bercampur aduk dengan keringat Tante Dina. Sampai pada suatu saat, ketika Tante Dina berkelojotan dengan nafas terengah - engah, aku pun mempercepat entotanku.
Sampai pada suatu detik… sekujur tubuh Tante Dina mengejang tegang, aku pun membenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memek tanteku.
Pada saat itulah kurasakan sesauatu yang teramat indah. Bahwa liang memek Tante Dina berkedut - kedut kencang, Disusul dengan membasahnya liang memek legit itu. Pada saat yang sama kontolku pun mengejut - ngejut, sambil memuntahkan lendir kenikmatanku yang bertubi - tubi… crooottttt… crooottttttttt…
Aku sengaja mempercepat ejakulasiku, karena badanku sudah lumayan letih bekas kegiatan tadi siang seharian. Selain daripada itu aku akan membawa Tante Dina ke rumah yang sudah ditempati oleh Tante Santi itu besok pagi. Kebetulan besok hari Sabtu. Berarti Tante Santi bakal ada di rumah.
Esok paginya aku mengajak Tante Dina ikut denganku, untuk menuju rumah inventaris dirut yang sudah ditempati oleh Tante Santi itu.
Tentu saja Tante Santi terheran - heran ketika melihatku datang bersama kakaknya yang hanya lebih tua setahun darinya itu.
“Kok bisa bawa orang Cikampek Boss?” tanya Tante Santi sambil memeluk kakaknya tapi menoleh ke arahku. Lalu Tante Santi mencium sepasang pipi Tante Dina. Dan mengajaknya masuk ke dalam.
Aku pun masuk ke dalam rumah inventaris dirut itu.
“Soal apa tuh?”
“Pertama, soal bisnisnya dulu ya. Tante Dina sudah kuputuskan untuk menjadi wakil dirut. Apakah Tante Santi tidak keberatan?” tanyaku sambil mencolek bibir Tante Santi.
“Haaa?! Syukurlah. Aku senang. Senang sekali Don. Karena Ceu Dina sarjana ekonomi juga. Selain daripada itu, Ceu Dina kan kakak kandungku,” ucap Tante Santi dengan wajah ceria.
“Baguslah. Tante Dina memang sudah menerima keputusanku ini. SUdah siap menjadi wakil Tante Santi, meski pun Tante Santi ini adik Tante Dina,” kataku, “Tante Dina pun sudah kuputuskan untuk tinggal di sini. Agar Tante Santi tidak merasa kesepian tinggal sendirian di sini.”
“Asyiiiik… !” seru Tante Santi tampak gembira sekali, “Lalu masalah kedua itu apa Don?”
Baik Tante Dina mau pun Tante Santi tampak kaget mendengar pengakuanku itu. Tapi mereka saling pandang. Dan akhirnya sama - sama tersenyum.
“Jadi kita berdua harus meladeni Big Boss bernama Donny ini ya Ceu,” ucap Tante Santi kepada kakaknya.
Tante Dina mengangguk - angguk sambil tersenyum. Lalu mencium pipi kananku. Tante Santi pun tak mau kalah. Ia mencium pipi kiriku.
“Tante sudah tau masalah yang dialami oleh Tante Dina dengan Oom Marta?” tanyaku sambil menepuk lutut Tante Santi.
“Sudah. Kan Ceu Dina pernah curhat by phone, bahwa dia ingin bercerai dengan Kang Marta. Terus bagaimana lanjutannya Ceu? Jadi bercerai?”
“Jadi. Sudah diputuskan di pengadilan,” sahut Tante Dina.
“Jadi kita senasib semua ya Ceu. Kita dan saudara - saudara perempuan kita jadi janda semua ya.”
“Iya,” sahut Tante Dina, “Takdirnya memang harus begini. Mau diapain lagi.”
Aku terhenyak mendengar ucapan mereka itu. Karena memang benar. Bunda, Tante Ratih, Tante Dina dan Tante Santi sudah menjadi janda semua.
Lalu aku pun melingkarkan lengan kananku di pinggang Tante Dina. Dan melingkarkan lengan kiriku di pinggang Tante Santi. Sambil berkata, “Tenang saja. Karena Tante Dina dan Tante Santi mendapat tempat yang istimewa di hatiku.”
Tante Dina mengecup pipi kananku, Tante Santi mengecup pipi kiriku.
Lalu Tante Santi bertanya, “Terus kita mau weekend di mana nih?”
“Mendingan istirahat di rumahku aja yok. Pergi jauh - jauh lagi males. Nanti aja kalau ada liburan panjang kita tour agak jauh. Mau ke Bangkok bisa, ke Singapura juga bisa,” sahutku.
“Maksudnya mau istirahat di rumah bundamu?” tanya Tante Dina.
“Bukan Ceu. Rumah Donny jauh lebih gede dan megah sekali,” sahut Tante Santi.
“Ayo… mau weekend di rumahku aja? Tapi pembantu lagi cuti. Jadi kita harus belanja makanan dulu untuk…”
Belum lagi selesai aku bicara, tiba - tiba handphoneku berdering. Ternyata dari Bunda.
Cepat kuterima call dari bundaku tercinta itu :
“Hallo Bun… ada apa?”
“Oom Jaka sakit keras tuh. Kebetulan Dina dan Santi juga lagi kumpul sama kamu kan?”
“Iya. Tante Dina dan Tante Santi bersamaku saat ini.”
“Mereka tau tuh rumah Oom Jaka. Sebaiknya pada ke sana semuanya. Bunda juga mau ke sana bersama Donna.”
“Iya Bun. Kami akan ke sana sekarang.”
Setelah hubungan seluler ditutup, aku berkata, “Oom Jaka sakit keras. Bunda menyuruh kita semua ke rumahnya. Di mana sih rumah Oom Jaka itu?”
“Di Sumedang… lewat Sumedang sedikit maksudku,” sahut Tante Dina.
“Gimana? Kita mau ke sana sekaranhg?”
“Ya ayo… kita memang harus menengoknya kalau Kang Jaka sakit keras ya Ceu?” ucap Tante Santi sambil menoleh ke arah Tante Dina.
“Iya, iyaaa…”
“Bunda sama Donna juga mau ke sana,” ucapku.
Beberapa saat kemudian, sedan putihku sudah kularikan lagi di atas jalan aspal. Sebenarnya aku sedang malas nyetir ke luar kota. Tapi kuusir kemalasanku, mengingat salah seorang adik Bunda sedang dalam masalah.
Untungnya jalan menuju Sumedang sedang lengang. Padahal biasanya suka macet parah.
Hanya dibutuhkan waktu sejam setengah untuk tiba di tempat yang dituju, lewat Sumedang ke arah Cirebon
(Mengingatkanku kepada Umi Faizah).
Rumah Oom Jaka memang di pinggir jalan raya Sumedang - Cirebon. Jadi tidak sulit mencapainya. Tapi kulihat ada bendera kuning yang terbuat dari kertas di kanan kiri rumah yang dituju itu.
“Waaah… sudah ada bendera kuning… jangan - jangan…” ucap Tante Dina yang tergopoh - gopoh memasuki pekarangan rumah Oom Jaka.
Tante Santi pun tergopoh - gopoh mengikuti kakaknya, masuk ke dalam rumah itu.
Aku pun bergegas mengikuti mereka.
Lalu terdengar jeritan Tante Santi, “Kang Jakaaaaaa… !!!”
Ternyata adik langsung Bunda (tidak terhalang adik lain) itu sudah meninjggal. Berarti kami terlambat datangnya. Apalagi Bunda dan Donna yang baru tiba sejam kemudian.
Tante Ratih pun datang bersama Bunda, karena dijemput oleh Donna katanya. Sementara Imel tidak ikut karena sedang kurang enak badan, kata Tante Ratih.
Oom Sambas dan istrinya pun tidak hadir, karena rumahnya jauh di seberang lautan. Mungkin juga akan datang besok atau hari lainnya.
Kami semua berduka dan ikut mengantar sampai ke pekuburan di mana jenazah Oom Jaka dimakamkan.
Waktu jenazah Oom Jaka dimakamkan, aku tercenung dan memikirkan semuanya ini. Bahwa jodoh dan kematian termasuk rahasia Tuhan. Tiada seorang pun tahu kapan akan mati. Tapi kematian adalah jatah yang paling adil buat semua mahluk bernyawa di muka bumi ini. Dari gelandangan sampai kepala negara, takkan bisa menghindar dari kematian.
Hari demi hari berputar terus, tanpa bisa direm apalagi dihentikan.
Sampai pada suatu hari…
Ketika aku sedang berada di ruang kerja kantorku, seorang petugas security mengantarkan tamu yang katanya dari Bangkok. Aku tercengang. Karena aku tahu benar siapa wanita 35 tahunan itu.
“Tante Huan?” sapaku serasa bermimpi melihat sahabat almarhum Papa angkatku telah berdiri di ruang kerjaku.
“Iya… untung masih ingat,” sahutnya.
Spontan kucium tangannya, dilanjutkan dengan cipika - cipiki.
“Tentu saja masih ingat. Tapi dari siapa Tante tau alamat kantorku ini?” tanyaku.
“Dari Mr. Liauw. Dia bilang di dalam bisnis kamu lebih ekspansif daripada almarhum papamu. Benarkah begitu?” tanyanya setelah duduk berdampingan denganku di sofa ruang tamuku.
“Di Thailand betul. Awalnya beberapa asset Papa kujual. Tapi setahun kemudian aku menyesali hal itu. Lalu kukembangkan usaha Papa di Chiangmai habis - habisan. Itu saja.”
“Tapi Mr. Liauw bilang, kamu juga telah mengembangkan sayap ke Australia dan Eropa,”
“Iya sih. Tapi bisnisku ke Eropa hanya jadi broker doang. Apa yang dibutuhkan di sana, kucari sumbernya di sini. Lalu kuekspor ke sana. Jadi bukan produksiku sendiri.”
“Tapi kesimpulannya bisnismu sekarang lebih luas daripada bisnis papamu kan?”
“Iya Tante. Tapi mayoritas bisnisku dipusatkan di Singapura. Di Indonesia sih kecil - kecilan aja. Soalnya aku males kalau dianggap nomor sekian terkaya di sini.”
“Iya… iya. Papamu dahulu juga begitu. Bisnisnya dipusatkan di Thailand dan di Singapore. Alasannya sama seperti Donny. Nah… sekarang aku justru ingin menawarkan investasi Don. Mmm… aku kan punya casino di Macau dan di perbatasan antara Thailand dan Kamboja,” kata wanita Chinese yang lahir besar di Indonesia kemudian menetap di Bangkok, karena usahanya dikembangkan di sana.
“Jadi Tante ingin mengalirkan dana dari casino ke usaha legal di sini, begitu?” tanyaku.
“Iya Don,” sahut Tante Huan. Lalu dia mengatakan jumlah uang yang bisa diinvestasikan padaku. Jumlah yang sangat besar. Maklum uang hasil dari casino bisa meledak - ledak jumlahnya. Kalau hanya untuk membeli pesawat jet pribadi saja sih, bisa disediakan dari hasil satu malam saja.
Tapi aku merasa sudah terlalu banyak dana yang sedang kuputar di dalam bisnis - bisnisku. Aku tidak membutuhkan lagi suntikan dana dari mana pun.
Karena itu aku hanya terdiam setelah mendengar nominal dana yang akan diserahkan untuk dikelola olehku.
Lalu Tante Huan berkata lagi, “Terus terang, hasil dari casino sangat meyakinkan. Seolah air terjun yang menggelontor terus dengan hebatnya. Tapi biar bagaimana usaha dalam perjudian tetap gambling sifatnya. Bisa saja pada suatu saat casino - casinoku mengalami kebangkrutan secara tiba - tiba, meski pun aku sama sekali tidak mengharapkannya.
Aku masih belum mau menanggapi penawaran dana yang sangat besar itu. Karena belum bisa membayangkan bagaimana sibuknya aku mengurus dana sebesar itu nanti.
“Aku takkan seperti para funder yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak - banyaknya dari dana yang ditanamkan Don. Aku akan puas dengan hanya menerima tigapuluh persen dari profit. Bahkan ditambah dengan bonus… kamu masih ingat peristiwa di dalam kamarmu dahulu?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Karena aku masih ingat benar, pada saat usiaku masih di bawah umur itu. Pada saat itu Tante Huan sedang menunggu Papa dan Mama yang lagi pada keluar. Lalu Tante Huan nyelonong ke dalam kamarku.
Ya, aku masih ingat benar semujanya. Bahwa Tante Huan mencium bibirku sambil memelujk leherku. Spontan aku menanggapinya secara grasak - grusuk. Maklum aku masih ABG.
Namun ketika aku berusaha menyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya, Tante Huan mendorong dadaku sambil berkata, “Jangan aaah… kamu belum dewasa. Nanti kalau kamu sudah dewasa sih pasti aku kasih.”
Ya… tentu saja aku masih ingat “peristiwa” yang Tante Huan tanyakan itu.
“Ya, aku masih ingat peristiwa itu. Peristiwa yang membuatku sangat penasaran,” ucapku.
“Saat itu aku tidak mau ngasih, karena kamu masih di bawah umur. Lagian saat itu aku kan masih punya suami. Kalau sekarang… Donny sudah dewasa, aku pun sudah menjadi janda.”
“Tante bercerai dengan suami Tante?”
“Dia meninggal setahun yang lalu. Maklum dia sudah tua dan sakit - sakitan terus setelah usianya melewati enampuluhan.”
“Jadi…?”
“Jadi aku akan kasih semua yang ada di tubuhku, asalkan danaku diterima olehmu, dengan pembagian tujuhpuluh - tigapuluh. Kamu mendapatkan tujuhpuluh persen, aku cukup tigapuluh persen saja. Yang penting aman dan saling menguntungkan.”
Tentu saja pembagian keuntungan yang ditawarkan oleh Tante Huan itu sangat menguntungkan. Karena biasanya pembagian keuntungan antara funder dan pengelola itu fifty - fifty. Bahkan ada funder yang lebih “kejam” lagi, minta bagian enampuluh persen, sementara pengelola hanya kebagian empatpuluh persen.
Tapi bagiku kalimat “aku akan kasih semua yang ada di tubuhku” itu jauh lebih menarik daripada masalah dana yang ditawarkannya.
Tante Huan memang membuatku penasaran selama bertahun - tahun. Aku masih ingat benar, dahulu… ketika usiaku masih tergolong ABG… ketika tanganku sudah menyentuh celana dalamnya, gairahku melonjak - lonjak. Karena saat itu aku sudah banyak pengalaman dengan Mama angkatku almarhumah. Tapi tanganku ditepiskan, dadaku pun didorong.
Dan kini ia menilaiku sudah cukup dewasa, pada saat dia sudah menjanda pula.
“Ya udah… aku sepakat untuk menerima investasi Tante,” kataku sambil memegang tangan Tante Huan dan meremasnya dengan lembut, “Tapi bonusnya mau diambil sekarang.”
Tante Hua tersenyum manis. Hmm… senyum manisnya itu pula yang sangat kusukai dahulu.
“Mau di mana? Mau check in ke hotel atau mau di villa?” tanya Tante Huan sambil balas meremas tanganku, dengan pipi yang dirapatkan ke pipiku.
“Kita lanjutkan ngobrolnya di lantai dua yok,” sahutku sambil menunjuk ke tangga yang berada di depan ruang tamu itu.
Tante Huan mengangguk. Lalu mengikuti langkahku menuju tangga berkarpet abu - abu itu. Bahkan ia melangkah sambil memelukku dari belakang…
Aku ingin ketawa mendengar ucapannya tadi. Bahwa ia akan “menghadiahkan” tubuhnya sebagai “bonus”, seandainya aku menerima investasinya. Seolah - olah ia ingin berbaik hati padaku.
Padahal aku masih ingat benar, bahwa dahulu waktu masih sama - sama bermukim di Bangkok, dia nyelonong ke dalam kamarku, lalu mencium bibirku dengan lahapnya. Padahal tadinya aku tak punya pikiran apa - apa padanya, mengingat Tante Huan itu teman bisnis Papa angkatku.
Tapi aku pun mengakui secara jujur. Bahwa rasa penasaranku menggila, karena aku ingin “menuntaskan” pelukanku ke arah hubungan sex. Sesuatu yang tidak ia bnerikan saat itu, mengingat aku dianggap masih di bawah umur. Padahal saat itu aku sudah menjadi cowok yang terlatih, berkat “bimbingan” Mama angkatku.
Tapi biarlah, aku takkan memasalahkan siapa sebenarnya yang “membutuhkan” pada saat ini. Yang jelas Tante Huan itu bagian dari masa laluku, yang kini sudah berada di dalam genggamanku.
DI lantai dua yang memang seolah menjadi rumah pribadiku, Tante Huan tercengang. Lalu berkata, “Wow…! Kantor ini ternyata ada private roomnya yang lebih dari sekadar suite room di hotel - hotel ya.”
Aku memeluknya dari belakang, “Apakah di sini layak untuk dijadikan tempat bercinta bagi seorang taipan dari Bangkok?”
“Hihihi… Donny lebih pantas menyandang gelar taipan. Karena jaringan bisnis Donny sudah berkembang ke mana - mana. Sedangkan aku… hanya mengandalkan duit judi,” sahut Tante Huan.
Aku masih berdiri di belakang Tante Huan. Namun tangan kananku sudah bergerak ke bawah perutnya, setelah menyingkapkan gaunnya dengan tangan kiriku.
Aku jadi ingat lagi peristiwa beberapa tahun yang lalu di Bangkok itu. Bahwa ketika tanganku sudah menyentuh celana dalam Tante Huan, tiba - tiba dia menepiskan tanganku, lalu mendorongku sambil berkata, “Jangan… jangan…”
Tapi kini, ketika tangan kananku leluasa saja menyelinap ke balik celana dalamnya. Dan… aduhai… aku menyentuh jembi yang luar biasa lebatnya…!
Kebetulan belakangan ini aku suka juga pada memek berjembvut lebat begini.
“Tante… sebelum kita lanjutkan semua ini, aku ingin pengakuan Tante sejujurnya. Apa sebabnya dahulu tante menolakku menyentuh vagina Tante? padahal saat itu Tante sendiri yang mewnyergap dan menciumiku di dalam kamarku kan? Berarti Tante sudah duluan suka sama aku.”
“Jujur… saat itu aku takut ketahuan sama papamu. Kan almarhum itu rekan bisnis sekaligus bossku. Karena beliau jauh lebih tajir daripada aku. Makanya aku jadi takut… takut ketahuan dan takut dianggap merusak anak di bawah umur. Makanya aku terpaksa menolakmu. Padahal saat itu aku sudah mulai horny Don.
“Ya iyalah. Aku jadi sering masturbasi sambil membayangkan Tante.”
“Hihihiiii… sama Don. Aku juga sering masturbasi sambil membayangkan Donny yang pada saat itu sedang - sedangnya fresh dan cute,” sahut Tante Huan yang lalu memutar badannya jadi berhadapan denganku. Kemudian ia menanggalkan gaunnya, sehingga tubuh seksinya tinggal ditutupi oleh pakaian dalam yang sangat tipis dan transparant.
Dalam keadaan yang sangat menggiurkan itu, Tante Huan duduk di atas sofa. “Bagaimana? Apakah aku masih menarik di mata Donny?” tanyanya sambil menanggalkan penutup payudaranya yang tidak bisa disebut beha itu, karena sangat tipis dan transparantnya.
Aku berlutut di depan sofa itu, sambil mengusap - usap paha putih mulusnya. “Sangat menarik dan menggiurkan. Aku serasa bernostalgia, karena akan mendapatkan sesuatu yang tidak tercapai di masa remajaku.”
Tante Huan tersenyum sambil melepaskan penutup kemaluannya yang tidak bisa disebut celana dalam juga. Karena waktu masih mengenakan benda transparant itu mataku bisa melahap bentuk kemaluan berjembut tebal itu.
“Donny masih berpakaian lengkap begitu. Sedangkan aku sudah telanjang begini,” ucap Tante Huan sambil melepaskan dasi dan jasku.
Selanjutnya aku sendiri yang melepaskan celana panjang dan kemejaku. Sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhku. Lalu kurentangkan kedua tanganku sambil tersenyum.
Tante Huan pun menghambur ke dalam pelukanku.
Ooo, aku seolah kembali ke masa laluku. Masa ketika masih dimanjakan oleh Papa dan Mama angkatku. Masa ketika Tante Huan masih sangat muda dan mencium bibirku dengan lahapnya, tapi lalu terputus di tengah jalan ketika aku ingin beranjak ke kebutuhan biologisku.
Tapi kini aku bisa membopong tubuh sexy yang sudah telanjang bulat itu ke atas bed. Lalu menggumulinya dengan segenap kehangatanku.
Semuanya kulakukan sampai Tante Huan benar - benar siap untuk melakukan sesuatu yang sudah bertahun - tahun kudambakan.
Dan… manakala tombak kejantananku menerobos celah surgawi di bawah perut Tante Huan, terdengar suara terengah, “Doooonny… ooooohhhh… gak nyangka penismu segede dan sepanjang ini…”
Lalu aku leluasa mengentotnya sambil meremas payudara besarnya, sambil menjilati lehernya, sambil melumat bibirnya, sambil mengemut pentil toketnya… bahkan ketiaknya pun kujilati dan kusedot - sedot dengan segenap gairahku.
Tante Huan pun menggeliat dan mengelojot… meremas - remas bahu dan rambutku… diiringi rintihan - rintihan histerisnya yang berkepanjangan.
“Oooohhhh… Doooonnniiiii… ooooohhhhhh… ini… luar biasa enaknya Dooon… ini pertama kalinya aku merasakan disetubuhi yang sefantastis ini… oooohhhhh… Dooonnniiii… entotlah aku sepuasmu Dooon… aku sjudah menjadi milikmu sekarang Dooon… ooooohhhhh… entooot teruuus Doooniiii…
Aku memang lebih garang daripada biasanya. Terkadang kusedot leher Tante Huan sampai mereh kehitaman. Tapi Tante Huan justru senang dengan perlakuanku padanya. “Iya Dooon… cupangin leherku sampai hitam juga gak apa - apa. Sampai berdarah pun gak apa - apa. Enak Dooon… enaaaaak… “rengeknya sambil memejamkan sepasang mata sipitnya.
Bahkan ketika kami melakukannya dalam posisi doggy, Tante Huan minta agar aku melakukan spanking pada pantatnya.
Aku tak menyangka kalau Tante Huan suka pada sex yang hardcore. Tapi kulakukan juga permintaannya. Aku berlutut sambil mengentot Tante Huan yang sedang menungging, sambil mengemplangi sepasang buah pantatnya.
Plaaaaak… plooookkkk… plaaaaakkkkk… plooooookkkk… plaaaakkkkkk… ploooookkkk… plaaaaaaakkkkkk…!
Sementara kontolku menggenjot liangmemeknya yang sudah becek ini, karena dia sudah dua kali orgasme waktu masih dalam posisi missionary tadi.
Maka bunyi kemplangan - kemplanganku di pantat Tante Huan, diiringi oleh bunyi unik dari arah memeknya yang tengah kuentot habis - habisan. Crekkkk… setttt… crekkk… sreeeeetttt… crekkkk… srettttt… crokkkkk… sretttttt… creeekkkk… sttttt… crokkkkk…!
Tante Huan memang senang hardcore. Tapi dia cepat orgasme. Sementara kejantananku sedang garang - garangnya. Mungkin pada dasarnya aku senang hardcore juga. Sehingga ketika mendapatkan paassangan seksual yang laksana seekor harfimau betina ini, aku pun seolah menjelma jadi seekor harimau jantan yang sangat garang.
Aku tak bisa menghitung lagi berapa kali Tante Huan menikmati orgasmenya. Mungkin inilah yang disebut multi orgasme. Sedangkan aku, belum ejakulasi juga. Padahal tubuhku sudah bermandikan keringat. Tante Huan pun sama, sudah bermandikan keringat yang bercampur baur dengan keringatku.
Sampai pada suatu saat Tante Huan bertanya terengah, “Ooooh… Donny.. pa… pakai obat apa sih Don? Kok gak… gak ejakulasi juga? Pakai viagra ya?”
“Aku gak pernah pakai obat apa pun Tante. Aku kan masih muda. Belum membutuhkan obat - obatan seperti itu,” sahutku, “Tante mau istirahat dulu?”
“Iya Don. Keringatku sampai sudah mengering lagi di badanku. Enaknya sih mandi dulu,” sahutnya.
“Ayo kalau mau mandi dulu sih,” sahutku sambil melepaskan kontolku dari liang “cipet” Tante Huan.
Lalu dalam keadaan sama - sama telanjang kami melangkah ke kamar mandi.
Air hangat shower pun memancar dari atas kepala kami. Membuat sekujur tubuh kami basah. Hal ini malah membuat suasana semakin romantis, terutama karena aku belum ejakulasi.
Setelah menyabuni dan membilas tubuh kami, Tante Huan tampak segar kembali. Ia mendekap pinggangku di bawah pancaran air hangat shpwer sambil berkata, “Sekarang aku sudah siap lagi melayani kehebatanmu, Tuan Donny…”
“Berapa kali orgasme tadi?”
“Gak kehitung lagi saking lupa daratannya… yang jelas sering orgasmenya… baru sekali ini aku merasakan berkali - kali orgasme seperti tadi.”
Jemariku pun mulai menggerayangi liang memek Tante Huan. “Masih kuat berapa lama kuentot lagi memek Tante ini?”
“Sampai Donny puas saja. Hmmm… Donny sudah gak sabar lagi ya?”
Aku tidak langsung menjawab, karena sedang berusaha memasukkan kontolku ke dalam memek Tante Huan sambil berdiri di kamar mandi.
Dan ketika Tante Huan sudah tersandar di dinding kamar mandi, sementara kontolku sudah amblas ke dalam memeknya, kidung biarhi pun berkumandang lagi. Dengan denting - denting sakral bertaburkan bunga - bunga surgawi.
O, betapa nikmatnya mengentot wanita yang bertahun - tahun membuatku penasaran ini.
Tante Huan melingkarkan kedua lengannya di leherku, sementara aku semakin gencar mengentotnya sambil mendekap pinggangnya.
Meski persetubuhan ini dilakukan sambil berdiri di kamar mandi, Tante Huan tetap merintih dan mendesah. ciuman hangatnya pun mendarat di bibirku bertubi - tubi.
Sementara kontolku semakin mengganas… seolah memompa liang memek berjembut lebat itu.
Meski baru saja selesai mandi, kini keirngat kami mengucur lagi dengan derasnya.
Sampai pada suatu saat, aku berbisik terengah, “Lepasin di mana Tante?”
“Sudah mau ejakulasi?” Tante Huan balik bertanya.
“Iyaaaa…” sahutku.
‘Di dalam mulutku aja Don. Aku ingin meminum sperma Donny, sebagai tanda mendalamnya perasaanku pada Donny…”
“Iiiiyaaaaa… ini udah mau meletussss…” ucapku sambil mencabut kontolku dari liang memek Tante Huan.
Spontan Tante Huan berjongkok di depanku dan langsung memasukkan kontolku ke dalam mulutnya. Disusul dengan urutan - urutan di badan kontolku dan isapan serta selomotannya.
Tak kiuasa lagi aku menahannya. Maka meletuslah lahar kenikmatanku di dalam mulut Tante Huan: Croootttt… croooottttt… crottt… crooootttt… crotttt… crottttttt… crooootttt…!
Tante Huan benar - benar menelan spermaku sampai habis, tak disisakan setetes pun…! Tentu saja aku terharu dibuatnya. Karena Tante Huan bukan wanita sembarangan. dia orang tajir melilit yang menjadi rekan bisnis Papa almarhum.
Tante Huan berdiri lagi sambil mendekapku dan berkata, “Ini pertama kalinya aku bisa orgasme berulang - ulang. Pertama kalinya bersetubuh sambil berdiri. Dan pertama kalinya menelan sperma lelaki.”
“Terima kasih Tante,” sahutku, “Semua yang telah terjadi memang mengesankan sekali.”
“Dan hubungan kita harus berlanjut terus Don.”
“Oke, “aku mengangguk sambil memutar kran shower. Air hangat pun memancar lagi dari shower di atas kepala kami.
Ya, kami harus mandi lagi, karena tubuh kami sudah keringatan kembali.
Setelah mandi, kami berpakaian kembali. Kemudian melanjutkan perundingan masalah bisnis di ruang tamu.
Kedatangan Tante Huan memang tak pernah kuduga sebelumnya. Tahu - tahu dia mau menginvestasikan uangnya sekaligus mau menginvestasikan… memeknya…!
Hidupku memang banyak kejutannya. Ada saja suatu hal yang tak pernah terpikirkan lalu datang secara tiba - tiba.
Seperti pada suatu hari…
Ketika petugas security mengantarkan seorang tamu, seorang wanita muda yang mengenakan gaun katun abu - abu polos itu, aku tercengang. Karena aku masih ingat bahwa wanita muda itu istri almarhum Oom Jaka.
Aku bangkit dari kursi kerjaku dan menyapanya, “Tante Marsha?”
Wanita muda yuang cantik dan berperawakan agak montok tapi tidak gendut itu mengangguk dengan senyum manis. Maka kucium tangannya, lalu cipika - cipiki dengannya.
Aku masih ingat benar, bahwa sebelum 40 hari meninggalnya Oom Jaka, aku sengaja datang sendiri ke rumah mendiang adik Bunda itu. Untuk menyerahkan amplop berisi uang dan dua dus besar kue - kue. Untuk membantu tahlilan 40 harian meninggalnya Oom Jaka. Saat itu Tanhte Marsha sendiri yang menerimanya.
Dan sekarang dia benar - benar datang ke kantorku.
Karena dia itu mantan istri pamanku, maka kuajak dia ke lantai dua. Ke private room. Karena aku tahu pasti dia akan menceritakan kesulitannya. Dan akan meminta bantuanku.
Di lantai dua kuajak Tante Marsha duduk di sofa ruang keluarga.
Aku duduk di depan sofa yang diduduki oleh Tante Marsha.
“Bagaimana? Tante datang ke sini tentu ada yang perlu kubantu kan?” tanyaku dengan nada sopan, karena biar bagaimana pun dia pernah menjadi istri pamanku.
Tante Marsha menatapku. Lalu menunduk dan menangis terisak - isak, “Iya Don… hiks… sejak Oom Jaka meninggal… aku… hiks… aku jadi seperti layang - layang putus talinya… tak tau lagi harus bagaimana… hikssss…”
Melihat dia menangis, aku pun langsung pindah ke sofa yang didudukinya. Lalu memndekap bahunya sambil berkata, “Tenang Tante… tenang. Aku akan membantu Tante. Kalau memang ada kesulitan, katakan saja padaku.”
Tante Marsha membenamkan mukanya ke dadaku sambil berkata terputus - putus, “Oom Jaka meninggalkan hutang yang cukup banyak. Mereka pada nagih pdaku. Sedangkan aku… mau bayar dari mana uangnya? Waktu tahlilan empatpuluh harinya juga kalau gak ada bantuan dari Donny takkan bisa tahlilan.”
“Berapa jumlah hutangnya semua?” tanyaku sambil menyeka air matanya dengan kertas tissue dari meja kecil di depanku.
“Enambelasjuta,” sahutnya.
Ah… kusangka hutangnya itu milyaran. Ternyata “hanya” enambelasjuta rupiah.
“Tante punya rekening tabungan?” tanyaku.
“Boro - boro punya tabungan Don… hiks… “Tante Marsha membenamkan dadanya lagi ke dadaku.
Dan gilanya… otakku jadi ngeres. Karena waktu memeluk dan mengusap - usap rambutnya ini, terasa benar padat kencangnya tubuh Tante Marsha ini. Tapi aku mau mengambil uang cash dari dalam kamarku. Maka kataku, “Tunggu sebentar ya.”
Aku berdiri dan melangkah ke dalam kamarku. Lalu kubuka brankas dan termenung sejenak. Akhirnya kuambil tiga ikat uang seratusribuan dan kumasukkan ke dalam amplop besar berwarna drill. Lalu aku kembali lagi ke ruang keluarga dan duduk di samping Tante Marsha lagi.
Kuberikan amplop berisi uang 30 juta itu kepada Tante Marsha sambil berkata, “Ini uang untuk membayar hutang - hutang almarhum. Sisanya pakai aja buat keperluan Tante sehari - hari.”
Tante Marsha membuka amplop itu dan melihat isinya. “Banyak sekali Don. Aku hanya butuh enambelas juta.”
“Iya, sisanya untuk kebutuhan sehari - hari Tante dan anak - anak.”
“Aku belum punya anak Don,” ucapnya sambil memasukkan amplop berisi uang itu ke dalam tas kecilnya.
“Ohya?! Oom Jaka tidak meninggalkan keturunan sama sekali?”
“Waktu almarhum menikah denganku, statusnya sudah duda. Punya anak sih, tapi dari istri pertamanya yang sudah diceraikan. Denganku sama sekali belum menghasilkan keturunan.”
“Lalu… berapa lama Tante menjadi istri almarhum?”
“Baru dua tahun. Waktu menikah dengannya, usiaku baru duapuluhdua tahun, sedangkan almarhum sudah berusia empatpuluhan saat itu.”
“Jadi Tante sekarang baru berumur duapuluhempat tahun?”
“Iya Don. Makanya kalau bisa sih, aku mau bekerja saja di perusahaan Donny. Karena gak mungkin aku bolak - balik ke sini untuk terus - terusan minta bantuan sama Donny,” ucapnya dengan nada memohon.
“Mau bekerja di bagian apa Tan?”
“Bagian apa aja. Bagian cleaning service juga mau.”
“Hush… masa Tante secantik ini mau bekerja di bagian cleaning service?!” ucapku sambil memegang dan meremas tangannya yang hangat dan halus.
“Daripada nganggur… bagian apa juga aku bersedia Don.”
Aku tercenung sesaat. Ada yang ingin kukatakan tapi takut terjadi salah faham. Sampai akhirnya aku nekad berkata, “Tante akan kutempatkan di bagian yang sangat istimewa.”
“Di bagian apa?” tanyanya dengan sorot ragu.
Sebagai jawaban, aku berbisik di dekat telinganya, “Tante bersedia menjadi kekasih rahasiaku?”
Tante Marsha tersentak. Menatapku dengan bola mata bergoyang perlahan. “Donny serius?”
“Sangat serius Tante. Tapi hubungan kita takkan bisa berlanjut ke perkawinan secara sah. Karena kalau sampai kita menikah, pasti keluargaku akan heboh. Tapi Tante akan kuperlakukan seperti istriku. Akan mendapatkan rumah, nafkah lahir - batin secara teratur. Bahkan kalau Tante sampai hamil pun aku siap menyediakan bekal untuk masa depan anaknya.
“Sekarang umur Donny berapa? Belum duapuluh tahun kan?”
“Sudah duapuluhdua… sebulan lagi juga sudah duapuluh tiga. Tante hanya setahun lebih tua dariku.”
Wajah Tante Marsha mendadak berubah ceria. Ia memegang tanganku sambil berkata, “Gak nyangka aku akan merasakan kebahaghiaan setelah sekian lamanya tenggelam dalam kesedihan dan kegelapan Don. Tapi jangan manggil tante lagi dong padaku ya. Panggil aja Marsha… karena aku juga tujuh bulan lagi baru genap duapuluhempat tahun.
“Iya… mulai saat ini aku akan memanggil Marsha… Marshaku…” ucapku.
“Dan mulai saat ini aku menjadi milik Donny… Donnyku…” kata Marsha sambil menatapku dengan sorot cerah. Membuatnya semakin cantik di mataku.
Maka tanpa basa - basi lagi kupagut bibir mungil sensualnya. Marsha pun melingkarkan lengannya di leherku. Dan balas melumat bibirku dengan penuh kehangatan.
Setelah lumatan kami terlepas, aku berkata setengah berbisik, “Di kamarku aja yuk. Biar lebih nyaman.”
Marsha mengangguk. Lalu kutuntun dia ke dalam kamarku. Setelah menutup dan menguncikan pintu, aku duduk di sofa kamar pribadiku sambil menarik pergelangan tangan Marsha. Dan kuletakkan bokongnya di atas kedua pahaku. Setelah ia duduk di atas pangkuanku, lenganku pun kulingkarkan di pinggangnya. Sambil bertanya, “Gimana perasaan Marshaku sekarang?
Marsha menggeleng, Malah sebaliknya. Seperti sedang bermimpi. Karena tak menyangka akan disukai oleh Donnyku…”
“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanyaku sambil mempererat dekapanku.
“Terserah Donnyku. Apa pun yang diinginkan oleh Donnyku akan kuikuti,” sahutnya sambil merapatkan pipinya ke pipiku.
“Apakah tidak terlalu dini kalau kita melakukan bersebadan sekarang?” tanyaku sambil mengusap - usap paha putih mulusnya.
“Nggak, “Marsha menggeleng, “Aku malah sudah setahun lebih tidak pernah merasakannya.”
Tanganku menyelusup ke balik gaun katun Marsha sampai pangkal pahanya yang terasa hangat. “Aku sih pada waktu Marsha sedang nangis tadi juga udah mulai kepengen…”
“Ya udah lakukan aja sekarang. Aku siap melayanimu kok Donnyku Sayang…”
Sebenarnya tanganku sudah menyelinap ke balik celana dalamnya. Tapi kukeluarkan lagi sambil berkata, “Silakan buka busanamu… aku ingin tau bentuk tubuh wanita yang sudah menjadi milikku.”
Marsha mengangguk. Lalu turun dari pangkuanku. Kemudian berdiri di depanku sambil melepaskan gaun dan sepatunya. Sehingga tinggal beha dan celana dalam serba putih yang masih melekat di tuibuhnya.
“Boleh aku pipis dulu? ACnya dingin sekali, jadi aja pengen pipis, “katanya, yang kujawab dengan anggukan kepala dan senyum di bibir.
Bergegas Marsha masuk ke kamar mandi. Meninggalkanku dengan terawangan baru. Bahwa di mataku, Marsha itu nyaris sempurna. Atau bisa juga kukatakan sempurna untuk ukuran manusia biasa.
Aku tak menyangka semua ini. Bahwa Oom Jaka akan “mewariskan” istrinya yang masih muda itu padaku.
Ketika Marsha muncul dari kamar mandi, aku menyambutnya dengan ucapan, “Pakaian dalamnya biar aku yang buka Sayang. “Ini pertama kalinya aku menyebut kata Sayang padanya.
Marsha menurut saja. Ia duduk di sampingku dengan sikap manja yang gemesin. Bahkan lalu ia merebahkan kepalanya di atas pangkuanku. Sehingga aku bisa mengamati kecantikannya dari jarak yang sangat dekat.
“Telungkup dulu Sayang… aku mau melepaskan kancing behamu.” ucapku.
Marsha pun menelungkup dengan wajah di atas kedua pahaku. Lalu kulepaskan kancing kait beha putihnya. Marsha celentang lagi dan tetap meletakkan kepalanya di atas sepasang pahaku.
Lalu kelepaskan behanya.
Sepasang toket yang sangat indah pun terbuka di depan mataku. Toket yang tidak terlalu gede, tapi tidak pula kecil. Sangat proporsional. Sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi padat. Tidak kurus, tidak pula gemuk.
Tapi yang membuatku tercengang adalah ketika kuturunkan celana dalamnya, kemudian Marsha sendiri yang melepaskannya.
Wow… sebentuk kemaluan yang indah sudah terbuka di depan mataku. Kemaluan yang bersih dari jembut dengan bentuk yang begitu eloknya.
Sehingga aku tak sabaran lagi. Lalu mengangkat tubuh yang sempurna itu (untuk ukuran manusia biasa) dan meletakkannya dengan hati - hati di atas bed.
Aku pun menelanjangi diriku sendiri. Kemudian merayap ke atas perut Marsha yang sudah telanjang bulat itu.
Marsha menyambut kehadiranku di atas dadanya dengan senyum manis di bibirnya.
Aku pun langsung mencium bibir sensualnya itu, dengan gairah dan hasrat sepenuh hati.
Dan ketika kusentuh payudaranya, ternyata payudara Marsha masih kencang dan padat. Sehingga aku makin mengaguminya dan semakin bulat tekadku untuk memiliki dan merawatnya. Bukan sekadar mau melampiaskan nafsu birahi belaka.
Ada perasaan penasaran di dalam hatiku, ingin segera tahu seperti apa rasanya memek mungil dan imut - imut itu.
Sehingga aku pun agak buru - buru melorot turun, sehingga wajahku berada tepat di atas memek Marsha.
Kuusap - usap memek imut itu dengan lembut. Kemudian kuciumi dan kungangakan. Dan memperhatikannya dengan teliti. Aku heran ketika mengamati keadaan di dalam memek Marsha itu. Kenapa kelihatannya seperti masih perawan?
Ah, mungkin aku salah lihat. Masa Marsha yang sudah janda itu masih perawan?
Meski benakku masih menyimpan tanda tanya, kujilati memek Marsha dengan lahap. Sehingga ia mulai menggeliat dan menahan - nahan nafasnya.
Aku bukan hanya menjilati bagian dalam memeknya yang berwarna pink itu. Kelentitnya pun mulai kujilati secara intensif, disertai dengan isapan - isapan, yang membuat tubuh Marsha terkejang - kejang. Tentu saja aku melakukan semuanya ini sambil mengalirkan air li9urku sebanyak mungkin ke bagian dalam memeknya.
Cukup lama kulakukan semuanya ini.
Dan setelah merasa cukup banyak air liurku membasahi bagian dalam memek Marsha, akhirnya aku pun merangkak ke atas tubuhnya, sambil memegang leher kontolku, yang moncongnya sudah kuletakkan di ambang mulut vagina Marsha.
Kemudian kudorong kontolku sekuat tenaga.
Tapi… sttttt… moncong kontolku “terpeleset” ke bawah. Sehingga harus kubetulkan letaknya agar pas menuju liang sanggamanya. Kemudian kudorong lagi sekuatnya.
Gila… meleset lagi…!
Betulkan lagi letak moncong kontolku. Dorong lagi sekuatnya.
Meleset lagi…!
Gemas juga aku dibuatnya. Kudorong sepasang paha Marsha selebar mungkin. Lalu kuletakkan lagi moncongnya di tempat yang kuanggap sangat tepat. Kemudian aku mengumpulkan tenagaku untuk mendorong lagi kontol ngacengku dengan kekuatan full.
Naaaah… kini mulai masuk kepala dan lehernya…!
Aku pun menghempaskan dadaku ke atas dada bertoket indah ini. Dan mengumpulkan tenaga untuk mendorong kontolku kembali. Sambil memegang sepasang toket yang berukuran medium ini, kudorong kembali kontolku sekuat tenaga.
Berhasil masuk separohnya. Dan… liang memek Marsha luar biasa sempitnya. Bahkan lebih sempit daripada liang memek perawan yang pernah kuambil perawannya.
Hal ini membuat benakku menyimpan tanda tanya yang lebih besar. Tapi aku takkan menanyakan apa - apa padanya. Kini aku mulai menarik kontolku perlahan - lahan. Kemudian mendorongnya lagi sampai masuk lebih dalam dari tadi. Tarik lagi perlahan - lahan… dorong lagi semakin dalam… tarik lagi perlahan - lahan, dorong lagi semakin dalam.
Dengan tekun kulakukan hal ini. Sampai liang memek super sempit ini bisa beradaptasi dengan ukuran batang kemaluanku.
Dan setelah liang memek Marsha benar - benar beradaptasi dengan ukuran kontolku, aku mulai mengentotnya dengan gerakan perlahan dulu. Marsha pun mulai menggeliat - geliat sambil menahan - nahan nafasnya. Terkadang ia menatapku dengan senyum pasrah. Kemudian membiarkan bibirku menggeluti bibirnya.
Sampai pada suatu saat, aku mengangkat badanku dengan kedua tangan menahan tubuhku. Karena aku ingin melihat kontolku sendiri yang sedang keluar - masuk liang memek super sempit itu.
Ada darah di kontolku…!
Berarti Marsha masih perawan…!
Tapi mungkinkah kenyataan ini? Haruskah aku menanyakannya kepada Marsha?
Entahlah. Sekarang waktunya untuk mengentot Marsha. Bukan untuk bertanya jawab.
Karena itu dengan sepenuh gairah dan perasaan, aku mulai mengentot memek Marsha dengan kecepatan sedang. Tidak terlalu cepat, tidak pula terlalu perlahan.
Terasa sekali batang kemaluanku maju - mundur di dalam liang yang super sempit dan… luar biasa enaknya…!
Marsha mulai menggeliat dan mengejang. Dengan kedua tangan meremas - remas kain seprai. Rintihan histerisnya pun mulai terdengar.
Doooon… ooooo… ooooohhhhh… Dooooniiii… ini… ini luar biasa enaknya Doooon… ooooh… Dooooniiiii… enak sekali Dooon… ooooohhhhh… belum pernah aku merasakan yang seenak ini Doooon… ooooohhhhh… Dooooniiiiii ini luar biasa enaknya Dooooon… ooooh… Doooon… Doooon …
Rintihan dan rengekan manja Marsha makin lama makin menjadi - jadi.
“Dooon… ooo… oooohhhh… Doooon… aku seperti melayang - layang gini Dooon… oooooh… Doooon… yang seperti ini belum pernah kurasakan sebelumnya… dan ooooh… Dooooniiiii… ini indah dan nikmat sekali Doooon…”
Bahkan setelah lebih dari setengah jam aku menyetubuhinya, Marsha mulai berkelojotan. Pasti dia mau orgasme. Aku pun tak mau kenikmatannya berubah menjadi siksaan. Karena itu aku pun menggencarkan entotanku.
Dan… manakala Marsha mengejang tegang, dengan perut agaj terangkat ke atas, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin… sampai terasda mentok di dasar liang memek Marsha.
Lalu terjadilah sesuatu yang teramat indah. Bahwa liang memek Marsha berkedut - kedut kencang, bersamaan dengan mengejut - ngejutnya kontolku yang tengah memuntahkan lendir kenikmatanku.
Croootttt… croootttt… croooooooootttttt… crottttt… crooootttt… crottttt… crooootttttt…!
Kami sama - sama terkapar dan terkulai.
Tapi aku ingin segera membuktikan darah yang kulihat membalut kontolku waktu sedang mengentot Marsha. Maka kucabut kontolku dan langsung menyelidiki “keadaan” di bawah memek Marsha. Ternyata memang ada genangan dan percikan darah yang sudah mengering di kain seprai, persis di bawah kemaluan Marsha.
“Marshaku Sayang… aku bingung nih…” ucapku.
Spontan Marsha duduk. “Bingung kenapa Don?”
“Sebelum kusetubuhi tadi, Marsha masih perawan.”
“Ohya?! Mungkin aja. Karena almarhum tak pernah berhasil memasukkan penisnya ke dalam vaginaku,” ucap Marsha.
“Sebelum menikah denganku, almarhum sudah mengidap DM.”
“Diabetes melitus maksudnya?”
“Iya. Penyakit itu juga yang merenggut nyawanya.”
“Coba jelasin sedetail mungkin. Apa sebenarnya yang pernah Marsha alami selama menjadi istrinya?”
Marsha pun menjelaskan secara mendetail seperti yang kuminta. Bahwa penis almarhum Oom Jaka tidak pernah sempurna ereksinya. Lalu dicarinya akal. Penis almarhum hanya dijepit oleh kedua pangkal paha Marsha yang sudah dilumuri lotion. Lalu penis almarhum diayun dalam jepitan pangkal paha Marsha yang sudah dilicinkan oleh lotion.
“Aku masih awam dalam masalah sex. Karena itu aku mengira keperawananku sudah hilang dengan sendirinya. Tapi… ternyata aku masih perawan tadi ya …” ucapnya sambil memperhatikan darah yang sudah mengering di kain seprai itu, “Pantesan tadi pada awalnya ada rasa sakit sedikit… tapi lalu rasa sakit itu hilang setelah penis Donny mengentot liang vaginaku.
Aku pun melingkarkan lenganku di leher Marsha sambil berkata, “Tapi keperawananmu sudah kuambil Sayang. Apakah Marsha menyesal?”
“Nggak lah. Aku malah merasa bahagia karena telah menyerahkannya kepada cowok yang kucintai. Entah kenapa, sejak dibawa ke lantai dua ini, aku sudah jatuh cinta padamu Don. Dan ketika Donny menyetubuhiku tadi, cinta ini semakin mendalam. Aku… aku sangat mencintaimu Don…”
Lalu kupagut bibir yang agak ternganga itu dengan mesra… mesra sekali. Karena sebenarnya hatiku pun merasa bahagia atas semua yang telah terjadi ini.
Setelah ciumanku terurai, kupegang kedua tangan Marsha sambil berkata, “Aku pun merasa bahagia karena telah memilikimu. Mmm… karena ada luka akibat robeknya jangat perawanmu, aku takkan menyetubuhimu dulu selama tiga - empat hari. Nanti setelah luka di dalam vaginamu sembuh, barulah aku akan menyetubuhimu lagi.
Marsha mengangguk sambil tersenyum manis. Manis sekali senyum wanita muda yang ternyata masih suci sebelum kusetubuhi tadi.
“Sekarang Marsha tinggal sama siapa di rumah?” tanyaku.
“Dengan ibuku. Tadinya dia tinggal di kampung. Tapi setelah Oom Jaka meninggal, dia tinggal di rumahku. Mungkin agar aku tidak kesepian tinggal sendiri.”
“Rumah itu sudah milik sendiri?”
“Bukan. Itu rumah kontrakan. Almarhum mengontrak rumah itu selama dua tahun. Tiga bulan lagi juga masa kontraknya habis.”
“Terus tadinya rencana Marsha bagaimana setelah kontrakannya habis? Mau diperpanjang?”
“Punya duit dari mana buat memperpanjang kontrakan rumah itu? Yah, tadinya sih kalau kontrakannya sudah habis mau pulang aja ke kampung. Ke rumah ibuku.”
Aku lalu teringat ke sebuah rumah yang tadinya akan kuberikan kepada Gayatri. Tapi karena hubunganku dengan Gayatri sudah diputuskan, apa salahnya kalau kuberikan kepada Marsha? Ya… Marsha berhak untuk mendapatkan rumah itu. Karena hatiku merasa bahagia setelah memilikinya dalam tempo sesingkat ini.
Maka setelah sama - sama mandi dan berkeramas, kuajak Marsha ke luar.
Sebelum menuju rumah yang akan kuberikan padanya itu, kubawa dulu Marsha ke factory outlet langgananku. Kubelikan beberapa helai gaun yang layak dipakai oleh Marsha. Kubelikan juga celana jeans, celana corduroy dan celana katun nbeserta baju - baju kausnya. Tak lupa, Marsha pun kubelikan beha dan celana dalam bermerk paling terkenal di seantero jagat ini.
Kemudian kubawa Marsha ke rumah yang akan kuberikan itu. Sebuah rumah yang lumayan megah. Rumah yang terdiri dari 2 lantai, berbentuk kotak minimalis. Di lantai bawah ada dua kamar tidur, di lantai dua pun ada kamar dua buah. Tentu saja kitchen, ruang tamu, ruang makan dan ruang keluarganya ada. Perabotannya pun sudah lengkap.
Tentu saja Marsha terkejut dan gembira sekali mendapatkan rumah yang cukup besar untuk ukuran keluarga kecil itu.
Bertubi - tubi Marsha mendaratkan ciumannya di pipi dan bibirku. Ucapan terima kasih pun berkali - kali ia ucapkan.
Setelah lonjakan kegembiraannya mereda, ia bertanya, “Bolehkah ibuku dibawa ke sini Sayang?”
“Tentu saja boleh. Malah aku senang kalau Marsha ada teman di sini. Nanti akan kucarikan pembantu juga. Karewna Marsha akan kuaktifkan di perusahaanku. Ohya, pendidikan terakhir Marsha sampai mana?”
“Cuma D3 di bidang kesekretarisan.”
“Oke. Kalau begitu Marsha akan kujadikan sekretaris pribadiku nanti ya. SUpaya mata Marsha terbuka… bahwa dunia ini luas sekali.”
“Iya Sayang. Aku sih dijadikan apa pun siap. Asalkan jangan disuruh menghentikan cintaku padamu.”
“Oooo… kalau yang satu itu takkan mungkin terjadi. Ayo sekarang kita jemput ibumu ke Sumedang.”
“Sebentar… aku ingin pakai gaun baruku dulu. Boleh?”
“Tentu aja boleh. Ayo gantilah pakaianmu di kamar mana akan dipilih sebagai kamarmu Sayang?”
“Kamar itu aja. Kelihatannya paling lengkap fiurniturenya kan?”
“Iya. Itu memang kamar utama. Pakailah gaun termahal dari FO tadi ya Sayang.”
“Iya Donnyku Sayang, “Marsha menjinjing beberapa kantong plastik berisi pakaian dari FO langgananku tadi. Lalu masuk ke dalam kamar paling depan, yang Marsha pilih sebagai kamarnya. Aku pun mengikutinya dari belakang, karena ingin menyaksikan seperti apa bentuk Marsha setelah mengenakan gaun termahal di FO langgananku itu.
Marsha tahu bahwa aku sudah berada di dalam kamar utama itu. Tapi tanpa keraguan dia menelanjangi dirinya, kemudian mengenakan beha dan celana dalam baru yang harganya sulit dijangkau oleh golongan menengah ke bawah itu.
“Donny akan sering nginap di sini nanti kan?” tanya Marsha setelah mengenakan beha dan celana dalam baru itu.
Aku bergerak ke belakangnya. Lalu memeluknya dari belakang sambil berkata, “Tentu saja Sayang. Setelah luka di dalam vaginamu benar - benar sembuh, aku akan sering ngionap di sini. Tapi tentu tak bisa tiap hari aku menginap di sini, karena pekerjaanku bertumpuk terus, terkadang sampai larut malam aku masih bergelut dengan komputerku.
“Iya Sayang… soal itu sih aku mengerti. Sangat mengerti.”
“Sekarang memekmu masih terasa perih kan?”
“Iya… rada perih sedikit. Penismu kegedean kali… hihihihiii…”
“Emangnya penis almarhum seperti apa?”
“Jauh lebih kecil daripada penis Donny. Gak bisa ereksi sempurna pula. Hanya tegak tali… tegang tapi terkulai. Akibat penyakitnya itu. Punya Donny kan ereksinya sempurna. Keras sekali. Makanya gak terlalu sulit memasuki liang vaginaku yang masih perawan juga. Kudengare orang lain suka kesulitan di malam pertamanya.
Kemudian Marsha mengenakan gaun yang kuanjurkan untuk dipakai itu. Gaun sutra berwarna hijau tosca polos, tanpa corak secuwilku. Tapi gaun itu memang gaun impor. Sehingga setelah mengenakan gaun itu, Marsha jadi tampak lebih cantik.
“Hmmm… Marsha jadi makin cantik dalam balutan gaun baru ini. Aku bangga memilikimu Sayang,” ucapku disusul dengan kecupan mesra di bibirnya. “Tapi ada yang lupa tadi ya… aku lupa membelikan sepatu untukmu.”
“Ah, jangan dipikirkan Don. Sepatu kan bisa kapan - kapan lagi belinya. Pakaian aja sudah berjuta - juta tadi belinya. Bikin aku malu sama Donny.”
“Kubelikan gaun dengan pabriknya sekali pun, nilai Marsha jauh lebih mahal di hatiku,” sahutku yang kususul dengan ciuman hangat di pipinya.
Hari mulai malam ketika sedan putihku sudah kularikan menuju Sumedang. Tapi belum malam benar. Ketika sedan putihku tiba di depan rumah Marsha, jam tanganku baru menunjukkan pukul 20.30.
Setelah Marsha mengetuk pintu sambil berseru, “Buuu… !”, pintu pun dibuka oleh seorang wanita setengah baya. Ternyata ibunya Marsha masih kelihatan muda. Pasti dia kawin dini dengan ayah Marsha dahulu.
“Ini anak teh Ami Bu,” kata Marsha setelah masuk ke dalam rumah sederhana itu.
“Oh… iya… iya… kan waktu Jaka meninggal juga datang, lalu ibunya datang beberapa saat kemudian,” sahut wanita setengah baya yang masih memancarkan paaras eloknya itu.
Aku pun lalu mencium tangan ibunya Marsha, yang dilanjutkan dengan cipika - cipiki.
“Siapa namamu Nak?” tanya ibunya Marsha.
“Donny Bu.”
“Sekarang Ibu ganti pakaian dulu. Kami akan membawa Ibu ke suatu tempat yang luar biasa nyamannya,” kata Marsha sambil memegang bahu ibunya.
“Malam - malam begini mau piknik?”
“Bukan mau piknik Bu. Mauj memperlihatkan sesuatu yang… ah… nanti aja jelasinnya. Biar jadi kejutan buat Ibu. Sekarang ganti baju dulu. Sekalian bawa baju untuk ganti Bu. Karena kita akan menginap di sana.”
“Iya, iyaaa…” sahut wanita setengah baya itu sambil melangkah ke dalam.
“Ibumu masih muda sekali,” ucapku sambil menepuk tangan Marsha yang sudah sama - sama duduk di ruang tamu.
“Ibu melahirkanku pada waktu usianya baru enambelas tahun. Maklum Ibu tinggal di kampung. Umur limabelas juga sudah dikawinkan.”
“Berarti sekarang umur Ibu baru empatpuluhan.”
“Tigapuluhsembilan menuju empatpuluh.”
“Pantasan kelihatannya masih muda sekali.”
Pantaslah Marsha cantik, karena ibunya juga cantik. Membuatku teringat ucapan orang - orang tua, bahwa “buah jatuh takkan jauh dari pohonnya”.
Beberapa saat kemudian, ibunya Marsha sudah muncul dengan mengenakan baju jubah hitam, dengan hijab hitam pula. Tapi dalam pakaian muslimah itu ibunya Marsha malah kelihatan lebih cantik lagi. Membuatkuj teringat pada Gayatri dan ibunya (Tante Agatha).
Kami bertiga pun berangkat
Beberapa saat kemudian, Marsha dan ibunya sudah berada di dalam sedan putihku, yang sudah kujalankan kembali menuju kotaku. Marsha duduk di samping kiriku, ibunya duduk di belakang.
“Nama Ibu siapa?” tanyaku pada suatu saat kepada Marsha.
“Eti…” sahut Marsha, “lengkapnya sih Eti Rohaeti.”
“Antik namanya ya.”
“Iya… nama jadul,” sahut Marsha sambil menoleh ke belakang dan berkata kepada ibunya, “Bu… aku dan Donny sudah saling mencintai. Gak apa - apa kan?”
“Gak apa - apa. Malah bagus. Daripada kelamaan menjanda, bisa menimbulkan banyak fitnah.”
“Maksudku… aku kan mantan istri pamannya. Gak apa - apa?”
“Gak apa - apa. Setahu ibu sih yang dilarang itu mengawini mantan istri ayah atau mantan suami ibu. Kalau mantan istri paman sih tidak ada ketentuannya. Apalagi Jaka itu kan paman dari pihak ibunya Donny.”
Tanpa keraguan, meski di belakang ada ibunya, Marsha mengecup pipi kiriku sambil berkata setengah berbisik, “Dengar sendiri kan apa kata Ibu barusan?”
Aku cuma tersenyum.
Sedan putihku meluncur terus di tengah kegelapan malam.
Jalanan yang lengang membuatku bisa lebih cepat mencapai rumah yang sudah kuberikan kepada Marsha itu.
Bu Eti turun dari sedan putihku sambil celingukan. “Wah… rumah ini megah sekali Sha. Rumah punya siapa ini Sha?” tanya Bu Eti kepada anaknya.
Aku yang menjawab, “Rumah ini punya Marsha Bu.”
Bu Eti terbelalak. Mengguncang bahu Marsha sambil bertanya, “Beneran ini rumahmu Sha?”
“Iya Bu. Dan Ibu harus tinggal di sini juga. Karena aku kesepian kalau harus tinggal sendirian di rumah sebesar ini.”
Marsha mengantar ibunya untuk mengitari setiap penjuru rumah baru ini. Sementara aku duduk saja di ruang keluarga, sambil merasakan letihnya bekas nyetir tadi.
Tak lama kemudian Marsha muncul tanpa ibunya.
“Ibu pengen di kamar lantai dua Don. Dia seneng sekali di situ.”
“Iya biarin aja. Malah bagus. Di lantai bawah ada yang nunggu, di lantai atas juga ada yang nunggu. Biar selalu bersih .”
“Ibu sih rajin Don. Pasti lantai dua dibikin bersih dan mengkilap nanti. Coba samperin dulu Ibu gih. Aku mau ganti baju dulu, sekalian mau masak air. Donny mau bikin minuman apa?”
“Di kitchen ada kulkas. Di situ banyak soft drink botol dan kaleng. Gak usah masak air segala. Kalau mau minum yang panas, kan ada dispencer.”
“Oh iyaaa… aku mau ganti baju dulu ya,” ucap Marsha sambil melangkah ke dalam kamar utama, “Samperin Ibu dulu di atas Don. Biar dia ngerasa sudah diijinkan oleh Donny untuk menempati kamar di lantai dua itu.”
“Rumah ini sudah menjadi milikmu Sayang. Jadi kalau mau melakukan apa pun tak usah minta izin lagi dariku,” ucapku. Tapi aku melangkah juga ke tangga menuju lantai atas.
Di lantai dua ada dua kamar juga seperti di bawah. Kulihat kamar di paling pinggir menyala lampunya. Berarti Bu Eti memilih kamar yang jendelanya menghadap ke arah jalan. Mungkin supaya bisa memandang keramaian lalu lintas manusia dan kendaraan di siang hari.
Kubuka pintu kamar itu. Mungkin Bu Eti sedang memindahkan pakaiannya dari tas pakaian ke lemari yang masih kosong itu.
Tapi apa yang kulihat? Ibunya Marsha itu sedang rebahan, dengan hanya mengenakan lingerie. Kaki kirinyha terselonjor, tapi kaki kanannya menekuk dengan telapak kaki menginjak kasur sementara lututnya terlipat seperti sedang berjongkok. Masalahnya… paha dan betisnya begitu putih… begitu mulus…
Oi Maaak… apa yang sedang terjadi di dalam batinku ini? Kenapa kontolku langsung ngaceng menyaksikan pemandangan yang sangat indah itu? Aku pun iseng melangkah ke depannya, karena Bu Eti membelakangi pintu yang kumasuki barusan. Dan… edaaaan… apa yang kulihat benar - benar membuatku tergetar hebat.
Apakah dia biasa tidur tanpa celana dalam atau bagaimana?
Aku berusaha menindas segala hal yang bisa merusak suasana ini. Lalu aku keluar lagi dari kamar di lantai dua itu. Dan menuju kamar Marsha lagi di lantai bawah.
Kulihat Marsha sudah mengenakan kimono putih. Aku pun berusaha untuk melupakan apa yang sudah kulihat di lantai dua barusan.
“Ibu sudah tidur nyenyak di atas,” ucapku sambil merebahkan diri di atas bed.
“Udah tidur? Hmm… Ibu memang terbiasa tidur setelah sholat isya. Tapi jam tiga atau setengah empat sudah bangun lagi biasanya sih. Donnyku mau tidur di sini sekarang kan?”
“Nggak. Aku mau tidur di rumah Bunda. Besok pagi aku ke sini, sekalian jemput Marsha untuk mulai bekerja di kantorku.”
“Aku mulai bekerja besok pagi?”
“Selama sebulan ikut training dulu. Besok ada sekretaris senior yang akan melatih Marsha. Sekretaris senior itu bernama Wien. Aku biasa memanggilnya Mbak Wien. Dia itu sekretaris dirut. Dan nanti, kalau sudah aktif, kedudukan Marsha lebih tinggi dan lebih santai daripada dia. Karen dia itu sekretaris dirut, sementara Marsha akan menjadi sekretaris komut.
“Iya, aku mengerti Don.”
“Tapi meski pun akan menduduki jabatan yang lebih tinggi dari Mbak Wien, Marsha harus mengikuti pelatihannya dengan patuh dan disiplin ya.”
“Siap Bossku…”
“Sekarang aku mau pulang dul;u. Jangan lupa kunci semua pintu keluar. Tapi gak usah takut, di sini sangat aman. Karena senantiasa dijaga oleh satpam.”
Tak lama kemudian aku sudah berada di dalam sedan putihku, meninggalkan rumah Marsha, menuju rumah Bunda.
Jujur… sejak melihat paha putih mulus ibunya Marsha tadi, aku terangsang sekali. Tapi aku tak mau merusak suasana yang sudah kuatur sedemikian rapinya.
Tapi hasrat biologisku harus disalurkan kepada… Bunda…!
Untung aku punya ibu kandung yang selalu mengerti keinginanku, termasuk dalam masalah sex.
Hari memang sudah larut malam ketika aku tiba di rujmah Bunda. Dan aku selalu membekal kunci cadangan untuk membuka pintu garasi. Dari garasi aku bisa masuk ke kamar Bunda tanpa harus membuka kunci lain lagi.
Kebetulan Bunda baru selesai mandi ketika aku masuk ke dalam kamarnya.
“Tengah malam gini kok mandi Bun?” sambutku sambil memeluk Bunda yang cuma melilitkan handuk di badannya.
“Tadi café ramai sekali. Sampai jam duabelas malam baru bubar. Ada anak orang gedean ulang tahun,” sahut Bunda, “Makanya malam - malam juga bunda mandi, supaya gak bau keringat dan bumbu masakan.”
“Berarti sekalian nyediain memek bersih dong buat anak kesayangan Bunda ini,” sahutku sambil melepaskan handuk itu dari tubuh Bunda. Dan Bunda tersayang itu pun langsung telanjang bulat di depan mataku.
“Hmmm… udah kangen ya sama memek bunda,” ucap Bunda sambil memijat hidungku.
“Iya Bun… dari tadi siang aku inget terus sama Bunda,” sahutku sambil memeluk Bunda dari belakang, sambil merayapkan tanganku ke bawah perutnya pula. “Wow… memek Bunda baru dicukur nih… asyiiiik… bisa nyaman menjilatinya… !”
Bunda merayap ke atas bed, lalu celentang sambil berkata, “Jilatin deh memek bunda sepuasmu Sayang.”
“Sebentar… pintunya harus dikunci dulu. Biar Donna jangan nyelonong ke sini. Aku cuma ingin ngentot Bunda malam ini,” ucapku sambil bergerak ke arah pintu, lalu menguncinya.
“Donna gak bakalan ganggu kita. Dia kan lagi mens.”
“Ohya?! Baguslah… aku memang ingin konsentrasi sama Bunda aja malam ini,” sahutku sambil melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Setelah telanjang aku pun melompat ke atas bed Bunda. Menghimpit Bunda yang sudah celentang pasrah.
Aku mulai dengan mencium bibir Bunda. Kemudian mengemut pentil toket kirinya sambil meremas toket kanannya.
Lalu melorot turun sampai wajahku berhadapan langsung dengan memek Bunda yang baru dicukur bersih itu.
Dengan lahap kujilati memek Bunda yang sudah dingangakan oleh Bunda sendiri, sementara jari tengahku pun diselusupkan ke dalam liang memek Bunda. Untuk mengotak - atik di dalam liang memek Bunda.
Tak cuma itu. Aku pun melanjutkannya dengan menjilati kelentit Bunda sambil sesekali mengisapnya kuat - kuat, sehingga kelentit Bunda jadi tampak agak “mancung”.
Bunda menggeliat - gliat dan mendesah - desah sambil mengusap - usap rambutku. Entah seperti apa pikiran Bunda dalam saat - saat seperti ini. Tapi Bunda takkan tahu bahwa sekali ini aku sedang membayangkan sedang siap - siap untuk menyetubuhi ibunya Marsha…!
Ya… jujur saja. Kali ini aku tidak benar - benar kangen sama Bunda. Aku hanya ingin menyalurkan nafsuku yang tersekap di dalam jiwaku ini. Menyalurkan keringinanku untuk menggaul;I perempuan setengah baya. Karena aku selalu mendapatkan kepuasan plus setiap kali menyetubuhi wanita setengah baya.
Aku sudah hafal “jalan” menuju liang sanggama Bunda. Maka ketika aku mendorong kontolku yang sudah ngaceng berat ini… kontolku langsung amblas ke dalam liang memek Bunda… bleeessss…!
Lalu mulailah aku mengayun kontolku, yang bisa langsung dalam kecepatan normal. Karena aku sudah hafal seluk - beluk memek Bunda.
Seperti biasa, rintihan - rintihan bunda mulai terdengar. Tapi Bunda sudah bisa mengontrol diri. Rintihannya seolah bisikan di telingaku. Tidak pernah meraung - raung keras.
“Aaaaah… Doooon… aaaaah… Dooooniiii… aaaaaah… Dooooon… bunda tak bisa lagi ditinggalkan terlalu lama olehmu Sayang… karena kamu selalu membuat bunda puas… ooooohhhh… entot terus Dooon… iyaaaa… iyaaaaaa… iyaaaaaaa… iiiiyaaaaaa… entot terus Sayaaaang… entooooot …
Aku sendiri memang sedang sangat bergairah untuk mengentot Bunda. Karena diam - diam aku sedang membayangkan sesuatu… membayangkan sedang mengentot memek ibunya Marsha yang berjembut tebal itu…!
Aku hanya ingin menyalurkan hasrat biologisku. Karena itu, ketika Bunda berkata “nanti lepasin bareng ya, biar nikmat”, aku mengiyakan saja.
Memang malam ini aku ingin menyalurkan nafsu birahiku. Tapi bukan ingin berlama - lama menyalurkannya.
Maka ketika Bunda mulai berkelojotan, aku pun menggencarkan entotanku. Tak ubahnya pebalap sepeda yang sedang melakukan sprint ketika garis finisdh sudah tampak di mata mereka.
Kuentot liang memek Bunda segencar mungkin. Lalu ketika Bunda mengejang tegang, aku p[un menancapkan kontolku sedalam mungkin, sehingga moncong kontolku mentok di dasar liang mmemek Bunda.
Pada saat itulah aku dan Bunda sama - sama menahan nafas. Lalu detik - detik terindah itu pun terjadi. Bahwa ketika liang memek Bunda berkedut - kedut kencang, kontolku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir surgawiku.
Jrottttttt… jrooootttt… crettt… jropooootttttt… jrottttt… jrooootttt… jrooootttt…!
Kami pun terkapar dan terkulai lemas di pantai kepuasan.
Lalu tertidur dengan nyenyaknya, dalam keadaan sama - sama telanjang bulat.
Esok paginya aku terbangun sambil menggeliat. Bunda tidak ada lagi di atas bednya. Mungkin dia sudah berangkat ke pasar untuk belanja kebutuhan café.
Aku pun turun dari bed, langsung masuk ke kamar mandi Bunda. Dan mandi sebersih mungkin.
Selesai mandi kupakai pakaian formal yang kuambil dari kamarku. Karena aku mau ke kantor, tapi mau menjemput Marsha dulu di rumah yang sudah kuhibahkan padanya itu.
Bunda pun muncul dari belakang, sambil membawa sepiring toaster (roti bakar) isi daging. Bunda sudah tahu benar kesukaanku, roti bakar isi daging, tapi jangan pakai daging kornet. Kecuali kalau kornet impor. Karena kornet lokal tak ada yang enak. Dagingnya pun malah dihancurin begitu. Sementara kalau kornet impor, digodognya mnenggunakan susu murni.
Karena itu Bunda suka pakai daging cincang yang ditumis sendiri, untuk isi roti bakarku.
Kopi yang digunakan pun bukan kopi biasa, tapi kopi arabica Aceh Gayo, yang menurutku paling enak di dunia (asalkan jangan beli merk asal - asalan).
Setelah menghabiskan roti bakar dan kopi panas, aku pun pamitan pada Bunda untuk berangkat ke kantor. Aku tidak menyampaikan kata sepatah pun mengenai mantan istri Oom Jaka itu. Karena aku ingin merahasiakannya.
Kemudian aku menjemput Marsha di rumahnya.
Bu Eti mengantarkan kepergian anaknya sampai pintu pagar. “Pulangnya kirimin oleh - oleh yaaa, “serunya yang dijawab dengan anggukan kepala Marsha.
Setelah mobilku bergerak, aku berkata, “Nanti waktu Marshaku training, aku akan membelikan pakaian buat Ibu.”
“Nggak usah terlalu ngerepotin Don,” sahut Marsha.
“Di rumah Ibu gak pernah pakai jilbab kan?” tanyaku.
“Nggak. Dia hanya pakai jilbab kalau mau bepergian aja,” sahut Marsha.
“Aku ingin beliin daster, kimono dan sebagainya. Pokoknya untuk sehari - hari di rumah aja. Tapi kalau pakaian untuk bepergian, nanti Ibu akan kuajak serta. Biar beliau memilih sendiri pakaian yang disenanginya.”
“Oleh - oleh untuk Ibu sih cukup aneh kedengarannya.”
“Memangnya apa yang paling disenanginya?”
“Main PS. dia sering asyik sendiri di rumah sambil main PS.”
“Hahahaaa… masa sih?!”
“Serius. Coba nanti beliin DVD game untuk PS yang baru, pasti dia senang sekali.”
“Tapi sekarang kan Ibu gak bawa PS playernya.”
“Iya. Mungkin disangkanya hanya semalam dua malam dibawa ke sini. Padahal sekalian dibawa pindah.”
“Nanti deh kubeliin PS playernya.”
“Dia sih gak usah yang canggih - canggih Don. Dibeliin PS satu juga senang.”
“Hush… PS sekarang kan sudah PS empat. Masa masih mau beli PS satu?”
“Takutnya kalau terlalu canggih, Ibu malah kesulitan mainkannya. Maksimal PS dua aja deh.”
“Memangnya masih ada toko yang jual PS dua?”
“Nggak tau. Gak pernah lihat - lihat ke toko yang jual PS sih. Aku malah gak suka main PS. Abisin waktu doang.”
“By the way… memeknya masih terasa perih gak?”
“Sudah agak mendingan. Mungkin besok sih sembuh total. Kenapa? Donny udah gak sabar ya… pengen ML lagi denganku?”
“Gak sih. Aku ingin mengutamakan kesembuhan lukanya dulu.”
Tak lama kemudian sedan putihku sudah tiba di tempat parkir khusus buatku di parkiran kantorku. Di sini hanya 2 mobil yang boleh parkir. Mobil komut dan mobil dirut.
Lewat interphone kupanggil sekretaris dirut agar menghadap ke ruang kerjaku.
Sebelum Mbak Wien datang, aku sudah bilang pada Marsha, bahwa dia akan kusebut sebagai saudara sepupuku. Marsha mengangguk dan mengerti, bahwa di dalam suatu kantor suka banyak hal - hal yang harus disamarkan.
Tak lama kemudian, Mbak Wien muncul. Dengan tatapan dan senyum yang menggoda. Aku tahu apa maksud senyum yang seperti itu. Karena ia seolah sudah menjadi haremku. Dan belakangan ini sudah cukup lama aku tidak menggaulinya.
Tapi saat itu ada Marsha yang sedang ke toilet. Maka cepat kuletakkan telunjuk di bibirku. Dan cepat berkata, “Ada saudara sepupuku yang akan kuangkat sebagai sekretarisku sendiri. Dia sudah D3 kesekretarisan. Tapi tolong training dia ya Mbak. Karena dia belum pernah bekerja di mana pun.”
“Ogitu. Siap Boss.”
“Orangnya sedang di toilet sebentar.”
“Iya, “Mbak Wien mengangguk dengan sikap formal lagi, “Ohya… terimakasih transfer yang kemaren Boss.”
Aku cuma menjawab dengan anggukan kepala, karena Marsha sudah keburu muncul dari toilet.
“Nah ini saudara sepupuku Mbak. Namanya Marsha.”
Spontan Mbak Wien berdiri, lalu menjabat tangan Marsha sambil menyebutkan namanya, “Wien.”
Marsha pun menyebutkan namanya, meski sudah kusebutkan barusan.
“Saudara sepupu Big Boss cantik sekali. Bisa jadi primadona kantor ini nanti,” ucap Mbak Wien sambil memegang kedua tangan Marsha.
“Ah Mbak bisa aja, “Marsha tersipu.
“Kira - kira trainingnya berapa hari Mbak?” tanyaku.
“Tergantung daya tangkap Dek Marshanya Boss. Kalau daya tangkapnya bagus, seminggu juga selesai. Dia sudah D3 kesekretarisan kan,” sahut Mbak Wien.
“Nggak usah keburu - buru. Santai aja,” ucapku, “Pokoknya training sampai benar p- benar matang. Karena nantinya akan mengerjakan tugas - tugas besar.”
“Siap Big Boss,” sahut Mbak Wien dengan sikap formal.
“Sama Bu Kaila laporkan aja, Mbak Wien mendapat tugas untuk melatih calon sekretaris pribadiku,” ucapku.
“Siap,” sahut Mbak Wien.
Lalu aku memegang bahu Marsha sambil berkata, “Aku mau mencari barang - barang untuk Ibu. Jangan pulang dulu sebelum aku datang ya.”
“Iya,” sahut Marsha sambil mengangguk.
Kemudian aku meninggalkan mereka. Mengambil tas kerjaku dan menuju tempat parkir mobilku.
Sesuai dengan rencana, kubelikan beberapa helai gaun tidur, kimono dan sebagainya di FO langgananku. Semuanya untuk ibunya Marsha. Semuanya kubayar dengan janji kalau ukurannya tidak cocok akan segera ditukarkan lagi.
Setelah meninggalkan FO itu, aku mengarahkan sedan putihku ke daerah toko - toko elektronik. Untuk membeli PS4 dan dvd - dvdnya.
Kemudian kuarahkan sedan putihku menuju rumah Marsha.
Aku ingin memberi kejutan kepada Bu Eti. Karena itu kubuka kunci pintu samping dengan kunci cadangan yang ada padaku. Lalu aku mencari - cari Bu Eti di lantai bawah. Tidak ada.
Maka aku pun menaiki tangga menuju lantai dua, sambil menjinjing kantong - kantong plastik berisi oleh - oleh untuk ibunya Marsha. Aku berjalan mengendap - endap ke pintu kamar yang paling depan itu. Lalu kubuka pintu itu perlahan - lahan.
Dan… apa yang kulihat? Lebih hot daripada yang kulihat kemaren… ibunya Marsha menelentang dalam keadan telanjang bulat, sambil bermasturbasi…!
Dia tidak menyadari kehadiranku, karena ia sedang menelentang sambil memejamkan matanya, sementara aku datang dari arah kepalanya. Maka perlahan - lahan kuletakkan kantong - kantong plastik itu di lantai dekat bed. Lalu dengan mengendap - endap aku melangkah ke arah samping tubuh telanjang bulat itu.
Bu Eti memang tidak secantik Marsha. Tapi dia memang eksotis. Kontolku pun spontan ngaceng setelah menyaksikan apa yang sedang dilakukan oleh ibunya Marsha itu.
Dan… aku nekad… memegang tangannya yang sedang mencolok - colok liang memek berjembut lebat itu.
Bu Eti membuka matanya dan spontan memekik, “Aaaaaaaaawwww… !”
“Tenang Bu. Aku tidak heran melihat Ibu bermasturbasi. Karena Ibu masih muda. Tentu masih normal… masih membutuhkan sentuhan lelaki…” ucapku sambil mencium pipinya yang terasa hangat.
“Iiii… ibu… ma… mau pakai baju dulu Don… oooohhhh… “Bu Eti meronta.
Tapi aku cepat menghimpitnya sambil berkata, “Sama aku mendingan terbuka aja Bu. Santai aja. Aku justru suka sekali melihat Ibu telanjang begini. Dan menurutku, Ibu masih sangat normal… masih membutuhkan sentuhan lawan jenis…”
“Tapi… Marsha mana?”
“Marsha sedang latihan kesekretarisan di kantorku. Dia kan bakal dijadikan sekretaris Bu. Tenang aja… Marsha takkan pulang sebelum aku menjemputnya ke kantor nanti sore.”
“Terus ibu harus gimana sekarang? Ooooh… ibu jadi malu sama Donny,” Ucap Bu Eti sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.
“Kalau begitu, aku juga mau telanjang ya. Biar Ibu gak merasa malu lagi,” ucapku sambil turun dari bed untuk melepaskan sepatu, kaus kaki dan seluruh busanaku.
Dalam keadaan telanjang bulat, dengan kontol sudah ngaceng pula, aku merentangkan kedua tanganku sambil berkata, “Sekarang aku juga sudah telanjang, seperti Ibu. Jadi gak usah ada perasaan malu lagi di antara kita kan Bu?”
Bu Eti tercengang, dengan pandangan terpusat ke batang kemaluanku yang memang sudah ngaceng sejak tadi.
“Iii… ini Donny mau apa?”
“Ibu jangan munafik. Ibu membutuhkan sentuhan lelaki kan?”
Seperti terhipnotis, Bu Eti mengangguk perlahan.
“Nah aku sengaja datang sendirian ke sini, karena ada dua hal. Yang pertama, aku sangat terangsang waktu Ibu baru datang tadi malam. Ibu mengenakan lingeri putih dan tak mengenakan celana dalam waktu tidur tadi malam kan?”
“Kok Donny bisa tau?”
“Tadinya ada sesuatu yang mau kubicarakan dengan Ibu. Tapi Ibu sudah tidur tanpa mengenakan celana dalam. Sehingga aku cukup lama menyaksikan betapa merangsangnya memek Ibu itu. Itulah sebabnya aku datang ke sini. Sekalian mengantarkan baju - baju baru untuk di rumah dan juga PS, yang kata Marsha kegemaran Ibu.
“Ja… jadi… “Bu Eti tak bisa melanjutkan kata - katanya karena aku sudah melompat ke atas bed, lalu menghimpitnya sambil berkata, “Kita tidak usah munafik Bu. Kita saling membutuhkan. Ibu membutuhkan lelaki segar, aku pun sudah tergiur oleh Ibu yang begini eksotik di mataku.”
“Jadi Do… Donny mau… mau…”
“Iya… mau menggauli Ibu. Itu pun kalau Ibu bersedia kugauli. Kalau tidak mau, aku takkan memaksa.”
“Ta… tapi… Donny kan calon suami Marsha.”
“Iya… orang bilang kalau kawin dengan seorang perempuan, harus kawin juga dengan keluarganya. Hihihihiiii… iya kan Bu?”
“Marsha itu cantik Don. Masa mau ngegares ibu juga?”
“Marsha memang cantik. Tapi Ibu jauh lebih seksi di mataku,” sahutku sambil meremas payudara Bu Eti pelan - pelan.
“Ibu sih mau aja digauli olehmu. Tapi bagaimana kalau Marsha sampai tau nanti?”
“Itu urusanku Bu. Marsha itu sudah siap untuk mengikuti apa pun yang akan kulakukan.”
“Iyalah… Marsha pasti manut sama Donny, karena Donny sangat tampan begini…”
“Jadi Ibu sudah sepakat untuk kugauli sekarang?”
“Terserah Donny aja. Ibu mau mengikuti keinginan Donny aja, seperti Marsha manut pada Donny.”
“Mmmm… aku senang sekali mendengar kesediaan Ibu yang semalaman tadi terbayang - bayang terus di pelupuk mataku,” ucapku yang disusul dengan ciuman hangat di bibir Bu Eti yang sensual itu.
Bu Eti memejamkan matanya sambil mendekap pinggangku. Bahkan sesaat kemudian ia melumat bibirku dengan hangatnya.
“Rasanya seperti bermimpi. Karena tak menyangka sedikit pun kalau Donny mau sama Ibu.”
“Jangan suka rendah diri Bu. Ibu ini sangat eksotis dan seksi sekali di mataku. Karena itu aku sengaja meninggalkan Marsha di kantor, karena ingin mewujudkan lamunanku… untuk memiliki Ibu…” ucapku yang kususul dengan mengulum pentil toket kiri Bu Eti dan meremas toket kanannya.
Lalu, tanpa mempedulikan betapa lebatnya jembut Bu Eti, aku melorot turun dan langsung menyibakkan jembut tebal itu, kemudian menjilati bagian dalam memeknya yang ternganga kemerahan itu.
“Oooohhh… Donny… kalau tau akan dijilatin begini, pasti ibu cukur memeknya tadi…” ucap Bu Eti.
Kuhentikan jilatanku untuk menjawabnya, “Gak apa Bu. Terkadang memek berjembut begini justru membangkitkan gairahku.”
Lalu kujilati lagi memek ibunya Marsha ini. Membuat wanita setengah baya itu menggeliat - geliat, sambil meremas - remas bahuku.
Aku tahu bahwa Bu Eti sudah dikuasai nafsu, karena setiap titik sensitifnya sudah kusentuh.
Kini tiba saatnya untuk mengeksekusinya. Tanpa sikap malu - malu lagi Bu Eti merentangkan kedua belah pahanya ketika moncong kontolku sudah kuletakkan pada titik yang kuanggap pas.
Lalu tanpa basa basi lagi kudorong kontolku sekuat tenaga. dan… melesak amblas ke dalam liang memek yang ternyata sangat licin itu.
Bu Eti pun langsung mendekapku sambil merengek, “Aaaaaaa… aaaaaahhhhhh… masuuuk Doooon…”
Dalam keadaan seperti ini, aku tidak sungkan - sungkan lagi untuk melingkarkan lengan kananku di lehernya. Kemudian mencium dan melumat bibirnya dengan segenap kehangatanku, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya dengan lembut. Kontolku pun mulai kuayun perlahan - lahan dulu. Karena ada juga wanita yang lebih suka dientot secara pelan - pelan.
Ternyata Bu Eti pun termasuk wanita yang seperti itu.
“Iyaaaa… pelan - pelan aja dulu Dooon… supaya ibu bisa meresapi nikmatnya gesekan penismu dengan liang memekku… oooh… ini luar biasa nikmatnya Dooon… sudah bertahun - tahun memekku tidak dimasuki alat vital lelaki… sekalinya merasakan lagi… panjang dan gede banget pula penismu Dooon…
“Gampang Bu. Besok juga bisa lagi beginian. Sementara Marsha sibuk di kantor, aku kan bisa ngentot Ibu lagi di sini…”
“Adudududuuuuh Doooon… ini makin lama makin enak Dooon… tapi jangan dicepetin ngentotnya yaaaaa… lebih enak pelan - pelan begini… terasa mengalir nikmatnya… dari ujung kaki ke ubun - ubun ibuuuu…”
Karena entotanku pelan - pelan, aku jadi bisa sambil berkata, “Nanti aku akan merasa punya istri dua orang di rumah ini. Marsha dan Ibu. Hal itu akan membuatku awet dengan Marsha nanti.”
“Iiii… iya Dooon.”
“Pokoknya aku sayang sama Marsha, sayang pula sama Ibu…”
“Iii… iya Dooon. Ibu juga sayang sama Donny… dudududuuuuuh… ini semakin enak Dooon… iyaaaaaaa… entot terus Doooon… sangat enaaaaaak…”
Sementara itu, mulut dan tanganku pun ikut beraksi. Menjilati leher Bu Eti disertai dengan gigitan - gigitan kecil dan isapan - isapan perlahan. Sedangkan tanganku bergantian meremas toketnya. Kalau aku sedang menjilati lehernya yang sebelah kanan, maka toket kirinya yang kuremas - remas. Dan kalau aku menjilati lehernya yang sebelah kiri, toket kanannya lah yang kuremas dan kumainkan pentilnya.
Karuan saja Bu Eti semakin klepek - klepek.
Terlebih lagi setelah aku menjilati ketiaknya sambil meremas - remas toketnya, Bu Eti gedebak - gedebuk. “Doooniii… edaaaaan… ini semakin luar biasa enaknya Dooon… sambil menahan geli ketek ibu yang kamu jilatin… jadi semakin enak… ooooohhhhh… geli - geli enak Dooon… ta… tapi…
Bu Eti berkelojotan, aku pun mempercepat entotanku. Dan ketika ia mengjang tegang, kutancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai menyundul dasar liang memeknya. Tapi aku belum mau ejakulasi. Aku hanya ingin menikmati indahnya mnemek yang sedang orgasme.
Sedetik kemudian kurasakan liang memek Bu Eti berkedut - kedut kencang. Lalu sekujur liang memeknya bergerak memutar seperti spiral, seolah ada ular yang melilit kontolku di dalam liang surgawi Bu Eti.
Aku pun terpejam dalam nikmat yang sulit diungkapkan dengan kata - kata belaka.
Lalu Bu Eti terkapar dalam himpitan dan pelukanku.
Sesaat kemudian ia membuka matanya. Mencium bibirku dan berkata lirih, “Terima kasih Don. Ini sesuatu yang sangat berarti bagi ibu.”
“Sesuatu yang sangat berarti pula bagiku Bu. Aku jadi benar - benar sayang kepada Ibu sekarang,” sahutku yang kuikuti dengan ciuman hangat di bibir sensualnya.
“Ibu juga jadi sayang padamu Don. Sangat - sangat sayaaaaang,” ucapnya sambil mendekap pinggangku erat - erat.
Setelah wajah Bu Eti kemerahan lagi, aku pun mulai mengayun kembali batang kemaluanku.
“Tadi belum ngecrot?” tanya Bu Eti dengan sorot heran.
“Belum Bu. Kenapa? Ibu sudah kepayahan?”
“Kepayahan sih nggak. Ayo ganti posisi sekalian. Mau posisi nungging?”
Mau… mau Bu… !” sahutku sambil mencabut kontolku dari liang memek ibunya Marsha.
Bu Eti pun spontan menelungkup dan menunggingkan bokongnya sampai menekuk sekali, sehingga memeknya seperti tengadah kalau dilihat dari belakang.
Aku pun cepat berlutut dan meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek yang kelihatan full dari arah belakang ini. Lalu kudesakkan kontolku dan… blessss… langsung melesak ke dalam liang memek yang masih basah sekali itu (karena habis orgasme barusan).
Permainan surgawi pun terulang lagi. Kali ini dalam posisi yang biasa disebut doggy.
Dengan sepenuh gairah kuentot liang memek Bu Eti sambil berpegangan ke bokong semoknya.
Bu Eti pun mendesah - desah lagi. Bahkan lebih dari seperempat jam kemujdian ia orgasme lagi untuk kedua kalinya. Kemudian ia ingin main di atas. Kukabulkan saja keinginannya untuk bermain dalam posisi WOT.
Kali ini lebih parah lagi. Baru sekitar sepuluh menitan dia sudah orgasme lagi untuk ketiga kalinya.
Akhirnya kami lanjutkan dalam posisi missionary lagi.
Aku sudah tidak menunggu Bu Eti orgasme lagi, karena ia sudah tiga kali orgasme. Kali ini aku mengentotnya seolah untuk kepuasanku sendiri. Karena itu aku mengentotnya dengan gencar… gencar sekali… dengan harapan agar secepatnya ejakulasi.
Tapi sebelum aku mencapai ejakulasi, Bu Eti sudah berkelojotan lagi. Dan berucap terengah bahwa ia akan “lepas” lagi untuk keempat kalinya.
Aku punn semakin menggencarkan entotanku, dengan harapan agar ejakulasiku meletus bertepatan dengan orgasme Bu Eti yang keempat.
Dan… aku berhasil menciptakannya. Bahwa ketika Bu Eti mengejaqng tegang, sementara liang memeknya berkedut - kedut lagi, kontolku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crottttt… croooootttttt… crotttt… croooottttttttt… crottt… croooooooottttttt… crooootttttttt…!
Aku terkulai di atas tubuh Bu Eti yang terkulai juga.
Setelah melepaskan kontolku dari liang memek ibunya Marsha, aku mengusap - usap pipinya sambil berkata, “Yang telah terjadi barusan, sangat mewngesankan Bu. Karena itu mulai saat ini bukan hanya Marsha yang akan menjadi tanggung jawabku. Ibu juga akan menjadi tanggung jawabku.”
Bu Eti bangkit. Mencium sepasang pipiku dan menyahut, “Terimakasih Donny Sayang… ibu bahagia sekali mendengarnya.”
“Ohya… itu baju - baju buat Ibu, mau dicobain satu persatu?”
“Mendingan kita mandi dulu Don. Badan penuh keringat gini gak enak nyobain baju baru. Nanti kerinhgatnya pindah ke baju - baju baru itu.”
Aku mengangguk. Lalu mengikuti Bu Eti masuk ke kamar mandi, dalam keadaan sama - sama telanjang.
Jam setengah tiga sore kutinggalkan rumah yang sudah menjadi milik Marsha itu, menuju kantorku untuk menjemput Marsha.
Ternyata Marsha sudah menungguku di ruang tamu komut yang berdampingan dengan ruang kerjaku.
“Udah lama nunggu?” tanyaku setelah mengecup bibir Marsha.
“Baru sepuluh menitan,” sahutnya.
“Udah makan belum?”
“Udah. Tadi diajak makan oleh Mbak Wien di kantin. Enak - enak makanannya ya.”
“Aku malah belum pernah makan di kantin.”
“Kenapa?”
“Kasihan sama karyawan. Kalau melihat aku jadi kelihatan tegang semua. Makanya aku suka makan di sini aja, Suka beli makanannya dari rumah makan di seberang kantor itu. Lalu dibawa ke sini dan dimakan di sini. Ohya, bagaimana trainingnya tadi?”
“Menyenangkan Don. Mbak Wien pandai membimbingku. Segala yang diajarkannya cepat kumengerti.”
“Syukurlah kalau gitu. Ayo kita pulang sekarang.”
“Iya,” sahut Marsha sambil berdiri dan mengikuti langkahku menuju tempat parkir mobilku.
Setelah Marsha duduk di samping kiriku dalam molbil yang sudah kugerakkan keluar dari halaman kantor, kudengar suaranya, “Jadi tadi ke rumah?”
“Jadi. Kubelikan beberapa helai gaun tidur, kimono dan pakaian dalam. PS juga kubelikan. Tapi PS 1 dan PS2 gak ada yang baru. Semuanya second. Makanya kubelikan aja PS4. Mudah - mudahan Ibu jadi kerasan tinggal bersamamu, karena ada mainan yang bikin dia asyik.”
“Wah… seneng dong Ibu dibeliin PS4.”
“Sebenarnya PS5 juga sudah diproduksi, tapi belum beredar di negara kita.”
“Tau gak kenapa Ibu seneng main PS?”
Aku cuma menggelengkan kepala.
“Malu aku menceritakannya.”
“Kenapa malu? Kayak ngomong sama siapa aja.”
“Begini… aku sering mergokin Ibu sedang bermasturbasi. Hampir tiap malam dia bermasturbasi di dalam kamarnya.”
“Ohya?!” aku pura - pura kaget. Padahal tadi pagi juga aku melihat Bu Eti sedang bermasturbasi di dalam kamar di lantai dua itu.
“Serius. Mungkin Ibu itu seorang wanita yang gede nafsunya. Wajar juga sih. Karena Ibu menjadi janda sejak aku masih di SD.”
“Terus… apa hubungannya dengan PS?”
“Aku gak suka Ibu punya kebiasaan seperti itu. Takut lama kelamaan jadi rusak jiwanya. Karena itu sengaja kubelikan PS, karena Ibu seneng main game. Sejak zaman ada teris, Ibu suka mainin berjam - jam.”
“Lalu setelah dibelikan PS, Ibu tidak pernah melakukan masturbasi lagi?”
“Entahlah. Yang jelas aku tak pernah memergokinya lagi. Tapi entahlah kalau aku sedang tak ada di rumah. Hanya saja kelihatannya perhatian Ibu jadi teralihkan ke PS. Tadi setelah dikirim PS apa Ibu langsung main PS?”
“Nggak, “aku menggeleng, “Ibu lebih suka nyobain baju - baju baru itu.”
“Donny Sayang… aku mau minta tolong sama Donny… tapi takut Donnynya marah.”
“Mau minta tolong apa?”
“Janji dulu Donny takkan marah.”
“Iya… aku janji, apa pun yang Marsha katakan, aku takkan marah.”
“Kalau Donny mau melakukannya… pasti jiwa Ibu takkan resah lagi. Pasti semangat hidupnya bangkit kembali.”
“Maksudnya, aku harus melakukan apa?”
Meski tidak ada orang ketiga di dalam mobilku, Marsha menjawab pertanyaanku dengan bisikan di dekat telingaku, “Setubuhi Ibu Don, please… biar jiwanya tenang, biar semangat hidupnya bangkit…”
“Haaa?! Kamu kok mendadak ngaco gitu Sha?”
“Aku serius Sayang. Aku ingin Ibu tenang, nyaman dan bahagia.”
Sebenarnya batinku melonjak girang mendengar “permintaan tolong” itu. Tapi aku masih bersandiwara. Pura - pura bingung pada saran Marsha itu. “Terus… cintaku harus dialihkan ke Ibu?!” tanyaku.
“Bukan begitu. Aku hanya ingin membahagiakan Ibu, tapi Donny jangan meninggalkan aku. Aku sih inginnya begini… anggap aja Donny punya duja wanita simpanan di rumah. Aku dan Ibu.”
“Memangnya Marsha takkan merasa cemburu kalau saranjmu itu kulaksanakan?”
“Kalau dengan orang lain, pasti aku cemburu. Tapi kalau dengan Ibu, aku takkan cemburu. Aku malah akan merasa bahagia kalau melihat Ibu bahagia dan bangkit lagi semangat hidupnya.”
Aku terdiam di belakang setir mobilku. Seolah konsen ke jalan saja. Padahal aku sedang berpikir tentang apa yang harus kukatakan kepada Marsha dengan usul yang sebenarnya membuat hatiku menari - nari dalam nafas kegembiraan.
“Bagaimana?” tanya Marsha bernada mendesak.
“Nantilah… akan kupikirkan dulu.”
“Jangan dipikirkan terlalu lama Sayanhg,” ucap Marsha sambil merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku, “Aku sih maunya nanti malam aja laksanakan. Maaf ya aku jadi mendesak ginmi sama Donny.”
“Nanti malam? Jangan nanti malam ah. Besok malam aja ya Sayang,” sahutku. Tentu saja aku harus menolak untuk menggauli Bu Eti nanti malam, karena tadi aku kan baru menggaulinya.
“Deal !” suara Marsha terdengar bersemangat. Besok malam kan malam Sabtu. Berarti malam weekend. Lusa hari libur… semoga saja luka di memekku udah benar - benar sembuh. Supaya Donny bisa menyetubuhiku lagi.”
“Skenarionya gimana besok itu? Marsha mau ikut bareng sama Ibu?”
“Jangan seperti itu skenarionya. Besok malam Donny sama Ibu aja berduaan di atas. Pada Ibu bilang aja aku sudah tidur nyenyak.”
“Jadi besok malam aku harus tidur sama Ibu semalam suntuk?”
“Iya gak apa - apa. Terserah situasi dan kondisinya aja.”
“Lalu… apakah aku harus ngomong terus terang bahwa aku disuruh oleh Marsha untuk menggauli beliau?”
“Terserah Donny mau bilang gimana. Yang penting Donny harus berhasil menggauli Ibu. Maaf ya Don, aku bukannya lancang dan berani nyuruh Big Bossku. Aku hanya minta tolong, please.”
“Kalau Ibu menolak gimana?” aku tetap bersandiwara. Pura - pura belum melakukan apa pun dengan ibunya Marsha.
“Gak mungkin. Masa menolak lelaki setampan dan semuda Donny?”
Setibanya di depan rumah Marsha, aku tidak mampir dulu. Langsung pulang ke rumah peninggalan almarhum Papa. Karena aku takut Bu Eti kelihatan “beda” waktu berhadapan denganku di depan Marsha. Kalau Sabtu lusa sih gak apa - apa Bu Eti memperlihatkan sikap mesra padaku di depan Marsha juga.
Keesokan harinya, kujemput lagi Marsha ke rumahnya. Kali ini pun aku cuma menunggu di mobil, karena masih takut - takut bertemu muka dengan Bu Eti di depan Marsha. Seperti kemaren, Marsha mengikuti training lagi, dibimbing oleh Mbak Wien.
Sorenya aku mengajak Marsha ke toko sepatu yang paling terkenal di kotaku.
Di toko sepatu itu Marsha kubelikan tiga pasang sepatu. Hanya sepasang yang high heels, yang dua pasang sepatu biasa. Tapi ketiga pasang sepatu itu branded semua.
Kemudian kami makan malam dulu di sebuah restoran. Pada waktu makan malam itulah aku berkata kepada Marsha, “Ingat ya… aku akan mengikuti permintaanmu. Tapi Marsha harus berjanji bahwa hubungan kita takkan retak karenanya.”
Marsha tersenyum manis dan menyahut, “Hubungan kita malah akan semakin mesra nanti Sayang. Karena aku akan merasa bahagia kalau bisa membuat Ibu bahagia.”
Aku pun memesan makanan untuk take away. Untuk ibunya Marsha.
Kami tiba di rumah Marsha ketika hari mulai malam. Aku pun langsung mandi di kamar mandi pribadi Marsha. Agar fisikku benar - benar fresh di kamar Bu Eti nanti.
Setelah mandi, kukenakan baju dan celana piyama yang kubekal dari rumahku. Tanpa celana dalam, supaya “gampang” di kamar Bu Eti nanti.
Sebelum meninggalkan kamar Marsha, kusempatkan mencium bibir Marsha dengan semesra mungkin. Kemudian aku berbisik ke telinganya, “Mudah - mudahan Ibu takkan menolakku ya. Kalau aku berlama - lama di kamarnya, berarti aku sukses. Oke?”
“Iya Sayang,” sahut Marsha sambil menggelitik pinggangku.
Kemudian aku keluar dari kamar Marsha, menuju kamar Bu Eti di lantai dua.
Bu Eti tampak kaget ketika aku membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam, lalu kututup dan kukuncikan pintu itu.
“Don… kenapa ke sini?” tanya Bu Eti yang saat itu mengenakan kimono sutra putih pemberian dariku kemaren.
“Tenang aja Bu…” sahutku sambil mendekap pinggangnya, “Marsha sudah tidur nyenyak. Karena tadi dia letih mengikuti training seharian.”
“Nanti kalau dia nyari Donny ke sini bagaimana?”
“Aku yang akan bertanggungjawab. Bilang aja Ibu dipaksa olehku,” ucapku sambil menyelinapkan tanganku ke balik kimono sutra putih itu. Dan… ternyata memek Bu Eti sudah dicukur bersih …!
“Jembutnya dicukur Bu?”
“Iya. Kemaren dicukur setelah Donny pulang,” sahut Bu Eti sambil tersenyum.
Kemudian kulepaskan ikatan tali kimono putih itu. Sehingga Bu Eti langsung telanjang bulat, karena dia tidak mengenakan beha mau pun celana dalam di balik kimononya.
Aku pun melepaskan baju dan celana piyamaku. Dan meraih Bu Eti ke atas bednya, dalam keadaan sudah sama - sama telanjang bulat.
Bu Etri terasa agak gemetaran ketika kutelungkupi di atas bednya. Bahkan ia berkata, “Takut Marsha tiba - tiba datang ke sini.”
“Bu… sekarang ini aku akan menggauli Ibu, justru atas permintaan Marsha kemaren,” sahutku sambil memegang toketnya yang tidak besar tapi juga tidak kecil.
“Maksudnya?” Bu Eti menatapku dengan sorot ragu.
“Marsha sangat menyayangi Ibu. Dia ingin agar Ibu bahagia dan semangat hidup Ibu bangkit kembali. Dia juga tau bahwa pada dasarnya Ibu masih membutuhkan sentuhan lelaki. Karena itu aku diminta untuk menggauli Ibu. Bahkan aku diijinkan untuk tidur di sini semalam suntuk.”
“Donny serius?”
“Ludahi muka aku kalau aku ngarang.”
“Lalu… apakah Donny bilang bahwa ibu sudah disetubuhi kemaren?”
“Nggak. Aku malah berpura - pura takut kalau Ibu menolakku. Tapi Marsha memaksaku. Saking inginnya melihat Ibu bahagia. Marsha bilang, anggap saja aku punya dua wanita simpanan d rumah ini. Marsha dan Ibu.”
“Oh… Marsha… anak semata wayangku… gak nyangka sejauh itu dia ingin membahagiakan ibu.”
“Udah… ngobrolnya nanti aja. Sekarang Ibu boleh memekik - mekik sekeras mungkin waktu kuentot nanti. mJangan takut sama Marsha… semuanya ini justru atas kehendak dia sendiri…” ucapku sambil meremas - remas toket Bu Eti.
Kemudian aku langsung melorot turun, karena ingin melihat memeknya yang sudah dicukur plontos itu.
Memang ada beberapa helai rambut pendek yang belum tercukur. Biar saja. Nanti aku akan membantunya untuk mencukur jembut yang belum tercukur itu. Tapi yang jelas kulihat memek Bu Eti ada jenggernya. Dan aku justru suka pada memek berjengger begini. Karena pada waktu “dipakai” jadi “ramai”… ada yang ikutan mencolek - colek pangkal kontolku.
Lalu kungangakan memek Bu Eti ini, disusul dengan jilatanku di bagian dalam yang berwarna kemerahan itu.
Bu Eti pun mulai menggeliat dan mendesah. Terlebih lagi setelah aku menjilati kelentitnya secara intensif, rintihannya mulai terdengar, “Donny Sayaaaang… ooooohhhh… jilatin terus itilnya Dooon… ini enak sekali… itilnya aja Sayaaaang… itilnyaaaaa… itiiiiiil…”
Namun aku tidak ingin membuat liang memek Bu Eti langsung becek. Karena itu aku menghentikan permainan oralku dan langsung membenamkan batang kemaluanku ke dalam liang memek yang empuk - empuk kenyal tapi legit ini… blessssssss… masuk amblas seluruhnya…!
Dengan penuh kehangatan Bu Eti pun memeluk dan menciumi bibirku.
Aku pun mulai mengentotnya dengan gerakan pelan - pelan. Karena aku sudah tahu bahwa dia lebih suka kalau dientot pelan - pelan. Supaya bisa menghayati nikmatnya pergesekan kontolku dengan liang memeknya.
Mudah - mudahan Bu Eti merasa bahagia dan bangkit kembali semangat hidupnya, seperti yang diinginkan oleh Marsha.
Ketika kontolku mulai lancar mengentot liang memek Bu Eti, masih sempat aku membisiki telinga ibunya Marsha itu, “Memek Ibu luar biasa legitnya. Karena itu aku ingin memiliki Ibu seumur hidupku.”
Bu Eti tersenyum dan menyahut bercampur desahan, “Aaaaaaa… aaaaaaahhhh… kontol Donny jugaaaaa… luar biasa nikmatnyaaaaa… ibu berjanji takkan menikah lagiiii… biar ibu jadi simpanan Donny aja seumur hidupppp… aaaaaaaah… aaaaaaah… ini luar biasa nikmatnya Doooon… serasa tengah berada di surgaaaaaa …
Lalu bokong semok Bu Eti mulai bergoyang erotis. Memutar - mutar, meliuk - liuk dan menghempas - hempas. Pada waktu bokongnya terangkat lalu menghempas itu, memeknya jadi menukik, sehingga kelentitnya bergesekan dengan batang kemaluanku.
Hal itu terus - terusan terjadi. Membuatku yakin bahwa sebentar lagi juga Bu Eti akan menikmati orgasme pertamanya.
Benar saja. Baru belasan menit aku menyetubuhinya, Bu Eti mulai berkelojotan. Lalu mengejang teganhg… tegang sekali. Aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin. Sampai terasa menyundul dasar liang memek ibunya Marsha itu.
Lalu detik - detik indah itu pun terjadi. Liang memek yang licin tapi legit ini terasa berkedut - kedut, disausul gerakan seperti spral yang seolah mau memuntahkan kontolku. Tapi tentu saja kontolku tidak termuntahkan. Karena aku mendesakkan kontolku sekuat mungkin sampai mentok di dasar liang memek Bu Eti.
Pada saat itulh aku teringat sesuatu yang kubekal dari rumahku tadi, yang kini tersimpan di saku baju piyamaku. Kebetulan baju piyamaku tergeletak tidak jauh dariku. Sehingga ketika Bu Eti sedang terkapar dengan mata terpejam, diam - diam kuambil sesuatu itu. Sebuah vibrator sebesar telur puyuh. Lalu kucabut kontolku perlahan - lahan.
Wanita setengah baya yang seksi abis itu tidak menyadari apa yang tengah kulakukan. Pada saat itulah kubenamkan lagi kontolku ke dalam liang memek Bu Eti, sehingga moncong kontolku mendorong vibrator itu. Pada saat iktulah kupijat tombol di kotak kecil yang sedang kupegang. Dan vibrator mini itu pun bergetar kencang, sampai terasa menggetarkan moncong kontolku juga …
Bu Eti terkejut dan bergumam, “Adududududududuuuuh… ini apa yang bergetar di dalam memekku Don? Apa iniiiiiiii?”
“Kontolku yang bergetar Bu… santai aja… nanti Ibu akan mengalami squirt yang belum pernah Ibu rasakan…” sahutku sambil mendorong kontolku lebih dalam lagi. Sehingga vibrator itu berada di dasar liang memek ibunya Marsha.
“Adududuuuuh… alalalaaaaah… adududuuuhhhh… alaaalaaalaaaaaah… ini… ter… terlalu enak Don… adudududuuuuh… alalalaaaaah… adududuuuuh… alalaaalaaaah… adudududuuuh Doooon… alalalaaaaah Dooon… adududuuuuh Doooon…”
Bu Eti tergetar - getar, mungkin saking nikmatnya. Tapi aku sendiri merasakan yang sama. Getaran vibrator yang bertempelan dengan moncong kontolku, memang terlalu enak. Bahkan jangan - jangan aku bakal ejakulasi dini.
Karena itu secepatnya kucabut kontolku, sementara vibrator itu masih berada di dalam memek Bu Eti.
Dan… tiba - tiba Bu Eti mengejang dengan perut sedikit terangkat. Lalu srrrr… cairan putih bening menyembur dari memek Bu Eti…!
Takut dipersalahkan, aku pun cepat mencabut kabel vibrator itu. Lalu ketika Bu Eti terkapar dengan wajah pucat pasiu, cepat kumasukkan kembali vibrator itu ke saku baju piyamaku.
Tanpa peduli kain seprai yang basah akibat squirting Bu Eti tadi, aku merayap lagi ke atas perut Bu Eti yang tampak masih terkapar dengan wajah masih pucat pasi. Lalu ketika aku memagut bibirnya ke dalam lumatan penuh nafsu, ia membuka mata beningnya… menatapku dengan sorot sejuk.
Setelah lumatanku terlepas, ia berkata dengan suara terdengar merdu di telingaku, “Terima kasih Don. Yang barusan benar - benar luar biasa. Donny telah membawaku tamasya ke surga dunia…”
“Tapi masih kuat untuk melanjutkannya kan? Aku belum ngecrot Bu Eti Sayang…” bisikku disusul dengan ciuman mesra lagi di pipinya.
“Sampai pagi pun ibu masih siap untuk meladenimu Sayang…” sahutnya dengan dekapan erat di pinggangku.
“Tapi aku ingin melanjutkannya di bawah… di ruang makan… supaya gak jenuh.”
“Di ruang makan? Nanti kalau Marsha bangun gimana?”
“Biar aja bangun. Biar dia menyaksikan bahwa aku sudah melaksanakan permintaannya.”
“Tapi ibu malu… Marsha kan anak ibu…”
“Ayolah… jangan pake malu - malu. Lagian Marsha pasti sudah nyenyak sekali tidurnya. Aku ingin sesuatu yang baru. Ingin ngentot Ibu di atas meja makan.”
“Hihihiii… Donny sih ada - ada aja… “Bu Eti akhirnya bangkit juga. Mengenakan kimononya sambil menungguku mengenakan baju piyamaku. Tapi celana piyamaku hanya kukepal dan dibawa turun ke lantai bawah… ke ruang makan.
“Ibu celentang di atas meja makan ini. Aku akan mengentot sambil berdiri di lantai,” ucapku sambil menunjuk ke meja makan.
Bu Eti naik ke meja makan, lalu celentang di situ sambil melepaskan ikatan tali kimononya. Kutarik kedua kakinya, agar bokongnya berada di pinggiran meja makan.
Meski aku tahu bahwa liang memek Bu Eti sudah basah, tapi setelah kimononya dilepaskan, aku jadi ingin menjilati memeknya lagi. Maka kutarik kursi makan ke depan kedua kaki Bu Eti yang tergantung di pinggiran meja makan. Lalu aku duduk di kursi itu, sehingga wajahku berhadapan dengan memek Bu Eti yang sudah tidak dihalangi oleh jembut lagi itu.
Awalnya kujilati jengger yang muncul dari dalam memeknya itu. Menyenangkan juga menjilati memek berjengger ini rasanya. Kemudian kungangakan memek Bu Eti dengan kedua tanganku. Dan kujilati bagian dalamnya yang berwarna pink itu, sementara kedua tanganku terjulur ke arah sepasang toketnya yang masih lumayan kenyal dan agak kencang.
Ini merupakan hal yang mengasyikkan juga. Bisa duduk di kursi makan sambil menjilati memek Bu Eti, sambil meremas - remas sepasang toketnya pula.
Setelah puas menjilati memek Bu Eti, aku pun berdiri sambil memegang kontolku yang masih ngaceng berat ini. Namun diam - diam tangan kiriku memegang handphone dan mengirim WA untuk Marsha. Isinya, “Aku ngentot Ibu di ruang makan. Ke sini !”
Kemudian hapeku dimasukkan lagi ke dalam saku baju piyama yang sudah kulepaskan.
Sebelum kontolku dimasukkan, kupukul - pukulkan dulu kontol ngacengku ke permukaan memek Bu Eti. Lalu kuarahkan moncongnya ke belahan memek yang sudah ternganga kemerahan itu. Dan sekali dorong kontolku langsung ambles seluruhnya ke dalam liang memek yang empuk - empuk kenyal dan sangat mengesankan itu.
Moncong kontolku mentok di dasar liang memek ibunya Marsha.
“Aaaaaaaaahhhhh… sampai terasa menyundul gini Dooon…” ucap Bu Eti dengan mata terbeliak. Tapi lalu terpejam erat - erat ketika aku sudah mulai mengentotnya, sementara jemariku mencari - cari kelentitnya. Dan setelah kelentitnya kutemukan, ujung jariku menggesek - geseknya dengan agak kuat.
Karuan saja Bu Eti mulai merintih - rintih histeris lagi, “Oooooohhhhh… Dooooonnniiiii… ooooooooohhhhh… kontol Donny memang luar biasaaaaa… enak sekali… sambil gesek terus itilnya Dooon… itilnyaaaaa…”
Pada saat itulah kulihat Marsha keluar dari kamarnya dan sedang melangkah ke dekat kepala ibunya. Tapi Bu Eti belum sadar kalau Marsha sedang tersenyum - senyum di dekat kepalanya.
“Doooonnnniiiii… ini luar biasa enaknya Doooon… itilnya gesek terus Doooon… ooooohhhhh… ibu jadi makin sayang sama kamu Doooon… entropt terus sambil gesek - gesek itilnyaaa… itilnyaaaa… itiiiiilllll…”
“Memek Ibu juga luar biasa enaknya Bu,” ucapku tanpa menghentikan entotanku. Sementara Marsha agak menjauh dari kepala ibunya. Mungkin agar jangan kelihatan oleh Bu Eti bahwa Marsha sudah hadir di ruang makan ini. Agar jangan mengganggu kenikmatan yang tengah dirasakan oleh sang Ibu.
Bahkan lalu Marsha duduk di sofa, dengan pandangan tetap tertuju ke meja makan, ke arah ibunya yang sedang menikmati entotan dan gesekan itilnya.
Ternyata Marsha bukan sekadar ingin menyaksikan persetubuhanku dengan ibunya. Marsha pun duduk menyandar di sofa sambil membuka belahan kimononya, kemudian mengelus - elus memeknya sendiri…!
Aku hanya bisa menebak - nebak apa yang sedang Marsha pikirkan pada waktu ia mengelus - elus memeknya sendiri sambil memandang ke arahku yang tengah menyetubuhi ibunya ini.
Tapi aku yakin Marsha sedang amat terangsang menyaksikan aku yang sedang berdiri sambil mengentot memek ibunya ini. Karena itu aku akan berusaha jangan sampai ngecrot di dalam liang memek Bu Eti, karena aku harus menyetubuhi Marsha setelah Bu Eti orgasme nanti.
Karena itu aku semakin intensif menggesek - gesek kelentit Bu Eti ketika sedang mengentotnya ini.
Maka rintihan histeris Bu Eti pun semakin menggila dibuatnya, “Doooniiii… kibu sayang kamu Doooon… ini luar biasa enaknya… entot terussss… sambil gesek terus itilnya Sayaaaang… itilnyaaaaa… itttiiiiillllnyaaaa… iyaaaaa… iyaaaaa… ooooh Doonnniiii… belum pernah ibu merasakan segini enaknya waktu disetubuhi…
Kuikuti saja keinginan Bu Eti itu. Kutekan itilnya kuat - kuat, lalu kuputar - putar uijung jariku yang sedang menekan itilnya ini.
Dan tiba - tiba sekujur tubuh Bu Eti mengejang tegang. Tapi aku tidak cepat menghentikan entotanku. Aku tetap menggenjot kontolku dalam kecepatan tinggi. Sampai akhirnya kurasakan liang memek Bu Eti mengejut - ngejut. Lalu kuhentikan entotanku sambil memandang Marsha dan berkata, “Marsha Sayang… permintaanmu sudah kulaksanakan…
Bu Eti terkejut, “Ada Marsha?” cetusnya sambil menoleh ke arah Marsha yang sudah melangkah menghampiri meja makan.
Bu Eti sadar bahwa kontolku masih berada di dalam liang memeknya. Tapi ia lalu memegang tangan Marsha sambil berkata lirih, “Marsha Sayang… maafkan ibumu ini yaaa… ibu seolah sudah mencuri milikmu yang paling berharga darimu…”
Marsha malah mencium pipi ibunya, lalu berkata perlahan, “Ibu tidak usah minta maaf dariku, karena aku yang meminta Donny untuk menggauli Ibu… supaya semangat Ibu bangkit lagi secara normal… dan mulai saat ini, aku ijinkan Donny menggauli Ibu kapan pun Ibu dan Donny merasa membutuhkannya.”
“Sekarang giliran Marsha…” ucapku sambil mencabut kontolku dari liang memek Bu Eti.
Marsha menghampiriku. Mencium bibirku dengan mesra. Lalu berucap perlahan, “Lukaku memang sudah sembuh. Aku jadi terangsang melihat Donny menyetubuhi Ibu tadi. Tapi aku ingin di atas meja ini juga, seperti Ibu tadi.”
Bu Eti turun dari meja dan bertanya, “Luka apa Sha?”
Aku yang menjawab, “Jujur, aku baru satu kali menyetubuhi Marsha. Ternyata dia masih perawan Bu.”
“Haaa?! Masih perawan? Jadi selama ini Jaka ngapain aja sama kamu Sha?”
“Punya almarhum gak pernah bisa ngaceng sempurna Bu. Jadi selama aku jadi istrinya, hanya digesek - gesek dalam jepitan pahaku aja. Sementara keperawananku tetap utuh.”
“Kok bisa kamu bertahan dengan almarhum selama dua tahun?” tanya Bu Eti.
“Yah… mungkin jalannya harus seperti ini. Kalau aku bercerai dengan almarhum, pasti aku takkan pernah bertemu dengan Donny… dan sekarang DOnnylah yang menjamin masa depanku… dan masa depan Ibu juga,” ucap Marsha sambil melepaskan kimononya. Kemudian naik ke atas meja makan. Dan menelentang di situ, dengan bokong berada di pinggiran meja, sementara kedua kakinya terjuntai ke lantai.
Bu Eti menggantikan tempat Marsha. Dia duduk di sofa bekas Marsha tadi, sambil memandang ke arah meja makan.
Aku sudah duduk di kursi, di antara kedua belah paha Marsha yang direntangkan. Dengan penuh gairah kuciumi memek Marsha yang bersih dari jembut ini.
Memang setelah diamati, memek Marsha pun berjengger, tapi hanya muncul sedikit jenggernya. Menurut para pakar, tidak semua memek gadis itu berjengger. Tapi banyak juga yang berjengger, meski masih perawan. Mujngkmin hal itu tergantung keturunan dari sananya. Buktinya memek Bunda dan Donna tidak berjengger, meski sudah tidak perawan lagi.
Dan sambil duduk di kursi makan, aku mulai menjilati memek Marsha. Seperti yang kulakukan kepada Bu Eti, aku pun melakukannya kepada putrinya. Menggesek - gesek kelentit Marsha dengan ujung jariku, sementara lidahku melahap bagian dalam yang berwarna pink itu.
Tentu saja kualirkan air liurku sebanyak mungkin, karena liang memek Marsha baru dipakai satu kali waktu keperawanannya kuambil. Pasti masih super sempit. Tidak bisa disamakan dengan liang memek ibunya.
Setelah celah memeknya kuanggap cukup basah, aku pun berdiri sambil meletakkan moncong kontolku di mulut vagina Marsha.
Lalu kudorong kontolku sekuat mungkin. Hmmm… kali ini tidak sesulit yang pertama tempo hari. Kepala penisku mulai melesak masuk ke arah yang tepat. Kudorong lagi sekuatnya… masuk lagi lebih dalam… kudorong lagi kuat - kuat… membenam lagi kontolku hampir separohnya.
Maka mulailah aku mengayun kontolku perlahan - lahan sambil menyentuhkan ujung jariku ke kelentitnya yang tampak nyempil dan mengkilap.
Dan… ketika aku mulai mempercepat entotanku, ujung jariku pun semakin gencar menggesek - gesek kelentitnya, seperti yang kulakukan pada Bu Eti tadi.
Pada saat itulah Bu Eti yang sudah mengenakan kimononya lagi menghampiri kami. Dia berdiri di pinggir meja makan sambil memegang sepasang toket anaknya. Bahkan kemudian ia menyelomoti pentil toket Marsha dengan gaya lesbian yang sedang mencumbu pasangan seksualnya.
Menyaksikan perbuatan Bu Eti itu, aku semakin bergairah untuk mengentot Marsha habis - habisan, sambil menggesek - gesek itilnya dengan ujung jariku.
Marsha pun mulai mendesah dan merintih, “Doooon… oooooo… oooooh… ini lebih enak daripada yang tempo hari Doooon… oooooohhhhhhh… Dooooooniiiiii… ooooooh… Ibuuuuuuu… ini luar biasa enaknyaaaaa… Doooooooonnnnn… entot terus Doooon… ooooh… aaaah… aaaaaah…
Cukup lama aku mengentot Marsha sambil berdiri di dekat meja makan itu. Tubuhku pun mulai dibanjiri keringat. Tubuh Marsha pun sudah mengkilap karena dibasahi keringatnya juga. Sementara Bu Eti tetap “tekun” menyelomoti pentil toket anaknya.
Kali ini aku tak mau menunda - nunda ejakulasi lagi. Karena fisikku mulai terasa letih.
Maka ketika Marsha sudah mulai berkelojotan, kupercepat entotanku. Dan ketika ia mengejang tegang, dengan liang memek berkedut - kedut, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin. Dengan keinginan berejakulasi di dalam liang memek Marsha.
Tapi apa daya… kontolku tetap tegar dan tak mau ejakulasi. Maka aku pun mengayun kembali kontolku di dalam liang memek Marsha yang semakin licin ini.
Sampai pada suatu saat aku berkata terengah, “Sekarang aku mau ngecrot nih Sayang…”
Tiba - tiba Bu Eti bergegas menghampiriku sambil menunjuk ke mulutnya sendiri yang ternganga. Aku mengerti apa maksudnya. Bahwa aku diminta memuntahkan pejuhku di dalam mulutnya. Maka aku pun mengangguk sambil mencabut kontolku, sementara Bu Eti sudah berjongkok di depanku.
Bu Eti menangkap kontolku, lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Terasa kontolku disedot - sedot dengan kuatnya.
Dan… lendir kenikmatanku pun berlompatan di dalam mulut Bu Eti.
Crooottttt… crottttt… croooottttt… crottt… crooootttt… crettt… croooottttt…!
Dengan lahap Bu Eti menelan spermaku sampai habis. Glek… glekkk…!
Ternyata Marsha sudah duduk sambil menyaksikan perbuatan ibunya. Marsha tersenyum - senyum, lalu turun dari meja sambil memegang pergelangan tangan ibunya. “Sekarang Ibu harus tidur di kamarku ya,” ucap Marsha sambil tersenyum.
Bu Eti berdiri dan menyahut, “Nanti kamu terganggu Sha.”
“Nggak. Justru aku senang kalau tidur ditemani Ibu dan Donny. Pokoknya mulai saat ini, kalau Donny mau nginap di sini, Ibu harus tidur di kamarku,” ucap Marsha sambil menuntun tangan ibunya ke dalam kamarnya.
Aku pun mengambil baju dan celana piyamaku, mengikuti mereka ke dalam kamar Marsha.
Dalam keadaan masih telanjang, aku pun naik ke atas bed Marsha.
“Kita harus memanjakan Donny Bu… kita harus mengapit dia sampai bobo nanti,” ucap Marsha sambil merebahkan diri di sebelah kananku, sementara Bu Eti merebahkan diri di sebelah kiriku sambil melepaskan kimononya kembali.
“Bagaimana perasaan Donny sekarang?” tanya Marsha sambil mengusap - usap dada telanjangku.
“Sangat mengesankan,” sahutku, “Ini pengalaman pertama di dalam hidupku.”
Bu Eti malah memegang kontolku yang sudah lemas sambil, bertanya, “Masih kuat main lagi?”
“Masih. Dua-tiga kali lagi juga masih kuat,” sahutku sambil meraba - raba memek Bu Eti dangan tangan kiriku. Dan menggerayangi memek Marsha dengan tangan kananku.
Bu Eti bangkit. duduk di dekat panggulku, sambil mendekatkan mulutnya ke kontolku yang masih lemas ini. Lalu mengulum kontolku tanpa ragu - ragu lagi, meski Marsha berada di sebelah kananku.
Marsha pun duduk. Memperhatikan perilaku ibunya dengan serius. Mungkin dia sedang belajar bagaimana cara mengoral lelaki secara benar.
Bu Eti memang sudah tinggi jam terbangnya dalam hal mengoral lawan jenisnya. Ia menyelomoti leher dan moncong kontolku sambil mengalirkan air liurnya ke badan kontolku yang lalu dijadikan pelumas untuk mengurut - urutnya.
Tak lama kemudian, perasaan letih pun kulupakan. Karena kontolku sudah ngaceng lagi sebagai “hasil” felatio Bu Eti.
Lalu aku memegang tangan Marsha sambil berkata, “Aku mau main sama Ibu dulu, ya Sayang.”
“Iya, “Marsha mengangguk sambil tersenyum, “Nanti setelah selesai sama Ibu, main sama aku juga ya.”
“Oke,” ucapku sambil bangkit dan mencium pipi Marsha. Kemudian merayap ke atas perut Bu Eti yang sudah celentang sambil merenggangkan kedua belah pahanya.
Kemudian kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Bu Eti, disusul dengan dorongan yang kuat dan… blessssss… langsung membenam seluruhnya, karena liang memeknya masih basah dan licin sekali.
Kembali aku bertamasya ke surga dunia. Mengentot Bu Eti dengan sepenuh gairahku. Sementara Marsha menyaksikan tontonan gratis ini, sambil mengelus-elus memeknya.
Bagiku, ini adalah ronde kedua. Tentu saja durasi entotanku jauh lebih lama dari yang pertama.
Rintihan - rintihan histeris Bu Eti pun berkumandang lagi di dalam kamar ini.
Sementara Marsha sujdah celentang sambil mengusap - usap memeknya.
Belasan menit kemudian, aku sudah berada di atas perut Marsha untuk menyetubuhinya lagi.
Begitulah… secara bergiliran kusetubuhi mereka, sampai lewat tengah malam.
Dan aku merasa suasana ini memang sangat menyenangkan. Sehingga aklu berjanji di dalam hati, untukk membahagiakan mereka berdua.
Sebulan kemudian…
Seperti yang sudah kuterangkan sebelumnya, kehidupanku selalu penuh dengan kejutan. Kebetulan kejutannya selalu menyenangkan.
Seperti yang terjadi pada suatu hari…
Aku bangun lebih siang dari biasanya. Karena hari ini hari Sabtu. Aku memang ingin beristirahat sepuasnya, agar keletihan bekas kesibukan di hari - hari kerja sirna.
Setelah mandi, aku membuat kopiku sendiri di coffee makerku. Seperti biasa kuset espresso double shot. Kemudian kubawa cangkir kecilku yang sudah berisi espresso tanpa gula itu ke ruang keluarga.
Bi Inah menghampiriku dan berkata sopan, “Maaf Den Boss… di luar ada tamu wanita muda sudah menunggu dari tadi. Satpam belum mengijinkannya masuk.”
Setelah meneguk kopi yang masih panas, aku berdiri dengan tanda tanya di benakku. Tamu siapa gerangan pagi - pagi sudah datang ke sini?
Seorang wanita muda berkulit putih bersih dan bertubuh tinggi montok, langsung berdiri karena aku menyapanya, “Siapa ya?”
Salah seorang satpam melangkah ke arahku. Tapi aku mengibaskan tanganku agar dia tidak mendekat.
“Ini Donny? Anak almarhum Kang Rosadi?” wanita itu balik bertanya.
“Betul, “aku mengangguk dengan perasaan heran karena dia bisa tahu nama almarhum ayah segala.
Tiba - tiba wanita itu memegang kedua tanganku, “Donny… aku Tita dari Serang. Aku ini adik kandung ayahmu Don.”
Tentu saja aku kaget setelah mendengar siapa wanita muda yang cantik itu. Spontan aku mencium tangannya sambil berkata, “Maaf… aku sudah sering dengar nama Tante. Tapi baru sekali ini berjumpa.”
Wanita itu memelukku erat - erat sambil bercucuran air mata. “Donny… Donny… aku jadi ingat almarhum ayahmu Don. Tapi ibumu masih ada kan?”
“Masih Tante… mari masuk ke dalam,” sahutku sambil memegang pergelangan Tante Tita dan menuntunnya ke dalam rumah.
Kupersilakan Tante Tita duduk di sofa ruang tamu. Aku pun duduk di samping kanannya. Sambil tetap memegang pergelangan tangannya.
“Dari siapa Tante tau alamat rumahku?”
“Dari Teh Faizah, istri Kang Zulkifli.”
“Ooo… dari Umi Faizah.”
“Iya. Dia bilang kalau mau datang ke rumah Donny harus pagi - pagi benar. Karena kalau sudah keburu berangkat ke kantor, susah ketemunya.”
“Iya Tante. Seneng aku bisa ketemu sama tanteku yang cantik ini,” sahutku sambil meremas tangan Tante Tita.
“Syukurlah kalau masih kelihatan cantik sih. Sekarang aku kan sudah gembrot gini.”
“Tante agak montok. Gak gembrot ah. Sedeng segini sih… sedeng - sedengnya seksi.”
“Hmmm… udah hafal sama perempuan seksi ya?” Tante Tita memijat hidungku, “Aku sengaja datang ke sini untuk urusan bisnis Don.”
“Bisnis apa?” tanyaku.
Tante Tita mengeluarkan sebuah map dari tasnya sambil berkata, “Aku punya beberapa bidang tanah di kota ini, yang mau dijual. Semuanya peninggalan almarhum suamiku.”
“Almarhum?! Memangnya suami Tante sudah meninggal?” tanyaku sambil membuka map plastik tebal itu.
“Iya. Almarhum meninggalkan beberapa bidang tanah yang lumayan banyak. Bertebaran di beberapa kota. Tapi aku hanya membawa SHM yang di kota ini aja. Semua sudah atas namaku. Tanah yang di kota lain akan kujual juga, kalau Donny berminat. Semuanya di Jawa Barat.”
Setelah mengamati beberapa fotocopy SHM itu aku lumayan kaget. Karena semuanya berada di lokasi strategis, luas - luas pula. Dan memang semuanya atas nama Tita Sarita.
“Almarhum suami Tante tuan tanah ya,” ucapku sambil menyimpan kembali fotocopy - fotocopy sertifikat hak milik itu ke dalam mapnya.
“Almarhum senang membeli tanah di sana - sini. Karena tanah itu walau pun dibom takkan hilang katanya,” sahut Tante Tita.
“Sebentar Tante…” ucapku sambil berdiri. Lalu melangkah ke ruanmg kerjaku yang berdampingan dengan kamarku.
Kubuka laptop dan kuamati salah satu fileku. File yang berisi harga pasaran tanah di setiap area yang ada di kota ini. Kututup laptop itu dan kubawa ke ruang tamu.
“Tadi ada tujuh lokasi ya Tante. Mau dijual berapa semua?” tanyaku langsung serius.
Tante Tita menyebutkan jumlah harga dari ketujuh bidang tanah itu.
Aku pun menghitung dengan kalkulator, disesuaikan dengan harga pasaran ketujuh bidang tanah itu. Memang setiap lokasi berbeda pasarannya dengan lokasi lain. Dan ketujuh bidang tanah yang akan dijual itu terletak di daerah termahal harga pasaran tanahnya.
Setelah menjumlahkan harga pasaran ketujuh bidang tanah itu, aku mengangguk -angguk. Karena harga yang ditawarkan oleh Tante Tita jauh lebih murah dari harga pasarannya. Hal ini membuatku bersemangat. Karena belakangan ini aku sedang mengikuti jejak usaha Papa almarhum, yakni bisnis properti.
“Serifikat aslinya tidak disimpan di bank?” tanyaku.
“Nggak. Aku gak pernah nyekolahin rumah atau pun tanah di bank Don.”
Aku tersenyum mendengar istilah “nyekolahin” itu, yang berarti menjadikan agunan untuk sejumlah pinjaman ke bank.
“Bagus. Istilah kredit harus diucapkan hutang oleh hati kita. Hutang yang berbunga pula. Ohya ada bangunan di atas tanah - tanah itu?”
“Tidak ada. Semuanya dipagar, supaya jangan ada gangguan.”
“Pakai apa tadi Tante ke sini?”
“Pakai travel. Terus disambung dengan taksi.”
“Kalau gitu aku ingin survey ke semua lokasi tanah yang mau dijual itu.”
“Boleh. Sekarang juga bisa.”
“Iya deh. Mumpung hari libur.”
Beberapa saat kemudian Tante Tita sudah berada di dalam sedan putihku yang mulai bergerak di atas jalan aspal.
“Dengan adik - adik ayah Donny, udah ketemu dengan siapa aja?” tanya Tante Tita yang duduk di samping kiriku.
“Baru dengan istrinya Oom Zulkifli dan Tante Neni. Sekarang dengan Tante Tita.”
“Berarti masih ada tiga orang lagi yang belum pernah juimpa denganmu.”
“Iya. Dengan Tante Maryani belum pernah ketemu kan?”
“Iya, belum. Tante Maryani itu adik langsung dari Tante Neni kan?”
“Iya. Oom Zulkifli almarhum, Tante Nenny, Tante Maryani dan aku itu adik kandung ayahmu yang seayah dan seibu. Tapi setelah kakekmu meninggal, ibuku alias nenekmu menikah lagi. Dan punya anak dua orang. Ika dan Hera.”
“Wah… kalau nama Ika dan Hera baru dengar sekarang Tante.”
“Carilah nanti. Donny sebagai pihak yang lebih muda, harus mendahului untuk menjumpai mereka, untuk memperkenalkan diri dan bersilaturahmi. Alamat mereka akan kukasih semua nanti.”
“Iya Tante.”
“Kudengar Donny menerima warisan yang luar biasa gedenya dari ayah angkatmu ya?”
“Kira - kira begitulah.”
“Kamu paling beruntung di antara anak - anak ayahmu. Tapi kamu juga harus tahu, bahwa ayahmu punya istri lagi. Punya anak pula dua orang. Mungkin ibumu belum tau sampai sekarang. Hanya keluarga almarhum Kang Rosadi yang tahu.”
“Ohya?! Berarti aku punya dua saudara tiri?”
“Saudara seayah, bukan saudara tiri. Nanti kukasih alamatnya juga. Tapi jangan bilang - bilang sama ibumu. Nanti dia marah sama aku dan saudara - saudaraku, karena dianggap sekongkol dengan ayahmu.”
“Iya. Aku takkan bilang apa - apa sama Bunda. Ohya Tante… kalau aku boleh tau, usia Tante Sekarang berapa?”
“Tigapuluhtiga,” sahut Tante Tita.
“Haaa?! Tante kok kelihatan muda sekali. Tadinya aku mikir usia Tante di bawah duapuluhlima.”
“Terima kasih. Terus… dalam pandanganmu aku ini bagaimana?”
“Cantik dan seksi. Kalau bukan tanteku sendiri, pasti aku akan berusaha mendapatkan Tante.”
Tante Tita tersenyum manis. Manis sekali senyum adik ayahku itu…
Tiba - tiba Tante Tita merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku sambil berkata, “Kalau Donny membeli tanah - tanahku yang ada di kota ini, aku akan ngasih bonus nanti.”
“Apa bonusnya?” tanyaku.
Di luar dugaan, Tante Tita menjawab dengan bisikan, “Bonusnya sekujur tubuhku… boleh kamu miliki kalau memang kamu suka padaku. Mumpung aku masih menjanda.”
“Asyiiiiiik… terima kasih Tante! “seruku girang, “Soal tanah, kalau semuanya sesuai dengan sertifikatnya, pasti kubeli semua. Tapi aku minta harganya diturunin sedikit.”
“Ya udah. Kuturunkan harganya sepuluh persen. Cukup bagus discount-nya kan?”
“Deal Tante. Tapi… kalau mau langsung transaksi, sertifikat aslinya harus diambil dulu. Kan kita akan transaksi di notaris.”
“Ini semua SHM aslinya kubawa Don.”
“Wow… nekad banget Tante ini. SHM aslinya dibawa. Kalau hilang di jalan gimana?”
“Makanya dalam perjalanan tas ini kupeluk terus.”
Ketujuh bidang tanah itu hanya membutuhkan survey selama dua jam. Karena letaknya berdekatan, di daerah utara semua. Dan aku merasa beruntung, karena ketujuh bidang tanah itu bisa dibangun kelak, mengingat letaknya strategis semua. Harganya pun murah, di bawah harga pasaran semua.
“Hari belum siang, baru jam sebelas. Mau langsung ke notaris sekarang?” tanyaku setelah selesai men-survey ketujuh bidang tanah itu.
“Ya kalau kamu udah siap, aku malah senang.”
“Nanti Tante nginap di rumahkuj aja semalam ya. Kan aku udah gak sabar untuk mendapatkan bonus yang Tante janjikan.”
“Jangankan semalam, mau seminggu atau sebulan juga aku mau Don. Tapi kamu harus bisa merahasiakannya ya. Jangan sampai ada keluarga kita yang tau.”
“Kalau begitu, sebulan aja Tante nginap di rumahku.”
“Iya… sekalian mau nyari celah bisnis di kota ini. Berarti… bisa tiap malam kamu tiarap di atas perutku nanti. Tapi setelah transaksi, antar aku beli pakaian dulu ya. Karena baju ganti cuma kubawa satu stel.”
“Iya Tante… hahahaaaa… bintangku lagi terang nih. Bakal dapat wanita yang seksi abissss… !””
“Kamu juga tampan sekali Don, makanya aku juga punya perasaan beda waktu berjumpa di rumahmu tadi,” ucap Tante Tita yang disusul dengan kecupan hangat di pipi kiriku. Dan berbisik, “Kalau gak tampan gini sih aku juga belum tentu mau ngasih bonus.”
“Terimakasih Tante. Ohya… Tante punya anak berapa?”
“Cuma seorang, anak cowok. Baru delapan tahun umurnya. Sebenarnya aku ingin punya anak kedua setelah anakku besar. Tapi… suamiku keburu kena serangan jantung dan meninggal di rumah sakit.”
“Nanti anak kedua dariku aja Tante.”
“Boleh… kalau aku mengandung anakmu, pasti tampan anaknya kalau cowok.”
“Kalau cewek, pasti cantik… secantik ibunya.”
“Mmmm… bagusnya sih tanahku yang di kota - kota lain beli semua olehmu Don.”
“Semuanya di dalam kota?”
“Ya, semuanya terletak di dalam kota. Lokasinya strategis semua pula. Almarhum suamiku males ngoleksi mobil. Karena mobil itu harganya makin lama makin turun. Itulah sebabnya di rumah cuma ada satu mobil tua. Makanya aku males makainya ke sini, takut mogok di jalan.”
“Tapi dalam mengoleksi tanah, almarhum sangat bersemangat ya?”
“Iya. DIa bilang kalau rumah atau tanah, pasti naik terus harganya. Gak kayak mobil, belinya semilyar… lima tahun kemudian paling juga laku duaratus juta.”
“Berarti prinsip almarhum suami Tante sama dengan prinsipku. Makanya aku gak mau beli mobil yang super mahal. Puas - puasin sama mobil murah ini aja.”
“Gila! Mobil ini sih bukan mobil murah Don. Malah biasa dipakai sama pejabat tinggi mobil begini sih.”
“Iya, tapi yang sepuluh kali lebih mahal dari mobil ini ada. Bahkan yang duapuluh kali lebih mahal juga ada.”
“Buat apa mobil mahal - mahal banget. Sekarang kan setiap kota di pulau Jawa ini gak bisa bebas dari kemacetan. Kalau sedang macet, mobil duapuluh milyar juga bisa disalip sama angkot butut.”
“Heheheee… iya Tante.”
Kebetulan kantor notaris langgananku masih buka. Sehingga aku bisa menyelesaikan transaksi dengan Tante Tita.
Dana pembayaran tanah dari rekeningku bisa langsung pindah ke rekening Tante Tita, tanpa menunggu lama - lama. Hanya sejam proses transaksi itu selesai.
“Uangnya mau dipakai apa Tante?” tanyaku pada waktu sedan putihku sudah meninggalkan kantor notaris itu.
“Aku sih ingin punya usaha di kota ini. Aku kan dilahirkan di sini. Makanya aku ingin pindah ke kampung halamanku sendiri.”
“Nanti setelah beli pakaian, Tante akan kuajak ke salah satu kegiatan bisnisku.”
“Iya Don. Sekarang aku kan gak punya suami. Jadi aku harus berjuang sendiri, terutama untuk masa depan anakku.”
“Tante sudah punya rumah di kota ini?”
“Belum. Dulu ada peninggalan ibuku… mmm… nenekmu, tapi dijual dan duitnya dibagikan secara adil padaku dan saudara - saudaraku. Nggak seberapa sih bagianku. Karena anak perempuan hanya dapat setengah bagian dari anak laki - laki. Ohya, nanti bisa cariin rumah yang akan dijual untuk tempat tinggalku?
“Tinggal di rumahku juga bisa Tante.”
“Nggak enak ah. Kan aku juga mau membawa anakku segala. Kasian selama ini dia tinggal di rumah nenek dari pihak ayahnya.”
“Mmm… kalau mau nyari rumah juga bisa. Besok akan kuantarkan Tante ke rumah yang mau dijual itu.”
“Iya, “Tante Tita mengangguk.
Sedan putihku pun berhenti di pinggir jalan yang dianggap lahan parkir. Tepat di depan FO langgananku.
Di dalam factory outlet itu Tante Tita tampak bersemangat sekali melihat beberapa jenis pakaian wanita yang disukainya. Sementara aku menghampiri kasir sambil berkata perlahan, “Nanti kalau wanita itu mau membayar, bilang aja sudah dibayar olehku. Ini ATMnya. Jangan terima duit atau pun kartu kredit dari dia.
“Siap Boss,” sahut kasir wanita yang sudah hafal padaku itu.
Tante Tita mengambil beberapa helai gaun, celana jeans, baju - baju kaus, kemudian membawanya ke kasir.
Ketika Tante Tita membuka tasnya, entah mau mengambil uang, atau ATM atau kartu kredit, kupegang pergelangan tangannya sambil berkata, “Sudah kubayar Tante.”
“Ohya?! “Tante Tita terlongng, “Kok dibayarin sih? Malu - maluin… aku ngambil banyak tuh pakaiannya, malah dibayarin.”
“Nggak apa Tante. Wajar seorang keponakan beliin pakaian untuk tantenya,” ucapku.
Tante Tita lalu berbisik di dekat telingaku, “Sttt… tapi tantenya mau ditidurin sama ponakannya ya…”
“Hahahaaaa… itu kan saling mengisi dan saling berbagi rasa Tante.”
Beberapa saat kemudian Tante Tita sudah berada di dalam sedan putihku lagi. Meluncur ke arah luar kota sebelah barat. Setelah melewati batas kota, kubelokkan ke kiri, menuju pabrik yang sudah kuserahkan untuk dipimpin oleh Imel itu.
Pabrik itu sudah berjalan dan berproduksi. Buruhnya pun lumayan banyak, sekitar limaratusan.
Tapi ketika aku tiba di salah satu pabrikku itu, Imel sudah pulang. Sehingga aku hanya diantar oleh Bu Sanah, manager produksi.
Tante Tita tampak memperhatikan ruang produksi dengan serius. Kegiatan buruh yang kebagian shift sore itu pun diperhatikannya dengan seksama.
“Sebenarnya pabrikku ada empat. Tapi yang sudah berjalan baru dua. Yang di sini dipimpin oleh saudara sepupuku. Sedangkan yang satu lagi dipimpin oleh tanteku dari pihak Bunda semua.”
“Untuk memiliki pabrik baru yang sudah lengkap segalanya, dibutuhkan biaya berapa Don?”
Aku berpikir sejenak. Lalu menyebutkan nominal dana yang dibutuhkan untuk memiliki sebuah pabrik baru seperti pabrik di barat batas kota ini.
“Wah… berarti semua tanah peninggalan almarhum suamiku harus dijual semua Don.”
“Santai aja Tante. Nanti pikirkan matang - matang dulu. Kalau mau pabriok yang sudah jadi, tinggal membeli mesin - mesinnya, aku masih punya dua lagi yang belum diaktifkan.”
“Tapi aku sih maunya duduk manis aja. Biarin yang ngurusnya orang lain.”
“Soal itu sih gampang Tante. Kalau sudah siap mau dioperasikan pabriknya, tinggal pasang iklan di media cetak dan elektronik.”
“Iklan mengenai apa?”
“Mengenai dibutuhkannya tenaga untuk direktur danb manager - manager. Memang pemilik perusahaan tidak boleh jadi dirfektur. Jadi kedudukan tante nanti sebagai komisaris utama atau presiden komisaris dan sebagainya. Soal istilah kedudukan sih bagaimana maunya kita aja.”
“Iya iya iyaaa… nanti kan Donny bisa mengatur semuanya itu.”
“Bisa Tante.”
Pada waktu mau meninggalkan pabrik, hari sudah mulai malam. Dan… Tante Tita menggandeng pinggangku erat - erat. Apakah dia takut karena hari mulai gelap, atukah dia memang sudah membayangkan bakal terjadi “sesuatu” denganku?
Entahlah. Yang jelas ketika sudah berada di dalam mobil yang mesinnya belum kuhidupkan, Tante Tita melingkarkan lengannya di leherku. Sambil berdesis, “Don… cium bibirku Don…”
Keadaan di dalam ruang parkir itu memang sudah gelap. Lagian kaca mobilku gelap semua. Maka tanpa ragu sedikit pun kupagut bibir sensual tanteku yang bertubuh montok, berkulit putih bersih, berwajah cantik dan seksi abis itu… emwuuuuaaaaah…!
“Terima kasih Sayang,” ucap Tante Tita setelah ciumanku terlepas. Disusul dengan kecupan hangatnya di pipi kliriku.
Kemudian kuhidupkan mesin mobilku, yang lalu kugerakkan ke luar lewat pintu gerbang. Dua orang satpam menghampiriku, “Selamat malam Big Boss…!” ucap mereka serempak. Yang kubalas dengan senyum dan anggukan.
Tak lama kemudian sedan putihku sudah meluncur di jalan aspal yang sudah diterangi lampu - lampu penerangan.
“Ohya Tante… aku pernah berjumpa dengan perempuan di Bangkok, bernama Sheila. Dia mengaku anak Ayah almarhum juga. Menurut keterangan dia sih, dia terlahir dari istri pertama Ayah. Sedangkan Bunda itu istri kedua. Apa betul begitu?”
“Betul Don. Aku lupa menceritakannya,” sahut Tante Tita, “Memang ayahmu itu punya istri tiga orang. Sheila itu anak dari istri pertamanya. Itu sih menikah secara sah menurut negara. Dengan ibumu juga menikah secara sah. Tapi dengan istri ketiganya, ayahmu mjenikah secara diam - diam. Cuma menikah siri.
“Jadi benar Sheila itu kakak seayahku ya.”
“Betul. Tapi seingatku, Sheila itu masih punya adik dua orang. Semuanya cewek. Satu - satunya anak cowok dari Kang Rosadi itu hanya kamu Don. Makanya aku juga heran ketika mendengar kamu malah dikasihkan kepada temannya yang orang Indonesia tapi jadi pengusaha yang sukses di Bangkok itu.”
“Terus… dari istri ketiga juga cewek dua - duanya?
“Iya, namanya Ranti dan Amel. Mereka masih remaja, karena ayahmu menikah dengan istri ketiganya itu pun setelah kamu diadopsi oleh pengusaha dari Bangkok itu. Ohya… istri ketiga ayahmu itu bernama Neneng. Tapi ingat… masalah Bu Neneng dan kedua anaknya itu jangan bilang - bilang sama bundamu ya.
“Iya Tante. Tapi aku secara pribadi akan mencari Ranti dan Amel itu, karena mereka kan adik - adik seayahku.”
“Iya. Bahkan kalau mereka mau menikah, kamu punya hak untuk menjadi wali mereka.”
“Iya, iya… sekarang kita makan malam dulu ya Tante.”
“Iya Don. Aku lapar nih. Tadi siang kan cuma makan sate ayam dengan lontong di depan kantor notaris.”
“Tenang Tante. Di restoran ini mau makan apa pun pasti ada,” ucapku sambil membelokkan mobilku ke pelataran parkir sebuah restoran.
“Wah makanan orang bule semua di sini ya?” cetus Tante Tita setelah membaca daftar menu restoran itu.
“Iya Tante. Gak apa kan?”
“Gak apa - apa. Aku malah seneng makan steak dan lamb chop. Pesan juga makanan untuk dibawa pulang ya…” ucap Tante Tita sambil melanjutkannya dengan berbisik di telingaku, “Kalau sudah begituan suka lapar kan?”
“Hihihiii… iya, iya Tante,” sahutku sambil menahan tawa. Lalu aku berbisik juga ke dekat telinganya, “Udah gakj sabar, ingin lihat Tante telanjang.”
Tante Tita mencubit perutku, “Emangnya harus telanjang di sini?!”
“Bukan di sini Tante. Bukan,” sahutku sambil menahan sakit dicubit perut.
“Sabar ya Don. Aku kan mau sebulan tinggal di rumahmu. Nanti kamu boleh melahapku sekenyangnya. Mau tiap malem juga oke,” ucap Tante Tita setengah berbisik.
Makanan pesanan kami diantarkan oleh dua orang waiters. Aku pun memesan beef burger 6 buah dan 3 spaghetti bolognese untuk dibawa pulang.
“Spaghetti-nya dua juga cukup,” ucap Tante Tita.
“Iya, yang satu untuk pembokat. Kasian kalau kita makan sesuatu sementara dia cuma bisa cengo sambil nelan ludah.”
“Oh iya, iya… ternyata kamu boss yang baik hati Don.”
Setelah selesai makan, kami kembali ke mobil sambil menjinjing kantong plastik berisi makanan untuk disantap di rumah nanti.
Ketika tiba di rumah, jam tanganku sudah menunjukkan pukul 21.30.
“Mau tidur di lantai tiga atau di kamarku?” tanyaku sambil melingkarkan lenganku di pinggang Tante Tita.
“Kalau boleh sih di kamarmu aja Don,” sahut Tante Tita sambil mengecup bibirku.
Aku mengangguk dan menggandeng lengan tanteku, masuk ke dalam kamarku yang sudah mengalami perubahan drastis sejak setahun belakangan ini.
Kamarku diperlebar ke sebelah timur. Ditambah dengan ruang kerja, ruang makan pribadi, kitchen kecil, kolam renang dan taman yang lumayan luas. Bahkan ada air terjun dan gua buatan segala. Apa pun yang kuinginkan tetap memungkinkan. Karena rumah peninggalan almarhum Papa angkatku ini memiliki tanah kosong hampir 1 hektar.
Maka kini kamarku seolah rumah di dalam rumah. Karena kalau aku mau makan, misalnya, tak usah keluar dari kamarku. Bisa makan di dalam ruang makan pribadiku. Kolam renang pun bukan kolam renang biasa. Karena kalau aku ingin berenang di kolam air panas, aku bisa membuang air dinginnya. Lalu kualirkan air panas yang suhunya bisa kuatur sendiri.
“Wuiiih… rumahmu benar - benar mewah Don. Kamarmu saja luasnya sama dengan ukuran rumah biasa. Masih muda sudah punya rumah yang seperti istana ini,” ucap Tante Tita setelah berada di pinggir kolam renangku.
“Ini kan rumah peninggalan papa angkatku Tante. Aku hanya merenovasi sedikit - sedikit.”
“Liat kolam renang jadi ingin nyemplung. Tapi sudah malam begini, pasti aku menggigil kedinginan nanti.”
“Airnya bisa diganti sama air panas Tante.”
“Wah enak dong. Tapi… aku gak bawa baju renang.”
“Telanjang aja. Takkan ada yang bisa mengintip ke sini kok. Kan di sekeliling rumah ini tanahku semua. Siapa pula yang berani ganggu Tante di sini,” ucapku sambil memijat tombol di tiang samping kolam renang. Tombol untuk membuang air kolam. Tapi supaya cepat aku hanya membuang setengahnya saja. Kemudian kualirkan air panas ke kolam renang itu.
Kucoba mencelupkan tanganku ke dalam kolam renang yang airnya sudah hangat sekali itu.
“Ayo buka pakaian Tante. Airnya sudah hangat nih. Tante takkan kedinginan.”
“Donny udah gak sabar, ingin lihat aku telanjang ya?”
“Iya Tante… please…”
Tante Tita berdiri di depanku sambil melucuti pakaiannya sehelai demi sehelai. Sampai benar - benar telanjang bulat.
“O my God…! Tubuh tante mulus dan menggiurkan sekali…” ucapku sambil mendekap tubuh telanjang yang agak montok dan sangat mulus itu. Lalu kukecup bibirnya dengan sepenuh gairahku.
Tapi hanya sebentar Tante Tita membiarkan bibirnya kucium. Karena ia langsung menceburkan diri ke kolam yang airnya sudah hangat sekali itu.
Aku pun tak mau kalah. Kutanggalkan semua yang melekat di tubuhku. Lalu mencebur ke dalam kolam renang berisi air hangat itu.
Kelihatannya Tante Tita sudah sangat pandai berenang dan menyelam. Sehingga aku agak susah mengejarnya. Tapi pada suatu saat aku berhasil juga menangkap kakinya, kemudian memeluknya di dalam bagian kolam yang kedalamannya hanya 1,5 meter (bagian lain kedalamannya 2,5 meter).
Buat suhu yang meminta daftar sirsilah keluarga besar Donny :
Pak Rosadi menikah dengan Hanah (istri pertamanya), punya anak Sheila, Rita dan Mutiara.
Ibunya Donny (Bu Ami) adalah istri keduanya. Punya anak Siska, Nenden, Donny dan Donna. Dari Bu Neneng (istri ketiga) punya anak bernama Ranti dan Amel. Adik - adik Pak Rosadi: Zulkifli, Neni, Maryani dan Tita. Ibunya Pak Rosadi setelah ditinggal mati oleh suaminya, menikah lagi dengan lelaki lain dan memperoleh anak Ika dan Hera (adik - adik seibu Pak Rosadi).
Posting Komentar untuk "Cinta Sedarah Bersemi Kembali ( Bagian 5 )"