Cinta Sedarah Bersemi Kembali ( Bagian 2 )
Tiba - tiba Donna mengalihkan topik pembicaraan, “Tadi kamu memilih untuk tidur bersama Bunda. Kenapa gak milih tidur sama aku saudara kembarmu ini?”
“Soalnya sejak kecil sampai dewasa, aku selalu tidur bersama ibu angkatku di Bangkok. Makanya aku ingin merasakan tidur dalam pelukan ibu kandungku sekarang.”
“Tapi Bunda itu peminum lho.”
“Haaa? Maksudmu minum minuman beralkohol?”
“Iya, “Donna mengangguk, “Sejak Ayah meninggal, Bunda jadi peminum alkohol. Duit dari Kak Siska dan Kak Nenden habis dibelikan minuman mulu.”
“Pantesan tadi di dalam kamarnya banyak botol minuman. Kenapa kamu gak berusaha nyadarkan Bunda?“
“Wah, udah sering nyadarin Bunda. Tapi kata - kataku gak pernah digubris. Barangkali nanti kamu bisa ngasih saran sedikit - sedikit setelah dekat dengan Bunda. Soalnya alkohol itu kan berbahaya bagi Bunda sendiri.”
“Iya… nanti aku akan berusaha menyadarkannya. Tapi biasanya seorang alcoholic itu sulit disadarkan. Mungkin harus sering dibawa ke tempat yang tidak ada penjual minuman keras…”
Makanan yang kami pesan sudah dihidangkan. Lalu kami makan bersama.
“Kamu kok bisa kehilangan virginitasmu, sama siapa?” tanyaku perlahan.
“Sama pacar brengsek. Setelah mendapatkan semuanya, dia menghilang entah ke mana. Kamu sendiri di Bangkok gimana? Punya pacar?”
“Males nyari cewek di Bangkok. Hampir separohnya cewek di sana hasil transgender. Jadi kalau kurang cermat malah bisa dapetin cowok yang sudah ganti kelamin. Hihihihi…”
“Tapi kamu tentu udah punya pengalaman sama cewek kan?”
“Pengalaman apa?”
Donna menjawabnya dengan bisikan di telingaku, “Pengalaman bersetubuh dengan perempuan.”
“Pernah, tapi belum sering.”
“Sama orang sana?”
“Bukan, “aku menggeleng, “sama turis dari Indonesia.”
“Cantik?”
“Mmm… cantikan kamu. Mudaan kamu juga.”
“Ohya?!”
“Punya suami. Tapi waktu tour ke sana gak sama lakinya.”
“Owh… ceritanya main sama binor.”
“Apa itu binor?”
“Bini orang.”
“Hihihiiii… iya… “aku hampir tersedak, karena ketawa waktu makan.
Namun diam - diam aku teringat kembali segala yang pernah terjadi di Bangkok. Sesuatu yang takkan pernah kulupakan di seumur hidupku. Cerita tentang turis barusan sebenarnya cuma bullshit. Sebenarnya pengalamanku dengan perempuan bukan dengan turis.
Ya… aku masih ingat semuanya itu. Bahwa aku sejak kecil sampai besar aku sangat dimanjakan oleh Pak Margono dan istrinya, yang saat itu kusangka orang tua kandungku. Dan sejak ingat aku memanggil mereka Papa dan Mama. Sejak ingat pula aku selalu tidur bersama mereka. Terutama dengan Mama, karena Papa sering berada di Singapore, untuk mengurus perusahaannya yang ada di sana.
Mama bahkan selalu memandikanku sejak aku mulai ingat semuanya sampai sekarang. Setelah aku berusia 15 tahun, barulah aku mandi sendiri, tidak dimandikan oleh Mama lagi. Tapi kalau tidur selalu dengan Mama. Kalau Papa sedang berada di Bangkok, barulah aku tidur di kamarku sendiri.
Aku sangat dimanjakan oleh Papa dan Mama. Apa pun permintaanku pasti dikabulkan. Mungkin itulah yang menyebabkanku lambat dewasa.
Buktinya, pada saat usiaku sudah 18 tahun, ketika kampusku sedang liburan dan ketika Papa sedang berada di Singapore, aku masih minta dimandikan oleh Mama.
“Mama… pengen dimandiin sama Mama,” ucapku dengan nada manja.
“Kok tumben, udah tiga tahun bisa mandi sendiri, sekarang kok tiba - tiba mau dimandiin sama mama?” tanya Mama sambil tersenyum.
“Kangen aja sama kasih sayang Mama waktu ngemandiin aku. “ “Ya udah. Kebetulan mama juga belum mandi sore.”
Lalu aku dan Mama masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam bedroom Mama.
Sebenarnya kamar Papa dan kamar Mama itu terpisah. Karena kamar Papa ada ruang kerjanya, sementara kamar mama ada ruang rias dan lemari pakaian yang berderet di dinding. Kamar mandi Papa pun terpisah dengan kamar mandi Mama. Maklum kalau wanita suka berlama - lama di kamar mandi, jadi di kamar Papa pun disediakan kamar mandi sendiri.
Setelah berada di dalam kamar mandi Mama, aku langsung menelanjangi diriku sendiri. Sewmentara Mama pun melepaskan gaun rumah (housecoat), beha dan celana dalamnya. Ini adalah pertama kalinya Mama telanjang bulat pada waktu mau memandikanku. Mungkin karena beliau pun mau mandi juga.
Memang ada desir aneh di dada dan benakku melihat Mama dalam keadaan tewlanjang bulat begitu. Namun ternyata Mama pun tampak heran memandang ke arah penisku.
“Donny… dalam tiga tahun ini penismu jadi segede dan sepanjang ini?” ucap Mama sambil memegang penisku.
“Kan sekarang aku sudah gede Mam.”
“Sudah gede tapi masih mau disuapin dan dimandiin sama mama ya?”
“Kan aku ingin tau apakah Mama masih sayang sama aku nggak?”
Mama menciumi pipiku, lalu berkata, “Sampai kapan pun rasa sayang mama takkan pernah pudar, Sayang.”
Lalu Mama mengambil shower manual dan memancarkan air hangatnya ke tubuhku. Dan mulai menyabuniku dari kepala sampai ke kakiku. Tapi entah kenapa, ketika Mama menyabuni batang kemaluanku, begitu lama Mama menyabuninya. Sehingga diam - diam batang kemaluanku jadi ngaceng.
“Wow… dalam keadaan ngaceng gini penismu jadi lebih gede dan lebih panjang, Don,” kata Mama sambil mengocok penisku dibantu oleh air sabun.
“Iya Mam. Kata teman - teman, kalau penis sedang ngaceng gini lalu dimasukin ke dalam memek, rasanya enak sekali. Betul Mam?”
“Iya, betul. Memangnya kamu belum pernah menyetubuhi perempuan?”
“Belum, “aku menggeleng, “Kan kata Mama perempuan di Thailand ini hampir setengahnya berasal dari transgender. Lagian kata Mama juga di sini banyak sekali perempuan yang menderita HIV.”
“Iya. Apalagi di pantai Pattaya. Gudangnya HIV di Asia. Makanya harus hati - hati, jangan sembarangan main perempuan di sini.”
“Iya Mam. Main perempuan sih nanti aja kalau kebetulan kita pulang ke Indonesia.”
“Di mana pun kamu berada, jangan pernah menyentuh pelacur ya. Kalau pacaran dengan cewek baik - baik sih nggak apa - apa.”
“Iya Mama. Aku takkan sembarangan bergaul di Thailand ini. Tapi nanti Mama ajarin bagaimana cara untuk menyetubuhi perempuan ya Mam.”
“Haaa?! Mmm… ya udah, sekarang selesaikan dulu mandinya. Setelah mandi, kita malam ya Sayang.”
Setelah mandi, Mama menemaniku makan malam di ruang makan. Dua orang pembantu menghidangkan makanan di meja makan dan menunggu kami makan untuk menyediakan yang kurang.
Semua wanita yang bekerja di rumah ini berasal dari Indonesia. Karena hanya orang Indonesia yang paling mengerti apa yang diinginkan oleh aku dan kedua orang tuaku.
Pekerjaan mereka dibagi - bagi sesuai dengan bakat mereka sendiri. Ada tukang masak, tukang bersih - bersih rumah, tukang cuci pakaian, tukang merapikan taman kecil di pekarangan rumah dan sebagainya. Semuanya berasal dari tanah air kami.
Papa, Mama dan aku masih berkewarganegaraan Indonesia. Tapi kami punya izin stay permanent di Thailand dan di Singapore. Mungkin izin itu diberikan karena Papa tergolong pengusaha besar.
Setelah selesai makan malam, aku ngobrol dulu dengan Mama di ruang keluarga, sambil nonton televisi.
Setelah aku mulai menguap -nguap, Mama mengajakku tidur di kamarnya.
Di dalam kamar Mama itulah aku membicarakan hal yang belum selesai di kamar mandi tadi.
“Mam… kenapa ya waktu melihat Mama telanjang di kamar mandi tadi, kontolku jadi ngaceng?” tanyaku blak - blakan.
“Masa?! Sekarang lagi ngaceng nggak?” Mama balik bertanya.
“Nggak,” sahutku sambil memegang penisku di balik celana piyamaku.
Lalu Mama menanggalkan kimono dan celana dalamnya, jadi telanjang bulat, karena Mama biasanya tak pernah mengenakan bra kalau mau tidur. “Nah… sekarang Mama telanjang lagi… kontolmu ngaceng lagi nggak?”
“Ngaceng lagi Mam… lihat tuh…” sahutku sambil menurunkan celana piyamaku dan langsung memamerkan penisku yang langsung ngaceng setelah melihat Mama telanjang.
Mama yang masih telanjang tampak serius memperhatikan penisku yang sudah ngaceng ini. Lalu meraih tanganku ke atas bed.
“Ini normal - normal aja Don,” kata Mama mendorong dadaku agar celentang. Kemudian Mama menarik celana piyamaku sampai terlepas dari kedua kakiku.
Tangan Mama beralih ke penisku. Menggenggamnya dengan tangan kiri dan mengelus - elus moncongnya dengan tangan kanan. “Kamu sudah pernah merasakan ejakulasi nggak?”
“Mmm… pernah. Tapi waktu tidur. Waktu itu aku bermimpi yang aneh, sampai akhirnya aku terbangun dan ternyata celanaku basah Mam.”
“Waktu itu kamu mimpi apa?”
“Mimpi diajak bersetubuh sama Mama.”
“Ohya?! Serius?”
“Iya Mam.”
“Berarti kamu ngefans berat sama mama, sampai kebawa - bawa mimpi segala.”
“Ya iyalah. Di dunia ini Mamalah yang paling kucintai dan kusayangi.”
“Sering kamu mimpi bersetubuh sama mama?”
“Mmm… tiga atau empat kali gitu.”
“Lalu kamu ejakulasi terus setiap dapet mimpi seperti itu?”
“Iya Mam.”
“Kasian anak mama ini… rupanya diam - diam kamu mengagumi mama ya?”
“Iya Mam.”
“Mmm… emangnya mama ini cantik di matamu?”
“Di mataku, Mama paling cantik di dunia ini.”
Lalu Mama menghimpitku. Mencium bibirku dengan hangatnya, disusul dengan bisikan, “Di mata mama, kamu juga cowok yang paling tampan di dunia ini.”
Aku agak bingung pada mulanya. Karena ini pertama kalinya Mama mencium bibirku, dengan sikap yang lain dari biasanya pula. Tapi jujur, aku suka dengan sikap dan perilaku Mama seperti ini.
“Kamu ingin agar mimpi - mimpimu itu diwujudkan dalam kenyataan?” tanya Mama yang sudah melorot turun dan memegangi penis ngacengku lagi.
“Mau Mam… mauuu… !” sahutku spontan.
“Mimpi - mimpimu akan mama wujudkan. Tapi ingat… ini sangat rahasia ya. Orang lain jangan sampai tau. Papa juga jangan sampai tau.”
“Iya Mam. Aku janji akan merahasiakannya kepada siapa pun.”
“Sekarang kamu diam aja ya. Mama akan melakukan sesuatu untukmu. Jangan bersuara keras - keras, takut kedengaran sama orang di luar.”
“Iya Mam,” sahutku dengan suara dipelankan.
Mama pun mulai menjilati moncong dan leher penisku. Membuat nafasku tertahan - tahan karena merasakan geli - geli enak. Terlebih lagi ketika Mama mengulum penisku, sambil mengurut - urut batangnya yang tidak terkulum olehnya.
Aku pun merintih perlahan, “Mama… aaaaa… aaaaah… Mamaaa… iii… ini renak sekali Mam… ooooooooh… Mamaaa… aku sayang Mamaaa… aku makin sayang sama Mamaaa… oooooooh…”
“Mama juga sangat sayang sama kamu, makanya mama mau menyerahkan kehormatan mama padamu, saking sayangnya mama padamu,” sahut Mama sambil berjongkok di atas penisku, sementara sepasang kakinya berada di kanan kiri pinggulku.
Aku tetap celentang sambil memperhatikan semuanya. Bahwa Mama memegang penisku yang moncongnya ditempelkan ke mulut kemaluan Mama yang berjembut sangat tipis itu (sehingga bentuk kemaluannya tetap jelas di mataku).
Kemudian Mama menurunkan pinggulnya, sehingga moncong penisku mulai membenam ke dalam liang kewanitaan Mama.
Begitu jelas di mataku. Bahwa memek Mama menurun terus, sementara penisku makin dalam “tenggelam” ke dalam liang memek Mama. Srrrr… blesssssss… batang kemaluanku amblas semua ke dalam liang kemaluan Mama.
Kemudian Mama mulai menaik turunkan memeknya, sehingga batang kemaluanku digesek - gesek oleh dinding liang memek Mama yang empuk, licin dan hangat.
Aku pun mulai merintih keenakan, “Mama… ooooh… ini enak banget Maaaam…”
Sementara Mama pun memejamkan matanya sambil mendesah - desah, “Aaaaahhhh… aaaahhh… aaaaaahhh… aaaaaaahhhhhhhh… aaaaahhhhh… aaaaah… aaaaah… Dooon… mama sayang kamu Dooon… sayang kamuuuuu… Doooon… aaaaah… Dooon… mama sayang kamuuuu Dooon… Doooon… aaaaaahhhh …
Namun pada suatu saat Mama menarik jauh - jauh memeknya, sehingga penisku terlepas dari liang memeknya. Kemjudian Mama menelentang sambil berkata, “Ayo lanjutkan lagi. Masukkan kontolmu ke sini,” kata mama sambil mengusap - usap memeknya.
Aku pun mengikuti apa yang Mama suruh. Kuletakkan penisku di mulut kemaluan Mama. Dan Mama memegang leher penisku sambil meletakkan moncongnya pada arah yang tepat. Lalu mama memberi isyarat, “Ayo dorong… yang kuat…”
Aku pun mendorong penisku sekuatnya seperti yang Mama suruh. Dan… penisku membenam amblas ke dalam liang memek Mama… blesssssskkkkkkk…!
“Nah sekarang entotin kontolnya… tapi pelan - pelan dulu… jangan sampai lepas dari memek mama… ayo test dulu…” kata Mama sambil merenggangkan sepasang pahanya yang putih mulus itu.
Aku memang baru sekali ini merasakan penis dimainkan di dalam liang vagina. Tapi aku sudah sering melihat film/video dewasa. Karena itu, ketika aku “ditugaskan” untuk beraksi, hanya beberapa detik saja aku sudah mengerti apa yang harus kulakukan.
Ya, aku langsung lancar mengentot Mama. Sehingga Mama pun membisiki telingaku, “Kamu pinter Sayang… ayo entot terus memek mama… entot terusssss… jangan brenti - brenti… oooo… ooooh… Dooon… entot teruuuussssss… entoooottttt… entoooootttt… kontolmu enak sekali Dooon…
Sebenarnya aku pun sedang merasakan enaknya liang memek Mama, yang membuat penisku geli - geli enak. Tapi aku lebih suka mendengar rintihan Mama, yang tampak begitu keenakan merasakan entotan batang kemaluanku.
Mama pun mulai menjilati leherku disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Membuatku serasa makin melayang - layang di langit tinggi… langit ketujuh yang biasa disebut langit surgawi juga.
Pada saat lain Mama minta agar aku meniru apa yang dilakukannya barusan. Dengan senang hati aku pun mulai menjilati leher Mama yang senantiasa harum parfum mahal, juga disertai dengan gigitan - gigitan kecil seperti yang Mama lakukan padaku tadi.
Namun pada suatu saat aku merasakan sesuatu yang “lain”… liang memek Mama begitu nikmatnya… bahkan terlalu nikmat bagiku, sehingga akhirnya aku menggelepar, lalu membenamkan penisku sedalam mungkin di dalam liang memek Mama.
Crooootttt… croooottttttt… crottt… croooottttt… crottt… crooootttt…!
Spermaku pun bermuncratan dari moncong penisku. Lalu aku terkulai di dalam pelukan Mama.
Setelah ejakulasi, ada perasaan bersalah di dalam hatiku. Serasa telah menganiaya Mama. Tapi bukankah tadi mama pun menikmatinya?
Ya… bahkan setelah belasan menit beristirahat, Mama menggenggam penisku. Lalu menyelomotinya lagi dengan lahap dan binalnya. Penisku yang sudah lemas pun sedikit demi sedikit menegang kembali. Dan akhirnya ngaceng total lagi…!
Pada saat berikutnya, Mama menelentang sambil berkata, “Ayo Don. Entot mama lagi. Biar kamu tambah pinter kalau sudah punya istri kelak.”
Aku tidak langsung menyetubuhi Mama, karena mulai asyik untuk mengelus - elus memeknya yang berjembut sangat tipis itu. Bahkan lalu kataku, “Aku sering nonton film dewasa yang suka menjilati kemaluan perempuannya. Ajarin aku bagaimana caranya menjilati memek ya Mam…”
“Besok aja. Jembutnya harus dicukur dulu, biar enak jilatinnya,” sahut Mama, “Sekarang masukin lagi aja kontolmu. Mama udah kepengen lagi, Sayang.”
Terpaksa kuikuti keinginan Mama. Kubenamkan lagi penis ngacengku ke dalam liang memek Mama yang aku sudah tahu “jalannya”.
Lalu mulailah aku berpush up lagi di atas perut Mama… mulailah aku merasakan nikmatnya bersetubuh yang sering dikatakan sebagai nikmatnya surga dunia ini.
Hai… kok malah ngelamun terus?” Donna menepuk bahuku, membuatku kaget dan membuyarkan terawangan masa laluku.
“Memang banyak yang sedang kupikirkan,” sahutku sambil meringis.
“Udah waktunya masuk Don. Seperempat jam lagi juga filmnya diputar.”
“Ya udah masuki aja,” sahutku sambil memanggil waiter restoran sambil memberi kode bill. Waiter itu pun menghampiri sambil membawa baki kecil beserta bon yang harus kubayar.
Beberapa saat kemudian aku dan Donna sudah berada di dalam gedung bioskop.
Kami kebagian kursi yang paling belakang. Kebetulan jajaran kursi paling belakang ini hanya kami berdua isinya. Sehingga setelah lampu gedung bioskop dimatikan, Donna bebas menempelkan pipinya ke pipiku, sambil meremas - remas tanganku. Dan bahkan ia membisiki telingaku, “Kita harus kompak terus sampai tua kelak, ya Don.
“Iya Don. Hihihihi… kalau Bunda manggil Don aja, pasti kita sama - sama nengok ya.”
“Iya. Tapi itu juga salah satu tanda bahwa kita ini kompak.”
Kujawab dengan bisikan, “Kalau kompak, boleh dong aku nyobain punyamu.”
Donna menyahut dengan bisikan juga, “Sekarang sih aku lagi mens. Nanti kalau udah bersih, aku kasih. Asalkan jangan bikin aku hamil.”
Kuremas tangan Donna sambil berbisik, “Janji ya.”
“Iya. Tapi kalau udah dikasih, ajak aku main ke Bangkok ya.”
“Iya. Soal gampang itu sih. Perusahaan warisan dari almarhum Papa angkatku bukan hanya di Bangkok. Di Singapore juga ada.”
Lalu obrolan kami terputus, karena layar putih sudah menyuguhkan ceritanya, bukan sekadar memperlihatkan deretan nama - nama pemainnya lagi.
Tadi pada waktu aku sedang menerawang di resto itu, Donna kusuruh membelikan pizza dan martabak manis pesanan Bunda. Dan Donna membelinya dua - dua. Dua pizza dan dua martabak manis. Sambil nonton, kuambil pizzanya sepotong. Untuk menghilangkan ketegangan film horror yang tengah kami tonton. Donna juga sama, mengambilnya sepotong, lalu menyantapnya.
Setelah filmnya the end, barulah kami terbebas dari ketegangan itu.
Lalu kami pun pulang dengan menggunakan taksi. Di dalam taksi pun Donna memperlihatkan sikap romantisnya padaku. Tapi karena dia sedang menstruasi, aku pun tidak melangkah terlalu jauh. Hanya membiarkan pipi kami bertempelan sambil saling remas tangan.
“Aku ingin beli mobil. Tapi susahnya aku belum hafal jalan - jalan di kota ini. Bisa - bisa malah nyasar terus. Berarti aku harus punya sopir juga,” kataku.
“Aku aja sopirnya,” sahut Donna.
“Emangnya kamu bisa nyetir?”
“Bisa. SIM juga udah punya.”
“Besok bisa antar aku nyari mobil?”
“Bisa. Kebetulan besok aku kebagian jatah libur.”
“Besok kan bukan hari Minggu, bukan pula tanggal merah. Kok bisa libur?”
“Jatah libur di tempat kerjaku digilir. Tidak selalu hari Minggu. Karena hari Minggu tokonya tetap buka. Jadi kalau minggu ini aku kebagian jatah libur hari Selasa, minggu depan bisa Rabu, bisa Kamis atau hari apa aja, tergantung jadwal libur masing - masing.”
“Resign aja deh dari tempat kerjamu.”
“Lho… terus aku mau kerja apa?”
“Kalau kamu mau, jagain aja galleryku yang di Singapore.”
“Gallery apa?”
“Gallery lukisan, patung dan berbagai hiasan dinding yang terbuat dari kayu jati diukir. Semuanya asli dari Indonesia.”
“Gajinya gede dong.”
“Pasti jauh lebih gede daripada gajimu sekarang.”
“Tapi… di Singapore hawanya panas ya?”
“Panaslah. Malah lebih panas dari Jakarta. Di Bangkok juga udaranya panas. Kalau mau yang udaranya dingin, harus di Thailand utara.”
“Kamu buka perusahaan di kota ini aja Don. Soalnya kalau aku pindah ke Singapore, kasian Bunda, gak ada temannya. Lagian aku sendiri suka gak kerasan tinggal di tempat yang panas. Badan keringatan mulu. Sehari bisa dua atau tiga kali ganti pakaian.”
“Aku memang ingin juga buka usaha di sini. Tapi harus dipikirkan dulu apa jenis usahanya.”
“Bagaimana kalau buka pabrik mainan anak - anak? Pemasarannya pasti lancar terus.”
“Usulmu boleh juga. Tapi aku ingin memproduksi sesuatu yang bisa diekspor ke Singapore dan Thailand. Supaya aku bisa jadi eksportir sekaligus importir.”
“Maksudmu eksportir sekaligus importir gimana?”
“Barang yang diekspor ke Singapore dan Thailand, importirnya perusahaanku juga di sana. Jadi nggak usah nyari lagi importir di Singapore dan Bangkok. Tapi itu baru rencana. Soalnya aku ingin melakukan survey dulu apa kira - kira yang laku dijual di Singapore dan Thailand.”
Tak lama kemudian taksi yang kami tumpangi tiba di depan rumah Bunda.
Setelah membayar taksi, Donna mengeluarkan kunci cadangan yang dibekalnya tadi. Kemudian kunci cadangan itu dipakai untuk membuka pintu depan. Kami pun masuk. Sementara Bunda tidak kelihatan. Mungkin sudah tidur. Padahal aku membawa oleh - oleh pizza dan martabak manis sesuai dengan permintaannya.
“Mungkin Mama sudah tidur. Mungkin juga sedang teler. Aku udah ngantuk berat,” ucap Donna perlahan, sambil mendekap pinggangku.
Aku cuma tersenyum mendengar kata - kata saudara kembarku itu. Tapi ia mengangsurkan bibirnya ke dekat bibirku sambil bergumam, “Cium bibirku dulu sebelum tidur.”
Aku pun melingkarkan lenganku di lehernya, lalu mencium bibirnya dengan ketat. Sementara Donna memejamkan matanya, seolah sangat menikmati ciumanku.
“Oke good night Brother,” ucap Donna setelah bibirnya kulepaskan.
“Sleep tight and have a nice dream. Good night Sista,” sahutku.
Pizza dan martabak manis kuletakkan di atas meja ruang makan, kemudian kubuka pintu kamar Bunda.
Dan… apa yang kulihat? Bunda sedang menelungkup di atas ranjang, dalam keadaan… telanjang bulat…!
Sedangkan udara di kamar sempit ini bau alkohol yang sangat menyengat di hidung.
Persis seperti dugaan Donna, bahwa Bunda sedang teler.
Cepat kulepaskan sepatu dan kaus kakiku. Kulepaskan juga celana dan baju kausku. Lalu kuganti dengan celana pendek dan kaus oblong serba putih.
“Bunda… !” panggilku perlahan sambil menggoyangkan bokongnya yang tidak tertutup apa - apa. Bahkan kemaluan Bunda pun tampak karena kaki kirinya terjuntai ke lantai, sementara kaki kanannya berada di atas kasur bertilamkan kain seprai lusuh.
Lalu… setan dari mana yang membuat penisku ini tiba - tiba menegang ini?
Entahlah. Tapi aku berusaha untuk membantu Bunda, minimal agar posisi badannya jangan “kacau” begini.
Maka kugulingkan badan Bunda sampai menelentang di tengah ranjang besi jadul itu.
Pemandangan yang kusaksikan malah lebih parah lagi. Dalam keadaan celentang, Bunda begitu menggiurkan kelihatannya. Badannya yang putih mulus, wajahnya yang lebih cantik daripada wajah Mama almarhumah membuat batinku berdesir - desir.
Tadi waktu bersama Donna, sebenarnya nafsuku sudah terpancing dan membutuhkan penyaluran. Lalu kini aku melihat Bunda dalam keadaan seperti itu pula. Sedangkan aku baru siang tadi tahu bahwa wanita cantik itu ibu kandungku.
Dalam perasaan bingung, kukunci pintu keluar, lalu melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Biarlah… kalau Bunda menanyakan kenapa aku telanjang, akan kujawab karena dia juga telanjang.
Kemudian aku naik ke atas ranjang tua ini. Merebahkan diri di samping Bunda, sambil meletakkan tanganku di atas payudaranya. Namun sesaat kemudian tanganku merayap ke perutnya… bahkan lalu kuletakkan di atas kemaluan Bunda yang jembutnya lebat sekali itu, sambil sesekali memperhatikan reaksi Bunda.
Tiba - tiba Bunda duduk dengan mata tetap terpejam. Lalu meraba - raba lenganku, dadaku, perutku dan batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini.
“Ini Donny?” tanya Bunda dengan mata terbuka tapi pandangannya tampak kosong.
“Iya Bun… pizza dan martabaknya kuletakkan di atas meja makan,” sahutku.
“Aaah… besok aja makannya… kontolmu ini lebih penting… gede sekali ya kontolmu ini… pasti enak kalau dientotin ke memekku… hihihiii… daku udah lama gak ngerasain enaknya kontol Bang… masukin aja kontolmu ini ke memekku Bang… ayo… jangan ngulur waktu… nanti kereta apinya keburu berangkat…
Aku tahu bahwa Bunda adalah ibu kandungku. Tapi aku baru mengenalnya tadi siang. Sehingga perasaanku tidak seperti layaknya seorang anak dengan ibunya. Bunda masih terasa asing dalam perasaanku. Dan malam ini, aku hanya merasakan nafsuku menggelegak setelah tanganku ditarik, sehingga tubuh telanjangku terhempas ke atas tubuh telanjang Bunda.
Terlebih lagi setelah Bunda memegangi penisku lalu mencolek - colekkan moncongnya ke belahan kemaluannya yang dikelilingi jembut tebal itu. Membuatku agak merinding, karena sadar bahwa beliau adalah ibu kandungku. Bahkan aku mencoba menyadarkannya, “Bunda… apakah Bunda lupa bahwa aku ini anak kandung Bunda?
Tapi Bunda malah menjawab, “Ayo dorong… nanti kamu akan merasakan di dunia ini tak ada memek yang seenak memekku… dorooooong… !”
Ucapan itu disertai dengan hembusan nafasnya yang berbau alkohol menyengat. Lalu ia meraih botol gepeng yang terbuat dari stainless stell. Dan meneguk isinya. Mungkin botol gepeng yang terbuat dari logam itu senantiasa ditaroh di bawah kain seprai lusuhnya.
Aku pun tak banyak bicara lagi. Karena percuma berdebat dengan orang yang sedang mabuk begitu. Kuikuti saja perintahnya, kudorong batang kemaluanku sekuatnya. Dan membenam sedikit demi sedikit. sampai masuk separohnya.
Maka mulailah aku mengayun tongkat kejantananku pelan - pelan. Gila… sudah punya anak empat, namun liang memek Bunda ini bukan main sempit dan legitnya…!
Dan mulailah Bunda mendesah - desah dibarengi celotehan ngaconya, “Aaaaa… aaaaahhh… aaaaaa… aaaaah… kontolmu enaaak Bang… eh… kamu Donny kan… iyaaa… entot terus Dooooon… iyaaaaa… entooootttt… edaaaaan… kontolmu gede gini… nurun sama siapa sih Dooon…
Makin lama entotanku makin lancar. Dan gilanya, liang memek Bunda ini memang paling enak di antara memek - memek yang pernah kuentot. Rasanya sempit dan legit sekali… sehingga batang kemaluanku seolah diisap - isap oleh liang senggamanya…!
Sambil mengentotnya, mulut dan tanganku pun beraksi. Kuselomoti dan kuisap - isap pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya yang kenyal dan masih nyaman buat diremas - remas.
Bunda pun semakin menggeliat - geliat dengan mata merem melek. Mata yang sudah merah sekali, mungkin karena kebanyakan minum alkohol.
Bahkan pada suatu saat Bunda merintih, “Ooooooo… ooooooh… mau lepas nih… mau lepasssssss…”
Bunda seperti menahan nafas, sementara tubuhnya mengejang tegang. Tapi aku tak menghentikan entotanku. Bahkan semakin menggencarkannya.
Lalu Bunda mengelojot dan terkulai lemas. Bahkan kelihatannya seperti ketiduran.
Melihat Bunda kelihatan tepar begitu, aku pun jadi ingin secepatnya berejakulasi.
Dan belasan menit kemudian aku berhasil meraih puncak kenikmatanku. Kubenamkan penisku sedalam mungkin, tanpa kugerakkan lagi. Lalu terasa moncong penisku menyemprot - nyemprotkan sperma di dalam liang kewanitaan Bunda.
Croooootttttt… crottt… crot… croooootttttttt… crot… croooooootttt…!
Aku terkapar di atas perut Bunda. Kemudian kucabut batang kemaluanku dari liang memek Bunda. Dan merebahkan diri ke samping ibu kandungku itu.
Sementara Bunda sreperti tidak tahu lagi apa yang barusan terjadi pada dirinya. Beliau benar - benar tertidur dengan nyenyaknya.
Aku pun enggan memungut pakaianku, lalu ikutan tertidur sambil memeluk Bunda. Dalam keadaan sama - sama telanjang bulat.
Esok paginya, aku terbangun dan melihat Bunda sedang bersolek di depan meja rias jadulnya. Beliau sudah mengenakan salah satu kimono oleh - olehku dari Bangkok. Tidak telanjang lagi seperti tadi malam.
Ketika aku mengenakan celana pendek putihku, Bunda menoleh sambil berkata, “Pizza dan martabak kirimanmu tadi malam sudah bunda makan Don. Walau pun dingin tetap masih enak.”
“Iya Bun,” sahutku sambil melangkah ke belakangnya. Dan melingkarkan kedua lenganku di lehernya sambil berkata, “Maafkan aku ya Bun… tadi malam Bunda memaksaku… sehingga aku me… menyetubuhi Bunda.”
Bunda menoleh padaku. Menatapku dengan senyum seperti yang dipaksakan. Lalu menghela nafas, “Yaaahhhh… biarlah… gak apa - apa. Daripada bunda dipuasi oleh laki - laki yang cuma ingin merusak, mendingan dipuasin olehmu.”
“Bunda sama sekali tidak sadar bahwa tadi malam kita telah melakukannya…” tanyaku sambil membelai rambut Bunda yang kelimis. Mungkin karena baru dikeramas.
“Antara sadar dengan tidak,” sahut Bunda, “Terus gimana rasanya? Memek bunda enak nggak?”
“Sangat - sangat enak sekali,” sahutku sambil membungkuk dan mengecup pipi Bunda, “Cuma sayangnya mulut Bunda berbau alkohol yang sangat menyengat.”
“Sejak ayahmu meninggal, bunda merasa sangat kehilangan. Karena tiada lagi yang mencintai dan memanjakan bunda. Sejak saat itulah bunda jadi peminum Don.”
“Aku siap untuk mencintai dan memanjakan Bunda seperti cinta dan kasih sayang Ayah almarhum. Asalkan Bunda berhenti minum minuman keras,” ucapku yang disusul dengan kecupan hangat di pipinya lagi.
Bunda berdiri menghadap padaku yang masih bertelanjang dada ini. Lalu mengusap - usap pipiku sambil berkata, “Wajahmu sangat mirip ayahmu di masa mudanya, Don.”
“Masa?! Kalau begitu jadikanlah aku sebagai pengganti Ayah almarhum. Tapi Bunda harus berjanji takkan minum alkohol lagi.”
“Donny Sayang… nafsu bunda ini gede sekali. Memangnya kamu bisa menggantikan ayahmu untuk menggauli bunda dua hari sekali?”
“Berarti aku harus pindah ke sini dong.”
“Soal itu sih nanti kita pikirkan lagi sematang mungkin. Ohya… tadi kamu bilang memek bunda enak sekali. Betul?” Bunda mengajakku duduk di pinggiran ranjang jadulnya.
“Betul, “aku mengangguk jujur, “Legit sekali. Pokoknya enak deh. “.
“Kalau begitu, cobain deh sekali lagi sekarang. Bunda kan abis mandi dan keramas. Pasti gak bau alkohol lagi.”
Bunda menanggalkan kimononya. Dan ada sesuatu yang membuatku tercengang. Kemaluan Bunda itu… tidak ada jembutnya lagi…!
“Dicukur habis, Bun?” tanyaku sambil mengusap - usap memek bunda yang sudah botak plontos itu.
“Iya. Biasanya pun suka dicukur. Tadi malam sih kebetulan aja udah lebih dari sebulan tidak dicukur.”
“Kalau sudah bersih begini, pasti enak jilatinnya,” ucapku.
“Memang harus dijilatin dulu, biar gak sakit waktu kontolmu dimasukkan ke sini. Kontolmu itu gede banget sih,” sahut Bunda sambil menelentang dan merfenggangkan sepasang paha putih mulusnya.
“Aku belum mandi Bun.”
“Biarin aja. Mandinya nanti aja setelah selesai ngentot bunda. Ayo jilatin dulu memek bunda Don.”
Aku pun menanggalkan kembali celana pendek putihku. Lalu menelungkup di antara sepasang paha Bunda yang direntangkan lebar - lebar. Dengan wajah berada di atas memek bunda yang sudah bersih dari jembut itu.
Kujamah memek plontos itu dan kungangakan sepasang bibir luarnya lebar - lebar, sampai kelihatan jelas bagian dalamnya yang berwarna pink itu. Di bagian yang berwarna pink itulah ujung lidahku menari - nari dengan lincahnya, membuat nafas Bunda berdesah - desah histeris dan erotis.
Terlebih setelah kutemukan kelentitnya, lalu kujilati juga disertai isapan - isapan kuat, sehingga bagian peka yang cuma sebesar kacang kedelai itu tampak menonjol dan mengeras. Pada saat menjilati kelentitnya itulah jari tengah tangan kananku sengaja kuselundupkan ke dalam celah kemaluannya. Lalu digerak - gerakkan maju mundur, laksana penis sedang mengentot.
Karuan saja Bunda semakin klepek - klepek dibuatnya, sementara liang memeknya terasa mulai basah.
Aku pun tidak menunggu instruksi lagi, karena nafsuku sudah sulit dikendalikan. Lalu aku merayap ke atas perut Bunda, sambil meletakkan moncong penisku pas di ambang mulut vagina ibuku.
Blesssssss… batang kemaluanku membenam lebih dari separohnya, disambut dengan rengkuhan Bunda di leherku, disusul dengan ciumannya di bibirku yang lalu berubah menjadi lumatan hangat. Sementara aku mulai mengayun penisku, bermaju mundur di dalam liang memek Bunda yang sangat legit tapi licin ini.
“Oooooh… Donny… sekarang bunda seratus persen sadar nih… sekarang bunda merasakan kelebihanmu ini… kontolmu memang enak sekali Don… jauh lebih enak daripada punya ayahmu… ayo puasi bunda Doooon…”
Aku langsung teringat pada ajaran Mama yang sering disampaikannya padaku. Bahwa untuk memuasi perempuan, jangan mengandalkan penis belaka. Tangan dan mulut pun harus beraksi pada bagian - bagian peka di tubuh perempuan. Lalu Mama memberitahu di mana saja titik - titik peka itu.
Kini semuanya akan kupraktekkan pada Bunda. Ketika entotanku mulai lancar, kujilati leher Bunda disertai gigitan -gigitan kecil, sementara tangan kiriku mulai meremas - remas toket kanannya. Dan tangan kananku menggaruk - garuk pinggang kiri Bunda.
“Donny Sayaaaang… oooooh… Doooon… ini luar biasa enaknya Dooon… enaaaak Dooon… oooooh… oooo… oooooh… Dooon… Dooon… entot terus Dooon… entooot teruuuuussssssss… entoooot… entoooooooootttttt …!”
Tiba - tiba aku teringat pada Donna. Aku takut Donna sudah bangun dan mendengar rintihan Bunda yang mulai tak terkendali itu. Maka kusumpal mulut Bunda dengan ciuman dan lumatan hangatku. Sementara penisku semakin gencar mengentot liang memek legitnya.
Demikian gencarnya penisku mengentot liang memek Bunda, sehingga menimbulkan bunyi unik yang berasal dari memek Bunda. Bunyi crak crek crak crek crak crek secara berirama.
Sementara Bunda hanya bisa berdesah - desah, karena mulutnya terus - terusan kusumpal dengan ciuman dan lumatanku.
Cukup lama aku menyetubuhi ibu kandungku yang lebih cantik daripada ibu angkatku itu. Sehingga keringatku pun mulai membasahi tubuhku, bercampur aduk dengan keringat Bunda.
Smpai pada suatu saat Bunda berbisik terengah, “Don… lepasin bareng -bareng yuk… biar nikmat…”
“Bu… Bunda su… sudah mau lepas?” tanyaku terengah pula.
“Iya Sayaaaang… ayo… lepasin bareng - bareng…” sahut Bunda sambil menggoyang pinggulnya habis - habisan. Seolah memaksa penisku agar segera ngecrot.
Aku pun memacu batang kemaluanku, mengentot liang memek Bunda habis - habisan.
Sampai akhirnya kami seperti sepasang manjusia yang sedang kerasukan. Bunda menjambak rambutku sambil mengejang tegang, sementara aku pun meremas sepasang toketnya kuat - kuat. Dan terjadilah sesuatu yang luar biasa indah dan nikmatnya ini.
Bahwa liang memek Bunda laksana seekor ular yang tengah membelit dan memilin batang kemaluanku, disusul dengan kedutan -kedutannya yang sangat terasa olehku… sementara moncong penisku pun tengah memuntahkan air maniku.
Crooootttt… crooooooottttttt… crotcrottt… croooot… crooooooootttt…!
Aku mengelojot, lalu terkulai dalam dekapan Bunda.
Kemudian terdengar bisikan Bunda, “Luar biasa nikmatnya, Sayang… belum pernah Bunda merasakan nikmatnya disetubuhi seperti sekarang ini…”
Ketika Bunda mengenakan celana dalamnya kembali, Bunda bertanya, “Di rumah orang tua angkatmu ada pegawai yang bernama Reni?”
Aku tersentak mendengar nama itu ditanyakan. “Reni yang suaminya kerja di Arab?”
“Iya, “Bunda mengangguk, “Reni itu adik bungsu bunda. Tapi asal - usulmu tak pernah dibuka padanya. Takut bikin kacau di Bangkok nantinya. Sekarang dia masih kerja di rumah peninggalan papa angkatmu?”
“Masih. Aku yang mempertahankannya. Karena dia trampil sekali dalam masak -memasaknya.”
“Iya. Dia memang jago masak sejak masih berumur belasan taun. Makanya ketika Pak Margono datang ke sini dan minta dicarikan orang yang pandai masak, bunda langsung ajukan dia. Setelah tau bahwa Reni itu adik bunda, Pak Margono minta agar masalah asal - usulmu jangan dibuka kepada Reni.”
“Selama ini aku manggil Mbak padanya. Ternyata dia itu tanteku ya.”
“Iya. Tante kontan. Karena dia itu adik kandung bunda.”
“Kalau begitu nanti jabatannya akan kunaikkan Bun. Jangan sekadar jadi juru masak doang.”
“Iya, atur - aturlah soal itu sih. Dahulu dia pernah nelepon bunda. Katanya mau bercerai dengan suaminya. Karena dia mendengar berita bahwa suaminya kawin lagi dengan TKW asal Indonesia di Arab.”
Sebenarnya aku sudah tahu soal itu. Tapi aku cuma mengangguk - angguk saja di depan Bunda. Tidak mau berkomentar sepatah kata pun.
Aku bahkan membelokkannya ke topik lain, “Mengenai tanah kosong di sebelah itu, kalau bisa sih tanyakan hari ini juga Bun. Supaya kalau aku kembali ke Bangkok, sudah ada kepastian.”
“Iya, iyaaa… sekarang kamu ikut bunda aja ke rumahnya yok. Biar kamu bisa tawar - menawar langsung dengan pemiliknya.”
“Aku sudah janjian sama Donna mau beli mobil hari ini Bunda. Bisa kan Bunda sendiri yang menanyakan dan tawar - menawar dengan pemiliknya?”
“O, kamu mau beli mobil segala? Memangnya kamu mau menetap di sini terus?”
“Belum tau juga. Tapi aku ingin agar di sini ada mobil yang bisa kupakai pada waktu aku sedang berada di sini. Kalau aku sedang berada di Bangkok sih, biarin aja dipakai sama Donna. Bahkan aku punya rencana mau buka perusahaan di sini. Tentu Donna yang akan kuangkat sebagai wakilku di perusahaan itu.
“Bagus lah. Masa depan Donna perlu kamu pikirkan Don.”
“Iya Bun. Masa saudara kembarku dibiarkan cuma jadi pelayan toko.”
Tak lama kemudian kudengar suara Donna memanggilku dari luar kamar Bunda, “Donny …!”
“Yaaa… !” sahutku sambil membuka pintu kamar Bunda.
Donna tampak sudah berdandan, mengenakan gaun oleh - olehku dari Bangkok. Gaun putih dengan garis - garis berkelok - kelok berwarna - warni nuansa biru tua dan biru muda. Hmmm… secara jujure harus kuakui, Donna itu… cantik sekali…!
“Jadi mau nyari mobil sekarang?” tanyanya.
“Jadi lah. Kamu udah siap?”
“Udah dari tadi siap. Nungguin kamu gak keluar - keluar sampai pegel.”
“Hahahaaa… kalau gitu aku mau mandi dulu yaaa…” ucapku sambil bergegas menuju kamar mandi yang letaknya di belakang itu.
Pada waktu sedang mandi, aku teringat lagi kata - kata Bunda tadi. Bahwa Reni yang biasa kupanggil Mbak itu ternyata tanteku. Dan kalau dibanding - bandingkan sekarang, setelah aku lihat bentuk ibu kandungku yang sebenarnya, memang Tante Reni itu banyak kemiripannya dengan Bunda.
Pada waktu aku sudah duduk di dalam taksi bersama Donna pun, ingatanku tentang Mbak Reni alias Tante Reni itu menggelayuti terawanganku terus.
Tapi Donna membisiki telingaku, “Tadi malam dan tadi pagi ngapain aja sama Bunda?”
Aku berusaha tenang dan menjawab, “Gak ngapa - ngapain.”
“Bo’ong, “Donna menepuk lututku, “Emangnya aku anak kecil?”
“Maksudmu?” aku pura - pura tak mengerti maksud ucapan saudara kembarku.
Donna menjawab dengan bisikan lagi, “Kamu ngentot Bunda kan?”
Aku merasa kalah oleh ucapan Donna itu. Lalu aku menghela nafas disusul dengan jawaban, “Aku hanya berusaha untuk menghentikan kebiasaan Bunda minum - minum itu. Dan menurut pengakuan Bunda, kebiasaan minum itu setelah ayah kita meninggal.”
“Memang benar, “Donna mengangguk, “Sejak ayah kita meninggal, Bunda jadi sangat kehilangan. Kerjanya cuma bermurung - murung dan mengalirkan air mata. Lalu Bunda memilih jalan salah itu. Berusaha melupakan Ayah dengan cara minum minuman beralkohol.”
“Mudah - mudahan aja aku bisa menghentikan kebiasaan yang membahayakan dirinya sendiri itu,” kataku sambil memegang tangan Donna yang terasa hangat.
Lalu Donna berbisik lagi*(takut kedengaran sopir taksi)*, “Jadi benar kan kamu sudah menyetubuhi Mama tadi malam dan tadi pagi? Jujur aja jawabnya. Aku juga ikut mendukung kok kalau kamu berusaha menghentikan kebiasaan buruk Bunda dengan cara seperti itu.”
“Iya, “aku mengangguk sambil mempererat peganganku pada tangan saudara kembarku, “Tadi malam malah dia yang memaksaku. Tapi tadi pagi… mau sama mau.”
“Mudah - mudahan Bunda bisa menghentikan kebiasaan berbahayanya dengan cara seperti itu,” kata Donna yang dilanjutkan dengan bisikan, “Terus jatahku kapan dikasihnya?”
“Kamu kan lagi M,” sahutku perlahan.
“Kemaren sore memang masih ada flex. Tapi sekarang sudah bersih.”
“Ya udah, setelah dapat mobil nanti, kita chek in ke hotel aja. Biar tenang.”
“Ohya… bossku orang kaya raya. Tapi dia gak mau beli mobil baru. Dia selalu beli mobil second yang masih bagus. Dia bilang, beli mobil baru itu rugi. Kalau dijual lagi pasti jatuh harganya, jauh lebih rendah dari harga belinya.”
“Ya udah… aku juga mau beli yang second aja. Kamu tau tempat yang jual mobil second?”
“Tau. Ada showroom yang bagus. Meski yang dijual hanya mobil - mobil second, tapi semuanya mobil terawat dan mulus.”
“Setelah dibayar, bisa langsung dibawa mobilnya kan?”
“Bisa.”
“Ya udah… kita ke showroom itu aja.”
Kemudian Donna memberitahu sopir taksi, agar mengubah arahnya menuju showroom yang Donna tahu itu.
Showroom itu memang bagus seperti Donna bilang tadi. Mobil - mobil yang dijualnya bukan mobil - mobil murah, tapi harganya sangat murah menurutku. Lalu kupilih sedan matic 2400 cc berwarna merah metalic.
“Kenapa pilih yang warna merah gitu? Masa cowok pakai mobil merah?” tegur Donna setengah berbisik.
Sambil memegang bahu Donna aku menjawab, “Mobil itu kan buatmu, Donna. Aku hanya akan minta diantar - antar kalau sedang berada di sini aja. Kalau aku sudah pulang ke Thailand, masa mobil itu harus kubawa ke sana?”
“Haaaa?!” Donna terbelalak girang, “Jadi mobil itu untukku?”
“Iyaaa Sayang… aku tak mau saudara kembarku terlalu senjang dengan keadaanku.“
Lalu Donna melakukan test drive di jalan aspal. Setengah jam kemudian sudah kembali lagi ke showroom itu. Dan aku memberikan sehelai cek dari sebuah bank internasional, yang baik di Thailand mau pun di Indonesia ada cabangnya.
Setelah clear, bahwa cek yang kuberikan itu bukan cek kosong, sedan merah metalic itu pun dijalankan oleh Donna di jalan aspal. Dan aku duduk di samping kirinya.
Aku mengajak Donna untuk makan siang di restoran yang harus dia pilih. Donna pun mengemudikan sedan itu menuju ke restoran pilihannya.
Setelah makan siang di restoran kitu, Donna mengarahkan mobilnya menuju hotel yang katanya terletak di luar kota.
“Donny… jangan marah ya… sebenarnya dari tadi malam pun aku tidak sedang menstruasi. Sejak lima hari yang lalu aku bersih dari mens. Tapi tadi malam aku harus mempertimbangkan dulu ajakanmu. Dan sekarang hatiku sudah bulat untuk menyerahkannya padamu,” kata Donna di belakang setirnya.
“Iya dong,” sahutku, “Masa orang lain dikasih, sementara aku tidak dikasih?”
“Soal itu pun harus kubikin clear. Yang membuatku tidak perawan lagi bukan cowok.”
“Haaa?! Lalu yang membuatmu tidak perawan lagi itu cewek?”
“Iya… pakai strapon. Tapi kami bukan lesbian. Hanya ingin merasakan aja sensasi bersetubuh itu seperti apa. Lalu gantian pakai strapon untuk saling memuasi.”
“Lalu dengan cowok sudah pernah juga?”
“Swear…! “Donna mengangkat dua jari kirinya, “Aku belum pernah merasakan disetubuhi cowok. Sama sekali belum pernah. Memekku dijamah tangan cowok pun belum pernah.”
“Lalu sejak kapan kamu hentikan kebiasaan pakai strapon itu dengan temanmu?”
“Itu hanya terjadi lima kali saja. Kemudian kami berpisah, karena temanku itu pindah ke Kalimantan. Sejak saat itu aku tak pernah menyentuh strapon lagi.”
Lalju kataku, “Jadi kalau aku menyetubuhi kamu di hotel nanti, berarti…”
“… Berarti untuk pertama kalinya memekku dientot oleh kontol yang sebenarnya. Untuk pertama kalinya aku disetubuhi oleh cowok, “potong Donna.
Kubelai rambut Donna sambil berkata lembut, “Aku akan ikut bertanggung jawab pada masa depanmu, Sayang.”
“Terima kasih Donny. Pantesan ada yang menjodohkan saudara kembar yang berlainan jenis kelamin ya. Aku aja sekarang merasa seperti sedang bersama kekasih tercinta. Bukan seperti sedang bersama saudara.”
“Perasaanku juga seperti itu. Soalnya hampir duapuluh tahun kita dipisahkan, sekalinya ketemu seperti bukan dengan saudara. Bahkan dengan Bunda pun seperti itu.”
“Ohya… tadi dengan Bunda kesepakatannya gimana?”
“Bunda bersedia menghentikan kebiasaan minumnya kalau aku mmenggaulinya dua hari sekali. Tapi semua ini harus dirahasiakan Donna. Jangan sampai orang luar tau.”
“Ya iyalah. Rahasia ibu kandung kita kan rahasia kita juga. Tapi kalau Bunda minta jatah dua hari sekali, berarti kamu harus stay di sini dong.”
“Bisa aja sih. Makanya tanah di sebelah rumah itu mau kubeli. Lalu nanti akan kubangun rumah yang layak. Minimal tiap kamar harus ada kamar mandinya masing - masing. Harus ada AC, kulkas, mesin cuci dan aaaah… banyak lagi yang harus dipasang di rumah baru itu nanti. Ohya… kamu tau pemborong bangunan yang tinggal di kota ini?
“Tau. Pemborong bangunan yang biasa dipakai oleh bossku.”
“Baguslah kalau begitu. Nanti kalau tanahnya sudah kubeli, tolong panggilkan pemborong itu ya.”
“Siap Boss,” sahut Donna sambil tersenyum. Sementara aku yang sejak tadi memperhatikan cara Donna menyetir mobil, hasilnya memuaskan. Cara mengemudikannya cukup halus. Sehingga aku merasa nyaman disopiri oleh saudara kembarku itu.
Tak lama kemudian sedan merah metalic itu Donna belokkan ke halaman sebuah hotel yang letaknya belasan kilometer di luar kota.
Memang nyaman posisi hotel itu. Berada di antara kebun buah - buahan dan hutan pinus, dengan pemandangan indah di sekitarnya. Hawanya pun sejuk sekali, sehingga tanpa AC pun takkan merasa kepanasan.
Tapi kamar yang kami dapatkan di lantai lima, tetap aja memakai AC. Mungkin untuk zaman sekarang ini AC sudah menjadi kebutuhan umum, di mana pun letaknya. Baik di daerah dingin apalagi di daerah panas.
Begitu masuk ke kamar di lantai lima ini, Donna langsung berdiri terpaku di belakang dinding kaca dengan view hutan pinus berbukit - bukit. Aku pun mendekap pinggangnya dari belakang. “Indah sekali pemandangannya ya,” sahutku sambil menciumi tengkuknya.
“Iya…” sahut Donna hampir tak terdengar.
Tapi lebih indah lagi perasaanku saat ini… karena sedang bersama cewek cantik yang akan segera kumiliki…”
Donna memutar badannya jadi berhadapan denganku. Lalu merengkuh leherku ke dalam pelukannya. “Kamu juga tampan sekali Don…” ucapnya, yang dilanjutkan dengan ciuman mesranya di bibirku.
“Terus perasaanmu padaku saat ini bagaimana?”
“Semalaman aku memikirkan soal itu. Sampai akhirnya aku mengambil kesimpulan tenjtang perasaanku sendiri. Aku mencintaimu Don. Cinta seorang cewek kepada cowok idamannya. Bukan seperti cinta kepada saudara.”
“Aneh ya. Perasaanku juga begitu. Tapi bagaimana dengan Bunda? Apakah kamu takkan merasa cemburu kalau kamu tau aku sedang menggauli Bunda?”
“Kalau kamu dengan perempuan lain, pasti aku cemburu. Tapi kalau dengan Bunda lain lagi masalahnya. Kita kan sama - sama menyayangi Bunda. Jadi biarlah kamu dijadikan obat baginya. Obat kerinduannya kepada Ayah sekaligus obat untuk menghentikan kebiasaan minumnya. Aku malah berharap, semoga Bunda benar - benar bisa menghentikan kebiasaan yang membahayakan dirinya sendiri itu.
Aku tidak menanggapi ucapan saudara kembarku itu. Aku bahkan mendesaknya ke pinggiran bed, sampai ia menelentang dan terhimpit olehku. Di situlah kuciumi bibirnya sepuasku. Di situlah kami saling lumat dan tukaran air liur tanpa merasa jijik sedikit pun.
Dan setelah ciuman kami terlepas, Donna mendorong dadaku sambil berkata, “Aku mau lepasin gaun dulu. Biar jangan kusut nanti.”
Kemudian ia turun dan berdiri dekat bed sambil berusaha melepaskan kancing gaun yang berada di tengkuknya. Aku punturun untuk membantu melepaskan kancing yang berada di bagian tengkuk Dona. Begitu kancing terlepas, gaun itu langsung jatuh ke lantai. Kubantu juga mengambil gaun itu dan menggantungkannya di kapstok.
Di dekat kapstok itu kulepaskan celana denim dan baju kaus hitamku. Kemudian sepatu dan kaus kaki pun kulepaskan. Setelah tinggal celana dalam yang masih melekat di badanku, kuhampiri Donna kembali, yang tinggal mengenakan bra dan celana dalam dan duduk di pinggiran bed sambil melayangkan tatapan teduh serta senyum manisnya padaku.
Aku pun memegang kancing beha yang berada di punggungnya sambil berkata, “Behanya lepasin ya. Biar tidak menutupi pandangan.”
Donna cuma tersenyum dan tidak menjawab sepatah kata pun. Setelah beha itu ditanggalkan, aku termangu menyaksikan indahnya payudara saudara kembarku itu. Tidak terlalu kecil, namun juga tidak terlalu besar. Yang membuatku terpesona adalah sepasang pentilnya itu… masih mengacung ke depan. Dan ketika tanganku menyentuh payudara berukuran sedang itu, terasa masih sangat padat dan kenyal.
Lalu kudorong dada Donna sampai celentang kembali di atas bed berkain seprai putih bersih itu. Kemudian dengan sepenuh gairah kuemut puting payudara kirinya, sementara tangan kiriku meremas payudara kanannya dengan lembut sekali, karena takut merusak payudara yang masih begini padat dan kencangnya.
Donna diam saja kuperlakukan seperti ini. Namun suhu badannya terasa mulai menghangat, sebagai pertanda sudah mulai horny. Aku pun melorot turun. Menjilati pusar perutnya sambil menurunkancelana dalamnya sedikit demi sedikit.
Setelah celana dalam itu kulepaskan, lagi - lagi aku terlongong menyaksikan betapa indahnya bentuk bagian yang di bawah perut Donna itu. Sebentuk kemaluan perempuan yang begitu putih dan mulusnya, serta jelas sekali garis - garisnya. Garis lipatan dengan kedua pangkal pahanya dan garis lurus dari atas ke bawah, yang menyembunyikan bagian dalam memeknya.
Dalam keadaan telanjang bulat seperti itu, bentuk tubuh Donna pun semakin jelas di mataku. Tinggi langsing tapi tidak kurus, sementara kulitnya putih mulus… mulus sekali, tiada noda sebesar semut pun. Dan yang paling mengagumkan, tuibuh Donna itu agak mengkilap, pertanda padatnya tubuh saudara kembarku ini.
Dan kini pandanganku terpusat ke memek tembemnya. Memek yang bibir luarnya mulai kungangakan selebar mungkin, sehingga bagian yang berwarna pink itu mulai kelihatan jelas.
Donna terdiam pasrah. Tapi begitu lidahku mendarat di bagian yang berwarna pink itu, terasa tubuhnya mengejut sedikit. Namun setelah lidahku mulai menari - nari di permukaan berwarna pink itu, Donna cuma mengelus - elus rambutku yang berada di bawah perutnya. Terkadang kudengar desahannya juga.
Namun ketika mulutku mulai terpusat di permukaan kelentitnya, Donna mulai menggeliat - geliat sambil meremas - remas rambutku. Lidahku menjilati kelentitnya yang sesekali kusedot - sedot juga. Dan Donna semakin klepek - klepek setelah jari tengah kananku mulai ikut campur. Menyelundup ke dalam celah memeknya, lalu kumaju - mundurkan seperti gerakan penis sedang mengentot liang vagina, sementara mulutku mulai mengisap - isap kelentitnya dengan agak kuat…
Dalam tempo singkat saja terasa liang memeknya mulai membasah… makin lama makin basah… sehingga akhirnya kulepaskan celana dalamku. Lalu kuletakkan moncong penisku di ambang mulut memek Donna, sambil mendorong kedua pahanya agar direnggangkan selebar mungkin.
Setelah semuanya sudah pada posisinya, termasuk posisi moncong penisku yang sudah berada di ambang mulut vagina Donna, aku pun mendorong penis ngacengku sekuat tenaga.
Tapi “tembakanku” meleset. Penisku malah membelok ke bawah, ke arah kasur. Namun aku takkan pernah menyerah dalam hal yang satu ini. Lewat “perjuangan” yang gigih, akhirnya penisku menyeruduk masuk ke dalam liang memek Dona.
Blesssssssss…!
Masuk kurang dari separohnya…!
Sungguh tak kuduga kalau memek Donna masih sangat fresh, laksana memek perawan saja*(tapi saat itu aku belum pernah merasakan memek perawan).*
Lalu aku mulai mengayun penisku perlahan - lahan, dalam jarak pendek - pendek dulu, karena penisku belum dalam benar membenamnya.
Donna menyambutku dengan dekapan erat di pinggangku, disusul dengan bisikan, “Aku semakin mencintaimu Donny Sayaaang…”
Sebagai jawaban, kukepit sepasang pipi Donna dengan sepasang telapak tanganku. Lalu kuciumi bibir dan puncak hidung mancungnya. “Perasaanku juga sama, Sayang,” sahutku yang masih perlahan menggerakkan penisku.
Namun sesaat kemudian penisku mulai lancar bermaju - mundur di dalam liang memek Donna yang sangat sempit tapi mulai licin ini.
Donna pun mulai merintih - rintih histeris tapi erotis, “Dooon… oooooh… Dooon… oooooh… ternyata kontolmu enak sekali Dooon… ooooh… ooooh… Doooon… entot terus Dooon… ini luar biasa enaknya…”
Penisku jadi seperti gerakan pompa manual. Masuk - keluar - masuk - keluar - masuk - keluar - masuuuuk - keluaaaar - dan begitu seterusnya.
Pada saat enaka - enaknya mengentot liang memek saudara kembarku ini, kata - kata ibu angkatku terngiang lagi di telingaku. Bahwa seorang lelaki harus bisa memuaskan pasangan seksualnya dengan cara apa pun. Termasuk dengan menyentuh titik - titik sensitif di tubuh perempuan.
Dan aku sudah hafal benar soal yang satu itu. Maka ketika aku sedang asyik - asyiknya mengentot memek Donna, kujilati lehernya disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Di saat lain kuemut pentil toketnya yang satu, sementara tanganku meremas toket yang satu lagi. Bahkan pada suatu saat aku gencar menggenjot batang kemaluanku sambil menjilati ketiak Donna yang kiri, kemudian kujilati ketiak Donna yang kanan, juga disertai dengan gigitan - gigitan kecil.
Maka Donna pun tampak sangat menikmati aksiku yang “lengkap” ini.
Rintihan dan rengekan manjanya pun berkumandang lagi di kamar hotel yang terletak di lantai lima ini.
“Dooonny… oooo… ooooh Dooonny… makin lama makin enak saja rasanya Dooon… oooooh… gak mnyangka aku akan merasakan semuanya ini darimu Dooon… aku semakin cinta padamu Dooon… cintaaaaa… aku cintaaaa kamuuu… !”
Di saat lain ia mengerang dengan mata terpejam - pejam, “Dooon… entot terus Dooon… ooooh… entotanmu ini… bikin aku gila padamu Dooon… ayo cintaaaa… entot aku sepuasmu, Cintaaaaa… entooooooot terusssss cintaaaaaaa… entoooottt cintaaaaa… ooooohhhh… enoooot ciiintaaaa… entoooooootttt!
Memang diam - diam aku sudah sangat mencintai Donna. Sehingga setiap gesekan antara fisikku dengan fisik Donna, terasa sangat nikmaaaaat…!
Sementara itu keringatku sudah bercucuran. Sebagian berjatuhan di kain seprai, sebagian berjatuhan di dada, leher dan wajah Donna. Sehingga kadang - kadang Donna memejamkan matanya erat - erat, karena ada keringatku yang menetes ke matanya.
Sementara aku masih sangat asyik mengentot Donna sambil mendaratkan mulutku di lehernya, di ketiaknya dan terutama di pentil toketnya. Terkadang kusedot pentil toket Donna sekuatnya, sehingga begitu sedotanku dilepaskan, pentil toket Donna semakin mancung saja.
Namun pada suatu saat Donna berkelojotan sambil berkata terengah, “Aku… aku mau lepas Dooon…”
Spontan kusahut, “Ayo… barengin… !”
Lalu kupacu ayunan penisku seolah pelari marathon yang sudah dekat dengan garis finish. Entotanku semakin gencar, semakin kencang dan… akhirnya terasa liang memek Donna berkedut - kedut kencang. Pada saat yang sama kubenamkan penisku sedalam mungkin. Lalu kubiarkan menancap di dalam liang senggama Donna, tanpa kugerakkan lagi.
Disusul dengan berlompatannya air mani dari moncong penisku, menembak - nembak dasar liang memek saudara kembarku.
Kami sama - sama mengelojot, lalu sama - sama terdampar di pantai kepuasan.
Setewlah mencium bibir dan sepasang pipi Donna, kucabut penisku daei jepitan liang kemaluan saudara kembarku. Lalu turun dari bed.
“Mau ke mana?” tanya Donna dengan nada yang seolah takut kutinggalkan.
“Mau kencing.”
“Ikuuut… aku juga mau pipis.”
“Ayo, “aku mengangguk sambil tersenyum, “sekalian pengen lihat seperti apa bentuk memekmu pada waktu sedang kencing.”
“Aaah… kamu… !” Donna mencubit pinggangku. Lalu mengikuti langkahku ke dalam kamar mandi.
“Heheheee… aku mau kencing di kloset ini. Mana bisa kamu liat memekku qwaktu kencing?” ucap Donna sambil duduk di kloset duduk. Lalu terdengar suara air memancar dari memek saudara kembarku… werrrr …
Aku malah terkesiap. Dan teringat lagi kata - kata Bunda tadi pagi. Tentang adik bungsu Bunda yang bernama Reni itu.
Betapa tidak… aku masih ingat semuanya, tentang sosok perempuan cantik bernama Reni itu.
Tentu saja aku masih ingat semuanya. Bahwa di sore menjelang malam itu aku sedang nafsu terus. Sayangnya Papa sedang berada di Bangkok. Sehingga aku tidak bisa mengajak Mama bersetubuh. Tapi penisku ngaceng terus. Lalu otakku berputar - putar mencari jalan.
Akhirnya pilihanku jatuh kepada Mbak Reni, juru masak yang berkulit putih bersih dan berparas cantik itu.
Ketika melihat Mbak Reni sendirian di kitchen, aku memberikan lima lembar uang pecahan 1000 THB (Thailand Baht). (Saat itu kurs 1 baht sama dengan 460 rupiah. Jadi 5000 baht sama dengan Rp. 2.300.000.-).
“Buat apa uang ini Den?” tanya Mbak Reni.
“Buat Mbak. Anggap aja bonus dariku.”
“Oh… terima kasih Den.”
“Tapi nanti masuk ke kamarku, ya Mbak.”
“Mau ngapain Den?”
“Cuma mau ngajak ngobrol. Ada yang mau kubicarakan, penting sekali.”
“Iya Den.”
“Tapi jangan kelihatan orang lain ya. Masuk aja diam - diam ke dalam kamarku. Pintunya takkan kukunci.”
“Iya Den. Sekarang saya mau mandi dulu. Sehabis mandi nanti saya ke kamar Den Donny.”
“Iya, aku tunggu di kamarku ya Mbak.”
“Iya Den.”
Lalu aku masuk ke dalam kamarku dan menyiapkan uang 10.000 baht lagi, yang kumasukkan ke dalam amplop. Uang ini baru akan kuberikan kalau Mbak Reni bersedia kusetubuhi. Kalau tidak mau, ya sudah… dia hanya mendapatkan 5000 baht itu saja.
Amplop berisi uang itu kusimpan di dalam laci meja tulisku, lalu menunggu masuknya Mbak Reni yang sekarang sedang mandi dulu.
Seperti biasa, kalau sudah malam aku selalu mengenakan baju dan celana piyama. Terkadang juga suka mengenakan kimpono pria.
Sejam kemudian, pintu kamarku dibuka dari luar. Tampak Mbak Reni dalam dasternya yang berwarna hijau pucuk daun polos, masuk ke dalam kamarku. Kemudian menutupkan kembali pintu itu.
Menurutku Mbak Reni adalah pegawai yang tercantik di rumah besar ini. Makanya pilihanku jatuh padanya.
“Ada apa Den nyuruh saya ke sini?” tanya Mbak Reni setelah kusuruh duduk di sofa dekat bedku.
“Ini Mbak,” sahutku sambil menurunkan celana piyamaku dan menyembulkan penisku yang sedang ngaceng, “Kontolku ini ngaceng terus Mbak… apa Mbak bisa bantu aku supaya nggak ngaceng lagi?”
“Den…! “seru Mbak Reni perlahan, “Ti… titit Den Donny gede banget… !”
“Eeee… pertanyaanku bukan gede kecilnya kontolku. Pertanyaanku bagaimana caranya supaya kontolku ini bisa lemas lagi?”
“Ber… berarti Den Donny harus menyetubuhi saya sampai ngecrot. Kalau sudah ngecrot pasti nggak ngaceng lagi.”
“Nah maksudku juga begitu.”
“Tapi saya kan punya suami Den. Kalau Lili, Mita dan Nora masih lajang tuh.”
“Iiiih… gak mau. Makanya aku milih Mbak Reni tau gak?” tanyaku sambil duduk di samping Mbak Reni.
“Emangnya kenapa memilih saya Den?”
“Karena Mbak Reni paling cantik di antara semua perempuan yang bekerja di rumah ini.”
“Terima kasih. Tapi saya punya suami Den. Saya belum pernah selingkuh.”
“Suami Mbak Reni kerja di Arab kan?”
“Iya. Dia jadi TKI di Arab, saya jadi TKW di sini.”
“Berarti takkan ketahuan juga sama suami Mbak. Dari Arab ke Bangkok kan sangat jauh Mbak.”
Mbak Reni tertunduk membisu. Entah sedang berpikir entah akan menolak.
Maka kupegang bahu perempuan 25 tahunan itu sambil berkata, “Pokoknya kalau Mbak kabulkan permintaanku, pasti aku akan menyayangi Mbak nanti.”
Dia masih tetap membisu. Aku pun jadi tak sabaran. Maka kuselusupkan tangan kiriku ke balik daster bagian dadanya, sampai menyentuh payudaranya yang terasa kenyal dan hangat. Rupanya dia seperti Mama, kalau sudah malam tidak suka mengenakan beha. Sehingga tangan kiriku bisa lanbgsung memegang payudaranya.
Ternyata dia tidak meronta. Bahkan berkata setengah berbisik, “Jangan sampai orang - orang tau nanti, ya Den.”
“Iya dong. Aku kan nggak pernah ngomong kalau gak ada yang penting - penting amat sih,” sahutku sambil merayapkan tangan kananku ke paha Mbak Reni di balik dasternya. Merayap terus sampai ke pangkalnya, sampai menyentuh celana dalamnya. Sementara tangan kiriku mulai meremas - remas payudara di balik dasternya juga.
Tiba - tiba Mbak Reni mencium bibirku dengan hangatnya. Pada saat yang sama aku sudah menyentuh kemaluannya yang ternyata bersih dari jembut alias plontos.
Ketika aku mulai menyelundupkan jari tengahku ke dalam celah memeknya, ciuman Mbak Reni pun semakin ketat, seolah tak mau melepaskan lagi bibirku.
Kemudian terdengar bisikannya, “Den… kalau sudah dibeginiin saya suka langsung horny… ayo Den… masukin aja tititnya ke memek saya…”
Aku mengangguk sambil melepaskan kedua tanganku dari daster jurumasak cantik itu. Kemudian kukuncikan dulu pintu kamarku dan meraih pergelangan tangan Mbak Reni agar naik ke atas bed. Di situlah Mbak Reni menanggalkan dasternya tanpa kuminta. Sementara aku pun melepaskan baju dan celana piyamaku. Dia pun melepaskan celana dalamnya, sehingga kami berdua jadi sama - sama telanjang bulat.
Dengan segenap gairah muda aku merayap ke atas perut Mbak Reni. Dan ketika wajahku berada di atas wajah cantiknya, Mbak Reni merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Lalu kupagut bibir sensualnya yang tipis merekah itu.
Dalam keadaan sama - sama telanjang bulat begini, ketika dadaku menghimpit dadanya, dengan sendirinya batang kemaluanku bertempelan dengan memek Mbak Reni. Mungkin hal inilah yang membuatnya semakin bernafsu untuk merasakan kejantananku.
Bahkan pada suatu saat ia merenggangkan kedua pahanya sambil memegangi leher penisku. Dan mencolek - colekkan moncong penisku ke mulut vaginanya yang mulai membasah. Sampai pada suatu saat, ia membisiki telingaku, “Silakan dorong tititnya Den.”
Aku pun mengikuti bisikannya. Kudorong penisku sekuatnya, sementara dua jari tangan Mbak Reni tetap mengepit batang kemaluanku. Mungkin agar arahnya tidak salah.
Lalu… perlahan - lahan penisku mulai melesak ke dalam liang memek Mbak Reni.
“Oooooh… masuk Deeen… do… dorong terus… Deeen…”
Sebenarnya tanpa dikasih instruksi pun aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Karena Mama sudah mengajarkan segalanya dalam soal sex.
Namun ada sesuatu yang membuatku kagum kepada Mbak Reni ini. Bahwa selain wajahnya cantik, liang memeknya ini… sempit sekali…!
Sehingga aku harus bersabar. Setelah penisku masuk lebih dari setengahnya, aku mulai mengayun tongkat kejantananku ini dengan gerakan perlahan dan pendek - pendek. Dengan hati - hati sekali, karena takut terlepas lagi dari liang sempit dan hangat ini.
Namun makin lama gerakan penisku makin lancar, karena liang memek Mbak Reni makin lama makin licin dan basah. Dengan sendirinya aku semakin enjoy mengentotnya.
Tapi pada suatu saat Mbak Reni berbisik terengah di dekat telingaku, “Nanti jangan dilepasin di dalam, ya Den.”
“Terus, harus dilepasin di mana?” tanyaku sambil menghentikan entotanku sejenak.
“Di dalam mulut saya aja. Biar saya telan sperma Den Donny semuanya.”
“Bakal ditelan semua? Gak jijik?”
“Nggak Den. Demi cinta saya kepada Den Donny.”
“Ohya?! Mbak mencintaiku?”
“Sejak awal melihat Den Donny, hati saya sudah jatuh hati. Tapi saya tau diri, tau siapa saya dan siapa Den Donny.”
Aku terharu mendengar ucapan Mbak Reni itu. Lalu kucium bibirnya, disusul dengan ucapan, “Aku pun menaruh hati kepada Mbak. Hanya saja aku tak berani memperlihatkan perasaanku di depan orang banyhak. Takut dimarahi oleh Papa dan Mama. Tapi percayalah Mbak… aku akan memnyayangi Mbak sampai kapan pun.
“Kecuali apa Den?”
“Kecuali kalau aku sudah berdiri sendiri.”
“Terima kasih Den. Mulai saat ini Den Donny akan saya anggap sebagai suami saya sendiri. Dan saya akan setia kepada Den Donny.”
“Terus, suami Mbak mau diapain?”
“Saya mendengar dari teman yang kerja di Arab dan kenal dengan suami saya. Teman saya itu kirim laporan… bahwa suami saya sudah kawin lagi dengan TKW asal Indonesia juga. Karena itu saya akan minta cerai saja. Biarlah saya menjadi milik Den Donny saja, meski sulit untuk menjadi istri Den Donny secara resmi.
“Kalau kawinnya di Indonesia, mungkin tuntutan cerainya harus diurus di Indonesia juga.”
“Iya Den. Nanti kalau saya dapat cuti, saya akan urus semuanya di Indonesia.”
Aku mengangguk perlahan. Lalu melanjutkan aksiku di atas perut Mbak Reni. Memaju -mundurkan penisku kembali, laksana gerakan pompa manual.
Mbak Reni pun mjulai merintih - rintih perlahan, setengah berbisik. “Den… ini luar biasa enaknya Deeen… saya semakin mencintai Den Donny… ooooh Deeen… genjot terus Deeen… nikmat sekali… oooooh… oooooh… oooo… ooooooohhhhhhh…”
“Memek Mbak juga… luar biasa sempitnya, kayak memek gadis aja…” sahutku tanpa menghentikan entotanku.
“Sa… saya kan belum pernah hamil dan melahirkan Den…
“Nanti hamil dariku aja ya Mbak…”
“Lalu… saya mau tinggal di mana?”
“Tenang aja. Nanti aku yang akan menanggungnya semua…”
“Iya Deeen… ooooohhhhh… kayaknya saya udah mau lepas Deeen… titit Den Donny terlalu enak sih Deeen…”
Dengan Mama, aku terbiasa untuk melepasnya bareng - bareng. Karena itu yang paling nikmat, katanya. Makanya begitu mendengar Mbak Reni sudah mau lepas, aku pun mempercepat gerakan penisku… makin lama makin cepat… sampai akhirnya kami ambruk bersama. Bahwa pada saat Mbak Reni mencapai orgasmenya, penisku pun tengah memuntahkan air maniku.
Croooot… crotcrot… croooootttt… cret… croooooottttt… crooooooootttt…!
“Kok jadinya dilepasin di dalam Den?” tanya Mbak Reni setelah menyadari bahwa aku ngecrot di dalam memeknya.
“Kan biar bisa hamil.”
Mbak Reni mencolek hidungku sambil berdesis, “Nakal… tapi biarin deh. Semoga aja saya benar - benar hamil.”
Tapi dalam kenyataannya Mbak Reni tidak hamil - hamil juga. Padahal sejak peristiwa indah itu kami sering melakukannya di hari - hari berikutnya.
Apalagi setelah Mama meninggal akibat serangan jantung, semakin leluasa pula aku melakukannya dnegan Mbak Reni. Karena Papa lebih sering berada di Singapore, sehingga aku leluasa menyekap Mbak Reni di dalam kamarku.
Dan setelah Papa meninggal ketika sedang dirawat di Bumrungrad International Hospital, juga akibat penyhakit jantung yang dideritanya, aku jadi penguasa muda di rumah megah ini. Karena surat wasiat yang disimpan di notaris Mr. Liauw sudah dibacakan. Dan semua harta benda peninggalan Papa diwariskan padaku.
Aku pun cepat mengambil kebijakan. Bahwa semua pegawai yang bekerja di rumahku, harus tetap bekerja seperti biasa. Begitu pula karyawan dan karyawati yang bekerja di perusahaan peninggalan Papa, tidak kurombak sedikit pun.
Aku pun tetap kuliah di Chulalongkorn University, dengan target harus secepatnya menyelesaikan S1-ku.
Dan ketika aku berada di rumah Bunda ini, sebenarnya kampusku sedang liburan panjang, selama sebulan.
Tiba - tiba pintu kamar mandi dibuka. Donna berdiri di ambang pintu itu sambil menegurku, “Kok lama sekali di kamar mandinya?”
Kehadiran Donna membuyarkan terawanganku tentang Mbak Reni. Ya… Mbak Reni yang ternyata adik kandung Bunda dan harus kupanggil Tante itu.
“Barusan e’e dulu,” sahutku sambil tersenyum.
“Kirain pingsan,” ucap Donna sambil mencolek hidungku.
“Kok sudah pakai gaun lagi? Udah mau pulang?” tanyaku sambil memp[erhatikan Donna yang sudah berpakaian lengkap lagi.
“Iya,” sahut Donna, “Kan kamu harus nyediain energi buat gaulin Bunda. Biar dia jangan mabok lagi.”
Mendengar ucapan Donna itu aku jadi terharu. Lalu kucium bibirnya disusul dengan bisikan, “Kamu bukan cuma cantik, tapi juga bijaksana. Kita memang harus berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan kebiasaan Bunda minum minuman keras.”
Beberapa saat kemudian, Donna sudah berada di belakang setir mobilnya lagi, keluar dari area parkir hotel itu.
“Kalau aku hamil nanti biarin aja ya Don,” kata Donna setelah mobilnya berada di atas jalan aspal.
“Iya, biarin aja,” sahutku, “Kalau perutmu mulai membesar, kan bisa kusembunyikan di tempat yang aman.”
“Aku sangat terkesan dengan semua yang telah terjadi di hotel tadi. Dan semakin yakin bahwa aku benar - benar mencintaimu Donny.”
“Sama. Aku juga mencintaimu, Beib,” sahutku sambil mengelus rambut Donna yang tergerai sebatas bahu.
“Mmmm… untuk pertama kalinya aku dipanggil Beib oleh seorang cowok, “Donna tampak tersenyum sambil mengemudikan mobilnya, “Aku juga mau panggil Honey aja ah sama kamu.”
“Atur - atur aja deh. Yang jelas kita sudah menjadi sepasang kekasih yang saling cinta mencintai.”
“Terima kasih Honey. Sekarang ini aku merasa sangat bahagiaaa…”
Sedan yang Donna kemudikan meluncur terus di atas jalan aspal.
Sampai akhirnya berhenti di depan rumah jadul itu.
Setelah kami turun dari mobil, Donna tertegun sambil memperhatikan sepasang sepatu wanita yang tergeletak di dekat pintu depan. “Ada tamu. Siapa ya?”
Setelah membuka pintu, Donna berseru, “Teh Siska !”
Donna menghambur ke dalam pelukan seorang wanita muda yang cantik, yang usianya kira - kira sebaya dengan Mbak Reni alias Tante Reni.
Wanita yang dipanggil Teh Siska itu cipika - cipiki dengan Donna. Lalu menoleh ke arahku, “Ini Donny?”
“Iya, “aku mengangguk sambil menghampiri wanita muda itu, “Ini Teh Siska?”
Terdengar suara Bunda, “Iya Don. Itu kakak sulungmu… !”
Aku pun spontan mencium tangan Teh Siska, kakak sulungku yang baru kali ini berjumpa denganku.
Teh Siska langsung memeluk dan mencium kedua pipiku. Bahkan entah disengaja atau tidak, ia mencium bibirmku juga, meski cuma sepintas…!
“Donny… Donny… setelah dewasa kamu jadi tampan gini Don !” ucap Teh Siska sambil mengepit sepasang pipiku dengan kedua telapak tangannya. Lalu menciumi dahi, hidung dan… bibirku lagi…!
Apakah di keluargaku sudah terbiasa main cipok bibir begini? Entahlah. Yang jelas, kalau tidak ada Bunda dan Donna, pasti aku sudah “menanggapinya” dengan caraku sendiri.
Tiba - tiba Donna berkata kepada Bunda, “Bun…! Lihat tuh di depan. Aku dapet hadiah mobil dari Donny, Bun.”
“Masa?! “seru Bunda dengan sorot ceria. Lalu beliau melangkah ke depan bersama Donna. Sementara Teh Siska masih mendekapku erat - erat. Bahkan ia berkata setengah berbisik, “Nanti main ke rumahku ya.”
“Iya Teh, “aku mengangguk.
Dan… Teh Siska mencium bibirku lagi. Kali ini aku berani “menanggapinya”, karena Bunda dan Donna sedang berada di luar rumah, untuk memperhatikan sedan yang kuhadiahkan untuk Donna.
Bahkan tak lama kemudian terdengar bunyi mesin sedan Donna dihidupkan dan suara itu menjauh. Mungkin Bunda ingin nyoba numpang di mobil Donna.
Maka saat itu pula aku menanggapi ciuman Teh Siska dengan lumatan, seperti sedang mencium kekasih tercinta.
Dan tampaknya Teh Siska sangat menikmati lumatanku. Dekapannya semakin erat, ciumannya pun semakin nyelepot (lengket dan seperti disedot).
Dan setelah ciuman itu terlepas, Teh Siska meraih tanganku untuk duduk berdampingan di atas sofa jadul yang sudah robek kulitnya di sana - sini.
“Kamu setelah dewasa jadi tampan sekali Don. Kalau bukan saudara, pasti aku jatuh cinta padamu.”
“Teh Siska juga cantik sekali. Dan aku tidak merasa berdekatan dengan saudara, karena baru sekali ini akju melihat Teteh.”
“Terus kamu merasa sedang berdekatan dengan siapa?”
“Hihihi… gak taju juga. Mungkin merasa sedang berdekatan dengan seorang kekasih. Apalagi barusan kita kan ciuman bibir segala.”
“Begitu ya? Mmm… nanti malam ke rumahku ya. Ini alamatnya,” kata Teh Siska sambil mengeluarkan secarik kertas dari tas kecilnya. Lalu menulis alamat rumahnya.
Setelah menyerahkan kertas bertuliskan alamat rumahnya, Teh Siska berkata, “Kalau mau ke rumahku, jangan sama Donna. Pakai taksi aja.”
“Ya,” sahutku sambil memasukkan kertas itu ke dalam dompetku. “Suami Teh Siska kok gak diajak ke sini?”
“Aku gak punya suami Don. Udah bercerai dua tahun yang lalu.”
“Ohya? Punya anak berapa?”
“Cuma seorang. Tapi dibawa oleh mantan suamiku.”
“Berarti Teteh kesepian dong.”
“Iyaaa… makanya nanti malam ke rumahku ya.”
“Mau disuguhin apa?”
“Apa juga yang kamu mau, disuguhin deh. Kamu mau disuguhin apa?”
Aku menjawabnya dnegan bisikan, “Pengen disuguhin yang di bawah perut Teteh.”
Tadinya kupikir bisikanku akan membuat Teh Siska terkejut. Tapi ternyata tidak. Dia malah meremas tanganku sambil menjawab, “Iya… nanti aku kasih. Sampai kamu puas.”
Mendengar jawaban itu aku jadi sangat bersemangat. Lalu kulingkarkan lenganku di leher Teh Siska. Dan kupagut bibir tipis merekahnya ke dalam ciuman dan lumatanku. Teh Siska pun menyambutnya dengan lumatan pula. Bahkan ia lebih lahap melumat bibir dan menyedot lidahku…!
Lalu kami tukaran nomor hape. Dan tak lama kemudian Bunda dan Donna sudah pulang lagi.
“Sedan Donna nyaman sekali ditumpanginya. Serasa diam di tempat saking halusnya,” kata Bunda.
Teh Siska pun keluar dari rumah, untuk melihat sedan Donna yang kata Bunda nyaman sekali itu.
“Memang sedan mahal itu sih. Beruntung kamu punya saudara yang baik hati,” kata Teh Skiska sambil menepuk bahu Donna.
Kemudian Teh Siska pamitan pulang.
Malamnya, aku bilang kepada Bunda bahwa ada teman dari Thailand yang sedang berada di kota ini. Dan aku akan menjumpainya di hotel tempat dia menginap.
“Mau nginap?” tanya Bunda.
“Nggak tau, lihat situasinya aja nanti.”
“Kenapa gak minta dianter aja sama Donna?”
“Nggak usahlah. Soalnya kasian Donna kalau kemalaman pulangnya nanti. Apalagi kalau harus menginap.”
Donna pun mendengarkan pembicaraanku dengan Bunda.
Donna bertanya, “Temannya cewek apa cowok?”
Sahutku, “Cowok lah. Aku gak punya teman cewek di Thailand. Takut cewek hasil transgender. Hihihihiii…”
“Beneran gak mau dianter sama aku?” tanya Donna.
“Nggak usah. Kalau melihat kita bawa mobil, nanti temanku bisa seenaknya minta diantar ke sana ke sini.”
“Iya juga ya. Lagian kalau kalian ngobrol, pasti aku cuma cengo. Apalagi kalau pakai bahasa Thai. Bisa mati kutu aku dengarnya.”
Dalam taksi menuju alamat rumah Teh Siska, aku teringat lagi kepada Mbak Reni alias Tante Reni. Karena itu aku meneleponnya. Lalu terdengar suara wanita muda yang sudah seperti istriku itu :
“Hallo… !”
“Pasti bingung ya?! Ini Donny Mbak.”
“Den Donny?! Oh… pantesan nomornya plus enamdua. Nomor Indonesia ya.”
“Iya Mbak. Gimana sehat - sehat aja?”
“Sehat. Den Donny juga sehat?”
“Sehat Cinta. Tapi seharusnya aku memanggil Tante kepada Mbak.”
“Emangnya saya sudah setua itu sampai harus dipanggil tante segala?”
“Kenal nggak sama wanita bernama Ami yang suaminya bernama Rosadi dan sudah meninggal?”
“Itu kan nama kakak saya Den.”
“Aku ini anak Bu Ami dan almarhum Pak Rosadi. Berarti Mbak ini tanteku kan?”
“Haaa?!”
“Kalau nggak percaya, silakan aja telepon ibuku nanti. Jadi mulai saat ini gak usah manggil aku Den lagi. Panggil namaku aja Tante.”
“Tapi… Pak Margono almarhum dan istrinya almarhumah itu…”
“Ternyata mereka orang tua angkatku Tante. Mereka memang bersahabat dengan Ayah almarhum. Makanya ketika Pak Margono membutuhkan jurumasak, kan ibuku yang mengajukannya kepada almarhum kan?”
“Iya betul itu. Betul sekali.”
“Bunda sengaja merahasiakan asal - usulku kepada Tante. Karena Pak Margono memang melarangnya buka rahasia. Rahasia bahwa sebenarnya aku ini anak Rosadi dan Ami. Bahwa aku ini anak kakak kandung Tante Reni. Sekarang setelah Papa dan Mama tiada, barulah semuanya kini terbuka. Bahkan di dalam surat wasiatnya, Papa mempersilakanku mencari orang tua kandjungku.
“Iya… iya… tapi… hubungan kita gimana seterusnya?”
“Tenang aja Tante. Liburanku hanya sebulan. Setelah berada di Bangkok lagi, nanti kita atur semuanya. Pokoknya Tante Reni harus tetap menjadi milikku.”
“Iya Do… Donny… aku… aku cinta kamu… di dunia ini hanya Donny yang kucintai, Sayang.”
“Jaga diri baik - baik selama aku masih di Indonesia, ya Sayaaaang…”
“Donny juga… jaga diri baik - baik yaaa. Aku terlalu mencintaimu Dooon… Ohya… nanti kutelepon ibumu ya.”
“Silakan. Biar Tante yakin bahwa aku ini keponakan Tante.”
“Hihihiii… jadi malu. Ternyata selama ini aku mencintai keponakanku sendiri. Sudah sangat jauh pula langkah kita…”
“Gak usah mikir ke sana. Yang jelas sejak awal aku berjumpa denganmu, aku sudah terpesona melihat kecantikanmu. Sampai kapan pun aku akan tetap menyayangi Tante Reni.”
Tak lama kemudian taksi yang kutumpangi sudah tiba di depan rumah Teh Siska. Rumah yang bergaya masa kini. Rumah bergaya minimalis yang cukup cantik dan artistik penataan pekarangan depannya.
Tanpa kuketuk pun pintu depan itu langsung dibuka setelah aku berada di teras depan.
Teh Siska yang malam itu mengenakan daster dari bahan wetlook biru tua polos dan ketat, membuat aku semakin menyadari bahwa kakak sulungku itu berperawakan tinggi montok dan berkulit putih bersih seperti kulit Bunda.
“Ayo masuk Don, “sambut Teh Siska sambil memegang pergelangan tanganku dan menuntunku ke dalam rumahnya. Setelah aku berada di ruang tamu, Teh Siska menguncikan pintu depan. Lalu menutupkan semua tirai yang ada di ruang tamu itu.
“Aku bangga punya adik setampan kamu,” ucap Teh Siska ketika aku sudah duduk berdampingan dengannya di atas sofa putih yang lumayan mewah kelihatannya.
“Aku juga bangga punya kakak secantik Teteh. Tapi kita baru berjumpa sekarang setelah sekian lamanya dipisahkan. Sejak masih bayi aku sudah bersama orang tua angkat. Sehingga begitu berjumpa dengan Teh Siska yang sexy abis ini, aku merasa seolah berjumpa dengan orang asing tapi sangat menggiurkan…
“Sama aku juga begitu. Kalau ketemu di jalan sih pasti aku takkan mengenali siapa dirimu. Mungkin aku cuma bisa menelan air liur karena melihat anak muda yang segini tampannya. Dan…”
Teh Siska tidak bisa melanjutkan kata - katanya, karena aku sudah memagut bibirnya, lalu mencium dan melumat bibir sensual tipis merekah itu. Teh Siska pun menyambut ciuman dan lumatanku dengan pelukan hangatnya di leherku. Sementara telapak tangan kananku mulai kuletakkan di lututnya. Lalu kuselundupkan ke balik dasternya menuju paha hangatnya yang terasa licin dan hangat.
Kancing - kancing daster yang Teh Siska kenakan berderet di bagian depannya. Pada waktu aku sedang, melumat bibirnya ini, Teh Siska melepaskan kancing - kancing dastern pada bagian dadanya, sehingga payudaranya yang tak berbeha itu mulai nongol. Mulutku pun pindah sasaran. Dari bibir ke pentil toketnya yang nyembul darei belahan daster bagian dadanya.
Sementara tangan kananku sudah berada di pangkal paha kakak sulungku. Lalu kutemukan kenyataan yang sangat menyenangkan. Bahwa ternyata Teh Siska tidak mengenakan celana dalam dan bra di balik dasternya itu. Mungkin semuanya itu sudah disiapkan untuk menyambut kedatangan “Sang Pangeran” dari negeri antah berantah…
Dan jari tangan kananku yang sangat beruntung kini, langsung menyentuh kemaluan kakak sulungku yang ternyata celahnya sudah agak basah dan licin ini. Di situlah jemariku mulai bermain, mencolek - colek dan menyodok -nyodok. Sementara mulutku tetap asyik menyedot - nyedot dan menjilati pentil toketnya yang sudah menegang ini.
Tubuh Teh Siskia pun menghangat. Pertanda sudah horny. Aku pun sama. Penisku yang masih tersembunyi di balik celana demnim dan celana dalamku, sudah sangat ngaceng. Seolah menuntut agar segera dijebloskan ke dalam liang memek yang sedang kupermainkan ini.
Tiba - tiba kulepaskan emutanku dari pentil toket Teh Siska, tangan kananku pun kukeluarkan dari balik dasternya. Kemudian aku bersila di lantai, di antara kedua kaki Teh Siska yang sejak tadi direnggangkan jaraknya. Tampaknya Teh Siska mengerti apa yang akan kulakukan. Ia menyingkapkan dasternya sampai ke perutnya, sehingga aku bisa menyaksikan betapa tembem dan menggiurkannya kemaluan kakak sulungku ini.
Tanpa basa - basi lagi kuserudukkan mulutku ke memek Teh Siska, lalu kujilati mulut vaginanya yang sudah ternganga itu, karena kedua pahanya sudah direntangkan lebar - lebar.
“Ooooh… Dooooon… sudah lama sekali aku tidak merasakan semuanya ini… aku memang membutuhkan sentuhan lelaki Dooon… jilatin itilnya sekalian Doon… biar cepat basah… iyaaaa… itilnya itu jilatin teruuus Dooonny…”
Tapi sesaat kemudian Teh Siska menjauhkan kepalaku dari memeknya, sambil berkata, “Di kamarku aja yuk, biar aman dan nyaman.”
Aku menurut saja, mengikuti langkah Teh Siska ke dalam kamarnya. Keadaan di dalam kamar Teh Siska cukup nyaman. Bed dan perabotan lainnya serba up to date. Mungkin Teh Siska punya penghasilan yang cukup besar sehingga bisa membeli segalanya yang serba kekinian.
Aku pun bertekad untuk mengupgrade Bunda, agar tinggal di rumah yang layak, perabotannya pun harus serba layak. Bukan sekadar kekinian belaka. Bahkan aku bisa mendatangkan furniture yang serba Made In Thailand nanti dengan mudahnya.
Begitu tiba di dalam mkamarnya, Teh Siska langsung melepaskan dasternya, sehingga tiada sehelai benang pun menutupi tubuhnya kini. Kemudian ia menelentang di atas bed berkain seprai putih bersih itu. Membuatku terlongong, karena tubuh montok berpinggang ramping itu sangat menggiurkan…!
Aku pun melepaskan celana jeans dan baju kausku. Hanya celana dalam yang masih kubiarkan melekat di tempatnya. Lalu naik ke atas bed.
“Kenapa celana dalamnya tidak dilepaskan sekalian?” tanya Teh Siska sambil menurunkan celana dalamku, sampai terlepas dari kedua kakiku.
Dan… Teh Siska memegang kedua belah pipinya sambil berseru, “O my God! Kontolmu gede banget Don…!”
Kepalangan penisku sudah tersembul dan memang sudah ngaceng sejak di ruang tamu tadi, dengan sikap manja seorang adik ke kakaknya, kuangsurkan penisku dan kucolek - colekkan moncongnya ke pipi Teh Siska.
Tapi Teh Siska tidak marah. Ia bahkan tersenyum sambil menangkap penisku. Lalu moncongnya diciumi crupppp… crupppp… crupppph…!
Tak cuma diciumi. Teh Siska bahkan menjilati moncong dan leher penisku. Lalu happpphhh… dikulumnya penisku dengan lahapnya. Kemudian diselomotinya seperti anak kecil sedang menyelomoti permen loli atau es lilin. Sementara bagian yang tidak terkulum diurut - urut oleh tangannya, dilicinkan oleh air liurnya yang mengalir ke badan penisku …
Lama juga Teh Siska menyelomorti penisku, sampai akhirnya ia melepaskannya dari mulutnya sambil berkata, “Gila… sampai terasa sesak di mulutku juga… ayo masukin aja ke memekku Don …”
Kemudian Teh Siska menelentang dengan kedua kaki mengangkang, sambil mengusap - usap memek botak licinnya, dengan senyum yang sangat mengundang.
Dengan sepenuh gairah aku pun merayap ke atas perutnya sambil memegangi penis ngacengku, yang moncongnya kuletakkan tepat di mulut memek yang menganga dan berwarna pink itu.
Dengan sekali dorong sekuatnya, penisku mulai melesak masuk ke dalam memek tembem itu… blessssss…!
Teh Siska pun meraih kedua bahuku sehingga dadaku terhempas ke sepasang toket gedenya. “Kamu satu - satunya adikku yang cowok. Ternyata kontolmu segini gedenya… beruntung istrimu kelak… bisa dientot sama kontol yang sangat gede dan panjang gini. Beruntung juga aku ngajak kamu ke sini tadi… ayo mainkan kontolmu Don…
Aku pun mulai mengayun penisku di dalam liang memek Teh Siska yang sudah basah licin dan hangat ini. Maklum tadi sudah kujilati dan kualiri air liurku.
Dalam tempo singkat entotanku mulai lancar, diiringi desahan dan rintihan kakak sulung yang baru tadi sore kukenal wajahnya ini. “Doooon… oooo… oooooooh dooon… gilaaaaa… sekalinya dapet kontol segini panjang gedenya… enak banget Dooon… yang luar biasa, panjangnya kontolmu ini, sampai terus - terusan mentok di dasar liang memekku…
Naaaaah… naaaaah… ini nikmat sekali Dooon… entot sampai ke dasarnya terussss Dooon… naaaaah… naaaaah… ooooo… oooooh… nikmat sekali Donny… entooooottttt sampai ke dasarnya lagi… naaaah… oooooooh… luar biasa enaknya Dooon… ooooh… entot terus Dooon… entoooot terusss…
Aku memang merasakannya juga. Bahwa moncong penisku selalu menyundul dasar liang memek Teh Siska pada saat sedang kudorong. Dan hal itu rupanya membuat kakak sulungku keenakan.
Dan saking enaknya, tak lama kemudian Teh Siska klepek - klepek seperti mau orgasme. Tapi aku masih asyik - asyiknya mengayun batang kemaluanku.
Lagian waktu aku menyetrubuhi kakak sulungku ini, merupakan persetubuhan yang ketiga buatku. Tadi pagi menyetubuhi Bunda, tadi siang menyetubuhi Donna dan kini menyetubuhi Teh Siska. Maka dengan sendirinya durasi ngentotku jadi lebih lama dari biasanya.
Teh Siska memang mulai berkelojotan… lalu mengejang tegang sambil menahan nafasnya. Dan… “Aaaaaaaaahhhhh… aku udah lepas Dooon…”
Teh Siska mengelojot lagi, lalu terhempas lemas.
Aku sudah sering merasakan hal yang seperti ini, baik dengan Mama mau pun dengan Tante Reni. Karena itu kudiamkan dulu penisku di dalam liang memek Teh Siska, sambil memperhatikan aura kecantikan kakak sulungku ini. Memang Teh Siska tidak kalah cantik dari Donna. Bentuk tubuhnya pun berbeda dengan tubuh Donna.
Mereka punya kelebihan masing - masing yang sulit mengatakannya. Barangkali kalu kuambil kesimpulan, Donna itu laksana princess yang cantik jelita, sementara Teh Siska itu sexy habis. Dan aku sangat tergiur oleh keseksian kakak sulungku ini.
Lalu kenapa Teh Siska bisa bercerai dengan suaminya? Entahlah.
Yang jelas, setelah Teh Siska tampak bergairah lagi, aku pun mengayun batang kemaluanku kembali. Liang memek Teh Siska jadi terasa becek, pasti karena baru mengalami orgasme. Tapi aku justru suka mengentot memek yang baru orgasme begini. Karena aku merasa tak punya beban, karena pasangan seksualku sudah mencapai kepuasannya.
Karena liang memek TGeh Siska sudah becek, dengan sendirinya batang kemaluanku sangat lancar mengentotnya. Moncong penisku pun terus - terusan ”menabrak” dasar liang memek Teh Siska.
Dan… bokong gede itu pun mulai bergoyang - goyang erotis, mungkin untuk mengimbangi genjotan penisku yang mulai gencar dan keras ini. Aku pun tak mau kalah. Ketika sedang asyik - asyiknya mengentot liang memek Teh Siska yang mulai terasa sempit lagi ini (tidak becek lagi), aku pun mulai menyedot - nyedot dan menjilati pentil toket gedenya.
Oooo… betapa nikmartnya menyetubuhi kakak sulungku yang tinggi montok ini…!
Terlebih setelah merasakan nikmatnya goyanjgan bokong gede Teh Siska, yang membuat penisku terbawa meliuk - liuk dan menghempas - hempas. Yang membuat penisku laksana dibesot - besot dan diremas - remas oleh liang memek kakak sulungku ini.
Tak salah kalau orang menyebut hubungan sex itu laksana surga dunia indah dan nikmatnya.
Prtarungan penisku dengan liang memek Teh Siska makin lama makin seru. Bokong gedenya sudah digoyang meliuk - liuk, memutar - mutar dan menghempas - hempas dengan lincahnya, namun penisku masih sangat tangguh menghadapinya. Bahkan untuk kedua kalinya Teh Siska mengelojot dan mengejang lagi, lalu terdengar desahannya, “Aaaaaaaahhhhh…
Ucapan itu dilanjutkan dengan ciuman hangatnya di bibirku. Mungkin sebagai tanda terimakasihnya karena telah kubuat puas batinnya.
Namun aku masih belum apa - apa. Kuayun lagi penisku yang masih sangat tangguh ini, setelah melihat Teh Siska sudah pulih lagi semangatnya.
“Tukar posisi yuk,” ucapnya pada suatu saat.
“Boleh. Mau posisi gimana?”
“Doggy aja,” sahut Teh Siska sambil tersenyum.
Kuikuti saja apa yang diinginkannya. Ketika dia sudah merangkak sambil menunggingkan bokong gedenya tinggi - tinggi, aku pun berlutut sambil mengarahkan penisku ke arah memeknya yang tampak sepenuhnya dari arah belakang ini. Lalu kudorong dan masuk dengan mudahnya ke dalam liang memek Teh Siska yang sudah becek lagi untuk kedua kalinya ini.
Iseng - iseng kutampar buah pantatnya yang kanan dan yang kiri, plak… plaaakkk! Lalu berkomentar, “Bokong Teteh gede banget. Jadi pengen gigit saking gemesnya.”
Teh Siska menyahut, “Gigit aja kalau bisa sih, hihihi…”
“Nggak ah. Nggak tega nyakitin kakak kandungku sendiri.”
“Tapi kalau ditampar - tampar kayak barusan boleh juga tuh Don. Aku seneng kok dientot sambil ditamparin pantat sampai merah sekali… sampai seperti bekas kerokan… ayo cobain sekarang… entot sambil tamparin pantatku sampai merah kebiru - biruan… ayooo… mau direndem terus kontolmu?”
Aku tersenyum sambil mulai mengayun batang kemaluanku, bermaju - mundur di dalam liang memek Teh Siska yang becek ini. Lalu sambil berlutut dan mengentotnya ini, aku mengikuti permintaan kakakku barusan. Bahwa aku harus menampar - nampar buah pantatnya sampai merah kebiru - biruan seperti bekas kerokan.
Maka mulailah aku mengentotnya sambil menampar - nampar sepasang buah pantatnya… plaaaak… plaaaaaak… plaaaaak… plaaaaaaak…!
Rasanya aku sudah cukup kuat menampar - nampar buah pantat Teh Siska yang gede dan padat kencang ini. Tapi ternyata Teh Siska complain, “Kurang kuat Don… jangan ragu gitu… anggap aja kamu sedang menempelengin musuhmu… !”
Mendengar protes kakak sulungku itu aku pun mulai mengemplangi sepasang buah pantat Teh Siska dengan sekuat tenaga.
“Nah gitu… tamparin terus sekuat tenaga Dooon… enak tuh…”
Aku heran, karena baru sekali ini menyetubuhi perempuan yang ingin sambil ditempelengin pantatnya begini. Tapi aku pernah membaca di sebuah majalah internasional, tentang wanita yang senang disakiti pada waktu disetubuhi. Ada yang ingin dientot sambil dicupang lehernya, ada yang ingin diremas toketnya sekuat tenaga dan banyak lagi.
Apakah Teh Siska juga tergolong perempuan yang seperti itu? Entahlah. Sang Waktu yang akan menjawabnya nanti.
Yang jelas bunyi - bunyi unik berkumandang di dalam kamar Teh Siska ini. Bunyi crak crek seperti bunyi telor sedang dikocok datang dari penisku yang sedang menggenjot liang memek beceknya Teh Siska, bercampur dengan bunyi plak - plok yang datang dari tamparan - tamparanku di sepasang buah pantat kakak sulungku itu.
Crakkkk… crekkkk… crakkkk… crekkkk… crakkkk… crekkk…!
Plaaaak… plooooookkkkk… plaaaaaak… plokkkkkk… plaaaaakkkkk… plooookkkkk…!
Namun makin lama lendir di dalam liang memek Teh Siska mulai berkurang, sehingga tidak terdengar bunyi crak - crek lagi. Sementara telapak tanganku pun mulai terasa panas akibat menempelengi buah pantat Teh Siska terus - menerus. Namun hasilnya sudah kelihatan. Sepasang buah pantat Teh Siska sudah merah kebiru - biruan seperti yang diinginkannya.
Aku lalu teringat kepada Mbak Reni alias Tante Reni, yang suka ingin kelentitnya dielus - elus oleh jariku pada waktu disetubuhi dalam posisi doggy seperti ini. Maka kedua tanganku pun seolah mendekap bokong Teh Siska, namun sebenarnya tanganku sedang berusaha mencapai memek kakakku. Dan akhir kutemukan kelentit yang akan kuelus - elus sambil ditekan agar lebih terasa.
Ya… jari tangan kananku dan jari tangan kiriku seolah berebut untuk mengelus - elus kelentit Teh Siska.
Lalu… Teh Siska mulai merengek - rengek keenakan, “Duuududuuuuuh… Dooon… ini enak sekali Dooon… elus terus itilku Dooon… enak Dooon… enaaaaak… elus terus itilku… itilkuuu… iiiitiiiiiillll… itilnya elus teruuuuusssss… itilnyaaaa… itilnyaaaaaa… !”
Keringatku sudah bercucuran. Namun aku tetap giat mengentot liang memek Teh Siska sambil mengelus - elus kelentitnya.
Tiba - tiba Teh Siska memekik perlahan, “Oooo… oooooooh Doooon… !“Lalu ia ambruk ke atas kasur, sehingga batang kemaluanku terlepas dari liang memeknya.
“Kenapa? Orgasme lagi Teh?” tanyaku heran.
“Iya,” sahut Teh Siska sambil menelentang kembali, “Permainanmu luar biasa enaknya sih… bikin aku orgasme berkali - kali. Baru sekali ini aku mengalami orgasme sampai tiga kali, sementara kamu belum ngecrot juga.”
“Baguslah… aku kan ingin membuat Teteh puas,” kataku sambil merayap ke atas perutnya lagi.
“Iya, terima kasih Donny Sayaaang… emwuaaaaaah…” ucap Teh Siska yang dilanjutkan dengan kecupan hangatnya di bibirku, “Gak nyangka adikku setampan dan sejantan ini. Kamu memang luar biasa perkasanya Don.”
Sebagai jawaban, kudorong penisku yang moncongnya sudah menempel di ambang mulut vagina Teh Siska. Blesssss… melesak amblas sampai ke dasar liang memek Teh Siska yang sudah becek lagi ini.
Kali ini aku ingin secepatnya ejakulasi, kalau bisa. Karena kasihan kepada Teh Siska yang kelihatan mulai kepayahan.
Tapi dugaanku meleset. Karena aku mulai mengentotnya lagi sambil menjilati lehernya disertai dengan gigitan - gigitan kecil, Teh Siska mendekap pinggangku erat - erat sambil berkata, “Cupangin leherku Don… cupangin yang banyaaaak…”
Aku sudah punya pengalaman di Bangkok. Pengalaman nyupangin leher Tante Reni seperti yang diinginkannya.
Maka sambil mengentot liang memek beceknya Teh Siska dengan gencar, kusedot lehernya kuat - kuat, berulang - ulang di satu titik, sampai meninggalkan bekas merah kehitaman sebesar uang koin. Kemudian pindah lagi ke titik lain, mencupangnya lagi dan begitu seterusnya. Sampai meninggalkan totol - totol merah kehitaman beberapa titik di leher Teh Siska.
Dan setiap kali aku sedang mencupangi lehernya, Teh Siska memejamkan matanya erat - erat, namun dengan senyum manis di lehernya. Seolah sedang menghayati suatu kenikmatan yang tiada taranya.
Sementara itu liang memek Teh Siska tidak becek lagi. Mulai sempit menjepit lagi. Dan terdengar suaranya terengah, “Terusin cupangin lagi lehernya Dooon… aku senang sekali dicupangin leher dan tetekku.”
“Lehernya sudah lebih dari enam cupangan Teh,” sahutku sambil menghentikan entotanku, “Besok Teteh harus membelitkan selendang di leher, kalau tidak mau kelihatan lehernya banyak bekas cupangan.”
“Sekarang pindah ke tetekku… cupangin juga. Kalau sedang mencupangi tetek kananku, tetek kiriku harus diremas sekuatnya… biar rasanya lebih mantap, “pintanya.
Aku memang gemas menyaksikan gedenya toket kakak sulungku yang menggiurkan itu. Ingin meremasnya sekuatku. Namun takut menyakitinya.
Tapi kali ini dia sendiri yang memintaku untuk meremas toket yang satu pada waktu sedang mencupangi toket yang satu lagi.
Maka kulakukan juga apa yang dimintanya itu. Diawali dengan meremas toket kanannya sekuiat mungkin, waktu aku sedang mencupangi toket kirinya. Kemudian kuremas juga toket kirinya sekuat tenaga, pada waktu aku sedang mencupangi toket kanannya. Begitu terus yang kulakukan sambil mengentot liang memeknya yang sudah legit kembali ini.
Dan Teh Siska semakin terpejam - pejam dengan bibir tersenyum - senyum.
Setelah cukup banyak totol - totol merah kehitaman di sepasang toket gede Teh Siska, aku pun menghentikan aksi mencupangi toketnya itu.
Namun masih ada lagi permintaannya: “Sekarang remaslah kedua tetekku sekuat tenagamu, Sayang…”
Aku terheran - heran. Karena kebiasaan menyakiti diri sendiri itu tidak pernah kudapatkan pada perempuan lain. Bunda juga tidak seperti itu. Tapi anak sulung Bunda ini lain dari yang lain.
Namun kulakukan juga permintaannya. Kjuremas - remas sepasang toketnya sekuat tenaga. Sampai ia terpejam - pejam lagi seperti tadi.
“Oooooh… enak sekali Sayang… enaaaak… “rengeknya sambil mendekap pinggangku erat - erat. Sementara sekujur tubuhnya sudah dibanjiri keringat. Seperti tubuhku juga, yang sudah dibanjiri keringat.
Dan pada suatu saat… aku tiba pada titik krusial. Sepertinya sudah mau berejakulasi. Tapi sengaja kuhentikan entotanku. Hanya meremas - remas toket Teh Siska yang kulakukan.
Dan akhirnya Teh Siska merengek, “Dooon… entot lagi… entoooot… aku mau lepas lagi Dooon…”
Inilah detik - detik yang kuinginkan. Detik - detik membarengkan ejakulasiku dengan orgasmenya Teh Siska.
Maka kuayun lagi penisku yang sudah di ambang kegawatan ini. Sementara Teh Siska sudah mengejang tegang, sambil menjambak - jambak rambutku.
Lalu kubenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memek kakak sulungku. Kubiarkan penisku menancap dan mendorong dasar liang sanggama Teh Siska.
Pada saat itulah kurasakan gerakan liang memek Teh Siska dengan jelas. Gerakan yang seperti spiral membelit dan meremas penisku… diiringi dengan kedutan - kedutan kencang… bersamaan dengan mengejut - ngejutnya penisku yang sedang memuntahkan air mani.
Crooot… crot… croooooooootttttttt… crotcrot… crooootttt… crooooooootttt…!
Disusul dengan erangan Teh Siska, “Oooooohhhh… nikmatnya orgasmeku… ditemani oleh semprotan air manimu Doooon… nikmat sekaliiii…”
Lalu ia menciumi bibirku dengan lahapnya. Sementara aku masih terkulai lemas di atas perutnya.
Setelah mencabut batang kemaluanku dari liang memek Teh Siska, aku menggulingkan tubuhku, menelentang di samping kakak sulungku. “Teteh ikut program KB?” tanyaku.
“Nggak. Kalau janda ikut KB, berarti ada tujuan gak bener,” sahutnya sambil mengusap - usap dadaku.
“Nanti kalau hamil gimana?”
“Biar aja. Anakku kan dibawa oleh mantan suamiku. Jadi aku ingin hamil lagi.”
“Tapi kita kan gak bisa menikah secara sah, karena kita ini saudara kandung.”
“Memangnya siapa yang ngajak kamu nikah? Biar aja anak kita lahir tanpa perkawinan kita. Yang penting kamu harus ikut menyayangi anak kita nanti ya.”
“Soal itu sih pasti,” sahutku dalam perasaan bingung. Karena belum terbayang apa yang mesti kulakukan kalau Teh Siska mengandung benih dariku.
Tapi biarlah. What ever will be, will be. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
Lalu aku tertidur dalam pelukan Teh Siska… dalam keadaan sama - sama telanjang bulat.
Esok paginya aku terbangun agak kesiangan. Sementara Teh Siska sudah tidak di sisiku lagi. Namun terdengar bunyi minyak mendidih. Mungkin Teh Siska sedang memasak sesuatu untuk makan pagi. Aku pun turun dari bed dan melangkah ke kamar mandi pribadi kakak sulungku. Kamar mandi yang sudah ditata serba kekinian.
Kemudian aku mandi sebersih mungkin.
Tak lama kemudian, aku sudah mengenakan pakaianku dan menyisir rambutku. Lalu aku keluar dari kamar Teh Siska, menuju datangnya bunyi minyak mendidih itu.
Ternyata Teh Siska memangf sedang masak di dapurnya yang sudah ditata secara modern pula. Rumah kakak sulungku ini samngat jauh berbeda dengan rumah Bunda. Membuatku tekadku semakin kuat. Untuk meng - upgrade rumah Bunda secara layak.
“Lagi masak apa Teh?” tanyaku sambil mendekap pinggang Teh Siska dari belakang. Saat itu Teh Siska mengenakan kimono sutera putih bersih.
“Lagi bikin nasi kuning. Ini goreng ayam untuk lauknya. Di Thailand ada nasi kuning?“
“Ada. Nasi kuning di Thailand disebut Khao Mok Gai. Di rumah orang tua angkatku juga sering bikin nasi kuning Indonesia.”
“Apa bedanya nasi kuning Thailand dengan nasi kuning Indonesia?”
“Hampir sama saja. Cuma bedanya kalau nasi kuning Indonesia cukup ramai lauk pauknya, sedangkan nasi kuning Thailand hanya mengandalkan ayam goreng dan kuah sup.”
“Pakai kuah sup segala?”
“Iya. Kalau kita beli nasi kuning di sana, pasti penjualnya nanya… Au nam sup? Artinya mau pakai kuah sup? Kalau tidak suka, kita jawab… Mai au nam sup kha. Artinya, tidak pakai kuah sup.”
“Begitu ya. Tapi di Indonesia juga ada nasi kuning Manado yang berbeda lauk pauknya kalau dibandingkan dengan nasi kuning di pulau Jawa. Nasi kuning Manado menggunakan ikan laut yang diiris kecil - kecil dan ditumis sebagai lauknya.”
“Iya. Kuliner di negara kita memang sangat beraneka ragam,” sahutku sambil menoleh ke arah lain. Ternyata Teh Siska sudah memasak sambal goreng tempe, dadar telur yang sudah diiris tipis - tipis dan sebagainya. Selera makanku pun jadi bangkit.
Pada waktu sedang makan nasi kuning buatan Teh Siska, aku berkata, “Bekas cupangan di leher dan toket Teteh banyak banget.”
“Biarin aja. Biar begitu melihat bayanganku di cermin, aku pasti ingat kamu,” sahut Teh Siska.
“Paling lama juga dalam tiga hari bekas cupangnya hilang. Berarti tiga hari lagi Teteh takkan ingat aku lagi ya?”
“Gak gitulah. Kamu akan mendapat tempat istimewa di seumur hidupku. Lagian kamu kan adikku. Hubungan kakak dengan adik kandung takkan pernah bisa putus. Meski pun aku punya suami lagi, hubungan kita harus tetap berjalan… tapi kalau aku sudah bersuami, hubungan kita harus secara rahasia aja,” sahut Teh Siska, “Ohya…
“Iya. Nanti sebelum pulang ke Bangkok, pasti aku akan mengunjungi rumahnya. Teh Nenden itu adik Teh Siska kan?”
“Iya. Aku kan anak sulung. Mana ada si sulung punya kakak?”
“Kata Bunda, suami Teh Nenden itu seorang dokter ya?”
“Iya. Suaminya dokter spesialis bedah yang sukses dan terkenal. Tapi usianya sudah tua. Tigapuluh tahun lebih tua dari Nenden.”
“Memangnya usia Teh Nenden sekarang berapa tahun?”
“Nenden usianya dua tahun lebih muda dariku. Jadi sekarang usianya duapuluhtiga tahun,” sahut Teh Siska.
“Berarti usia suaminya limapuluhtiga?”
“Ya, segitulah kira - kira.”
“Teh Nenden sudah punya anak?”
“Belum. Padahal dia sudah tiga tahun menjadi istri dokter itu.”
“Berarti dia kawin waktu usianya seumuran aku dan Donna sekarang?”
“Iya. Waktu Nenden kawin dengan dokter itu, usianya baru duapuluh tahun. Suaminya sudah limapuluh tahun.”
“Mungkin waktu menikah dengan Teh Nenden, dokter itu duda ya?”
“Iya. Sebelum kawin dengan Nenden, dokter itu sudah duda beranak cewek dua orang. Istri dokter itu sudah meninggal sebelum berjumpa dengan Nenden.”
“Jadi sekarang Teh Nenden punya anak tiri dua orang ya.”
“Iya. Tapi kedua anak tirinya sudah pada punya suami, jadi gak ada yang tinggal di rumah Nenden.”
Tiba - tiba handphoneku berdering. Cepat kukeluarkan hapeku dari saku celanaku.
“Sttt… dari Bunda… !” kataku sambil meletakkan telunjuk di depan mulutku.
Teh Siska mengangguk - angguk. Dia sudah tahu kalau aku mengaku akan menjumpai temanku yang datang dari Thailand. Bukan mau menginap di rumah Teh Siska.
“Hallo Bunda…”
“Don… pemilik tanah itu sudah setuju pada tawaran Bunda. Jadi harganya diturunkan seratus juta. Dia nanya, kapan mau transaksinya?”
“Oke Bunda. Sekarang juga aku pulang. Transaksinya di notaris aja.”
“Iya. Bunda tunggu ya.”
“Iya Bun.”
Setelah hubungan seluler dengan Bunda ditutup, teh Siska bertanya, “Mau transaksi apa pakai notaris segala?”
“Mau beli tanah kosong yang di samping rumah Bunda itu.”
“Wow…! Kalau gak salah tanah di samping rumah Bunda itu setengah hektar luasnya ya.”
‘Iya. Aku mau pulang dulu ya Teh,” kataku sambil berdiri.
Teh Siska pun berdiri dan memeluk leherku. “Selama masih liburan di kota ini, kamu harus sering ke sini ya Don,” ucap Teh Siska seperti berat melepaskanku.
“Iya Teh… aku pasti kangen terus sama Teteh,”
“Kangen sama aku apa sama memekku?”
“Kangen sama dua - duanya. Heheheee…”
Teh Siska mencium bibirku berulang - ulang. Lalu mengantarkanku hingga ke pintu pagarnya. Sampai aku mendapatkan taksi yang melewati jalan di depan rumah kakak sulungku itu.
Setelah berada di dalam taksi, aku masih sempat melambaikan tangan ke arah Teh Siska. Ia pun tampak melambaikan tangan juga, dengan wajah yang kelihatan sedih. Seolah tak ingin ditinggalkan olehku.
Namun di dalam hati aku berjanji akan sering mengunjungi rumah Teh Siska secara rahasia. Tanpa diketahui oleh Bunda dan Donna.
Setibanya di rumah Bunda, mataku mencari - cari mobil Donna. Tapi tidak ada.
Bunda pun muncul di ruang tengah yang tampak sudah dibereskan, tidak berantakan seperti kemaren.
“Donna ke mana Bun?” tanyaku.
“Ke tempat kerjanya, tapi mau resign seperti yang kamu anjurkan. Bukan mau kerja,” sahut Bunda sambil memegang tanganku, “Selain itu, Donna juga mau menemui pemborong yang akan membangun di tanah kosong itu.
“Oh iya. Berarti Donna sangat mendengarkan pesanku.”
“Donna kelihatan bahagia sekali setelah dibelikan mobil olehmu Don.”
“Iya Bun. Nanti kalau tanah itu sedang dibangun, biar Donna kujadikan pengawas aja. Setiap membutuhkan uang untuk pemborong itu, akan kutransfer lewat rekening tabungan Donna aja. Tapi sebelum pulang ke Bangkok pasti aku titip uang juga sama Donna, untuk biaya pembangunan di tanah itu.”
“Iya… bunda senang sekali karena kedatanganmu membawa angin segar bagi bunda dan Donna.”
“Tapi Bunda masih minum - minum?”
“Nggak Sayang. Bunda berusaha mengikuti saranmu. Lihat aja keadaan di dalam kamar bunda. Botol - botol minuman beralkohol sudah tidak ada satu pun.”
“Syukurlah Bunda. Senang aku mendengarnya. Kan aku ingin agar Bunda tetap sehat dan seksi…” ucapku sambil mencium bibir Bunda.
“Iya… iya… mmm… temanmu sudah pulang ke Thailand?”
“Belum. Dia ingin bareng sama aku pulangnya nanti.”
“Dia teman kuliahmu?”
“Iya. Jadi dia ingin menghabiskan masa liburannya di Indonesia. Lalu kembali ke Bangkok bareng sama aku,” kataku berbohong. Sengaja aku menciptakan kebohongan itu, agar kalau aku pergi ke rumah Teh Siska nanti, alasannya akan menemui teman dari Thailand itu.
“Sekarang mau ke rumah pemilik tanah itu?” tanyaku.
“Iya, mumpung belum siang benar. Supaya kantor notarisnya belum tutup.”
“Don…” kata Bunda sambil memegang tanganku, “Nanti pulang dari notaris, ajak bunda ke hotel ya.”
“Mau ngapain? Bunda udah kangen ya?”
“Iya, “Bunda mengangguk sambil tersenyum, “Tapi Bunda ingin melakukannya di tempat yang tenang dan nyaman.”
“Iya deh,” sahutku. Untung tadi pagi aku tidak menyetubuhi Teh Siska lagi. Kalau aku menyetubuhinya, pasti aku akan kepayahan membangunkan tongkat kejantananku hari ini.
Tak lama kemudian aku dan Bunda berjalan kaki menuju rumah pemilik tanah kosong itu. Ternyata rumahnya tidak jauh dari tanah yang mau dijual itu.
Pemilik tanah itu masih muda, sekitar 30 tahunan, mengenalkan namanya sebagai Wondo. Dia bahkan menawarkan rumahnya juga yang berdampingan dengan tanah kosong itu, agar dibeli olehku, karena dia mau pindah ke kampung halamannya di Madiun.
Aku pun tertarik, karena rumah itu sudah bergaya kekinian, seperti rumah Teh Siska. Lalu kutanya berapa harganya. Ternyata rumah itu ditawarkan dengan harga yang sangat murah menurutku. Tapi aku berusaha menawarnya dulu. Setelah bernegosiasi yang agak alot, akhirnya dia menyetujui tawaranku.
Bunda hanya ikut dengar saja, tidak berkomentar sepatah kata pun. Dan tampak senang setelah mendengar bahwa aku dan pemilik tanah itu sudah deal untuk membeli tanah kosong dan rumahnya yang lumayan besar dan berbentuk minimalis itu.
Kemudian kami berangkat menuju notaris. Aku dan Bunda menggunakan taksi, sementara Pak Wondo menggunakan motornya.
Kebetulan di notaris sedang tidak ada klien, sehingga dengan cepat transaksi kami diurus oleh sang Notaris.
Untuk membayar nominal yang sudah kami sepakati, kuberikan selembar cek dari sebuah bank internasional, yang baik di Bangkok mau pun di kota ini ada cabangnya. Lalu notaris itu meminta klarifikasi dari bank yang bersangkutan dulu.
Setelah clear, transaksi pun dianggap selesai. Notaris itu memberikan akte jual beli kepadaku, yang langsung kuserahkan kepada Bunda. Akte jual beli itu pun atas nama Bunda semua. Aku memang ingin Bunda besar hatinya. Maka setelah tanah itu dibangun, aku akan menyerahkan segalanya kepada Bunda.
Sertifikat tanah dan rumah itu kuserahkan kepada notaris, agar dia mengurus balik namanya ke kantor BPN.
Kemudian aku berjabatan tangan dengan Pak Wondo, sebagai tanda sudah selesainya transaksi itu. Pak Wondo hanya minta waktu seminggu untuk beres - beres barangnya yang akan diangkut ke Madiun. Kebetulan kalau seminggu lagi aku pun masih berada di Indonesia, jadi bisa membenahi rumah yang kubeli dari Pak Wondo itu, kemudian kubelikan furniture dan perabotan selengkapnya, lalu Bunda akan kuminta pindah ke rumah itu, karena rumah jadul Bunda akan kurobohkan untuk dibangun yang benar - benar baru.
Hmmm… sudah sejauh itu rencanaku…!
Setelah keluar dari kantor notaris itu, aku searching dulu di google lewat handphoneku. Searching hotel di kota ini. Pada saat itu belum ada system booking lewat internet. Jadi aku hanya searching nama dan alamat hotelnya saja. Lalu kupilih sebuah hotel bintang lima, yang akan kusampaikan kepada sopir taksi nanti.
Setelah mendapatkan taksi, kuperlihatkan nama dan alamat hotel itu dari handphoneku. Sopir taksi itu pun mengangguk, lalu menjalankan taksinya. Membawaku bersama Bunda ke hotel seperti yang Bunda inginkan.
Waktu berada di dalam taksi itulah aku jadi teringat cerita legenda Sangkuriang yang pernah kubaca dari kumpulan cerita rakyat Indonesia. Aku masih ingat benar bahwa Sangkuriang yang sudah terlalu lama meninggalkan ibunya, begitu berjumpa lagi dengan ibunya sudah lupa bahwa Dayang Sumbi itu ibu kandungnya.
Mereka saling jatuh cinta. Tapi ketika membelai rambut Sangkuriang, Dayang Sumbi melihat bekas luka di kepala Sangkalalana. Sehingga Dayang Sumbi teringat pada anaknya yang pernah dilempar oleh “cukil” (semacam senduk) nasi dan mengakibatkan luka dan berdarah - darah di kepalanya. Lalu Dayang Sumbi bertanya siapa sebenarnya nama asli Sangkalalana itu.
Akhirnya Sangkalalana mengakui bahwa namanya adalah Sangkuriang. Tapi sejak diusir oleh ibunya karena telah membunuh si Tumang, anjing yang dibawa berburu yang sebenarnya ayah Sangkuriang, maka Sangkuriang pun membuang nama aslinya dan mengganti jadi Sangkalalana.
Dayang Sumbi kager dan bicara terus terang bahwa Sangkuriang itu anak kandungnya. Tapi Sangkuriang tidak percaya, karena kalau masih ada pastilah ibunya sudah sangat tua. Sedangkan Dayang Sumbi masih kelihatan muda dan sangat cantik.
Akhirnya Dayang Sumbi menyatakan bersedia menjadi istri Sangkuriang asalkan bisa mewujudkan permintaannya, asalkan bisa mewujudkan danau dalam semalam dan sebuah perahu untuk mengarungi danau itu.
Konon Sangkuriang meminta bantuan para siluman untuk mewujudkan permintaan ibunya itu.
Malam itu Dayang Sumbi terkaget - kaget ketika menyaksikan danau itu sudah hampir selesai. Maka dicarinya akal. Lalu Dayang Sumbi meminta bantuan kepada teman teman sekampungnya untuk memukul lesung beramai - ramai. Ayam - ayam jantan pun kaget mendengar suara lesung dipukul - pukul itu. Lalu semua ayam jantan di kampung itu pada berkokok.
Dayang Sumbi menghampiri Sangkuriang sambil bedrseru, “Sangkuriang! Kamu gagal memenuhi permintaanku. Dengarlah suara ayam - ayam berkokok itu. Pertanda hari sudah hampir pagi! Bukankah kamu sudah berjanji akan mewujudkan permintaanku sebelum fajar menyingsing?”
Sangkuriang kaget dan berusaha untuk menangkap ibunya. Tapi Dayang Sumbi menghilang dan konon menjelma jadi Gunung Putri. Sementara Sangkuriang geram sekali atas kegagalannya sendiri. Maka perahu yang sudah disiapkan oleh para siluman itu pun ditendangnya sampai jatuh menelungkup. Maka perahu besar itu pun menelungkup dan menjelma jadi Gunung Tangkuban Perahu
(Tangkuban = telungkup).
Aku teringat cerita rakyat Priangan itu karena aku merasa bisa mengalahkan Sangkuriang yang gagal mendapatkan ibu kandungnya. Karena aku sudah berhasil mendapatkan ibu kandungku…!
Apakah kemenanganku ini sebagai suatu keberhasilan atau suatu kejahanaman?
Entahlah. Yang jelas di kamar hotel bintang lima ini kuperhatikan Bunda yang memang cantik sekali. Terlebih lagi setelah telanjang bulat di depan mataku. Dalam khayalanku, Bunda seolah bidadari yang turun dari langit, khusus untuk menyenangkan dan membahagiakan hatiku.
Aku malah sering berpikir bahwa mungkin saja aku ini reinkarnasi dari Sangkuriang, yang gagal di masa lalu, kemudian harus berhasil di masa kini. Hahahaaa… itu hanya khayalanku semata.
Dan yang jelas, kini aku ingin mewujudkan kebahagiaan Bunda yang merasa sangat kehilangan setelah Ayah meninggal. Ingin mewujudkan kenikmatan dan keupasan untuk diriku sendiri pula.
Tapi lain Teh Siska lain Bunda. Meski Teh Siska itu sama - sama anak kandung Bunda, namun Bunda tidak mau diperlakukan keras olehku. Terbukti pada waktu aku bergumul dengan Bunda dalam keadaan sama - sama telanjang bulat, kucoba meremas toket Bunda agak keras. ternyata Bunda langsung merintih, “Duuuuh…
“Heheheheee… gemes sih sama toket Bunda yang tetap mulus walau pun sudah melahirkan empat anak,” sahutku.
“Mungkin karena Bunda sering senam dahulu. Sejak jadi peminum Bunda gak pernah senam lagi.”
“Bunda Sayang… kalau Bunda menghentikan minum minuman keras, Bunda akan jadi lebih sehat. Tubuh Bunda pun pasti lebih berisi, takkan ada yang kendor lagi. Pokoknya kalau Bunda menyetop kebiasaan minum itu, pasti Bunda bakal semakin seksi.”
Lalu kami bergumul di atas bed hotel five star itu. Terkadang aku di atas, terkadang Bunda yang di atas. Sampai pada suatu saat, batang kemaluanku sudah membenam ke dalam liang memek Bunda kandungku.
Bunda pun menyambutku dengan dekapan erat di pinggangku, sambil berkata, “Kamu memang seolah paket lengkap. Wajahmu tampan, bentuk tubuhmu seksi, kontolmu pun gede dan panjang banget. Kalau sudah punya istri, pasti istrimu merem - melek terus olehmu.”
“Aku takkan mau kawin dulu ah. Aku ingin membahagiakan hati Bunda dulu.”
Bunda pun mencium bibirku. Pada saat aku mulai mengayun penisku, Bunda menyambutku dengan goyang pinggulnya yang sangat erotis. Meliuk - liuk, memutar - mutar dan menghempas - hempas. Membuat batang kemaluanku terombang - ambing mengikuti gerakan memek Bundaku tercinta …
Tidak terlalu berlebihan kalau aku mengatakan bahwa Bunda seolah bidadari yang diturunkan dari langit, untuk mengucurkan kenikmatan bagiku. Bidadari yang harus kuperlakukan secara halus dan lemah lembut.
Itulah sebabnya aku pun sengaja melambatkan ayunan penisku di dalam jepitan liang kemaluan Bunda yang luar biasa enaknya ini. Terlebih setelah mendengar bisikannya, bahwa ia ingin menghayati gerakan demi gerakan batang kemaluanku dan ingin meresapi nikmatnya gesekan penisku dengan liang sanggamanya.
Setelah gerakan maju mundurnya penisku dilambatkan, Bunda kelihatan sangat menikmatinya. Terlebih setelah mulutku beraksi untuk menjilati lehernya disertai dengan gigitan - gigitan kecil… Bunda mulai merintih - rintih histeris, “Dooon… oooooh… terima kasih Dooon… bunda seperti dilahirkan kembali untuk menikmati keindahan ini…
Dan ketika kedua lengan Bunda terjulur ke atas, aku pun menjilati ketiaknya yang harum parfum oleh - olehku dari Bangkok. Dengan lahap aku menjilati ketiak Bunda yang sebelah kanan mau pun yang sebelah kiri. Dan Bunda semakin menggeliat - geliat. Mungkin karena merasakan geli - geli enak dari dua arah.
Aku pun mulai tahu bahwa Bunda lebih menyukai posisi missionary atau MOT (man on top) daripada posisi lainnya. Karena posisi MOT ini bisa saling peluk. bisa saling cum dan sebagainya. Perutnya pun bisa bertempelan dengan perutku, demikian juga toketnya bisa bertempelan dengan dadaku. Sementara aku pun bisa mengentotnya sambil ngemut pentil toketnya, sambil menjilati leher dan ketiaknya, bisa pula menjilati telinganya.
Dan ketika aku sudah lama mengentot liang memek Bunda yang terasa legit menjepit, Bunda pun mulai merintih - rintih histeris sebagai indikator dari kenikmatan yang tengah dirasakannya.
“Dooon… kamu seolah titisan ayahmu… yang datang pas bunda membutuhkannya… kamu tak cuma mendatangkan kepuasan, tapi juga kebahagiaan Dooon… ooooh… setiap gesekan kontolmu dengan memek bunda ini… ooooh… nikmat sekali sayang… nikmat yang mengalir dari ujung kaki sampai ubun - ubun di kepala bunda…
Rintihan Bunda itu diiringi oleh dengus - dengus nafasku di atas wajah cantiknya yang mulai keringatan. Diiringi cintaku sebagai anak kandungnya sekaligus lelaki yang mencintainya… dengan segenap jiwa ragaku…!
Bunda pun seperti ingin menciptakan hal - hal yang membuatku nikmat. Tak sekadar menggoyang - goyangkan pinggulnya, yang membuat penisku serasa dibesot - besot dan dipilin - pilin oleh dinding liang memek legitnya. Tapi juga melakukan hal seperti yang kulakukan padanya. Menjilati leherku yang sudah keringatan, menjilati ketiakku yang bebulu lebat dan melumat bibirku dengan hangatnya.
Tubuh kami pun mulai bermandikan keringat, sebagai indikator hubungan sex yang sempurna. Karena orang bilang, hubungan sex tanpa keringat, perlu dipertanyakan di mana letak kesalahan dan kekurangannya.
Sampai akhirnya Bunda berbisik terengah, “Donny… bunda udah hampir lepas… barengin yuk lepasinnya… biar lebih nikmat dan mengesankan… ooooh… Dooon… !”
Mama almarhumah telah banyak melatihku tentang bagaimana cara untuk memuaskan wanita menjelang orgasmenya. Maka aku pun mempercepat entotanku. Maju mundur maju mundur maju mundur maju mundur maju mundur… sampai akhirnya kutancapkan penisku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memek Bunda…
Tanpa digerakkan lagi. Padsa saat itulah kurasakan sesuatu yang luar biasa nikmatnya. Bahwa liang memek bunda seolah meremas - remas penisku, dibarengi dengan kedutan - kedutan erotisnya. Ditingkah dengan kejutan - kejutan batang kemaluanku yang tengah memuntahkan air maniku… crottt… croooottttt …
Tubuhku mengejut - ngejut di atas perut Bunda yang tengah mengejang… lalu kami saling rfemas… saling lumat di puncak kenikmatan yang sedang kami alami ini… ooo… indahnya surga dunia ini…!
Lalu kami sama - sama terkulai lemas. Dengan mata sama - sama terpejam, seolah sama -sama menghayati nikmat dan kepuasan yang baru saja kami alami.
Kemudian kami tertidur sekitar dua jam, sambil berpelukan dalam keadaan sama - sama telanjang.
Aku terbangunkan oleh dering handphoneku, yang ternyata call dari Donna. Lalu :
“Hallo Donna… ada apa?”
“Lagi di mana Don?”
“Lagi ngurus transaksi tanah dan rumah Pak Wondo itu.”
“Ohya?! Rumahnya dibeli juga?”
“Iya. Pak Wondo mau pindah ke kampung halamannya sendiri. Dalam seminggu pun rumahnya bisa kita tempati.”
“Wooow… rumahnya bagus tuh.”
“Iya, tapi harus diberesin dan dicat dulu, supaya kelihatan seperti rumah baru.”
“Aku sudah resign dari toko itu Don. Pemborong yang kamu inginkan juga bakal datang besok pagi, sekalian dengan arsiteknya.”
“Bagus itu. Jadi nanti selama tanah kosong itu sedang dibangun, kamu harus jadi pengawasnya.”
“Siap Boss. Eeeeh… ada tamu Don. Udah dulu ya.”
“Iya.”
Setelah hubungan seluler ditutup, aku turun dari bed. Untuk mandi dan keramas sebersih mungkin. Bunda malah sudah duluan mandi dan mengenakan gaunnya kembali.
Ketika kami pulang, tampak seorang wanita setengah baya sedang duduk di ruang depan, ditemani oleh Donna yang sudah datang duluan.
“Siapa itu Bun? Teh Nenden?” tanyaku kepada Bunda yang melangkah di depanku.
“Iiih… bukan…! Itu sih adik bunda, namanya Ratih. Ayo salaman sama tantemu itu Don.”
Aku mengangguk, lalu mencium tangan wanita yang kata Bunda bernama Ratih itu.
“Jadi Donny sudah sebesar dan setampan ini Teh?” tanya wanita setengah baya itu sambil menoleh kepada Bunda. Sementara kedua tanganku masih dipegang oleh wanita bernama ratih dan kata Bunda adalah adiknya itu.
“Iya… baru tiga hari dia ada di sini,” sahut Bunda
Lalu wanita cantik itu menatapku dengan tatapan bersorot terharu. Dan ia memelukku. Menciumi pipi kanan dan pipi kiriku. Donny… Donny… Kamu sangat mirip ayahmu Don,” ucapnya dengan mata berlinang - linang air mata, “aku jadi ingat pada waktu dibawa ke Bangkok, kamu masih bayi, masih menyusu kepada bundamu.
“Duapuluh tahun, Tante. Sudah dewasa kan?”
“Iya. Aku bersukur masih punya umur buat lihat kamu lagi, Don.”
“Iya Tante. Aku juga senang bisa bertemu dengan keluarga dekat begini.”
Setelah sama - sama duduk bersama Tante Ratih, Bunda dan Donna, aku bertanya kepada Bunda, “Bun… sebenarnya saudara kandung Bunda itu berapa orang?”
Banyak Don,” sahut Bunda, “kakak bunda ada dua, laki - laki semua. Namanya Jaka dan Sambas. Tapi mereka jauh - jauh. Kang Jaka di Kalimantan, Kang Sambas di Papua. Kemudian adik bunda perempuan semua. Ratih ini, lalu Dina… Santi dan Reni yang di Bangkok itu.”
“Owh banyak juga saudara kandung Bunda ya?”
“Saudara kandung ayahmu juga banyak, tapi tidak sebanyak saudara kandung Bunda,” kata Bunda, “Ayahmu itu anak sulung. Punya adik laki - laki seorang, Zulkifli namanya. Kemudian adik perempuannya tiga orang, namanya Neni, Tita dan Yani.”
“Jadi Bunda punya enam orang saudara dan Ayah… mmm… punya empat saudara ya.”
“Iya, bunda tujuh bersaudara, kalau ayah lima bersaudara.”
“Saudara Bunda jauh - jauh rumahnya?” tanyaku.
“Hanya yang laki - laki pada jauh di seberang lautan. Yang perempuan sih dekat -dekat.
Di luar kota juga hanya belasan kilometer dari sini. Nanti akan Bunda kumpulkan adik - adik bunda di sini, setelah rumah Pak Wondo itu kita tempati. Tapi kalau kakak - kakak bunda sih sulit diajak ngumpul, karena rumah mereka di seberang lautan semua.”
Aku cuma mengangguk - angguk kecil.
Kemudian kami terpecah menjadi dua bagian. Bunda ngobrol dengan Tante Ratih di ruang tamu, sementara aku ngobrol dengan Donna di ruang makan.
“Nanti anter aku ke toko buku ya,” kataku.
“Mau nyari buku apa?”
“Mau nyari majalah tentang design bangunan rumah. Untuk semacam referensi aja. Untuk renovasi rumah Pak Wondo dan bangunan di tanah kosong itu.”
“Kalau majalah yang begituan sih mendingan beli di pasar loak. Banyak penjual buku dan majalah bekas di sana.”
“Boleh. Ke pasar loak iya, ke toko buku juga iya.”
“Memangnya tanah kosong itu mau dibuat apa?”
“Belum punya rencana yang pasti. Aku sih ingin membangun sesuatu yang bisa dijadikan tempat usaha Bunda dan kamu. Jadi nanti kamu dan Bunda harus sama - sama punya penghasilan tetap dari bangunan itu.”
“Tapi kalau buka usaha kan harus ada modalnya.”
“Iya. Nanti aku yang modalin. Asal serius aja kamunya.”
“Sip deh kalau gitu sih.”
Tiba - tiba Donna berbisik di dekat tleingaku, “Tadi kamu abis maen ya sama Bunda?”
“Kok kamu bisa punya sangkaan gitu?”
“Kelihatan Bunda pucat gitu… berarti abis orga.”
Akhirnya aku mengangguk, “Memang betul.”
Donna berbisik lagi, “Padahal aku lagi kepengen banget. Kepengen orgasme… tapi kontolmu pasti udah kecapean ya?”
“Nanti kujilatin aja sampai orga. Mau?”
“Mau banget. Makanya sekarang aja kita pergi nyari majalah itu yuk.”
“Mau maennya di mana? Sabar aja deh. Nanti malam kujilatin sampai orga.”
“Di hotel yang tempo hari lagi aja.”
Aku tercenung sesaat. Tadi aku baru pakai hotel untuk menggauli Bunda. Masa sekarang harus cek in ke hotel lagi?
Tapi demi saudara kembarku tercinta, biarlah kululuskan saja keinginan Donna itu.
Dan aku tertawa sendiri, karena dalam beberapa hari ini hidupku seolah hanya untuk sex, sex dan sex terus.
Tapi usiaku baru duapuluh tahun. Mumpung masih muda. Apa salahnya kalau aku beraksi dari atas perut yang satu ke atas perut lainnya tiap hari?
Pada waktu pamitan kepada Tante Ratih dan Bunda, Tante Ratih berkata, “Minta nomor hapemu Don. SIapa tau nanti ada perlu sama kamu.”
Lalu kuberikan dua nomor hapeku. Nomor seluler di Indonesia dan di Thailand.
“Yang diawali dengan plus enamenam, berarti nomorku yang di Bangkok, Tante,” kataku setelah tukaran nomor hape dengan Tante Ratih.
“Kapan pulang lagi ke Bangkok?” tanya Tante Ratih.
“Sekitar tiga mingguan lagi. Soalnya sebelum liburanku habis, aku harus sudah ada di Bangkok lagi.”
“Maen dong ke rumahku… mumpung Donny masih di sini,”
Seminggu kemudian …
Pak Wondo menepati janjinya. Tepat seminggu kemudian rumahnya sudah dikosongkan. Ia pun pamitan padaku dan pada Bunda, karena hari itu ia akan berangkat ke Madiun, sebagai pilihan untuk dijadikan tempat tinggalnya.
Langkah yang ditempuh oleh Pak Wondo itu seolah menjadi inspirasi bagiku. Bahwa kemungkinan besar aku pun harus mengikuti langkahnya. Bahwa rumah - rumah dan perusahaan di Bangkok harus dijual semua. Hanya rumah dan perusahaan yang di Singapore akan kupertahankan, karena setelah kuanalisa sepintas lalu, prospek bisnis yang di Singapore sangat bagus.
Pemborong yang sudah siap untuk memborong bangunan di lahan kosong dan pembenahan dan pengecatan ulang rumah yang kubeli dari Pak Wondo itu pun segera bekerja. Mendahulukan pembenahan dan memperbaiki kerusakan - kerusakan rumah dari Pak Wondo itu. Kemudian mengecat ulang, sampai tampak seperti rumah baru.
Pada saat sedang sibuk itulah aku menerima sms dari Teh Siska (pada waktu itu WA belum populer di negaraku ini). Isi sms dari Teh Siska itu begini :
- Donny ke rumah sekarang ya. Penting banget. Sendirian aja, jangan sama Donna-.
Kubalas dengan sms lagi, singkat saja, -Oke Tetehku Sayang-.
Aku lalu pamitan kepada Bunda, dengan alasan yang sama seperti tempo hari: Mau menemui temanku yang dari Thailand…!
Lalu kucegat taksi yang lewat di depan rumah Bunda.
Aku sudah menghafal jalan menuju rumah Teh Siska itu, sehingga tak mungkin salah arah.
Setibanya di depan rumah Teh Siska, kulihat ada sedan putih diparkir di pekarangan rumah itu. Mobil siapa ya?
Pintu depan pun dibuka oleh Teh Siska yang hanya mengenakan kimono hitam saat itu. Sangat kontras warnanya dengan kulit Teh Siska yang putih bersih.
Yang membuatku tertegun adalah hadirnya seorang wanita yang tampak masih sangat muda, lebih muda daripada Teh Siska, dengan tinggi badan yang lebih tinggi daripada tinggi badanku (tinggi badanku 175cm).
Teh Siska memegang pinggang wanita cantik bertubuh tinggi sekali itu sambil berkata, “Nah… ini kakakmu juga Don… belum pernah kenalan ya?”.
Aku menatap wanita muda itu sambil bertanya, “Ini Teh Nenden?”
“Iya… aku Nenden Don,” sahut wanita itu sambil merangkul leherku dan menciumi pipi kanan - kiriku, “Kita ini saudara kandung tapi baru sekarang kenalan ya?”
“Iya,” sahutku, “Teh Nenden tinggi sekali… memang tingginya berapa Teh?”
“Seratusdelapanpuluh sentimeter,” sahut Teh Nenden sambil tersenyum.
“Wow, cocok buat jadi pemain basket,” sahutku.
Teh Siska nimbrung, “Waktu masih di SMA, Nenden memang pemain basket Don.”
Lalu pikiran ngeresku timbul: Kalau dapet perempuan tinggi begini, pasti “medan”nya ljuas banget. Kalau orang pendek sih sejengkal dari pusar perut, langsung menyentuh memek. Kalau yang tinggi begini, bisa dua jengkal baru ketemu memek. Hahahahaaaaa…!
Setelah Teh Siska duduk berdampingan dengan Teh Nenden di satu sofa, sementara aku duduk di sofa yang berhadapan dengan mereka, Teh Siska berkata, “Makanya aku minta Donny segera datang, karena adik tersayangku ini mau minta tolong padamu Don.”
“Minta tolong apa Teh?” tanyaku sambil menatap wajah cantik Teh Nenden.
Teh Siska yang menjawab, “Minta tolong dihamilin sama Donny.”
“Ohya?! “aku tersenyum sambil menatap; wajah Teh Nenden lagi.
Teh Nenden tersipu malu. Tapi dia mengangguk perlahan sambil berkata, “Teh Siska memang benar Don. Bisa kan Don? Kebetulan aku sekarang sedang masa subur.”
Aku berpikir sejenak. Lalu berkata, “Boleh. Tapki Teh Siska jangan nonton dulu. Biar aku dan Teh Nenden melakukannya dengan tenang dan nyaman.”
“Oke… kalian boleh melakukannya dengan tenang dan nyaman. Ayo masuk aja ke kamarku… udah diberesin dan dibersihin kok kamarnya. Sudah disemprot pewangi ruangan juga. Biar kalian romantis melakukannya. Semoga Donny benar - benar bisa membuat Nenden hamil ya.”
“Sip dah !” sahutku sambil mengacungkan jempolku, lalu berdiri dan mengikuti langkah Teh Nenden ke dalam kamar Teh Siska.
“Kunciin aja pintu kamarnya… !” seru Teh Siska.
“Iyaaa…” sahut Teh Nenden yang lalu benar - benar menguncikan pintu kamar Teh Siska setelah aku dan Teh Nenden berada di dalam kamar yang terawat rapi dan bersih itu.
Begitu berada di dalam kamar, kudekap pinggang Teh Nenden yang lebih tinggi 5 centimeter dariku itu. “Kalau ketemu di jalan, pasti kita gak saling kenal ya Teh.”
“Iya,” sahut Teh Nenden yang pada saat itu mengenakan gaun panjang berwarna biru langit yang hampir menyentuh lantai saking panjangnya. Kepalanya pun ditutup oleh selendang putih. “Kalau ketemu di jalan sebelum dikenalkan gini, pasti aku cuma menelan ludah, karena bertemu dengan cowok yang tampan gini.
“Waktu aku baru lahir, Teh Nenden juga masih kecil sekali kan?”
“Waktu kamu lahir, aku baru berumur tiga tahun. Mana ingat kejadian waktu usia segitu?”
“Untungnya Teh Nenden cantik. Tinggi badannya international size pula,” kataku sambil mempererat dekapanku dari belakang kakak langsungku itu.
“Kata Teh Siska senjatamu juga international size.”
“Teh Siska ngomong gitu?”
“Iya. Makanya aku juga jadi penasaran… sekalian pengen hamil,” sahut Teh Nenden sambil melepaskan kerudung putih tipisnya. Lalu memutar badannya, jadi berhadapan denganku. Sambil agak membungkuk Teh Nenden merapatkan hidungnya ke hidungku. Tersiar hawa harum dari mulutnya, yang lalu merapatkan bibirnya ke bibirku.
“Selama ini aku merasa sebagai orang paling tinggi di antara orang - orang yang kukenal. Tapi setelah bersama dengan Teteh, aku merasa pendek.”
“Suamiku lebih pendek lagi. Tinggi badannya cuma seratusenampuluh. Kamu sih lumayan tinggi Don,” sahut Teh Nenden sambil duduk di pinggiran bed, sambil melepaskan kancing gaun yang berderet di bagian depannya satu persatu. Kemudian ia melepaskan gaun itu, sehingga tubuh putih mulusnya mulai kelihatan.
Teh Nenden melebihi saudara - saudaraku yang lain. Kulitnya lebih putih daripada Donna dan Teh Siska. Tinggi badannya pun lebih tinggi daripada Donna dan Teh Siska. Bahkan wajahnya pun sedikit lebih cantik daripada Donna dan Teh Siska.
“Buka dong pakaianmu. Masa mau buang - buang waktu? Kita kan berada di kamar Teh Siska,” kata Teh Nenden yang tinggal mengenakan bra dan celana dalam.
Tanpa membantah, kutanggalkan baju kaus dan celana denim serba hitam ini. Sementara Teh Nenden sudah melepaskan behanya, sehingga sepasang payudaranya yang tampak masih fresh itu, seolah menantangku untuk meremasnya.
Dalam keadaan sama - sama tinggal mengenakan celana dalam, aku pun melompat ke atas bed dan menghimpit sepasang toket fresh-nya dengan dadaku.
Sebenarnya aku sedang “mengukur” badan Teh Nenden dengan badanku sendiri, apakah pada saat menyetubuhinya nanti takkan ada kesenjangan ukuran badan?
Tapi ternyata hanya kaki Teh Nenden yang lebih panjang dari kakiku. Dalam keadaan berhimpitan begini, ukuran Teh Nenden sama saja dengan perempuan - perempuan lain. Dari pinggul ke atas tidak ada perbedaan dengan badanku.
Karena itu aku mulai merasa nyaman. Dan mulai menggeluti bibir sensualnya dengan bibirku.
Kemudian Teh Nenden duduk sambil memegangi celana dalamku sambil berkata, “Penasaran ingin lihat bentuk kontolmu yang kata Teh Siska international size itu.”
Kubiarkan saja Teh Nenden menarik memelorotkan celana dalamku sampai terlepas dari kakiku. Dan ia terbelalak sambil memegang batang kemaluanku yang memang sudah ngaceng berat ini (maklum Bunda sudah tiga hari menstruasi, sementara Donna sedang kurang sehat).
“O my God !” seru Teh Nenden sambil mengepit batang kemaluanku dengan kedua telapak tangannya yang terasa halus dan hangat, “Ini kontol manusia apa kontol kuda sih?! Hihihihi… kebayang kalau sudah dimasukin ke dalam memekku… !”
“Buka juga dong celana dalam Teteh, biar aku tau seperti apa memek Teteh itu,” ucapku sambil menunjuk ke arah celana dalam Teh Nenden.
Teh Nenden menciumi “topi baja” penisku, lalu menanggalkan celana dalamnya sambil tersenyum - senyum sendiri.
Begitu celana dalamnya terlepas, Teh Nenden langsung menelentang sambil mengusap - usap memeknya yang sangat bersih dari jembut, bahkan tampak mengkilap saking licinnya.
Spontan aku menelungkup dengan wajah berada tepat di atas kemaluan kakak kandungku. “Wah… memek tembem dan bersih begini sih pasti enak ngejilatinnya Teh.”
“Memang harus dijilatin dulu sebelum dimasukin kontol segede gitu sih. Kalau gak dijilatin dulu pasti sakit waktu penetrasinya,” sahut Teh Nenden sambil merentangkan kedua belah paha putih mulusnya.
“Ini diapain memeknya sampai licin begini Teh? Diwaxing?” tanyaku sambil mengusap - usap memek Teh Nenden.
“Pakai obat perontok rambut. Diwaxing sih kapok. Pedih sekali. Lagian diwaxing sih bisa tumbuh lagi jembutnya, hanya lebih lama tumbuhnya lagi, karena dicabut dengan akar - akarnya.”
Begitu tembemnya memek Teh Nenden ini, sehingga bibir luarnya tersembunyi oleh ketembemannya. Karena itu kungangakan memek kakak langsungku itu, karena ingin tahu seperti apa “dalemannya”.
Setelah memek Teh Nenden kungangakan dengan kedua tanganku… hmmm… bagian dalamnya benar - benar berwarna pink, karena kulit Teh Nenden memang putih sekali, kayak cewek bule.
“Ayo jilatin Don. Jangan dipelototin doang… !” ucap Teh Nenden sambil membelai rambutku yang sudah berada di bawah perutnya.
Sebenarnya aku sedang menilai - nilai betapa sempurnanya Teh Nenden ini (sempurna untuk ukuran manusia biasa). Tubuh yang tinggi semampai, kulit yang putih bersih, wajah yang cantik dan memek yang tembem bersih ini… aaaah… seandainya kelak aku punya istri sesempurna Teh Nenden ini…!
Namun terawanganku dikejutkan oleh “perintah” kakak kandungku itu. Maka dengan sangat bergairah kujilati bagian dalam memeknya yang berwarna pink itu. Begitu lahap aku menjilatinya, sehingga aku tak mau menyisakan semua bagian yang terjangkau oleh lidahku. Demikian pula kelentitnya, mulai kujilati secara massive.
Bahkan aku menggunakan ujung jari tangan kiriku untuk mengelus - elus kelentit Teh Nenden, sementara jari tangan kanan kuselundupkan ke dalam liang memek Teh Nenden yang terasa kecil sekali ini.
Sampai pada suatu saat Teh Nenden berkata terengah, “Cukup Don… uidah basah sekali nih… masukin aja kontolmu.”
“Instruksi” seperti itulah yang kutunggu. Karena air liurku memang sudah membasahi liang memek Teh Nenden, bercampur dengan lendir libidonya sendiri. Maka setelah mendengar perintah itu, aku langsung merayap ke atas perut Teh Nenden sambil meletakkan moncong penisku di mulut vagina kakak kandungku.
Sepasang paha Teh Nenden pun direntangkan lebar - lebar, seolah mengucapkan selamat datang pada alat kejantananku untuk memasuki gerbang surgawinya.
Dan… aku pun mendorong batang kemaluanku sekuat tenaga. Berhasil…! Melesak sedikit demi sedikit sampai lebih dari separohnya.
“Oooooohhh… terasa sekali gedenya punyamu Dooon… “rintih Teh Nenden dengan mata menatapku sambil meringis.
“Soalnya lubang memek Teteh sempit sekali… sampai kayak memek perawan gini saking sempitnya…” sahutku sambil mulai mengayun batang kemaluanku perlahan - lahan dulu. Setelah terasa agak lancar, barulah kugenjot penisku dalam kecepatan normal.
Teh Nenden pun merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Lalu menciumi sepasang pipiku, berlanjut mencium bibirku dengan hangatnya. Penisku pun mulai lancar mengentot liang memeknya yang sempit menjepit tapi sudah licin dan hangat ini.
Mulutku pun menemani aksi penisku, dengan mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya. Hal ini kulakukan dengan lembut. Tapi Teh Nenden tampak menikmatinya.
Rintihan - rintihan erotisnya mulai terdengar. Rintihan yang dilontarkan perlahan, mungkin karena takut terdengar oleh Teh Siska di luar kamar sana. “Donny… edaaaan… kontolmu enak banget Dooon… entotanmu serasa mengalir dari ujung kaki sampai ke kepalaku Dooon… iyaaaaa Doooon… entot terus Dooon…
Rintihan itu seolah bisak, karena perlahan sekali. Namun pinggul Teh Nenden mulai bergoyang - goyang erotis sekali. Meliuk - liuk dan menghempas - hempas seolah membentuk angka 8. Sehinggga penisku serasa dibesot - besot dan diremas - remas oleh liang memek sempit menjepitnya. Ini membuatku edan eling.
Maka aku pun melawannya. Dengan mempergencar entotanku. Membuat batang kemaluanku makin cepat bermaju - mundur di dalam jepitan liang sempit yang licin dan hangat itu.
Rintihan - rintihan erotis Teh Nenden pun semakin menjadi - jadi. Tapi suaranya tetap perlahan - lahan, setengah berbisik. “Doon… enak sekali Dooon… oooooh… aku bakal ketagihan dientot ssama kamu Doooon… ayo entot terus Dooon… entot terusssssss… entotttt… entooootttttttt…
Entooooottttttt… entoooottttttttt… entooooottttt… entot terussss… Doooon… kontolmu enak Dooon… kontooool… kontooool enak… ooooh… Dooonnnnn. jangan brenti - brenti Dooon… entooot teruuuuusssssssss… entooooot… entotttttttt… iyaaaaaaa… iyaaaa… enaaaak Dooooon…
Cukup lama semua ini terjadi. Mulutku pun pindah sasaran. Menjilati leher Teh Nenden yang sudah keringatan, disertai dengan gigitan - gigitan kecil… membuat Teh Nenden terpejam - pejam sambil memegang sepasang bahuku disertai dengan remasan - remasan lembut. Bahkan sepasang ketiaknya pun tak lepas dari jilatan dan gigitan -gigitan kecilku.
Kelihatannya Teh Nenden sangat enjoy dengan aksiku yang “lengkap” kini.
Sehingga pada suatu saat Teh Nenden berbisik terengah di dekat telingaku, “Don… aku sudah mau lepas. Bisa dibarengin nggak?”
Mengingat Teh Nenden membutuhkan spermaku, spontan permintaannya itu kuiyakan.
Lalu kuintensifkan entotanku, sementara Teh Nenden mulai menggeliat - geliat erotis. Bahkan lalu mengelojot - ngelojot seperti sedang sekarat. Aku pun semakin cepat mengentotnya, dengan harapan ingin secepatnya ejakulasi.
Dan akhirnya aku berhasil mencapai tujuan utama itu. Ketika Teh Nenden mengejang tegang, aku pun sedang menancapkan batang kemaluanku sedalam mungkin, tanpa menggerakkannya lagi.
Lalu sekujur liang kemaluan Teh Nenden bergerak - gerak erotis, seperti spiral yang tengah membelit batang kemaluanku, disusul dengan kedutan - kedutan kencang yang terasa nikmat sekali. Pada saat itu pula moncong penisku memuntah - muntahkan sperma yang sedang dibutuhkan oleh Teh Nenden.
Crrroottttt… crooooooootttt… crooooooottttt… crotcrot… crooootttt…!
Aku berkelojot di atas perut kakakku. Lalu terkulai lemas, seperti kakakku yang juga terkapar lemas di bawah himpitanku.
“Terima kasih Don… mudah - mudahan benihmu bisa membuahi telurku ya,” ucap Teh Nenden lirih.
“Erima kasih juga telah diberi kesempatan menikmati memek Teteh yang luar biasa enaknya,” sahutku disusul dengan kecupan mesra di bibir sensualnya.
Keringat pun semakin membanjir di tubuh kami …
Setelah batang kemaluanku dicabut dari liang memek Teh Nenden: “Nanti kasih alamatmu di Bangkok ya Don. Siapa tau pesiar ke sana, sekaligus ketemuan denganmu.”
“Iya Teh,” sahutku sambil turun dari bed. Lalu melangkah ke pintu dan membuka kuncinya. sekaligus membuka pintunya.
“Kok cepet banget? Udahan?” tanya Teh Siska di ambang pintu kamarnya.
“Udah. Kan harus mengimbangi orgasmenya Teh Nenden,” sahutku setengah berbisik. Sementara Teh Nenden masih terkapar di atas bed, dalam keadaan masih telanjang bulat.
Teh Siska berbisik di dekat telingaku, “Sttt… masih kuat ngentot aku?”
Aku tidak menjawab.
“Aaaah… anak muda yang baru duapuluh tahunan sih pasti bisa. Iya nggak?”
Aku mengangguk sambil meraih pergelangan tangan Teh Siska ke dalam kamarnya.
Tentu saja aku masih mampu menyetubuhi Teh Siska. Karena kebetulan sudah tiga hari aku tidak menyetubuhi siapa - siapa. Karena Bunda sedang mens, Donna pun sedang demam flu.
Ketika Teh Siska naik ke atas bednya, Teh Nenden masih tengkurap dalam keadaan telanjang bulat. Mungkin Teh Nenden dalam keadaan tepar sehabis orgasme tadi. Sehingga dia tidak melihat bahwa Teh Siska yang montok itu sudah menelanjangi diri kemudian memegang batang kemaluanku tanpa banyak bicara lagi.
Tampaknya Teh Siska sudah benar - benar kangen padaku, karena sejak langkah pertamaku bersamanya tempo hari, baru sekarang aku mengunjungi rumahnya lagi. Kekangenannya itu dicurahkan dengan mengoral penisku yang masih lemas ini. memang tidak perlu lama - lama mengoral penisku yang masih full strong ini.
Hanya beberapa menit Teh Siska mainkan mulutnya, penisku pun mulai ngaceng lagi. “Hmm… kamu memang masih sangat muda. Makanya diemut sebentar juga udah ngaceng lagi,” kata Teh Siska sambil menciumi puncak penisku. Lalu menelentang di samping Teh Nenden yang masih telungkup dan tampaknya ketiduran itu.
Aku merayap ke antara kedua belah paha Teh Siska yang sudah direntangkan lebar - lebar. Lalu kuselundupkan jari tengahku ke dalam liang memeknya. ternyata sudah basah sekali. Mungkin sejak aku menyetubuhi Teh Nenden, diam - diam Teh Siska sudah bermasturbasi di luar kamarnya ini.
Maka tanpa basa - basi lagi kubenamkan penisku ke dalam liang memek Teh Siska, yang disambut dengan pelukan Teh Siska di leherku. “Permainan yang kedua biasanya lebih lama daripada permainan pertama kan?” bisik Teh Siska di dekat telingaku.
“Biasanya begitu,” sahutku.
Lalu Teh Siska berbisik lagi di dekat telingaku, “Nenden sangat membutuhkan spermamu. Jadi nanti kamu boleh ngecrot di memeknya. Yang penting puasi aku dulu seperti yang tempo hari.”
“Iya Teh,” sahutku sambil mulai mengayun penisku yang sudah sepenuhnya berada di dalam “genggaman” liang memek Teh Siska.
Tanpa peduli lagi dengan Teh Nenden yang tampaknya ketiduran itu, Teh Siska mulai merintih - rintih, “Aaaa… aaaaaa… aaaaaah… kontolmu memang luar biasa enaknya Dooon… membuatku jadi ketagihan… aaaa… aaaaaaa… aaaaahhhhh… aaaa… aaaaahhh… entot teruusss Dooon… entottttt…
Begitu bisingnya rintihan Teh Siska, sehingga Teh Nenden terbangun. Lalu duduk bersila di dekat Teh Siska, sambil memperhatikan apa yang sedang terjadi di antara aku dengan kakaknya.
Sesaat kemudian, ketika aku sedang gencar - gencarnya mengentot Teh Siska, Teh Nenden pun merebahkan diri lagi. Celentang di samping Teh Siska, sambil memegang dan meremas tanganku yang tak jauh dari tangannya.
Mungkin Teh Nenden sudah horny lagi melihat kakaknya sedang menikmati entotanku. Maka sambil mengentot Teh Siska, kusempatkan menjulurkan tanganku ke… memek Teh Nenden…!
Tidak terlalu sulit mencapai kemaluan kakak kandungku yang tinggi badannya luar biasa untuk ukuran wanita itu. Dan tampaknya Teh Nenden sangat enjoy ketika jemariku mulai menyelusup ke dalam liang memeknya, tanpa menghentikan entotanku di liang memek Teh Siska.
“Cupangin lagi leherku Dooon…” bisik Teh Siska pada suatu saat.
Kuikuti saja permintaan Teh Siska itu. Lagian apa susahnya nyupangin leher? Cuma harus menyedot - nyedotnya sekuat mungkin, sampai meninggalkan bekas merah menghitam seperti bekas kerokan.
Sambil nyhupangin leher Teh Siska, aku tetap mengentotnya dengan gencar. Sementara tangan kananku tetap menggerayangi memek Teh Nenden. Hmmm… rasanya aku seoleh sedang berada di surga dunia. Surga yang mengucurkan 1001 kenikmatan.
Teh Siska sudah menyadari kalau tangan kananku sedang menyodok - nyodok liang memek Teh Nenden. Lalu Teh Siska menarik tangan kiriku dan menempelkan di permukaan toket kanannya.
Aku pun mengerti apa yang harus kulakukan. Bahwa aku harus meremas toket kanan Teh Siska sekuat mungkin, karena memang begitu selera seksnya.
Mungkin Teh Siska sudah sangat horny sebelum kusetubuhi ini, sehingga baru belasan menit aku mengentotnya, tiba - tiba dia berkelojotan. Lalu mengejang sambil menahan nafasnya. Dan akhirnya Teh Siska menghempaskan bokongnya sambil merintih lirih, “Aaaaaah… aku sudah lepas Don…”
Entah kenapa, aku justru senang mengetahui Teh Siska sudah orgasme. karena aku kasihan kepada Teh Nenden yang tampak sudah horny lagi itu. Maka kutarik penisku dari liang memek Teh Siska, lalu secepatnya pindah ke atas perut Teh Nenden.
Dengan mudahnya aku membenamkan batang kemaluanku ke dalam liang vagina Teh Nenden, karena ia sudah orgasme tadi. Sehingga liang memeknya jadi terasa mengembang.
Dan aku bisa langsung beraksi. Mengayun batang kemaluanku yang sudah berada di dalam liang memek Teh Nenden.
Teh Nenden pun mulai merintih - rintih erotis lagi. “Don… Teh Siska benar… kontolmu ini kok luar biasa enaknya gini ya? Ayo Don… setubuhi aku sepuasmu. Mumpung kamu belum pulang ke Bangkok… iyaaaaaaa… iyaaaaaa… entot aku terus Don… entooot teruuuuusss… entooooooottttttt…
Tiba - tiba terdengar suara Teh Siska yang sedang telungkup sambil bertopang dagu di dekat bahu Teh Nenden. “Bener kan? Kontol Donny memang luar biasa enaknya kan?”
“Iiii… iya Teh… enak sekaliiii… oooooooh… belum pernah aku merasakan disetubuhi yang seenak iniiii…” sahut Teh Nenden yang sudah mulai menggoyang - goyangkan pinggulnya. Memutar - mutar… meliuk - liuk… menghempas - hempas… Semua itu ia lakukan dengan lincah sekali. Sehingga terasa benar betapa batang kemaluanku serasa dibesot - besot dan diremas - remas oleh liang memek Teh Nenden.
Tapi aku tak maju mengalah. Aku bahkan semakin gencar mengentotnya. Sambil mengemut pentil toketnya yang masih fresh itu. Terkadang menjilati lehernya. Telinganya dan bahkan ketiaknya pun tak luput dari jilatan dan gigitan - gigitan kecilku.
Cukup lama aku melakukan semuanya ini. Sehingga keringatku mulai bercucuran, bercampur aduk dengan keringat Teh Nenden yang terus - terusan merintih - rintih histeris dan erotis kedengarannya.
“Donny… aaaaaa… aaaaaaah… kontolmu enak sekali Doooon… entot terusssss… entoooot teruuuusssss… entooooot… entoooooootttt… iyaaaaaa… iyaaaaaaaa… iyaaaaaaa… entooootttttttt… entoooootttt… aaaaa… aaaaah… gak nyangka kontol adikku segede dan seenak iniiii…
Tapi beberapa saat kemudian Teh Nenden sudah klepek - klepek lagi sambil membisiki telingaku, “Aku udah mau lepas lagi Don. Barengin lagi ya. Biar jadi anak.”
Sebenarnya aku masih kuat bertahan. Tapi untuk apa diperlambat kalau memang Teh Nenden membutuhkan secepatnya?
Maka kupercepat entotanku, sambil menciumi bibir Teh Nenden. Makin lama makin cepat dan akhirnya… ketika Teh Nenden mengejang tegang lagi… aku pun menancapkan batang kemaluanku, tanpa kugerakkan lagi.
“Aaaaaaaah… “Teh Nenden melepaskan nafasnya yang barusan tertahan selama 2-3 detik. Bersamaan dengan kedat - kedut liang memeknya secara spontan. Disusul oleh tembakan - tembakan sperma dari moncong penisku. Crooootttt… crotttttt… crot… croooottttt… crot… crooootttt …
“Terima kasih ya Don. Mudah - mudahan spermamu berhasil membuahi telurku,” kata Teh Nenden sambil mengecup bibirku.
Beberapa saat kemudian aku sudah meninggalkan rumah Teh Nenden. Meninggalkan kedua kakak kandungku itu.
Sebenarnya mereka menahanku, agar aku jangan pulang dulu. Tapi aku menolak keinginan mereka, karena di rumah Bunda sedang sibuk bongkar - bongkar. Tak enak rasanya meninggalkan Bunda dan Donna yang sedang sibuk begitu.
Rumah yang kubeli dari Pak Wondo itu sudah selesai dipugar. Hanya membutuhkan lima hari untuk memugarnya, karena pemborong yang dipanggil Pak Husen itu membawa anak buahnya cukup banyak.
Rumah itu terdiri dari 3 kamar yang masing - masing ada kamar mandinya. Sudah menggunakan shower dan water heater pula. Takkan mandi pakai gayung plastik lagi. Shower dan water heater itu aku yang membelikannya. Furniture dan perabotan lainnya sudah lengkap semua. Aku juga yang membelikan semuanya itu, dari toko furniturew dan toko alat - alat electric yang kata Donna paling elit di kota ini.
Jadi, Bunda tak usah mencuci pakai tangan lagi, karena sudah disediakan mesin cuci olehku. Setiap kamar pun kupasangi AC, supaya sejuk dan selalu bersih udaranya. Dapurnya pun sudah ditata sedemikian rupa, sehingga mirip kitchen di rumah orang - orang berada. Kitchen itu kusatukan dengan ruang makan, supaya mudah menyajikan makanan yang baru dimasak.
Di ruang tamu, ruang keluarga dan di setiap kamar sudah dipasangi sofa putih semua, masing - masing 1 set. Di setiap kamar dipasangi TV LED kecil.. Sementara di ruang keluarga dipasangi TV LED layar lebar.
Banyak lagi yang telah kusediakan di rumah ini. Pokoknya sekarang rumah ini jauh lebih keren daripada rumah Teh Siska.
Di belakang rumah ini ada tanah kosong, hanya ditumbuhi rumput gajah. Kelak, kalau Bunda dan Donna kerasan tinggal di rumah ini, akan kubuat kolam renang di halaman belakang itu. Tapi itu nanti saja, kalau pembangunan di tanah kosong seluas 5000 meter persegi itu selesai.
Atas usul Bunda dan Donna, bangunan yang baru akan dimulai membangunnya itu, akan digunakan untuk membuka usaha kuliner. Kelak namanya entah café, resto atau apa pun terserah mereka. Yang jelas bangunan itu harus disesuaikan dengan tujuan penggunaannya kelak.
Yang sangat menyenangkan hatiku, adalah bahwa Bunda benar - benar menghentikan kebiasaan minum minuman kerasnya. Semoga hal itu membuatnya lebih sehat dan segar kelak.
Aku mau berbuat apa saja asalkan Bunda tidak minum minuman beralkohol lagi.
Rumah lama Bunda sebenarnya hanya terhalang oleh tanah kosong yang luasnya 5000 meter persegi itu. Seandainya tidak ada tanah kosong yang sudah mulai diratakan dan dipadatkan itu, maka rumah Bunda akan berdampingan dengan rumah yang sudah kubeli dari Pak Wondo itu.
Tanah itu sangat bagus bentuknya. Ukurannya 60 X 83.50 meter. Kebetulan yang 83,50 meter itu mukanya (yang menghadap ke jalan). Jadi bisa menyediakan lahan parkir yang lumayan nantinya.
Sepulangnya dari rumah Teh Siska, aku menuju tanah kosong yang sudah diratakan dan dibuat lubang - lubang untuk tiang - tiang beton nantinya. Sebenarnya Pak Husen menawarkan untuk membangun dengan konstruksi baja. Tapi aku menolaknya. Karena bangunan dengan konstruksi baja, menghilangkan unsur keindahannya.
“Selamat sore Boss,” ucap Pak Husen sambil menghampiriku yang baru muncul di tanah yang akan dibangun itu.
“Sore,” sahutku sambil mengangguk dan tersenyum, “Kebetulan Pak Husen datang nih. Anu Pak… bagaimana kalau bangunan kolam renang di belakang rumah yang baru direnovasi itu dibangun mulai besok?”
“Bisa,” sahut Pak Husen.
“Tapi mengganggu pembangunan di sini gak?”
“Nggak Boss. Yang bikin kolam renang kan harus ahlinya. Jadi tidak ada sangkut pautnya dengan pembangunan di sini.”
“Pembangunan kolam renang harus oleh ahlinya?”
“Iya. Kolam renang kan harus ada bagian untuk menyaring airnya, agar jangan sampai keruh. Pemasukan dan pembuangan airnya juga harus lancar, supaya air di kolam renangnya tetap bening, meski pun tersinari matahari terus.”
“Oh iya… air yang disinari matahari bisa cepat tumbuh lumut ya.”
“Iya Boss.”
“Ya udah kalau gitu, besok mulai aja bangun kolam renangnya. Gambar designnya sudah saya kasih kan?”
“Sudah Boss.”
Tiba - tiba handphoneku berdering. Kuambil dari saku celaqna jeansku. Haaa?! Dari Mr. Liauw, notaris kepercayaan Papa itu? Ada apa ya?
“Selamat sore Oom Liauw.”
“Sore juga. Dengan Boss Donny sendiri ya?”
“Betul Oom. Ada yang bisa dibantu?”
“Begini Boss… kapan mau pulang ke Bangkok?”
“Masih lama Oom. Sekitar tiga mingguan lagi. Emangnya kenapa?”
“Apa nggak bisa pulang dulu barang sehari, lalu balik lagi ke Indonesia?”
“Ada yang sangat penting?”
“Betul. Ini menyangkut asset peninggalan Pak Margono almarhum.”
“Oke, kalau begitu besok saya terbang ke Bangkok.”
“Terima kasih Boss. Hati saya tenang kalau Boss mau pulang dulu besok sih.”
Setelah hubungan seluler dengan Mr. Liauw ditutup, aku tercenung sendiri. Ada apa ya? Kenapa aku harus buru - buru pulang dulu ke Bangkok?
Mr. Liauw memang notaris sekaligus orang kepercayaan Papa almarhum. Karena Mr. Liauw itu lahir dan besar di Indonesia. Selain daripada itu, Mr. Liauw itu sangat jujur, kata almarhum Papa. Karena itu banyak rahasia perusahaan dan pribadi Papa yang dipegang oleh Mr. Liauw.
Keesokan paginya aku sudah melayang di angkasa, di dalam pesawat yang akan membawaku ke Bangkok.
Sdetibanya di rumah megah peninggalan almarhum Papa ini, Tante Reni menyambutku dengan riang sekali. Tanpa ragu lagi dia masuk ke dalam kamarku dan langsung menghambur ke dalam pelukanku.
“Apa kabar Tante?” tanyaku setelah mencium bibir tante Reni berulang - ulang.
“Hanya kangen dan kangen yang ada di dalam hatiku Den… eeeh… Don.”
“Bagaimana perasaan Tante setelah mendapat penjelasan dari Bunda bahwa aku ini benar - benar keponakan Tante?”
“Ya bikin gede hatiku, Sayang.”
“Aku juga senang sekali setelah mengetahui bahwa Mbak Reni ini sebenarnya Tante Reni. Karena Tante Reni ini adik bungsu Bunda.”
“Iya. Rasanya derajatku jadi naik… tapi bagaimana dengan hubungan kita nanti ya?”
“Tetap harus berlanjut. Tapi harus dirahasiakan kepada keluarga kita.”
“Iya.”
“Tapi… sebentar lagi akan ada notaris datang. Bisa disiapkan minuman dan snack untuk menyuguhinya?”
“Bisa bossku… keponakanku… sayangku… cintaku…!” sahut Tante Reni sambil menciumi kedua belah pipiku.
Tidak lama kemudian Mr. Liauw datang sesuai janji lewat handphone setibanya aku di bandara tadi.
Mr. Liauw kuterima di ruang kerja yang dahulu biasa dipakai sebagai ruang kerja Papa almarhum.
Begitu duduk di ruang kerja Papa, Mr. Liauw berkata, “Maaf saya mengganggu Boss, sehingga harus buru - buru pulang dari Indonesia. Soalnya saya takut menyampaikan pesan lisan kepada saya pada waktu Pak Margono masih ada. Pesan itu sangat rahasia, katanya. Tapi saya sampai lupa menyampaikan pesan itu.
“Apa isi pesannya Oom?” tanyaku tak sabaran.
“Almarhum bilang, bahwa kalau beliau sudah tiada, ada surat - surat penting di safe deposit box, yang nomor kuncinya sudah dikasih tau kepada Boss. Betul kan almarhum sudah ngasih tau nomor kunci brankas itu?”
“Iya, “aku mengangguk.
“Terus… semua surat - surat penting dalam brankas itu diwariskan kepada Boss.”
“Iya… iya… terus apa lagi pesannya?”
“Nanti kalau ada kesulitan mengurus surat - surat penting ini, Boss disuruh menghubungi orang ini di Jakarta,” kata Mr. Liauw sambil menyerahkan secarik kartu nama.
Kubaca nama yang tertera berikut alamat orang di kartu nama itu. Mrs. Tania berikut alamat lengkap rumah dan kantornya di Jakarta.
“Mungkin orang ini termasuk kepercayaan Papa juga ya Oom?” kataku sambil memasukkan kartu nama itu ke dalam dompetku.
“Pasti. Almarhum Pak Margono tidak pernah menyerahkan hal - hal penting kepada orang yang belum menjadi kepercayaannya.”
Tak lama kemudian Tante Reni datang dan meletakkan snack berikut dua gelas lemon tea di atas meja di depan sofa yang sedang diduduki oleh Mr. Liauw, sementara aku duduk di depannya, dibatasi oleh meja kecil yang 100% terbuat dari kaca tebal itu.
“Silakan diminum Oom,” kataku sambil meraih gelas yang berada di dekatku.
“Terima kasih,” sahut Mr. Liauw sambil meraih gelas lemon tea yang berada di dekatnya.
“Oom… sebenarnya saya mau pindah ke Indonesia saja,” kataku ketika Mr. Liauw sedang menikmati lemon tea dan snack yang terhidang di depannya.
“Terus kuliah Boss bagaimana nanti?”
“Kuliah di Indonesia aja. Soalnya ada beberapa alasan kuat yang membuat saya harus tinggal di Indonesia. Oom bisa kan mencarikan orang yang mampu membeli semua asset saya di Bangkok dan di Chiang Mai?”
“Mau dijual semua? Tidak sayang kah?” Mr. Liauw menatapku dengan sorot seius.
“Sayang sih sayang. Tapi uang hasil penjualannya kan bakal saya pakai usaha di Indonesia nantinya.”
“Semuanya mau dijual?”
“Iya perusahaan peninggalan Papa dan rumah rumah di Bangkok akan saya jual semua, kecuali rumah yang ini dan yang di Khao Yai, akan saya pertahankan. Takkan dijual.”
“Kalau tekadnya memang sudah bulat, nanti akan saya carikan calon buyernya.”
“Silakan. Sukur - sukur kalau Oom sudah menemukan buyernya sebelum saya pulang ke Indonesia lagi.”
“Mau berapa lama di sini sekarang?”
“Paling juga sepuluh hari lagi saya akan kembali ke Indonesia, kemudian akan tinggal di sana selama berbulan - bulan. Karena ada yang sedang saya bangun di sana.”
“Asset - asset yang di Singapore bagaimana?”
“Yang di Singapore semuanya akan saya pertahankan. Karena prospek masa depannya sangat bagus.”
Sebelum Mr. Liauw pulang, aku masih sempat berjanji akan memberitahu apa isi surat - surat penting yang tersimpan di dalam brankas itu. Soalnya aku masih capek setelah menempuh penerbangan menuju Bangkok ini. Sedangkan aku tahu di mana letak brankas itu. Di dalam bunker yang letaknya tepat di bawah tempat tidur almarhum Papa.
Tapi setelah Mr. Liauw pulang, kupaksakan juga untuk memeriksa apa isi brankas itu. Settelah berada di dalam kamar Papa, aku langsung menuju bed yang ada roda kecil di bawahnya. Ini menguntungkan, karena aku tak usah menguras tenaga uintuk mendorong bed itu, sampai pintu bunkernya tidak terhalangi lagi dan bisa dibuka (setelah nomor rahasianya kupijit - pijit).
Kemudian pintu bunker yang terbuat dari besi itu kubuka. Aku pun turun ke dalam bunker itu. Puluhan koper bertumpuk di dalam bunker itu, sementara brankasnya nyempil di sudut.
Dahulu aku memang tahu bahwa brankas itu ada isinya. Tapi hanya beberapoa buah map yang tidak menarik hatiku. Sehingga aku tak pernah bertanya kepada Papa tentang isi map - map itu apa saja. Juga koper - koper itu tak pernah kutanya apa isinya. Aku hanya berpikir, mungkin isinya cuma pakaian yang sudah tidak terpakai lagi.
Tapi sebelum membuka brankas itu aku iseng membuka salah satu koper itu.
Astagaaaa…! Koper itu penuh dengan uang dollar Amerika pecahan 100 USD!
Tanganku sampai gemetaran pada waktu menyentuh uang di dalam koper itu.
Tapi koper itu kututup dan kusimpan di tempat semula. Dengan pikiran gembira bercampur bingung. Gila… uang sebanyak itu mau diapain? Entahlah. Aku belum bisa memikirkannya.
Lalu kubuka brankas itu setelah memutar nomor rahasianya yang masih tetap kuingat. Masih seperti dahulu. Isinya cuma beberapa buah map. Maka kukeluarkan semua map itu. Dan kulihat satu persatu. Ternyata isinya sertifikat - sertifikat rumah di Indonesia semua. 2 rumah di Jakarta, 3 rumah di Bandung, 2 rumah di Jogja, 1 rumah di Semarang dan 5 rumah berikut sebuah perusahaan yang masih berjalan di Surabaya, 1 villa di Puncak dan 1 villa di Batu Malang.
Yang mengharukan adalah surat dari Papa yang kutemukan dari brankas itu. Isinya.
Donny Anakku Sayang,
Waktu kamu membaca surat ini, mungkin papa sudah tiada, menyusul Mama di alam abadi.
_
Perlu kamu ketahui, bahwa baik papa mau pun Mama sudah tidak punya sanak saudara lagi. Sehingga papa putuskan untuk mewariskan semua harta benda papa kepadamu, anakku.
Di dalam surat wasiat yang papa titipkan ke notaris Liauw, sudah papa jelaskan bahwa sebenarnya kamu bukan anak kandung papa dan Mama Tapi kami menyayangimu lebih dari kepada anak kandung kami sendiri.
Karena itu papa tidak ingin melihatmu sengsara setelah papa tinggalkan. Karena itu, semua uang dollar yang ada di dalam 47 buah koper itu pun papa wariskan kepadamu. Semoga kamu bisa memanfaatkannya sebaik mungkin. Kalau bisa, kembangkanlah uang itu dengan cara yang terbaik bagimu kelak.
Papa ingin agar semua harta benda yang diwariskan padamu itu digunakan untuk kebaikan dan masa depanmu. Jadilah orang yang lebih sukses daripada papa, ya anakku.
_
Margono
Setelah membaca surat dari Papa almarhum, air mataku tak tertahankan lagi, mengucur dengan derasnya. Semuanya terbayang lagi di mataku. Termasuk skandalku dengan Mama, yang seakan membuatku jadi oposisi Papa.
Lalu aku bergumam di dalam bunker itu. “Pesan Papa akan kulaksanakan sebaik - baiknya. Semoga Papa dan Mama beristirahat dengan tenang di alam kekal sana.”
Setelah menutupkan brankas dan mengambil semua map berisi surat - surat penting itu, aku pun naik ke atas lagi. Kututup dan kukuncikan kembali pintu bunker. Kemudian kudorong bed yang dahulu biasa dipakai tidur oleh Papa almarhum. Kemudian meletakkan map - map itu di ruang kerja. Dan masuk ke dalam kamarku.
Tak lama kemudian pintu kamarku diketuk dari luar.
Kujawab, “Masuk aja, gak dikunci.”
Ternyata Tante Reni yang membuka pintu dan bedrdiri di ambangnya. “Makan siang sudah disiapkan di ruang makan, Sayang.”
“Iya Tante. Aku memang lapar nih,” sahutku sambil mengganti pakaianku dengan baju dan celana piyama.
Di ruang makan, sikap Tante Reni masih seperti dulu. Berdiri di belakang kursiku, untuk menyiapkan sesuatu yang kurang bagiku.
“Tante duduk aja, jangan seperti dulu lagi,” ucapku sambil menarik kursi yang di samping kursiku, “Sekalian temani aku makan ya.”
Sambil tersenyum Tante Reni duduk juga di kursi itu.
Tapi Tante Reni tetap menyeduk nasi untuk piringku, lalu meletakkan piring berisi nasi itu di depanku.
“Itu sayur lodeh ya?”
“Iya. Mau?”
“Mau,” sahutku.
Tante Reni pun menyeduk sayur lodeh itu ke dalam mangkok kecil. Lalu medletakkan mangkok itu di dekat piringku. Lalu aku minta goreng ikan laut dan sambal. Tante Reni pun meladeniku lagi.
“Gak enak diladeni sama tanteku sendiri,” kataku sambil menepuk pantat Tante Reni.
“Kan Donny sudah kuanggap sebagai suamiku sendiri. Wajar kalau istri meladeni suami kan?”
“Surat perceraian dengan suami Tante sudah datang?” tanyaku sambil mulai makan.
“Sudah. baru datang kemaren,” sahut Tante Reni sambil mulai makan juga, menemaniku.
“Orang - orang yang kerja di sini sudah tau kalau Tante ini tanteku?”
“Belum. Nanti Donny aja yang jelasinnya.”
“Orang Indonesia yang bekerja di sini tinggal berapa orang?”
“Masih lengkap seperti dulu. Selain aku, ada Lili… Mita… Nora… Wati dan Ica. Laki - lakinya Taufik dan Banu. Itu saja.”
Setelah selesai makan, aku berkata kepada Tante Reni, “Bisa panggil pegawai yang perempuan saja, tapi semuanya harus hadir di sini.”
“Iya… sebentar ya… mau ta kumpulin dulu.”
Kemudian semua “karyawati” dikumpulkan di ruang makan. Mereka berdiri sambil menundukkan kepala semua. Kusebutkan bahwa sebenarnya Tante Reni itu adik bungsu ibu kandungku. Kusebutkan juga bahwa rumah ini akan dijual (padahal tidak akan kujual sampai kapan pun). Namun mereka semua bisa memilih, apakah mau kupindahkan ke Khao Yai yang udaranya sejuk itu, tidak seperti Bangkok yang panasnya melebihi Jakarta, atau mau dipindahkan ke Surabaya, atau mau resign saja.
Ternyata mereka memilih dipindahkan ke Surabaya saja, karena mereka lebih suka tinggal di tanah air, dengan gaji tetap sama dengan gaji di Bangkok.
Sementara Tante Reni kuputuskan untuk tinggal di Jakarta, agar tidak terlalu jauh dariku.
Setelah semua pegawai wanita dibubarkan, kupanggil pegawai - pegawai pria yang hanya dua orang itu. Semua pegawai di rumah peninggalan Papa ini berasal dari Indonesia, termasuk yang prianya.
Taufik dan Banu, demikian nama kedua pegawai pria itu, kuberitahu bahwa mereka ditugaskan untuk menjaga dan membersihkan rumah peninggalan Papa ini, sementara pegawai wanita akan dipindahkan ke Indonesia semua. Karena tidak efisien lagi kalau mereka tetap dipekerjakan di rumah ini, yang tiada kegiatan seperti waktu masih ada Papa dan Mama dahulu.
Kedua pegawai pria itu pun tidak membantah. Dan menyatakan siap setia kepadaku sebagai satu - satunya ahli waris Papa dalam surat wasiat yang ditinggalkannya.
Kemudian kedua pegawai pria itu kupersilakan kembali ke tempatnya masing - masing.
Tinggallah aku dan Tante Reni yang masih berada di ruang makan itu.
Kemudian kuajak Tante Reni ikut ke kamarku.
“Kangen sama aku nggak?” tanyaku setelah berada di dalam kamarku.
“Banget kangennya,” sahut Tante Reni yang saat itu hanya mengenakan gaun batik Thailand yang terbuat dari kain goyang dan tipis.
“Tapi Tante besok harus terbang ke Jakarta dan menetap di sana secara permanen.”
“Iya, “Tante Reni mengangguk, “Kalau Donny mau pindah ke Indonesia, aku juga takkan kuat pisah terlalu lama dengan Donny.”
“Sekarang masih ikut KB?” tanyaku sambil menarik tangan Tante Reni dan mendudukkannya di pangkuanku.
“Masih, “Tante Reni mengangguk di pangkuanku, “Kan surat cerainya juga baru diterima kemaren. Nanti aja setelah berada di Indoinesia, baru dilepas spiralnya. Gak apa - apa kan?”
“Iya. Bagaimana baiknya aja,” sahutku sambil merayapkan tanganku ke balik gaun batik Thailandnya. Begitu tanganku berada di pangkal pahanya, aku langsung menyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya. Dan langsung menjamah kemaluannya yang sudah sangat kurindukan.
“Di Indonesia sudah ketemu dengan kakak - kakakku?” tanya Tante Reni tanpa mempedulikan tanganku yang sedang mengelus - elus memeknya.
“Baru ketemu dengan Tante Ratih doang. Kalau dengan saudara - saudara kandungku sih sudah ketemu semua. Teh Siska, Teh Nenden dan Donna, saudara kembarku.”
“Dengan saudara yang seayah beda ibu sudah ketemu?”
“Haaa?! Memangnya almarhum Ayah punya istri berapa?”
“Istrinya dua orang. Dan bunda Donny istri kedua.”
“Owh… gitu ya? Berarti aku punya saudara seayah berlainan ibu dong.”
“Punya, tiga orang. Cewek semua. Umurnya di atas Siska dan Nenden. Namanya sudah pada lupa, karena aku baru ketemu satu kali dengan mereka.”
“Baru tau sekarang kalau Ayah punya istri lain selain Bunda.”
“Aku tau istri tuanya Kang Rosadi ketika mau minta uang jajan padanya. Karena Ayah Donny sangat pemurah, bahkan tergolong royal. Sehingga sampai tua pun dia tidak kaya - kaya, karena royalnya itu…”
“Tapi aku harus ketemu dengan mereka. Karena mereka itu kakak - kakakku.”
“Iya. Kakak seayah. Bahkan Donny punya hak wali kepada mereka. Oooo… ooooh… Dooon… kalau memekku sudah dipegang - pegang gini… aku jadi horny nih…”
Tante Reni terasa sekali sangat mencintaiku. Setelah menelanjangi dirinya, dengan hati - hati ia menanggalkan baju dan celana piyamaku. Sehingga aku langsung telanjang bulat, karena sengaja aku tidak mengenakan celana dalam saat itu, supaya “instant”. Dan kekangenannya ditumpahkan dengan meraihku ke atas bed, lalu mendorong dadaku agar celentang. Mulutnya pun langsung menyergap peniskuyang sudah dipegangnya dengan segenap kehangatannya.
Begitu trampilnya Tante Reni mengoral penisku, mengulum dan menggelutkan lidahnya di moncong dan leher penisku, sementara tangannya pun aktif mengurut - urut batang kemaluanku yang tidak terkulum olehnya, dibantu oleh air liur yang dialirkan dari mulutnya.
Lalu Tante Reni berlutut, dengan kedua lutut berada di kanan kiri, dengan kemaluan yang berada di atas penis ngacengku. Sambil memegang penisku, Tante Reni menurunkan memeknya perlahan - lahan. Dan perlahan - lahan pula penisku menyeruak ke dalam liang memek tanteku. Masih susah juga masuknya. Tapi Tante Reni memaksakan memeknya untuk “menelan” batang kemaluanku.
Tante Reni pun menjatuhkan dadanya ke atas dadaku. Yang kusambut dengan pelukan di lehernya, ditanggapi dengan ciuman mesranya di bibirku. Lalu Tante Reni sendiri yang mengayun memeknya, seolah dia yang sedang mengentotku. Karena memang demikian kenyataannya. bahwa aku hanya mendiamkan penisku, tapi bisa keluar masuk di dalam cengkraman liang memek tanteku yang aduhai itu.
Memang kalau dipikir - pikir memek perempuan - perempuan yang berasal dari keluarga Bunda ini hampir sama rasanya. Hanya kesannya yang berlainan.
Seperti memek Tante Reni ini, terasa mirip - mirip memek Teh Nenden. Sempit dan legit tapi cepat terlicinkan oleh lendir libidonya sendiri.
Lebih dari seperempat jam Tante Reni menyetubuhiku dalam posisi WOT ini. Sampai akhirnya ia keletihan sendiri, lalu menggulingkan badannya sambil mendekap pinggangku, jadi celentang, sementara penisku masih tetap berada di dalam liang memeknya.
Kini giliranku untuk beraksi. Mengayun penisku dengan gencarnya, karena liang memek Tante Reni sudah basah. Mungkin barusan dia sudah orgasme tapi tidak mau memberitahu padaku karena malu, mungkin.
Sebenarnya aku juga sudah sangat kangen pada Tante Reni yang sebelumnya selalu kupanggil Mbak karena belum tahu bahwa dia itu adik bungsu Bunda. Tante Reni yang tadinya begitu mengabdi padaku. Dan sekarang pun tetap menganggapku sebagai kekasih tercintanya.
Itulah sebabnya aku habis - habisan mengentotnya sambil mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya. Membuat Tante Reni semakin bersemamngat menggoyang pinggulnya ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah. Meliuk - liuk dan menghempas - hempas. Bahkan ketika aku menyedot - nyedot lehernya kuat - kuat, sehingga meninggalkan bekas merah kebiruan, dia tidak caomplain sepatah kata pun.
Rintihan demi rintihannya pun mulai berlontaran tanpa terkendali lagi.
“Don… oooooh… Dooooon… aku cinta padamu Doooon… aku tak mau berpisah lagi dengan, mu Sayaaaang… aku sudah telanjur mencintaimu Dooonny… ooooh… Donny… entot terus Dooon… entooooooot… dentooooot… iyaaaaaa… iyaaaaaaa… iyaaaaaaaa… Doooon… kontolmu bikin aku gilaaaaaaaaa…
Kamarku memang kedap suara sejak dahulu. Karena aku serinbg menyetelkan musik keras - keras dan tak mau ditegur oleh Papa almarhum. Karena itu aku tak kuatir dengan rintihan - rintihan Tante Reni yang makin lama makin menjadi - jadi.
Namun pada suatu saat dia merintih terengah, “Barengin Doon… aku mau lepas Don… ayo barengin Dooon…”
Aku mencoba mengikuti keinginan Tante Reni, meski masih asyik dan ingin berlama - lama mengentotnya.
Lalu kupercepat entotanku agar aku lebih cepat ejakulasi seperti yang diinginkannya. Berhasil… Ketik Tante Reni klapak - klepek lalu mengejang tegang, kutancapkan penisku sedalam mungkin di dalam liang sanggama Tante Reni. Pada saat itu pula liang sanggama Tante Reni terasa seperti memilin - milin batang kemaluanku, lalu terasa mengejut - ngejut kencang…
Kami sama - sama terkapar lemas. Disusul dengan ciuman mesra Tante Reni. Dan ucapan lirihnya, “Kemaren aku kuatir sekali… takut Donny akan menghindariku setelah tau aku ini adik bundamu.”
“Aku tidak sejahat itu Tante,” sahutku sambil mencabut batang kemaluanku dari liang memek tanteku.
Kemudian kami mandi bareng. Membuat terawanganku melayang - layang ke masa laluku. Masa ketika Mama masih hidup. Yang selalu memanjakanku pada waktu memandikanku. Bahkan akhirnya kewanitaan Mama pun diserahkan padaku.
Aaaah… aku sedih sekali kalau ingat smeuanya itu. Karena tak kusangka kalau ibu angkat yang sangat menyayangiku itu akan cepat pergi untuk selama - lamanya.
“Tante besok ke Jakarta ya,” kataku ketika Tante Reni sedang menyabuniku.
“Apa pun yang Donny minta, akan kulaksanakan,” sahut Tante Reni, “Tapi apa yang harus kulakukan di Jakarta nanti?”
“Papa mewariskan dua buah rumah di Jakarta. Nanti akan kuberikan alamat - alamatnya. Yang satu di daerah Kebayoran Baru, yang satu lagi di daerah Menteng. Untuk itu, Tante harus menemui yang dikuasakan oleh Papa untuk mengurus dan menjaga rumah - rumah itu. Bilang aja Tante diutus oleh anak tunggal Pak Margono.
“Jadi tugasku apa?” tanya Tante Reni.
“Tante pilih di antara kedua rumah itu, mana yang lebih nyaman untuk Tante tinggali. Maka kelak rumah itu adalah tempat tinggal Tante. Dan aku memang akan pindah ke Indonesia,” ucapku yang mulai gantian menyabuni tubuh seksi tanteku, “Jadi kita akan tetap sering berjumpa setelah Tante tinggal di Jakarta nanti.
“Iya, iya… mmm… Donny akan tinggal di rumah yang kupilih itu juga?”
“Aku akan tinggal di rumah Bunda. Karena ingin memantau Bunda terus. Takut beliau jadi peminum lagi. Tapi usahaku akan dipusatkan di Jakarta nantinya. Jadi kita tetap akan sering ketemuan.”
“Bunda masih suka minum?”
“Pada waktu aku baru datang, masih. Tapi setelah kubujuk - bujuk, lalu berhenti. Sekarang Donna yang kusuruh mengawasi Bunda terus.”
“Rumah bundamu itu harusnya direnovasi Don.”
“Rumah itu sudah ditinggalkan. Sekarang Bunda tinggal di rumah Pak Wondo, yang punya tanah kosong di samping rumah Bunda itu. Tanah kosongnya pun sudah kubeli dan mulai dibangun.”
“Owh… syukurlah. Kasian Teh Ami itu… setelah ditinggal suami malah tenggelam dalam minuman keras. Sehingga rumah tuanya tidak terurus.”
“Tante manggil Teh Ami ya sama Bunda?”
“Iya.”
Pada saat itu tangan bersabun cairku sudah tiba di kemaluan Tante Reni. Dengan nakal aku menyabuninya, sambil memasukkan jemariku ke dalam liang memek tanteku. Dan… diam - diam penisku mulai menegang lagi perlahan - lahan tapi pasti.
Maka pada suatu saat kudesakkan Tante Reni ke dinding kamar mandi, lalu kusabuni lagi memeknya agar licin liangnya. Lalu kuletakkan moncong penisku di permukaan vaginanya. Tante Reni pun membantu memegangi leher penisku, agar arahnya tepat.
Lalu… bleeesssssssss… batang kemaluanku membenam lagi ke dalam liang memek tanteku.
“Udah kangen ya ngentot sambil berdiri gini?” ucap Tante Reni sambil mendekap pinggangku erat - erat.
“Iya… ngentot sambil berdiri gini suka mendatangkan sensasi yang lebih indah,” sahutku sambil mulai mengayun penisku.
Lagi - lagi kunikmati gesekan - gesekan syur antara batang kemaluanku dengan dinding liang sanggama Tante Reni.
Tapi belasan menit kemudian bokong Tante Reni kuangkat… lalu kubawa ke dalam kamarku dan kulanjutkan mengentotnya di atas bed.
Semua ini kulakukan agar aku terkesan sedang merayakan semacam farewell party*(pesta perpisahan)*. Karena besok pagi ia harus terbang ke Indonesia.
Dan esok paginya, ketika hari masih gelap menjelang subuh, Tante Reni berangkat menuju bandara, dengan menggunakan taksi. Tentu saja setelah aku membekali uang yang cukup banyak. Cukup untuk hidup di Jakarta selama berbulan - bulan.
Empat jam setelah Tante Reni berangkat, aku menelepon bank internasional yang cabangnya ada di Indonesia. Bank yang sudah puluhan tahun digunakan oleh almarhum Papa. Aku meminta jasa security bank itu untuk mengangkut koper - koper berisi USdollar yang tersimpan di bunker itu, karena merasa lebih aman dan praktis untuk menyimpannya di bank.
Pegawai bank pun ikut bersama petugas security dan menghitung jumlah uang di setiap koper itu. Kemudian semua uang dollar itu dimasukkan ke dalam mobil security yang cukup luas boxnya. Sampai tengah hari barulah tugas mereka selesai.
Sejam kemudian datang telepon dari bank, yang menerangkan bahwa semua uang US dollar itu sudah masuk ke dalam rekening pribadiku. Jumlahnya sangat banyak. Kalau dirupiahkan lebih dari 2T.
Aku pun merasa lega, karena merasa sudah mengamankan uang peninggalan Papa itu. Di dalam kamar Papa aku menatap lukisan foto Papa yang masih tetap tergantung di dinding kamar almarhum. Di depan foto itu aku bergumam, “Papa… uang peninggalan Papa sudah diamankan. Supaya aku bisa berbisnis di tanah air kita nanti.
Tiba - tiba handphoneku berdering. Ketika kulihat layar hapeku, ternyata dari Mr. Liauw. Maka tanpa diminta pun aku melaporkan penemuanku di dalam brankas itu, yang isinya sertifikat - sertifikat beberapa rumah di Indonesia. Tapi 47 koper yang berisi dollar itu tidak kulaporkan.
“Baguslah kalau begitu. Nanti silakan Boss urus segala sesuatunya dengan Mrs. Tania di Jakarta. Tapi sekarang ini saya mau melaporkan masalah lain. Nanti sore akan datang seorang calon buyer yang akan menjadi calon pembeli segala asset Boss di Bangkok dan di Choiang Mai itu. Namanya Mrs. Sheila. Dia istri seorang pengusaha besar dari kota Khon Kaen.
“O begitu? Oom mau mendampingi dia nanti sore?” tanyaku.
“Tidak. Kebetulan saya ada masalah klien yang harus diurus sore ini. Jadi silakan saja berhubungan langsung dengan Mrs. Sheila nanti. Kan nanti juga perjanjian jual belinya akan diurus oleh saya juga. Kebetulan Mrs. Sheila itu sudah lama menjadi klien saya juga,” sahut Mr. Liauw di hapeku.
“Dia akan datang ke rumah saya kan?”
“Betul. Makanya dia memilih di luar jam kerja. Kalau negosiasinya di rumah kan bisa dilakukan secara familiar.”
“Oke deh. Saya tunggu kedatangannya. Terima kasih Oom Liauw.”
“Sama - sama. Semoga negosiasinya lancar ya.”
Setelah hubungan seluler dengan Mr. Liauw ditutup, aku jadi teringat pada Tante Reni yang sudah berangkat sejak tadi subuh. Ada perasaan cemas juga di hatiku, sehingga kuambil lagi handphoneku dan kupijat nomor handphone Tante Reni.
“Hallo?”
“Tante sudah mendarat di SoekarnoHatta kan?”
“Sudah. Ini malah sudah tiba di kantor Mrs. Tania.”
“Kalau belum bisa masuk ke dalam salah satu rumah, nginep di hotel aja dulu.”
“Kayaknya gak usah Don. Ibu Tania itu kelihatannya sangat baik dan ramah. Sebentar lagi beliau mau mengantarkanku ke rumah - rumah yang sesuai dengan fofocopy sertifikatnya.”
“Sambil bawa - bawa tas pakaian kan?”
“Iyalah. Gak apa - apa. Tas pakaiannya kecil kok. Aku kan nggak bawa banyak pakaian. Nanti beli aja di Jakarta. Dollar pemberian Donny kan sangat banyak.”
“Iya Tante. Jaga diri baik - baik ya.”
“Iya Don. Juga Donny… jaga diri baik - baik ya Sayang.”
Setelah menutup hubungan selulerku dengan Tante Reni, aku menyetelkan musik instrumental di dalam ruang kerja yang dahulu dijadikan ruang kerja Papa. Volumenya perlahan sekali, asal terdengar di telingaku saja.
Sorenya, tamu itu benar - benar datang. Tadinya kupikir calon buyer itu sudah tua, karena mendengar suaminya sudah meninggal seperti Mr. Liauw di telepon tadi.
Tapi ternyata yang mengaku bernama Sheila itu seorang perempuan muda. Paling juga usianya baru 30an.
“Saya kira ownernya sudah tua, ternyata malah jauh lebih muda daripada saya ya?” ucap Mrs. Sheila wsktu baru duduk di sofa ruang tamu.
“Saya juga nyangka calon buyernya sudah tua. Karena Mr. Liauw bilang calon buyernya sudah tiga tahun ditinggal meninggal oleh suaminya. Ternyata Ibu Sheila masih sangat muda. Paling juga baru duapuluhlimaan ya Bu?”
“Hush… umur saya sudah tigapuluhsatu Dek. Mmm… gak apa - apa kan panggil Adek sama Anda?”
“Gak apa - apa. Manggil nama langsung juga gak apa - apa Bu.”
“Sepertinya lebih menyenangkan kalau dipanggil Teteh atau Kak atau Mbak gitu. Biar jangan terlalu formal ngobrolnya.”
“Ibu aslinya dari Indonesia sebelah mana?”
“Saya orang Jabar Dek.”
“Kalau gitu saya panggil Teteh aja ya. Kebetulan saya juga orang Jabar. Cuma sejak bayi sampai dewasa di Bangkok ini. Baru satu kali pulang ke Indonesia, malah gak tau jalan. Untung ada saudara kembar saya yang jadi penunjuknya.”
“Punya saudara klembar segala? Lucu dong kalau jalan barengan.”
“Saudara kembar saya cewqek Bu eh Teh. Kalau jalan barengan malah disangka sama pacar.”
“Hihihiiii… saudara kembarnya pasti cantik ya. Soalnya Dek Donny juga tampan gitu.”
“Iyualah kalau cowok gak mungkin dibilang cantik. Malah Teteh yang cantik di mata saya.”
“Ohya?! Terima kasih, “perempuan yang kupanggil Teh Sheila itu tersenyum manis. Manis sekali. Membuatku salah tingkah, soalnya sikap permpuan 31 tahun itu seolah mengundangku. Tapi kutindas pikiran ngeresku, karena kali ini tamuku adalah tamu bisnis. Bukan tamu pribadi.
Untungnya dia mulai menyadari maksud kedatangannya ke rumahku ini. “Kemaren, begitu mendengar kabar dari Mr. Liauw, konsultan saya langsung mengobservasi asset - asset Dek Donny di Bangkok dan di Chiang Mai, termasuk dua perusahaan yang ada di kedua kota itu. Jadi… mau dibuka dalam harga berapa Dek?
Aku tercenung sejenak. Lalu kujawab harga keseluruhan asset yang mau dijual itu.
Sebenarnya harga itu masih bisa ditawar. Dan aku menunggu berapa dia mau menawarnya. Kalau rasional, akau kulepas semua asset yang sudah ditawarkan itu.
Tapi Teh Sheila malah bertanya soal lain, “Dek Donny sudah punya istri?”
“Belum Teh. Masih kuliah sih.”
Tiba - tiba Teh Sheila berdiri dan menjabat tanganku, “Oke… saya akan beli sesuai dengan harga yang Dek Donny minta tadi. Tapi ada syaratnya.”
“Apa syaratnya Teh?” tanyaku rikuh, karena tanganku masih digenggamnya. Bahkan ujung telunjukknya mengorek - ngorek telapak tanganku, membuatku geli.
“Dek Donny harus jadi pacar rahasia saya. Oke?”
Aku terkejut. Karena tak menyangka kalau wanita tinggi langsing berwajah cantik itu ingin jadi pacar gelapku…!
“Syarat yang sangat menyenangkan. Tapi seminggu lagi juga saya mau pulang ke Indoinesia Teh.”
“Gak apa - apa. Saya juga lebih sering tinggal di Indonesia,” sahut wanita muda bernama Sheila itu sambil memasukkan tangan ke dalam tas yang dibawanya. Lalu dia mengeluarkan tiga ikat US dollar pecahan 100 USD dari dalam tasnya. Lalu menyerahkan ketiga ikat uang dollar Amerika itu padaku, “Ini sebagai tanda jadi saja.
Kuterima uang 30.000 USD itu dengan perasaan seolah bermimpi. Uang yang kalau kurupiahkan lebih dari 400 juta rupiah itu, bukan uang sedikit. Tapi dia hanya menganggapnya sebagai tanda jadi atau tanda keseriusan. Bahwa wanita muda itu langsung menyetujui harga yang kuajukan, tanpa menawar lagi. Syaratnya…
Yang jelas aku menulis tanda terima di sehelai kwitansi. Karena yang diberikannya bukan uang sedikit. Kemudian kuserahkan kwitansi itu padanya.
Wanita muda itu memasukkan tanda terima dariku ke dalam tasnya. Lalu menghampiriku dan berbisik di dekat telingaku, “Terus… bisa sekarang langsung kencan?”
“Boleh,” sahutku sambil mengangguk.
“Mau di hotel atau di villa?”
“Di sini juga bisa,” sahutku sambil menunjuk ke pintu kamarku yang tepat berada di samping ruang tamu itu, “Security lebih terjamin.”
Mata bening indah Teh Sheila seolah memancarkan sinar kebahagiannya. Lalu ia berdiri sambil berkata perlahan, “Oke.”
Aku pun melangkah dan membuka pintu kamarku sambil bergaya ala bellboy di hotel - hotel berbintang lima, “Silakan masuk Madame…”
Kemudian ia masuk ke dalam kamarku yang lebih mewah daripada kamar hotel five star. Sejak Papa meninggal aku memang mengupgrade kamarku sedemikian rupa, sampai benar - benar layak untuk kamar seorang eksekutif muda.
Begitu masuk ke dalam kamarku, yang pintunya sudah kututup dan kukuncikan, Teh Sheila menghampiriku, sehingga harum parfum mahalnya tersiar ke penciumanku. Ia melingkarkan lengannya di leherku sambil bergumam perlahan, “Sejak suami saya meninggal, baru kali ini saya mderasa benar - benar terpesona oleh daya tarik seorang lelaki muda.
Lalu dengan hangatnya ia mencium bibirku, yang kusambut dengan lumatan hangat pula.
Akutidak mau hypokrit*(munafik).*
Sejak melihatnya pertama kali tadi, aku sudah merasa tertarik dan tergiur oleh kecantikan dan keseksian wanita muda bernama Sheila ini. Tapi tadi aku merasa akan bernegosiasi tentang asset - asset yang akan kujual. Dengan kata lain, aku sedang berbisnis. Dan masalah bisnis tak boleh dicampur adukkan dengan masalah pribadi, begitu salah satu wejangan Papa almarhum.
Maka aku pun laksana “pucuk dicinta ulam tiba”. Aku pun bisa “sambil menyelam minum air”.
Dan aku tahu benar apa yang harus kulakukan dalam suasana seperti ini. Kulepaskan kancing - kancing yang berderet di bagian depan gaunnya yang gemerlapan itu. Sementara Teh Sheila cuma menatapku dengan senyum manisnya yang kian memancing. Lalu ia sendiri yang menanggalkan gaun gemerlapan itu. Dan menggantungkannya di kapstok.
Dalam keadaan tinggal mengenakan bra dan CD, gila… begitu putih dan mulusnya tubuh wanita muda bernama Sheila itu… mengingatkanku kepada Teh Nenden yang kulitnya seputih kulit Teh Sheila ini. Tapi soal postur, Teh Sheila tidak setinggi Teh Nenden.
“Serius ingin jadi pacar saya?” tanyaku sambil memegang kedua pergelangan tangan wanita muda itu.
“Setiap pelaku bisnis harus selalu serius dalam melontarkan setiap ucapannya,” sahut Teh Sheila sambil berjongkok, untuk melepaskan kancing logam dan ritsleting celana denimku. Lalu menurunkan celanaku sampai terlepas dari sepasang kakiku. Kemeja tangan pendekku pun dia yang melepaskannya.
“Body yang atletis… perut yang sixpack… sexy sekali,” ucapnya sambil mengusap - usap dadaku, lalu menepuk - nepuk perutku perlahan.
“Saya merasa seperti tengah bermimpi,” ucapku pada saat tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhku. Sementara wanita itu sudah melepaskan behanya, sehingga keadaannya jadi sama denganku. Sama - sama tinggal mengenakan celana dalam.
“Kenapa? Karena saya yang cantik dan seksi ini menembak duluan?” tanya wanita muda itu sambil meraihku ke atas bed.
“Lebih dari itu. Teteh seolah bidadari yang turun dari langit untuk menaburkan bunga - bunga surgawi di alam birahi saya…” sahutku bernada gombal.
Tapi Teh Sheila justru tersenyum, sambil melingkarkan lengannya di leherku. Dan menyahut, “Ternyata Dek Donny puitis juga ya… membuat hati saya semakin runtuh di kaki pesona Dek Donny…”
Ucapan itu disusul dengan pagutannya di bibirku, yang kusambut dengan lumatan sepenuh gairahku. Sebenarnya hatiku juga sudah runtuh dalam pesonanya, tapi aku tak mau mengatakannya secara lisan.
Dan ketika kami masih saling lumat, tanganku sudah menyelundup ke balik celana dalamnya. Dan menemukan sebentuk kemaluan yang bersih dari rambut… menemukan celah yang mulai membasah, menghangat dan licin…!
Aku memang tak menyangka akan mengalami peristiwa indah ini. Dan tongkat kejantananku langsung ngaceng berat. Tapi aku harus menahan diri, jangan langsung penetrasi. Karena aku ingin mengulur keindahan ini sejauh mungkin.
Mulai dengan menciumi lehernya yang harum dan hangat, dilanjutkan dengan mencelucupi puting payudaranya yang tegang, sementara tanganku mulai meremas payudara satunya lagi… payudara yang terawat sehingga masih sangat kencang. Tubuh wanita itu pun semakin hangat saja rasanya.
Lalu aku melorot turun… menjilati pusar perutnya sambil menurunkan celana dalamnya yang tipis transparan… dan tampaklah sebentuk vagina yang begitu indah di mataku. Vagina yang sudah agak menganga, seolah menantang mulutku agar menggasaknya…!
Sementara wanita jelita bertubuh tinggi langsing tapi padat ini merenggangkan jarak di antara kedua belah pahanya, seolah mengerti apa yang akan kulakukan.
Dan aku mulai melakukannya. Menjilati memek yang sudah kungangakan ini. Menjilati bagian dalam memek berwarna pink ini, sementara ujung jari tangan kiriku mengelus - elus kelentitnya yang dengan mudah kutemukan.
Wanita kaya raya yang jelita itu mulai menggeliat - geliat sambil meremas -remas sepasang bahuku, meremas - remas kain seprai dan meremas - remas rambutku. Hal itu justru membuatku semakin bergairah untuk menggencarkan jilatan dan elusanku di kelentitnya.
Sehingga dalam tempo singkat saja memek Teh Sheila sudah basah kuyup oleh air liurku.
Lalu terdengar suara wanita itu yang mulai memperlihatkan jati dirinya, “Cukup Deeek… masukkan aja penisnya…”
Tanpa banyak bicara lagi aku berlutut sambil melepaskan celana dalamku. Lalu memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini dan mengarahkan moncongnya ke permukaan mulut vagina wanita muda itu.
“Wow…! Penis Dek Donny sepanjang dan segede gitu?!” seru Teh Sheila yang baru melihat bentuk senjata pusakaku ini.
Aku cuma tersenyum dan mengangguk. Lalu mendorong penisku sekuat tenaga.
Leeephhh… hanya masuk kepalanya saja. Kudorong lagi… hanya masuk sampai leher penisku.
“Gila… udah dijilatin sampai basah juga masih seret gini masuknya Dek…” ucap Teh Sheila sambil merentangkan sepasang pahanya semakin lebar, mungkin agar penisku bisa masuk dengan lancar.
“Liang memek Teteh sempit sekali, kayak yang belum pernah melahirkan,” sahutku setelah berhasil membenamkan penisku hampir separohnya.
“Me… memang belum pernah melahirkan… almarhum suami saya kan sudah tua… sudah gak ada benihnya lagi…”
Aku tidak menanggapinya lagi, karena aku sudah mulai mengayun penisku, perlahan - lahan tapi pasti… bahwa makin lama penisku makin dalam masuknya pada waktu kudorong.
Akhirnya aku bisa mengayun penisku dengan lancar, karena liang memek Teh Sheila sudah beradaptasi dengan ukuran batang kemaluanku, dibantu pula dengan lendir libidonya yang semakin banyak membasahi dinding liang memeknya.
Entotanku yang mulai lancar ini mulai diiringi rintihan - rintihan histeris dan erotis Teh Sheila. “Deeeek… oooo… ooooh… Deeeek… ba… baru sekali ini saya merasakan penis segede dan sepanjang punya Dek Donny… ooo… ooooh… ini… lu… luar biasa enaknya Deeeek… oooooh Deeeeek…
Suara rintihan itu perlahan sekali. Mungkin dia takut kalau suaranya terdengar ke luar.
Karena itu aku menghentikan entotanku sejenak sambil berkata, “Lontarkan saja rintihan erotis TGeteh sekuatnya… jangan takut, kamar ini kedap suara. Walau pun Teteh menjerit - jerit, takkan terdengar ke luar… !’
Kemudian kulanjutkan entotanku yang semakin lama semakin massive ini.
Teh Sheila pun mulai menggoyang - goyangkan pinggulnya dengan gerakan yang erotis dan syur. Sementara rintihan - rintihan erotisnya pun semakin keras dan menjadi - jadi. Suaranya tidak ditahan - tahan seperti tadi lagi.
“Ayo entot teruuus Deeeeek… eeentoooot teruuuuussssss… ini luar biasa enaknyaaaa… enaknyaaaaaaaa… entoooootttt… entoooootttttttt… iyaaaaaaaa… iyaaaaaaaa… entooot teruuuusssssssss… entoooootttt… iyaaaa… iyaaaaaa… ooo… oooooohhhhhhhh… enaknyaaaaaaa…
Rintihan dan desahan nafas teh Sheila membuatku semakin bergairah untuk mengentotnya habis - habisan. Sementara mulutku pun mulai beraksi. Mulai menjilati leher jenjangnya disertai dengan gigitan - gigitan kecil… membuat sepasang mata bundar bening itu merem melek.
Entah kenapa, kali ini aku menyetubuhi perempuan dengan tekad ingin membuatnya puas… puas sekali. karena mengingat dia sudah sekian lamanya menjanda. Selain daripada itu, mungkin di lain waktu aku membutuhkan dirinya sebagai relasi bisnisku.
Maka ketika ia mulai kelojotan pada saat aku sedang menjilati ketiaknya yang harum, aku pun menggencarkan entotanku dengan satu tujuan: Ingin berejakulasi bersamaan dengan detik - detik orgasmenya.
Ternyata aku berhasil mencapai titik puncak itu secara bersamaan.
Kami jadi seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Mulut Teh Sheila ternganga pada saat sekujur tubuhnya mengejang tegang, sambil mencengkram bsepasang bahuku kuat - kuat seakan ingin meremukkan tulang - tulang bahuku. Aku pun menancapkan penisku sedalam mungkin, sambil meremas sepasang toket yang sangat terawat dan masih sangat kencang ini.
Lalu… moncong penisku menembak - nembakkan pejuhku di dalam liang memek Teh Sheila. Crooot… crot… croooooooottttttt… croooooooootttt… crotcrottt… croootttttt… crooootttt…!
Tekadku dari tadi, adalah ingin menciptakan kepuasan yang sepuas - puasnya bagi wanita muda bernama Sheila dan kusebut Teh Sheila itu. Karena itu aku berusaha untuk membangkitkan gairahku sendiri. dibantu dengan oral sex yang dilakukan Teh Sheila terhadap penisku.
Lalu terjadilah hubungan sex yang kedua bersama calon buyer asset - assetku yang di Bangkok dan di Chiang Mai itu. Tentu di dalam ronde kedua durasinya jauh lebih lama. Sehingga kami sama - sama bersimbah keringat.
Lalu kami capai titik puncak secara bersamaan lagi, ketika Teh Sheila mencapai orgasme yang kelima, sementara aku berejakulasi untuk kedua kalinya.
“Nanti kita sama - sama pikirkan sematang mungkin Teh. Sekarang kita kan belum tau sifat masing - masing.”
“Saya juga tidak mau terburu - buru. Tapi saya ini wanita Dek. Wanita itu sifatnya menerima, bukan memilih. Tapi saya ingin mengurangi keraguan Dek Donny terhadap saya. Karena itu seandainya Dek Donny mau menikahi saya secara sah, saya siap.”
“Iya,” sahutku, “kalau menjadi pacar rahasia Teteh, saya siap. Tapi kalau untuk menikah secara sah, kita harus pertimbangkan dulu sematang mungkin.”
“Oke… sekarang kita mandi bareng yuk, “ajak Teh Sheila sambil duduk di pinggiran bedku. “Ayo… pengen nyabunin memek Teteh.. hehehee…”
“Saya juga pengen nyabunin kontol Adek… hihihihiii…” sahutnya sambil menepuk - nepuk penisku yang sudah terkulai lemas ini.
Lalu kami masuk ke dalam kamar mandi, dalam keadaan sama - sama telanjang bulat. Di dalam kamar mandiku inilah kami saling sabun menyabuni. Dia menyabuni sekujur tubuhku baik bagian punggung mau pun bagian depanku. Aku pun menyabuni sekujur tubuh Teh Sheila baik bagian depan mau pun bagian belakangnya.
Dan… pada saat menyabuni bagian belakang tubuh wanita itulah aku melihat sesuatu yang sejak tadi tidak kelihatan, karena tertutup oleh rambutnya. Dan kini rambutnya digulubng dan diikat ke atas, seperti sanggul. Sehingga aku bisa melihat tatoo kecil di belikat kanannya. Ya, cuma tatoo kecil berbentuk tulisan dan sdetangkai bunga mawar merah.
Setelah melihat tatoo kecil itu aku bertanya dari belakang Teh Sheila, “Nama lengkap Teteh, Sheila Ros? Ros kan berarti bunga mawar.”
“Ros itu singkatan dari nama ayah saya Dek.”
“Coba saya tebak… nama ayah Teteh Rosando… Rosihan… Ros…”
“… Rosadi !” potong Teh Sheila ketika aku belum selesai menebak - nebak.
“Rosadi?” tanyaku agak kaget. Tapi kekagetanku kutindas dengan pikiran… aaah… orang bernama Rosadi kan banyak. Bukan hanya ayahku belaka…!
Lalu kami menyelesaikan mandi kami.
Aku pun tidak terlalu memikirkan masalah nama ayah Teh Sheila itu lagi.
Tapi setelah sama - sama mengenakan pakaian kembali, aku teringat beberapa foto almarhum ayahku yang dikirim dari handphone Donna. Lalu kukeluarkan handphone dari saku celana denimku.
Iseng kubuka foto - foto ayahku itu. Dan kuperlihatkan kepada Teh Sheila sambil bertanya, “Apakah Teteh kenal dengan orang di foto ini?”
Teh Sheila menatap foto di layar handphoneku sambil menyipitkan matanya.
“Lho… ini seperti foto ayah saya Dek… “gumamnya.
“Coba buka foto - foto lainnya. Kan banyak tuh foto bapak itu,” sahutku.
Teh Sheila mengikuti saranku. Membuka foto - foto Ayah almarhum yang cukup banyak kudapatkan dari handphone Donna.
“Dek Donny…! Ini foto - foto ayah saya…! Dari mana Dek Donny dapatkan foto - foto almarhum ayah saya ini?”
GIliran aku yang kaget. Benar - benar kaget. Tapi aku berusaha menjawab pertanyaan Teh Sheila itu, “Saya anak Pak Rosadi dari istri keduanya, Teh.”
“Iya saya tau, almarhum Ayah memang punya istri muda yang bernama Bu Ami.”
“Betul. Bu Ami itu ibu kandung saya Teh… !”
Teh Sheila terbelalak sambil memekik, “O my Gooood…! Jadi kalau begitu Dek Donny ini adek saya yang seayah berlainan ibu. Begitu kan?”
“Teh Sheila adalah kakak seayahku. Hmmm… dunia ini terkadang kecil sekali ya Teh?” ucapku sambil meremas tangan Teh Sheila.
“Iya. Kita ini kakak - beradik seayah berlainan ibu, berasal dari Jabar kok baru dipertemukan sekarang di negara yang jauh dari negara kita ya? Memang dunia ini terkadang terasa kecil Dek.”
“Kalau Teteh menikah lagi, saya malah punya hak sebagai walinya kan?”
“Ya iyalah. Karena kalau dilengkapkan, nama kita sama - sama Bin Rosadi. Dek Donny Bin Rosadi, saya Binti Rosadi. Jadi Dek Donny punya hak wali atas diri saya.”
“Iya. Berarti kita memang tidak bisa menikah Teh.”
“Iya. Tapi sudah kepalangan basah gini, saya ingin hubungan kita tetap dilanjutkan sampai kapan pun, tapi jangan sampai diketahui keluarga kita.”
“Iya Teh. Sebenarnya saya juga sudah merasakan getaran cinta di hati saya. Tapi sekarang sudah jelas kalau kita takkan bisa menikah secara sah.”
“Gak apa - apa. Tapi saya mohon, Dek Donny jangan putuskan hubungan kita ini, ya Dek. Soalnya saya sudah telanjur mencintai Dek Donny. Meski ternyata kita ini kakak beradik seayah, saya akan tetap mencintai Dek Donny…”
“Iya Teh. Saya juga sudah telanjur mencintai Teteh. Saya juga ingin melanjutkan hubungan ini sampai kapan pun.”
“Terimakasih Dek. Hmm… pantesan begitu berjumpa dengan Dek Donny tadi, hati saya bergetar lain dari biasanya. Padahal mungkin getaran batin dari hubungam sedarah kita…” ucap Teh Sheila dengan mata berlinang - linang.
“Terus masalah asset - asset yang mau dibeli oleh Teteh itu masih tetap akan diselesaikan besok di kantor Mr. Liauw?”
“Ooo… soal itu sih tetap jalan. Besok transaksinya di kantor Mr. Liauw. Atau kalau ingin lebih akurat lagi, transaksinya di bank saja, karena nominalnya sangat besar, jadi harus lewat RTGS.
“(RTGS = Real Time Gross Settlement / transfer berulang - ulang dalam sehari)
“Iya. Yang penting Mr. Liauw harus hadir, sebagai saksi utama dalam transaksi besok. Soalnya dia notaris kepercayaan almarhum Papa.”
Teh Sheila bertanya, kenapa ada Papa dan ada Ayah? Siapa yang dimaksud Papa olehku itu. Maka kuterangkanlah semuanya. Bahwa aku sejak bayi diadopsi oleh Pak Margono dan istrinya, yang lalu kusebut Papa dan Mama. Kujelaskan juga seluk beluk kehidupanku di Bangkok yang sangat disayang dan dimanjakan oleh kedua orang tua angkatku itu.
Kewmudian Teh Sheila pun menuturkan riwayat hidupnya. Bahwa dia dinikahi oleh seorang pengusaha yang asli Thailand selatan, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Waktu menikah dengan Teh Sheila, lelaki Thailand itu berstatus duda beranak dua orang, setelah bertahun - tahun ditinggal mati oleh istrinya.
“Kira - kira suami saya almarhum nasibnya sama dengan Dek Donny. DIa diangkat anak oleh suami - istri dari Timur Tengah yang kebetulan tidak punya anak. Orang tua anbagkatnya itu kaya raya, karena punya pertambangan minyak bumi. Setelah kedua orang tua angkatnya meninggal, suamiku mendapat warisan yang cukup banyak berdasarkan surat wasiat juga.
“Tapi warisan yang cukup banyak itu dikembangkan oleh suami saya di Thailand ini, karena kampung halamannya di Thailand selatan. Ternyata almarhum sukses mengembangkan harfta warisan itu, sehingga dia tergolong taipan yang sangat disegani di negara ini, “lanjut Teh Sheila.
“Saya sendiri mendapat pesan terakhir darfi suami saya sebelum meninggal, bahwa saya harus mengembangkan usahanya di Thailand ini. Jangan mengadu untung di negara orang. Itulah sebabnya saya berminat untuk membeli asset - asset Dek Donny.”
“Ohya Dek… saya biasa dipanggil nama saja oleh adik - adik kandung saya. Dek Donny juga panggil nama saya aja langsung, gak usah pakai Teteh - Tetehan,” kata Teh Sheila lagi.
“Kalau begitu, panggil nama saya aja langfsung, gak usah pakai adek - adekan. Biar lebih dekat. Juga istilah saya, mendingan kita ganti dengan istilah aku aja ya. Biar lebih akrab.”
“Oke, “Sheila mengangguk, “Saya… eh aku setuju Don.”
“Nah… nyebut nama langsung gitu, terasa lebih dekat… lebih romantis. Kita kan sudah melakukan hubungan seperti suami - istri. Masa masih panggil Dek padaku?”
“Hihihihi… iya. Tapi Don… sekadar ngasih tgau aja, sekarang ini aku sedang berada di dalam masa subur. Aku malah berharfap hubungan yang kita lakjukan tadi bisa membuatku hamil. Gak apa - apa kan?”
“Gak apa - apa. Tapi kita gak bisa menikah secara sah. Gimana?”
“Biar aja. Aku malah mungkin takkan menikah seumur hidup, karena aku sudah menjadi milik Donny.”
Aku terharu mendengar ucapan kakak seayahku itu. Lalu kubelai rambutnya sambil berkata, “Semoga kita tetap saling mencintai sampai masa tua kita kelak ya.”
“Iya. Walau pun aku tidak bisa menikah dengan Donny, aku akan tetap mencintai dan menyayangi Donny sampai kapan pun… selama hayat masih dikandung badan.”
“Yep… artinya kita saat ini berjanji untuk tetap saling mencintai di seumur hidup kita, meski kita tak bisa menikah secara sah.”
“Iya aku berjanji untuk itu. Untuk tetap mencintai dan menyayangimu di seumur hidupku Don.”
“Aku juga berjanji untuk tetap mencintai dan menyayangimu di seumur hidupku, Sheila Sayang…”
“Ooooh… Donny… coba sebut lagi kata Sayang itu… rasanya tembus ke hatiku…”
“Sheila Sayaaaang… aku berjanji untuk tetap mencintai dan menyayangimu di seumur hidupku, Cintaaaaa…” sahutku sambil membelai rambut Sheila.
Sheila sangat terpengaruh oleh kata Sayang dan Cinta yang kulontarkan. Sheila pun menanggapinya dengan ciuman mesra di bibirku. Lalu terdengar bisikannya di dekat telingaku, “Terima kasih Sayang. Saat ini hatiku sangat bahagiaaaaa…”
Beberapa saat kemudian Sheila bertanya, “Kapan rencanamu pulang ke Indonesia?”
“Setelah transaksi kita selesai,” sahutku.
“Berarti paling lambat lusa juga sudah terbang ke Jakarta?”
“Iya… begitulah.”
“Aku ikut, boleh nggak? Aku berat berpisah denganmu Honey.”
“Di kampung halaman aku sedang sibuk membangun café yang akan dikelola oleh ibu dan saudara kembarku. Nanti kalau aku sudah punya waktu luang, aku akan menelpon Sheila, agar terbang ke Jakarta… untuk melanjutkan langkah - langkah kita, ya Sayang.”
“Begitu ya. Tapi aku kan bisa tinggal di hotel. Jadi setelah kesibukan Donny selesai, temani aku di hotel.”
“Kalau memaksakan diri di tengah kesibukan, aku takut nantinya malah sama - sama kecewa.”
Sheila tercenung. Lalu berkata lirih, “Tapi nanti setelah berada di Indonesia, harus sering - sering call aku ya Honey.”
“Iya.”
“Apalagi kalau aku hamil, pasti maunya deketan terus sama Donny nanti.”
“Kalau hamil sih aku juga pasti sering datang ke Bangkok. Di rumah ini kita kan bebas melakukan apa saja.”
“Di rumahku juga bebas melakukan apa aja. Nanti kukasih alamat lengkap rumahku yang di Bangkok ini ya.”
“Iya.”
Setelah Sheila pulang ke rumahnya, entah kenapa… ada perasaan sepi yang mencengkram batinku. Aku harus mengakui bahwa pertemuan singkat dengan kakak seayahku itu telah meninggalkan bekas yang mendalam di hatiku.
Apakah aku benar - benar telah mencintai wanita yang usianya lebih tua dariku itu? Entahlah. Yang jelas aku sendiri merasa berat untuk berjauhan dengannya.
Transaksi itu berjalan mulus. Hanya 4 jam aku dan Sheila berada di bank, disaksikan oleh Mr. Liauw, selesailah transaksi yang jumlahnya melebihi dollar dari koper - koper di dalam bunker kamar Papa itu.
Aku dan Sheila merahasiakan hubungan keluarga di antara kami berdua kepada siapa pun yang berada di Thailand ini. Sehingga Mr. Liauw meminta aku dan Sheila berjabatan tangan, tanda sudah selesainya RTGS dari perusahaan Sheila ke rekening pribadiku. Kuikuti saja saran Mr. Liauw itu, untuk berjabatan tangan dengan Sheila seolah kami bukan kakak adik.
Setelah keluar dari bank, Sheila masih sempat berbisik padaku, “Tolong carikan rumah yang tidak terlalu jauh dari rumahmu nanti ya. Kalau sudah ada, tell me by phone. Dan aku akan mentransfer dananya ke rekeningmu, Honey.”
“Oke,” sahutku sambil mengangguk. Kemudian kami berpisah di depan bank internasional itu, Sheila masuk ke dalam mobilnya yang disopiri oleh orang Thailand, sementara aku masuk ke dalam mobil peninggalan Papa yang kukemudikan sendiri.
Aku sudah merasa lega, karena uang dollar peninggalan Papa sudah masuk ke rekeningku, sementara hasil penjualan asset - asset itu pun sudah masuk ke dalam rekeningku. Sehingga boleh dibilang rekeningku gendut sekali kini.
Lalu mau kuapakan duit yang sangat banyak itu?
Entahlah. Aku belum punya rencana yang matang. Sementara bangunan untuk usaha kuliner Bunda dan Donna itu kecil sekali dibandingkan dengan besarnya dana yang tersimpan di rekening pribadiku..
Setibanya di rumah megah peninggalan Papa yang akan tetap kupertahankan itu, kukumpulkan pegawai - pegawai wanita. Kuberitah bahwa mereka tetap akan ditempatkan di ditu dulu, sambil menunggu pembangunan café di kotaku selesai. Karena mereka akan dijadikan waiters di café itu, dengan gaji tetap setara dengan gaji mereka di Bangkok.
Mereka cuma mengikuti arahanku saja.
Lalu aku mandi sebersih mungkin. Dan dua jam kemudian aku sudah berada di dalam pesawat terbang yang akan membawaku ke Singapore.
Setibanya di bandara Changi Singapore (saat itu belum ada Jewel Changi Airport), aku menggunakan taksi menuju Lavender Street dan chek in di sebuah hotel kecil langgananku. Memang hotel ini bukan hotel besar, tapi terasa nyaman. Karena kalau mau makan tinggal nyebrang jalan saja, ada food market di situ, yang makanannya murah - murah.
Sekarang aku sudah berada di level menengah ke atas, bahkan mungkin tergolong level atas, mengingat saldo di rekeningku sedemikian gendutnya. Tapi aku tak mau kelihatan orang kaya. Karena itu aku tidak mau menginap di hotel five star, karena aku tahu di Singapore ini serba mahal. Dan aku tidak mau menghambur - hamburkan uang peninggalan Papa hanya untuk sekadar kesenangan sesaat.
Di hotel kecil ini kusimpan tas pakaianku, lalu menyebrang jalan menuju food market itu. Ada penjual fishcake yang besar - besar di situ, yang paling kusukai. Cukup beli dua buah saja, perutku sudah terasa kenyang. Minumnya cuma Coffee O (istilah kopi pahit di Singapore).
Yang lucu di foodmarket ini aku sering mendengar kata “aaaa” di ujung kalimat yang diucapkannya. Misalnya kalau bertanya seperti ini, “How are you aaa?” atau “Smoking no good aaa”.
Hahahaaa… Chinese Singapore sama lucunya dengan orang India kalau ngomong bahasa Inggris, yang aksennya terdengar khas, dengan kepala digoyang - goyang pula.
Setelah menghabiskan fishcake dan kopi O, aku mencegat taksi menuju gallery peninggalan Papa, yang sekarang sudah menjadi milikku.
Setelah Papa meninggal, aku baru satu kali mendatangi gallery yang cukup besar ini. Dan kini adalah kunjungan yang kedua.
Gallery ini selalu banyak pengunjung dan pembelinya. Tapi ada sesuatu yang menarik bagiku, yang kini sudah kutemukan di antara sekian banyak pegawai gallery ini.
Yang menarik adalah sosok cewek bernama Adelita, yang usianya baru 22 tahun itu (hanya 2 tahun lebih tua dariku). Di mataku Adelita itu cantik sekaligus manis. Terutama kalau sudah tersenyum, lesung pipitnya selalu menghiasi sepasang pipinya itu. Adelita yang biasa dipanggil Adel itu orang Indonesia, karena pegawai di gallery ini orang Indonesia semua.
“Apa kabar Del?” tanyaku.
“Baik Boss,” sahutnya sambil tersenyum. Lagi - lagi lesung pipitnya tampak menghiasi sepasang pipi yang putih agak kemerahan itu (dimerahkan oleh make up).
Aku sadar bahwa Adelita seperti caper padaku pada kunjungan pertamaku sebulan yang lalu. Kini pun ia tampak seperti ingin eksis di mataku.
“Kalau Boss sudah datang ke sini, rasanya suasana gallery ini jadi seger,” ucapnya sambil tersipu.
“Lebih seger lagi kalau kamu menemaniku di hotel nanti malam,” sahutku membuatnya agak tersentak. Lalu kelihatan seperti berpikir.
“Mmm… kapan Boss pulang ke Bangkok?” ia menatapku dengan bola mata bergoyang perlahan.
“Sekarang pulangnya ke Jakarta, bukan ke Bangkok lagi,” sahutku sambil memegang tangannya yang diletakkan di atas kaca etalase.
“Duh jadi pengen mudik. Soalnya sudah dua tahun gak pernah mudik.”
“Mudik itu apa?” tanyaku.
“Pulang kampung. Hihihiiii…”
“Ooo… aku kan lahir besar di Bangkok. Makanya banyak kata - kata dalam bahasa Indonesia yang belum kukenal.”
“Iya. Mungkin di Bangkok hanya diajari bahasa baku oleh orang tua Boss ya.”
“Ya begitulah,” sahutku sambil terus - terusan memperhatikan wajah Adelita yang jauh di atas rata - rata menurutku, “Jadi sekarang ada keinginan mudik?”
“Ada sih. Tapi entah bakal dikasih ijin atau tidak sama Bu Yeyen. Lagian belum punya buat tiket pesawatnya.”
“Lho… gajimu dipakai apa aja?”
“Kan tiap bulan juga transfer ke orang tua Boss. Maklumlah, sekarang saya jadi tulang punggung keluarga,” sahutnya sambil menunduk.
Aku mengangguk - angguk lalu berkata, “Ya udah kalau kamu ingin pulang, bareng aja sama aku besok pagi. Soal ijin dari Bu Yeyen, biar aku yang akan mintakan ijinnya.”
“Siap Boss, siap…”
“Jadi nanti malam kamu ke hotelku aja ya. Ini alamatnya,” kataku sambil memberikan kartu nama hotel yang tadi kuambil dari front desk.
Adelita menjemput kartu nama itu dan membacanya sambil berkata, “Di Lavender street ya Boss? Dekat Lavender street sih. Pake taksi setengah jam juga nyampe.”
“Bisa kan langsung ke hotel itu? Biar besok pagi bisa langsung ke airport,” kataku.
“Maaf Boss… tiket pesawatnya mau dibeliin sama Boss?”
“Ya iyalah. Bu Yeyen ke mana? Kok dari tadi gak kelihatan.”
“Lagi ngecek barang yang baru datang di gudang Boss.”
“Owh, pantesan dari tadi gak kelihatan batang hidungnya.”
“Jadi… nanti saya harus ikutan nginep di hotel Boss?”
“Iya. Mau pisah kamar denganku boleh. Sekamar denganku juga gak apa - apa. Bednya ada dua kok.”
“Mmm… bagaimana baiknya menurut Boss aja.”
“Kalau menurutku sih mendingan sekamar. Biar bisa ngobrol dulu sebelum tidur.”
“Iya Boss. Tapi saya mau ngambil pakaian dulu dari wisma.”
“Oke,” sahutku, “Tapi gak usah ngomong - ngomong sama Bu Yeyen kalau kamu mau nginap di hotelku ya.”
“Siap Boss.”
Kemudian aku melangkah ke belakang, menuju gudang gallery ini.
Di dalam gudang tampak Bu Yeyen, manager gallery ini, yang tampak sedang menghitung hiasan dinding berupa ukiran - ukiran dari kayu jati.
Barang - barang yang dijual di gallery ini hampir 100% didatangkan dari Indonesia, berupa barang hasil pengrajin di tanah airku. Dan kelihatannya barang - barang hasil pengrajin Indonesia itu laku keras di gallery ini. Mayoritas pembelinya pun turis bule atau dari China dan Jepang.
Bu Yeyen tampak asyik menghitung barang - barang seni di depan matanya, sehingga tidak menyadari kehadiranku yang datang dari belakangnya.
Maka tangan nakalku pun menepuk bokong gedenya dengan sedikit remasan, “Hallo Bu Yeyen… !” sapaku.
Bu Yeyen terkejut dan menoleh ke arahku. “Eeeh… Boss… kirain siapa… hihihii… apa kabar Boss?” tanyanya dengan sikap sopan tapi centil.
“Baik - baik aja. Bagaimana perkembangan gallery ini?”
“Omzetnya meningkat terus Boss. Makanya volume impor dari Indonesia pun naik duapuluhlima persen. Maaf, gak enak ngomong di gudang gini. Mari ke ruang tamu Boss.”
Aku mengangguk, lalu mengikuti langkah Bu Yeyen menuju ruang tamu.
Sesaat kemudian aku sudah duduk di sofa ruang tamu. Bu Yeyen duduk di depanku.
Aku menepuk kulit sofa yang sedang kududuki sambil berkata, “Sini dong duduknya. Gak usah terlalu formal seperti dengan Papa almarhum. Sama aku sih santai aja.”
“Iya,” sahut Bu Yeyen sambil berdiri, lalu pindah duduknya ke sebelah kiriku.
“Bu Yeyen kelihatannya tambah seksi aja sih?” ucapku sambil memegang lututnya yang terbuka di bawah spanroknya. Saat itu Bu Yeyen mengenakan blazer dan spanrok serba abu - abu, dengan blouse putih bersih.
“Hihihihi… Boss bisa aja. Saya kan sudah tua Boss,” sahutnya tersipu, tapi tetap dengan sikap centil.
“Aaah… tua gimana? Emang usia Bu Yeyen sekarang berapa?”
“Tigapuluhlima Boss.”
“Tigapuluhlima sih belum tua Bu. Masih bisa hamil kan?”
“Ya masih Boss. Hihihiii… emangnya Boss mau hamilin saya?”
Aku agak tersentak mendengar pertanyaan frontal itu. Tapi aku punya naluri cepat tanggap. “Boleh… emangnya Bu Yeyen gak punyua suami?”
“Sejak bekerja di gallery ini, saya sudah janda Boss.”
“Ohya? Anaknya berapa orang?”
“Dua orang Boss. Tapi kedua - duanya dibawa sama mantan suami.”
“Kalau Bu Yeyen janda sih, boleh dong aku mengisi masa kesepiannya,” ucapku sambil berusaha menyelinapkan tanganku ke balik spanrok abu - abu manager gallery ini.
“Boleh banget kalau Boss sih yang menghangatkan kesepian saya,” ucapnya sambil merenggangkan pahanya, seolah mempersilakan tanganku menyelundup lebih jauh ke dalam.
Meski agak susah, karena ia mengenakan spanrok dengan belahan di sebelah kanannya, namun tanganku berhasil juga menyelinap ke balik celana dalamnya. Dan menemukan kemaluan yang berjembut tipis, tipis sekali.
Bu Yeyen terengah, lalu berbisik ke telingaku, “Mendingan di sana Boss, supaya lebih bebas, “ia menunjuk ke sebuah pintu yang aku tahu sebagai ruang istirahat Papa kalau sedang berada di Singapore. Bahkan Papa suka tidur di situ.
“Iya,” sahutku sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalam Bu Yeyen. Lalu kami melangkah ke dalam kamar yang sering Papa pakai dahulu.
Setelah kami berada di dalam kamar yang kualitasnya tak kalah dengan kamar hotel five star, Bu Yeyen menutupkan pintu kembali sekaligus menguncikannya. “Gak nyangka Boss mau juga menghangati saya yang sudah lima tahun menjanda ini,” ucapnya sambil melepaskan blazer abu - abunya, lalu menggantungkannya di kapstok.
Aku pun berdiri di belakangnya sambil berbisik, “Boss yang bijaksana kan punya kewajiban untuk membantu anak buahnya yang punya masalah.”
“Sekalian sambil menyelam minum air ya Boss,” ucapnya sambil melepaskan blouse putihnya.
“Begitulah kira - kira,” sahutku sambil membantu membuka kancing beha Bu Yeyen yang terletak di punggungnya.
Beha itu pun dilepaskan oleh pemiliknya. Sementara aku masih berada di belakang wanita setengah baya itu. Tapi lewat cermin besar di depan Bu Yeyen, aku bisa melihat gedenya sepasang toket manager gallery ini. Maka dari belakang Bu Yeyen aku memeluknya, dengan kedua tangan memegang sepasang toket gedenya.
“Apa pun yang Boss mau, pasti saya kasih,” sahut Bu Yeyen sambil menurunkan spanrok dan melepaskannya. Lalu ia memutar badannya, jadi berhadapan denganku, dalam keadaan tinggal bercelana dalam saja. Wooow… memang seksi sekali manager galleryku itu. Toket yang gede, pinggang yang ramping dan bokong yang gede sekali.
Dengan telaten Bu Yeyen melepaskan kancing kemeja tangan pendekku satu persatu, kemudian melepaskan dan menggantungkannya di kapstok. Lalu ia berjongkok di depanku, sambil menurunkan ritsleting celana corduroyku sekalian melepaskannya dari kedua kakiku.
Tak cuma itu. Ia juga menurunkan celana dalamku sekalian melepaskannya dari kedua kakiku. Dan… ia terbelalak sambil memegang batang kemaluanku yang sudah mulai ngaceng ini. “Ooooh…! Punya Boss ini… luar biasa gede dan panjangnya…!” ucapnya perlahan.
Aku pun menelentang di atas bed, sambil membiarkan Bu Yeyen memegang batang kemaluanku disertai dengan remasan perlahan.
Lalu… tanpa kusuruh poun Bu Yeyen memasukkan setengah dari batang kemaluanku ke dalam mulutnya. Dan terasalah betapa binal lidahnya menggeluti penisku yang berada di dalam mulutnya. Sementara tangannya memegang batang kemaluanku yang tidak terkulum oleh mulutnya.
Permainan felatio “(wanita mengoral penis)” pun dimulai. Air liurnya dialirkan ke batang kemaluanku yang tak terkulum olehnya, lalu dijadikan pelicin untuk mengurut - urut batang kemaluanku, sementara moncong dan leher penisku digeluti oleh bibir dan lidahnya.
Tentu saja aksi Bu Yeyen itu membuat penisku semakin ngaceng… ceng ceng ceng.
Dengan tangan kanan kanan tetap memegang penisku yang sedang diselomotinya, tangan kirinya pun digunakan untuk melepaskan celana dalamnya. Dan tanpa membuang - buang waktu lagi Bu Yeyen berlutut dengab kedua lutut berada di kanan - kiri pinggulku, sementara memeknya tepat berada di atas penisku.
Lalu pinggulnya diturunkan sambil tetap memegang batang kemaluanku yang sudah diarahkan ke sasaran utamanya.
Blessssss… batang kemaluanku mulai menyeruak ke dalam liang memek berjembut tipis dan jarang itu.
Lalu pinggul Bu Yeyen mulai naik turun perlahan - lahan, sehingga penisku jadi maju - mundur di dalam liang memeknya yang terasa empuk - empuk legit ini.
Tapi sebenarnya aku kurang suka dengan posisi WOT ini, karena menurutku banyak kekurangannya. Karena itu aku hanya membiarkan Bu Yeyen beraksi belasan menit saja di atas penisku. Lalu aku mengajaknya berubah ke posisi missionary.
Bu Yeyen pun setuju. Ia langsung menelentang di atas bed, sehingga penisku terlepas dari liang memeknya.
Bu Yeyen merentangkan sepasang pahanya lebar - lebar ketika aku sudah meletakkan moncong penisku di mulut vagina wanita setengah baya itu.
Dan kudorong penisku sekuat tenaga… blesssss… melesak masuk lagi ke dalam liang memek Bu Yeyen yang berperawakan seksi habis itu.
Aku pun menjatuhkan dadaku ke atas sepasang toket gede Bu Yeyen, sambil bertanya, “Dulu Papa pernah ngentot Bu Yeyen juga?”
“Iiiih… nggak pernah Boss. Pak Margono almarhum sangat cuek orangnya. Setelah istrinya meninggal juga tetap cuek. Gak pernah bercanda atau mengganggu cewek mana pun.”
“Nggak seperti aku ya?”
“Hehehee… iya… putra Pak Margono ini memang supel sih. Nggak banyak sikap protokoler. Jadi anak buah Boss pun pada suka.”
Aku tiddak menanggapinya. karena aku mulai mengentotnya, dengan gerakan yang langsung cepat. Soalnya aku ingat bahwa sebentar lagi gallery bakal tutup. Karena itu aku berusaha untuk ejakulasi sebelum jam tutup gallery.
Bu Yeyen pun menanggapi aksiku dengan menggoyang pinggulnya, memutar - mutar, meliuk - liuk dan menghempas - hempas ke atas kasur. Sehingga penisku terasa dibesot - besot dan diremas - remas oleh dinding liang memek Bu Yeyen yang terasa bergerinjal -gerinjal ini. Hmmm… luar biasa nikmatnya…!
Aku pun mengentotnya sambil meremas - remas toket kanannya dengan tangan kiriku, sementara mulutku asyik mengemut pentil toket kirinya. Hal Ini membuat goyangan pinggul Bu Yeyen semakin menjadi - jadi.
Hampir setengah jam aku menyetubuhi manager galleryku itu. Sampai akhirnya Bu Yeyen merintih di dekat telingaku, “Boss… dudududuuuuh… saya mau lepas Bossssss.. oooohhhhh… oooo… ooooooh…”
Aku pun semakin mempercepat entotanku. Maju mundur maju mundur maju mundur maju… sampai akhirnya kubenamkan penisku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memek Bu Yeyen.
Pada saat itu pula sekujur tubuh Bu Yeyen mengejang tegang, sementara liang memeknya terasa seperti belitan ular yang seolah ingin menghancurkan penisku. Disusul dengan kedat - kedut kencang di dasar liang memeknya. Disusul dengan tembakan air maniku secara beruntun… crotttt… croooot… croooottttt…
Sebelum meninggalkan kamar yang tadinya selalu dijadikan tempat istirahat Papa itu, Bu Yeyen memelukku dari belakang, sambil berkata setengah berbisik, “Gairah saya sudah lama terpenjara dan seolah mati. Tapi sekarang saya merasakannya kembali. Boss telah menghidupkan kembali gairah saya. Terima kasih Boss.
Sebenarnya aku sedang memikirkan Adelita yang sudah kujanjikan akan kuajak terbang bersama ke negara kami. tapi aku tak mau mengecewakan Bu Yeyen, karena dia termasuk orang kubutuhkan di dalam bisnisku. Lagipula tubuh seksinya itu, mungkin akan sering kubutuhkan untuk “refreshing”.
Karena itu aku memutar badanku jadi berhadapan dengan wanita setengah baya itu. Lalu kucium bibirnya dengan lembut. “Terima kasih Bu Yeyen. Apa yang telah terjadi barusan, takkan terlupakan. Aku akan sering - sering ke Singapore untuk merasakan legitnya yang satu ini,” kataku sambil mengusap - usap memeknya yang masih belum tertutupi celana dalam.
Bu Yeyen tersenyum ceria.
Lalu kataku, “Ohya… Adelita itu akan ikut ke Indonesia, karena kampungnya tidak jauh dari kotaku. Menurut pengakuannya, sudah dua tahun dia tidak pulang kampung. Berapa lama dia mendapat izin cuti?”
“Kalau Boss yang bawa, masa cutinya terserah Boss. Memang kasian juga dia itu. Kerjanya rajin dan teliti. Saking tekunnya bekerja, sampai lupa pulang. Kapan Boss mau terbang ke Indonesia?”
“Mungkin besok, mungkin juga lusa,” sahutku.
“Iya… silakan aja Adelita diajak terbang bersama Boss. Supaya dia bisa menikmati terbang gratis. Hihihiii…”
Lalu Bu Yeyen mengenakan pakaiannya kembali, sementara aku keluar dari kamar itu, mencari Adelita di gallery. Setelah kelihatan dia masih berada di tempat semula, aku menghampirinya dan berkata perlahan, “Nanti bilang aja sama Bu Yeyen bahwa kampungmu sangat dekat dengan tempat tinggalku ya.”
“Iya Boss. Emangnya Boss sudah ngasih tau Bu Yeyen?”
“Sudah. Dan kamu dikasih izin cuti.”
“Maaf… berapa hari izin cuti saya Boss?”
“Bu Yeyen menyerahkan padaku tentang masa cutimu itu. Jadi tenang aja ya. Nanti aku yang menentukan semuanya.”
“Siap Boss.”
Kemudian kuberikan uang 50 dollar Singapore padanya sambil berkata, “Ini untuk taksi menuju hotelku nanti ya.”
“Siap Boss. Terima kasih,” sahut Adelita sambil tersenyum manis. Hmmm… manis sekali senyum Adelita itu…!
Lalu aku meninggalkan galleryku.
Sebenarnya aku ingin mengunjungi pabrik peninggalan Papa di Singapore ini. Tapi hari sudah mulai malam, sehingga kubatalkan niat itu dan pulang ke hotel dengan taksi.
Di dalam hotel, aku mandi sebersih mungkin. Sambil membayangkan apa yang sudah terjadi dengan Bu Yeyen dan apa yang akan terjadi dengan Adelita nanti. Setelah mandi kupakai baju dan celana piyamaku, tanpa mengenakan celana dalam. Lalu menunggu datangnya Adelita yang terasa lama sekali.
Sampai pada suatu saat…
Seorang bellboy mengantarkan Adelita ke kamarku. Kuberi bellboy itu tip, 3 keping uang coin pecahan 2 dollar Singapore (SD).
“Thank you,” ucap bellboy itu. Aku mengangguk sambil tersenyum. Di dalam hati aku berkata, tumben ngomong thank you bukan thank you aaa… hahahaaaaaaaa…!
Setelah bellboy itu berlalu, kututupkan kembali pintu sekaligus menguncinya. Lalu menghampiri Adelita yang sudah duduk di satu - satunya sofa dan berada di dekat jendela.
Lalu aku duduk di sebelah kanan Adelita, yang pada saat itu mengenakan celana jeans dengan baju kaus berwarna hitam. Sambil melingkarkan lengan kiriku ke pinggangnya. “Kamu punya perasaan khusus padaku ya …” ucapku perlahan.
Adelita tersipu dan menyahut dengan suara nyaris tak terdengar, “Kok Boss bisa tau?!”
“Feelingku tajam Del. Coba ngomong deh sejujurnya, apa yang kamu rasakan?”
“Saya memang punya perasaan lain pada Boss… tapi saya tau diri… tau siapa saya dan siapa Boss,” sahut Adelita sambil menundukkan kepala.
“Yang jelas dong ngomongnya. Perasaanmu padaku itu bagaimana sebenarnya?” tanyaku sambil membelai rambutnya.
“Sa… saya suka sekali sama Boss… hati saya seperti sudah bertekuk lutut di bawah daya pesona Boss. Mohon Boss jangan marah ya…”
Sebagai jawaban, kurapatkan pipiku ke pipi Adelita. Sambil berkata, “Kalau kamu membenciku, mungkin aku marah. Tapi kalau kamu suka, masa aku marah padamu?”
Lalu Adelita menatapku dengan sorot ragu, namun senyum manis berlesung pipitnya menghiasi wajah cantiknya kembali.
“Kamu pernah pacaran berapa kali selama ini?” tanyaku.
“Ah, cuma cinta monyet waktu masih di SMP dan SMA, Boss.”
“Umurmu sekarang berapa tahun?”
“Sembilanbelas Boss. Setelah lulus SMA saya kan dipekerjakan di gallery punya Boss.”
“Lalu sudah punya pengalaman dengan cowok?”
“Maaf… pengalaman apa maksudnya?”
“Pengalaman dalam soal sex?”
“Iiiih… saya sih dicium bibir juga belum pernah. Kalau dicium pipi memang pernah. Tapi kalau cowoknya minta cium bibir, selalu saya tolak.”
“Kenapa nolak cium bibir?”
“Karena kata Mamah, kalau ciuman bibir itu pasti menjalar ke mana - mana. Jadi Mamah melarang saya ciuman bibir, supaya bisa menjaga kehormatan, katanya.”
“Hebat. Berarti kamu masih perawan?”
“Masih Boss.”
“Boleh kubuktikan?”
“Silakan. Asalkan saya jangan disia - siakan sesudahnya.”
“Iya… sekarang mandi dulu gih. Aku mau ke luar dulu sebentar.”
“Iya Boss.”
“Nanti setelah mandi, ganti pakaiannya dengan gaun rumah… bawa daster nggak?”
“Bawa Boss.”
Kemudian aku keluiar dari kamar dan menuju front office sambil melambaikan tangan ke seorang bellboy.
Setelah bellboy itu mendekat, aku berkata padanya, “I need birth control tablets and massage lotions. Can you buy it at the pharmacy?”
(Saya membutuhkan tablet KB dan lotion pijat. Bisakah kamu membelinya di apotek?)
Bellboy itu mengangguk sopan sambil menyahut, “Yes, young master I can buy it. “(Ya, tuan muda saya bisa membelinya).
Kemudian kuberikan selembar uang pecahan 50 dollar Singapore.
Bellboy itu pergi ke luar hotel, sementara aku duduk di lobby sambil baca - baca koran Singapore. Sampai bellboy itu datang lagi sambil membawa kantong plastik kecil berisi pesananku. Setelah memberi tip10 dollar Singapore kepada bellboy itu, aku pun kembali lagi ke dalam kamarku.
Terdengar bunyi pancaran air dari kamar mandi. Adelita benar - benar sedang mandi. Aku pun duduk di sofa yang cuma satu (bukan 1 set) ini
(Maklum bukan hotel five star).
Yang membuatku nyaman, di sekitar hotel ini banyak makanan murah meriah. Ada food market yang berada di seberang jalan hotel, ada pula kedai nasi muslim yang sejajar dengan hotel. Dan yang jelas suasananya tidak berisik seperti di Orchard Road.
Tak lama kemudian Adelita muncul dari dalam kamar mandi, mengenakan daster satin putih yang agak pendek, sehingga sebagian paha putih mulusnya tampak di mataku.
Dengan sejujurnya aku menilai di dalam hati, bahwa Adelita adalah cewek tercantik di antara sekian banyak cewek yang pernah kukenal…!
Tapi aku tidak mengucapkannya secara lisan. Aku hanya berkata, “Nah… kalau udah mandi seger kan?”
“Iya Boss,” sahutnya sambil tersenyum.
“Ayo duduk di sini lagi,” kataku sambil menepuk kulit sofa yang kududuki. Adelita pun duduk di samping kiriku.
Lalu kulingkarkan lengan kiriku sambil mendekatkan mulutku ke bibirnya, “Kalau aku ingin mencium bibirmu boleh nggak?”
“Kalau buat Boss sih mau ngapain juga boleh, asalkan jangan menyakiti hati saya aja.”
“Kamu nyadar gak, kenapa aku mengajakmu ke sini dan memintakan izin sama Bu Yeyen segala untuk cutimu selama dua minggu?”
“Saya tidak berani menebak - nebak Boss. Takut salah tebak.”
Sambil memegang tangannya erat - erat, aku berkata, “Kalau gitu dengarin ya… aku mengajakmu ke sini dan mengajakmu terbang ke Indonesia, karena apa? Karena aku suka padamu, Del.”
“Boss… ooooh… rasanya ucapan Boss barusan masuk ke hati saya… terima kasih Boss. Saya sangat bahagia mendengarnya…” ucap Adelita sambil memegangi dadanya. “Silakan cium bibir saya Boss… karena saya juga ingin merasakan bagaimana rasanya dicium oleh sosok yang belakangan ini sudah menjadi idola saya.
Aku tersenyum dan tidak menganggap lebay pada ucapan Adel itu. Lalu kupagut bibir sensualnya ke dalam ciuman dan lumatanku, sambil melingkarkan lengan kiriku di lehernya, sementara tangan kananku memegang lututnya yang terbuka di bawah daster putihnya.
Sebenarnya ada rasa penasaran di dalam hatiku. Penasaran ingin membuktikan apakah dia benar - benar masih perawan atau tidak. Tapi aku belum pernah mendapatkan sasaran yang masih perawan. Sehingga aku jadi kebingungan sendiri tentang bagaimana cara untuk memulainya?
Aku pun takkan terlalu memaksakan diri untuk membuktikan keperawanan Adelita. Aku ingin ingin semuanya mengalir tanpa memaksakan kehendakku. Maklum, beberapa saat yang lalu aku baru saja menyetubuhi Bu Yeyen yang bodynya amat seksi itu.
Tapi tangan nakalku mulai gatal ketika aku masih melumat bibir Adelita ini. Tangan nakalku mulai memegang lututnya lalu merayap ke arah pahanya. Adelita tidak meronta sedikit pun. Bahkan mendekap pinggangku erat - erat, dengan mata terpejam.
Ketika tanganku sudah berada di balik celana dalamnya pun, dia tidak meronta atau pun menepiskan tanganku. Sepasang mata indahnya pun tetap terpejam.
Aku hanya mengusap - usap permjukaan memeknya yang bersih licin, tak terasa menyentuh bulu jembut sama sekali. Lalu melepaskan ciumanku dan berbisik, “Kalau tidak keberatan, lepaskan dastermu, Del.”
Adelita membuka kelopak matanya. Menatapkju dengan sorot pasrah. Lalu melepaskan dasternya lewat kepalanya. Sehingga bentuk tubuhnya sangat jelas di mataku. Tubuh yang tinggi semampai dengan kulit kuning langsat yang sangat mulus dan wajah jelita berlesung pipit di kedua pipinya.
Lalu… tubuh mulus yang tinggal mengenakan beha dan celana dalam serba putih itu kuangkat dan kubopong ke arah bed. Lalu kuletakkan di atas bed dengan hati - hati.
“Bolleh aku membuktikan perawan tidaknya kamu Del?” tanyaku sambil duduk di sisi Adelita yang terlentang pasrah.
“Silakan aja Boss.”
“Kamu takkan menyesal setelah tidak perawan lagi nanti?” tanyaku sambil mengusap - usap perutnya yang kempis, tidak buncit.
“Tidak. Bahkan saya akan bangga karena yang mengambil kesucian saya adalah orang yang sangat saya kagumi… ‘
“Kalau begitu aku akan membuktikannya ya. Dan itu berarti, aku akan menyetubuhimu Del. Apakah kamu sudah siap?”
‘Siap Boss. Silakan aja lakukan apa yang terbaik bagi Boss dan terbaik pula bagi saya.”
Lalu aku membuka kancing beha Adelita yang terletak di punggungnya, lalu Adelita sendiri yang melepaskan beha itu. Dilanjutkan dengan melepaskan celana dalamnya. “Hmmm… tubuhmu indah sekali Del. Setelah terbukti kamu perawan, kamu akan menjadi milikku nanti.”
‘Iya Boss… saya akan semakin bangga kalau punya kesempatan untuk menjadi milik Boss,” sahutnya bernada pasrah.
Benarkah Adelita sampai sejauh itu mengagumiku, sehingga dia akan merasa bangga kalau aku mengambil keperawanannya (kalau ia memang masih perawan)?
Entahlah. Tapi kalau ia bertanya padaku dan aku harus menjawabnya secara jujur, sesungguhnyalah aku pun akan merasa bangga seandainya Adelita menjadi milikku. Tapi aku tidak mengucapkannya. Cukup menyimpannya saja di dalam hati. bahwa kalau dia benar -benar perawan, aku akan memelihara, melindungi, memanjakan dan menata masa depannya.
Maka aku pun tak buang - buang waktu lagi. Kulepaskan baju dan celana dalamku, sehingga aku pun telanjang bulat seperti Adelita.
Adelita tampak seperti gentar menyaksikanku sudah sama - sama telanjang seperti dia. Namun aku berusaha mengusir kegentarannya dengan merayap ke atas tubuhnya, lalu menghimpitnya sambil mencium bibirnya dengan segenap kemedsraan yang kumiliki.
“Boss… saya seperti tengah bermimpi… “gumam Adelita pada saat aku sedang mengemut pentil toketnya yang masih sangat kencang, sambil membelai rambutnya dengan lembut.
Aku tahu betul bahwa dalam suasana yang krusial seperti ini, aku harus bersikap selembut mungkin padanya.
Kemudian aku melorot turun, untuk menjilati pusar perutnya… lalu melorot lagi sehingga wajahku sudah berhadapan dengan memeknya yang cuma tampak seperti garis lurus dari atas ke bawah. Karena ketembeman memeknya menutup bibir luar vaginanya itu.
Lalu kukuakkan “garis lurus” itu dengan kedua tanganku. Sehingga memeknya jadi ternganga dan bagian dalamnya yang merah muda itu pun tampak di mataku.
Lalu lidahku pun mulai beraksi. Menjilati bagian dalam yang kemerahan itu.
Adelita tersentak pada awalnya. Tapi lalu terdiam setelah aku menggencarkan jilatanku. Bahkan ia mulai menggeliat - geliat erotis, seperti ular yang terinjak kepalanya…
Bahkan ketika aku mulai grencar menjilati kelentitnya, geliat - geliat erotisnya pun mulai diiringi desah - desah nafasnya, “Aaaaaa… aaaaaaaahhhh… aaaaaa… aaaaahhhh… aaaaaa… aaaaaahhhh… aaaaaaa… aaaaaaaaahhhh…”
Sambil menjilati celah kewanitaannya, aku perhatikan benar “keadaan” di dalam kemaluannya yang sulit untuk dilihat tanp[a lampu senter. Tapi jelas terlihat bahwa liangnya itu sangat kecil. Jelas harus dibantu oleh lotion yang tadi dibelikan oleh bellboy hotel ini.
Ketika aku mengalirkan lotion ke dalam celah kemaluannya, Adelita hanya menatapku dengan sorot pasrah. “Lotion ini untuk melicinkan, supaya tidak sakit,” kataku.
Adelita cuma tersenyum dan membiarkanku membuat celah kemaluannya digenangi lotion.
Begitu pula pada waktu aku merenggangkan kedua paha mulusnya, Adelita menurut saja. Membuatku semakin nyaman untuk meletakkan moncong penisku di ambang mulut memeknya yang sudah basah oleh lotion dan air liurku.
Lalu aku mendorong batang kemaluanku… tapi meleset ke bawah. Sehingga aku harus membetulkan letak awalnya. Kudorong lagi, meleset lagi.
Kutambah lotion lagi agar memudahkan penisku membenam ke dalam liang memek yang sangat sempit itu.
Kuletakkan lagi moncong penisku di ambang mulut vagina yang sudah sangat mengkilap dan basah oleh lotion itu. Lalu kudorong lagi sekuatg tenaga… iyaaaaaaaaa… mulai masuk sedikit… kudesakkan lagi sekuatnya… makin dalam masuknya… hampir setengahnya masuk.
Aku pun menghempaskan diri ke atas perut dan dada Adelita. “Sakit?” tanyaku perlahan.
“Nggak,” sahutnya sambil melingkarkan lengannya di leherku, “Boleh cium bibir Boss?”
“Tentu aja boleh,” sahutku sambil menggerak - gerakkan penisku perlahan - lahan.
Adelita pun mencium bibirku dengan kaku awalnya. Tapi setelah aku melumat bibirnya, ia pun balas melumat bibirku. Sementara penisku makin lama makin lancar mengentot liang memek Adelita, meski liangnya terasa sempit sekali. Aku malah menilai bahwa liang memek Adelita ini paling sempit di antara liang - liang sanggama yang pernah kusetubuhi.
Adelita pun mulai memberanikan diri untuk mendekap pinggangku erat - erat. Sementara tubuhnya terkadang mengejang, terkadang mengendur.
Desahan erotisnya pun mulai berkumandang di dalam kamar hotel ini, “Bossss… aaaa… aaaaaah… Boss… aaaaaahhhhhhh… Boss… aaaaaaaaa… Bosss… Bosss… aaaaa… aaaaaah… Bosssss…”
Kupelankan dulu entotanku sambil berbisik di telinga Adelita, “Sakit nggak?”
“Ta… tadi sakit sedikit… tapi sekarang nggak sakit lagi… malah eee… enak sekali Boss… rasanya… seperti… seperti melayang - layang gini sa… saking enaknya Boss… aaaaa… aaaaaah… kita… kita ini… se… sedang bersetubuh?”
“Iya…” sahutku sambil mempercepat entotanku. Tapi aku tidak bisa “tancap gas”, karena sempitnya liang kemaluan Adelita ini.
Sementara rintihan - rintihan histeris Adelita makin menjadi - jadi, “Boooossss… ooooh… Boooosssss… oooooooh… Boooosssssss… iiiiniiiii… lu… luar biasa enaknyaaaaa Bossss… eeeenaaaak Bossss… sangat enaaaaaak… sangat enaaaak… ooooh… Bossss… Boooosssssss…
Aku pun mulai melengkapi persetubuhan ini, dengan jilatan - jilatan di lehernya yang mulai keringatan, meski AC di kamar hotel ini terasa dingin sekali. Maka kedua tangan Adelita mulai mengepak - ngepak kasur. Seolah burung yang patah sayapnya, yang ingin terbang tapi tak bisa.
Terkadang aku pun mengemut pentil toketnya, sementara tanganku meremas toket yang satunya lagi. Sepasang mata bening Adelita pun semakin merem melek dibuatnya.
Dan ketika aku menjilati ketiaknya, Adelita tampak kaget. Pasti karena tidak menduga kalau aku akan menjilati ketiaknya segala. Begitu pula pada waktu aku menjilati telinganya, Adelita tersentak, tapi lalu membiarkanku melakukan apa pun yang kuinginkan.
Cukup lama aku melakukan semuanya ini. Sehingga keringatku pun mulai berjatuhan. Sebagian berjatuhan ke kain seprai, sebagian lagi berjatuhan ke leher, ke wajah dan ke dada Adelita.
Sampai pada suatu saat, Adelita berkelojotan sambil memejamkan matanya. Pada saat itulah aku pun mempercepat ayunan penisku.
Sebenarnya aku bisa memperlama durasi ngentotku. karena persetubuhan dengan Adelita adalah persetubuhan yang kedua bagiku hari ini. Karena beberapa saat yang lalu aku sudah menyetubuhi Bu Yeyen pula di galleryku.
Tapi aku sadar bahwa Adelita jangan sampai merasa tersiksa kalau aku terlalu lama menyetubuhinya. Karena itu aku menargetkan untuk ngecrot berbarengan dengan orgasme Adelita.
Karena itu aku dengan cepatnya berkonsentrasi, tentang betapa nikmatnya liang memek yang masih sangat - sangat sempit ini. Maka ketika sekujur tubuh Adelita mengejang tegang, Aku pun menancapkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sambil meremas sepasang toket yang masih sangat kencang ini.
Kurasakan betapa liang sanggama Adelita berkejut - kejut, berbarengan dengan meletusnya lendir mani dari moncong penisku.
Croot… crooooottttttt… crooooottttttt… crotcrot… crooooot… cret… crooooooootttt…!
Kami sama - sama terkapar dan terkulai lemas.
Namun sesaat kemudian kucabut batang kemaluanku dari liang memek Adelita. Lalu aku mengamati memek tembem yang bersih dari jembut itu. Tampak ada darah mengalir dari memeknya dan menetes - netes ke kain seprai.
Hmmm… Adelita benar - benar masih perawan sebelum kusetubuhi tadi.
Dan aku merasa terharu bercampur rasa hormat pada Adelita. Karena di zaman yang sudah edan ini, masih ada cewek yang masih perawan.
Lalu kucium bibir Adelita disusul dengan bisikan, “Kamu memang masih perawan sebelum kusetubuhi tadi, Sayang.”
Adelita menatapku dengan senyum di bibirnya. Lalu menyahut, “Merasakan ciuman di bibir saja baru sekarang saya merasakannya. Apalagi disetubuhi seperti barusan.”
“Kamu tidak menyesal karena keperawananmu sudah kuambil?” tanyaku sambil mengusap - usap pipinya yang masih keringatan.
“Kalau sama orang lain pasti menyesal. Tapi karena yang mengambilnya Boss, saya tidak menyesal sedikit pun.”
“Syukurlah. Mulai saat ini, kalau kita sedang berduaan begini, jangan manggil boss lagi padaku ya.”
“Lalu saya harus manggil apa?”
“Panggil Bang aja. Karena usiamu lebih muda setahun dariku.”
“Iya Boss, eh Bang. Tapi kalau di depan sesama pegawai di gallery, saya akan tetap memanggil Boss.”
“Ya… kalau di depan pegawai atau manager sih manggil boss juga gak apa - apa.”
“Ohya Bang… apakah persetubuhan barusan bisa membuat saya hamil?”
“Bisa hamil, bisa juuga tidak. Tapi aku sudah membelikan pil anti hamil,” kataku sambil menyerahkan pil kontrasepsi yang dibelikan oleh bellboy tadi. “Baca dulu aturan pakainya.”
“Iya Boss. Kalau bisa sih jangan hamil dulu. Supaya saya bisa tetap bekerja di gallery.”
Aku cuma tersenyum mendengarkan ucapan Adelita itu. Karena aku sudah punya rencana untuk menaikkan derajatnya, lebih tinggi daripada sekadar jadi pegawai galleryku.
“Bang… apakah saya boleh untuk tetap mencintai Abang?” tanya Adelita sambil meletakkan tangannya di atas perutku.
“Tentu saja boleh. Bahkan harus tetap mencintaiku, tetap setia padaku. Karena aku pun mencintaimu, Sayang…”
“Ooooh Bang… benarkah kata - kata Abang itu?”
“Iya Sayang,” sahutku sambil meraih kepala Adelita agar terletak di atas dadaku.
Dua hari kemudian…
Kedatanganku di rumah yang dibeli dari Pak Wondo dan sudah direnovasi ini, disambut dengan peluk cium Bunda. Terasa sekali betapa Bunda merindukanku, padahal cuma beberapa hari aku berada di luar negeri.
“Donna ke mana Bun?” tanyaku.
“Lagi ngawasin pembangunan café itu. Sejak kamu terbang ke Bangkok, dia tak pernah ke mana - mana selain mengawasi orang - orang kerja,” kata Bunda sambil menarik tanganku mengajak masuk ke dalam rumahnya, “sebentar… ada yang mau bunda omongin.”
“Mau ngomong soal apa Bun?” tanyaku sambil duduk di sofa baru yang sudah diletakkan di kamar Bunda.
Bunda duduk di samping kiriku. Memegang tanganku sambil berkata, “Ternyata Donna tau kelakuan kita, terutama pada waktu pertama kalinya kamu gauli Bunda…”
“Terus?”
“Donna tidak mendakwa bunda. Bahkan akhirnya dia mengakui bahwa kamu sering menggaulinya juga. Betul kan?”
Dengan perasaan berat akhirnya aku menjawab, “Betul Bunda. Tapi Donna sudah tidak perawan lagi sebelum kugauli juga.”
“Memang siapa yang pertama menggauli dia?”
“Katanya sih pakai strapon… itu yang membuat keperawanannya hilang.”
“Strapon? Apa itu strapon?”
Untuk menjawabnya, kujelaskan apa itu strapon. Dildo yang menggunakan ikat pinggang dan posisinya seolah tumbuh dari kemaluan perempuan. Karena biasanya yang memakai strapon itu perempuan dengan perempuan lagi.
Bunda cuma mengangguk - angguk waktu mendengarkan penjelasanku.
Setelah menerangkan masalah strapon itu, aku bertanya, “Terus selanjutnya gimana Bun?”
Bunda menyahut, “Bunda dan Donna sudah sepakat untuk memiliki kamu secara bersama dan tidak boleh saling ganggu. Jadi kalau kamu sedang berada di kamar Bunda, Donna tidak akan mengganggu. begitu pula kalau kamu sedang berada di kamar Donna, bunda takkan mengganggu. Karena itu kami putuskan kamarmu terletak di tengah, di antara kamar bunda dan kamar Donna.
“Gak apa - apa. Malah bagus kalau begitu sih. Sekali - sekali Bunda dan Donna bisa kugauli bersamaan.”
“Threesome maksudmu?”
“Iya. Itu Bunda tau. Emangnya Bunda pernah dithreesome sama dua cowok sekaligus?”
“Iiih… gak pernah. Bunda cuma baca - baca aja diu majalah wanita.”
“Threesome itu ada dua macam Bun. Ada FFM dan MMF. Kalau FFM, perempuannya dua orang, cowoknya seorang. Kalau MMF sebaliknya, cowoknya dua orang ceweknya seorang.”
Saat itu Bunda mengenakan daster kirimanku dari Thailand tempo hari. Dan Bunda duduknya mengangkang, sehingga ketika tanganku dirayapkan ke balik daster itu, aku bisa menyentuh langsung memek Bunda yang ternyata tak bercelana dalam.
“Ini dari tadi pagi gak pake celana dalam Bun?” tanyaku sambil mengelus - elusmulut memek Bunda.
“Eeeeh, barusan aja pas lagi pipis dengar suara kamu. makanya celana dalam kebasahan sama air cebok. Bunda tinggalin aja di kamar mandi.”
Aku tersenyum. Lalu berbisik ke telinga Bunda, “Udah kangen sama kontolku nggak?”
“Kangen banget Sayuang. Tapi kamu kan baru datang. pasti capek abis terbang dari Bangkok ke sini.”
“Ohya Bun… ada oleh - oleh tuh dari Singapore. Aku kan mampir ke Singapore dulu, meninjau perusahaan - perusahaan peninggalan Papa di Singapore.”
“Terus kapan kamu mau pulang ke Bangkok lagi?”
“Aku mau menetap di sini aja Bun. Perusahaan - perusahaan yang di Bangkok sudah kujual. Duitnya buat modal usaha di sini aja. Biar dekat Bunda terus,” kataku sambil menciumi pipi Bunda.
“Donny… bunda senang sekali mendengar berita itu. kalau kamu di sini, bunda takkan kesepian lagi. Lagian… hihihi… kalau bunda lagi kepengen, kamu kan bisa ngasih.”
Tak lama kemudian terdengar suara Donna di ambang pintu kamar Bjunda ini, “Dooon! Udah lama datang?”
Aku berdiri dan menyahut, “Baru sepuluh menitan.”
Dona memburuku. Memelukku dengan eratnya. Aku pun tak ragu untuk mencium bibirnya di depan Bunda. karena menurut keterangan Bunda tadi, tiada lagi rahasia di antara aku, Bunda dan Donna.
“Aku kangen banget samna kamju iiih…” ucap Donna setelah ciumanku terlepas.
“Aku juga kangen sama Bunda dan kamu,” sahutku. “Tapi sekarang anter aku beli mobil dulu. Ke showroom yang dahulu aja.”
“Haa?! Mau beli mobil lagi? Kan mobilku juga jarang dipakai,” kata Donna.
“Mobilmu ya mobilku. Tapi aku butuh mobil satu lagi. karena aku akan menetap di sini. Kuliah pun akan kumulai lagi di kota ini.”
“Asyiiik !” Donna berjingkrak - jingkrak di depanku. Membuat Bunda tersenyum - senyum.
Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di dalam mobil Donna yang ia sendiri mengemudikannya.
“Kata Bunda, sudah tercapai konsensus di antara Bunda dengan kamu. Betul?” tanyaku setelah mobil Donna berada di atas jalan aspal.
“Soal hubunganku denganmu dan soal hubungan Bunda denganmu?” Donna balik bertanya di belakang setirnya.
“Iya. Kenapa bisa jadi semulus itu perundingannya?”
“Awalnya perdebatan, bukan perundingan. Tapi lalu tercapai kesepakatan, bahwa kamu milik Bunda sekaligus milikku juga.”
“Iya Bunda sudah ngomong soal itu. Tapi kenapa bisa jadi seperti itu kesepakatannya?”
“Tadinya nadaku seolah mendakwa Bunda. Tapi aku lalu merasa kasihan kepada Bunda yang kelihatan seperti merasa bersalah. Akhirnya aku buka kartuku sendiri, agar Bunda tidak merasa sendirian saja yang bersalah. Nah… lalu kami bisa ketawa - ketiwi dan mengatur semuanya itu.”
Aku tersenyum sendiri mendengar penuturan Donna itu. Sambil membayangkan bahwa Donna dan Bunda akan berduet seperti Teh Nenden dan Teh Siska.
“Mungkin nanti malam jatah Bunda dulu ya,” kata Donna.
“Kalau tidur, pasti di kamar Bunda. Nggak tau soal perjatahan sih. Soalnya aku masih letih Beib,” sahutku.
“Pasti masih jet lag lah. Kalau mau menetap di sini sih santai aja Don. Yang penting Bunda tuh… harus dipuasi. Supaya kebiasaan minumnya gak kambuh lagi.”
“Selama aku di luar, Bunda benar - benar sudah berhenti minum?”
“Iya. Tampaknya Bunda sudah tak mau menyentuh minuman beralkohol lagi. Sikap dan perilakunya juga berubah. Jadi periang dan suka bersenandung mengikuti musik jadul yang disetelkannya.”
“Wajahnya juga kelihatan sudah berdarah lagi. Padahal baru dua mingguan dia berhenti minum kan?”
“Iya. Bunda sudah berubah jadi wanita normal seperti dahulu lagi. Terlebih setelah menempati rumah baru yang segalanya sudah diupgrade begitu, Bunda jadi seneng bersih - bersih dan nata - nata. Ohya… kemaren Tante Santi dan Tante Dina datang tuh.”
“Ohya?! Mereka itu kakaknya Tante Reni kan?”
“Iya. Tante Reni kan adik Bunda yang paling bungsu.”
“Urut - urutannya gimana sih? Setelah Bunda, adik langsung Bunda itu siapa?”
“Urut - urutannya begini… adik langsung Bunda itu Oom Jaka yang di Kalimantan. Lalu Oom Sambas yang di Papua. Setelah itu Tante Ratih. Adik langsung Tante Ratih itu Tante Dina, kemudian Tante Santi. Bungsunya Tante Reni.”
“Kalau saudara - saudara kandung Ayah siapa aja?”
“Adik langsung Ayah itu Oom Zulkifli. Lalu Tante Neni, Tante Tita dan Tante Yani.”
“Kamu sering berjumpa dengan saudara - saudara Ayah?”
“Setelah Ayah meninggal, gak pernah berjumpa lagi dengan mereka. Tapi aku punya alamat mereka semua. Sekarang kan sudah punya mobil. Kapan - kapan kita harus menyempatkan diri bersilaturahmi ke rumah saudara - saudara Ayah ya.”
“Iya,” sahutku datar. Namun sebenarnya aku tengah menerawang ke satu sosok baru, Adelita.
Aku dan Adelita berpisah di bandara SoekarnoHatta setelah mendapatkan alamat rumah Adelita di kampungnya. Dan aku berjanji akan datang ke rumahnya seminggu kemudian.
Itu pula sebabnya aku mau membeli mobil lagi. Kali ini untuk kepentingan pribadiku sendiri.
Pilihanku jatuh pada sebuah jeep yang masih sangat mulus dan meyakinkan. Grand Cherokee 5000 cc, berwarna hijau army. Mungkin mobil ini dijual oleh pemiliknya, karena boros bbm. Maklum mobil 5000 cc. Tapi aku justru menyukainya, karena setelah test drive terasa benar tenaganya besar dan reaksinya spontan.
Konon di Amerika mobil ini biasa dipakai oleh para petani. Maklum petani di Amerika bukan seperti petani di negara kita. Tanah garapannya bisa ribuan hektar. Sehingga membutuhkan mobil yang tangguh dan bertenaga gede.
Aku merasa bahwa showroom menjual mobil second itu dengan harga yang sangat murah. Harga barunya mungkin bisa dua kali lipat harga second ini, bahkan bisa juga lebih mahal daripada itu.
Donna pun senang melihatku memilih jeep matic built up Amerika yang joint dengan pabrik mobil dari Jerman itu.
“Kamu akan kelihatan lebih macho dengan mobil keren ini,” ucap Donna setengah berbisik.
Aku menyahut perlahan, “Hmmm… mobil kan harus disesuaikan dengan jenis kelamin pemiliknya, Beib.”
Setelah membayar mobil itu dengan US dollar, aku mengajak Donna makan di restoran pilihannya.
Di restoran itu aku membuka percakapan, “Besok aku mau menghapalkan jalan di kota ini.”
“Sendirian? Awas nyasar.”
“Kan pakai GPS., Sayang. “(pada saat itu pembimbing dan petunjuk jalan baru ada GPS. Belum ada WAZE dan sebagainya).
“Oh iya yaaa. By the way, kita mau langsung pulang atau mau ke mana dulu setelah selesai makan entar?” tanya Donna.
“Langsung pulang aja. Badanku masih letih. Maunya sih dipijitin dulu sama kamu di rumah nanti,” sahutku.
Donna tersenyum dan menjawab dengan bisikan di dekat telingaku, “Mau dipijatin pake memek?”
Aku ketawa kecil sambil berkata, “Boleh juga sih…”
“Tapi nanti malam giliran Bunda dulu deh. Ohya, kalau mau langsung pulang, beliin lasagna, kesenangan Bunda. Di sini lasagnanya paling enak.”
“Iya, beliin aja.”
Lalu Donna pesan lasagna 3 porsi. Mungkin maksudnya untuk Bunda dan kami berdua nanti.
Setelah selesai makan, kami berpisah di parkiran restoran itu. Donna masuk ke sedannya sambil menjinjing kantong plastik berisi lasagna itu, sementara aku naik ke mobilku sendiri.
Setibanya di rumah, Donna menyerahkan oleh - oleh dari restoran itu kepada Bunda.
“Wow…! Banyak sekali belinya? Padahal satu cup juga cukup,” kata Bunda.
“Sengaja belinya tiga. Kalau Bunda cukup satu cup, biar aku dan Donny yang makan sisanya,” sahut Donna yang lalu melangkah ke dalam kamarnya. Tinggal aku dan Bunda yang masih berada di ruang makan.
Aku pun melangkah ke belakang kursi yang sedang diduduki oleh Bunda. Lalu mmegang sepasang bahu Bunda sambil berbisik ke telinganya, “Bunda sudah kangen sama kontolku kan?”
Bunda menoleh ke arahku, “Kangen sih kangen, tapi bunda lagi mens Sayang. Sama Donna aja dulu puas - puasin. Nanti setelah bunda bersih, baru dengan bunda lagi. Tapi ingat… Donna harus dikasih pil anti hamil. Supaya bebas dari masalah yang bisa menggemparkan keluarga besar kita nanti.”
“Mmm… sayang ya… tadinya aku justru ingin habis - habisan sama Bunda malam ini. Besok istirahat. Lusa baru mau sama Donna,” kataku sambil melangkah ke kamar tengah yang sudah menjadi kamarku. Kuambil seikat uang dolar Amerika dari dalam tas pakaianku. Aku memang mengambil belasan ikat uang dolar Amerika dari salah satu koper di dalam bunker peninggalan Papa, untuk kebutuhan sehari - hariku.
Seikat uang pecahan 100 USD itu kumasukkan ke dalam saku jaket kulitku yang belum dilepaskan. Lalu melangkah ke dalam kamar Donna.
Kulihat Donna sedang mengenakan kimononya. Kimono yang terbuat dari bahan wetlook biru ultramarine, sehingga kontras sekali dengan kulit Donna yang putih mulus.
“Pejamkan matamu. Aku mau ngasih kejutan,” kataku.
Donna menurut saja. Memejamkan matanya sambil meletakkan kedua tangannya di sepasang bahuku. Kukeluarkan seikat uang pecahan 100 USD itu dari saku jaket kulitku. Lalu kutarik tangan kanan Donna dari bahuku, sambil membuka telapak tangannya. Dan segepok uang dolar Amerika pecahan USD 100 itu kuletakkan di telapak tangan kanan Donna sambil berkata, “Bukalah matamu sekarang…
Donna membuka matanya dan langsung menatap ke arah uang dolar yang berada di tangan kanannya. “Woooow! Dolar Amerika?!” serunya.
“Iya. Itu semua sepuluhribu dolar. Tinggal hitung, kalau dirupiahkan berapa?”
“Hihihihiii… asyiiiik… tabunganku akan semakin banyak,” ucap Donna sambil mengecup pipiku. Lalu menepuk - nepuk uang hadiah dariku itu, kemudian menciuminya dan memasukkannya ke dalam laci lemari pakaiannya.
Aku cuma tersenyum melihat ucapan dan perilaku saudara kembarku itu.
“Ada kejutan lain,” kataku, “Bunda sedang mens. Jadi mempersilakanku untuk bersamamu sampai Bunda bersih.”
“Ohya?! Biasanya Bunda kalau mens bisa sampai sepuluh hari. Berarti… selama Bunda belum bersih, kamu akan ngentot aku terus kan?”
“Mungkin aku besok akan ke luar kota. Mau nyari sesuatu.”
“Sesuatu apa?”
“Kalau aku bilang sesuatu, berarti masih kurahasiakan. Ohya, kolam renang yang di belakang itu nantinya akan dinaungi oleh bangunan di atasnya Don.”
“Mau bikin bangunan apa di atas kolam renang itu?”
“Aku mau bikin semacam ruang kerja. Supaya orang - orang yang tidak terlalu penting, tak usah dipertemukan denganku. Biarlah aku konsentrasi di ruang kerjaku nanti.”
“Aku juga gak boleh masuk ke ruang kerjamu?”
“Kalau kamu dan Bunda sih lain. Kapan pun boleh menjumpaiku di ruang kerja itu.”
Ketika aku sudah menelungkup di bed dan sudah mengganti pakaianku dengan baju dan celana piyama, Donna pun masuk ke dalam ke dalam kamarku.
“Kamu beneran letih ya. Mau dipijitin?”
“Iya Don… pijatlah sebisanya. Badanku pegel - pegel gini…”
Donna menurut saja. Memijati telapak kakiku, lalu betisku dan… aku terlelap tidur.
Keesokan paginya aku baru terbangun dan menyadari bahwa tadi malam Donna memijatiku dan membuatku ketiduran. Entah karena pijatannya enak, entah karena aku sudah letih sekali.
Lalu aku pun masuk ke dalam kamar mandiku. Kamar mandi yang sudah dipasangi shower dan water heater, tidak pakai gayung plastik seperti di rumah lama Bunda yang sudah dibumi ratakan untuk mini mart itu.
Lalu aku bersiap untuk berangkat. Mencari - cari Donna tidak kelihatan.
“Donna ke mana Bun?” tanyaku.
“Biasa… lagi ngawasin yang sedang membangun café itu,” sahut Bunda.
“Dia disiplin juga ya. Selalu mengikuti perintahku.”
“Iya. Makanya kalau kamu punya perusahaan di kota ini, jadikanlah Donna sebagai tangan kananmu. dia itu rajin, setia dan jujur.”
“Iya Bun. Sedang dipikirkan dulu mau usaha apa di sini. Aku pergi dulu ya Bun.”
“Mau ke mana Don?”
“Mau ngapalin jalan di kota ini.”
“Nggak mau sarapan dulu?”
“Nggak usahlah. Nanti nyari jajanan di jalan aja.”
Aku memang ingin menghapalkan jalan di kota ini, dengan batuan GPS tentunya. Ta[I baru saja beberapa meter mobilku menginjak jalan aspal, tiba - tiba handphoneku berdering.
Ternyata dari Tante Ratih. Lalu :
“Hallo Tante… apa kabar?”
“Sehat. Donny sudah ada pulang dari Bangkok?”
“Sudah Tante.”
“Tempo hari tante ke rumahmu yang keren itu. Tapi kata bundamu sedang di Bangkok.”
“Iya sih. Tante ada perlu sama aku?”
“Iya Don. Kalau ada waktu sih main dong ke rumah tante…”
“Ini lagi di jalan. Sekarang juga mau ke rumah Tante. Tapi mau sarapan dulu, mau nyari nasi kuning dulu.”
“Nasi kuning sih di depan rumah tante juga ada yang jual. Sarapannya di sini aja Don.”
“Oke deh… kalau gitu mau langsung ke rumah Tante aja.”
“Alamatnya sudah tante kasih kan?”
“Iya. Ini sudah ada. Dari batas kota ke barat terus ya.”
“Iya. Nanti kalau pas lewat pintu kereta api belok ke kanan. Jalannya agak kecil, tapi masuk mobil kok. Truk juga bisa masuk.”
“Iya Tante.”
Berkat bantuan GPS, aku bisa mencapai rumah Tante Ratih dengan lancar. Rumah yang mungil namun ditata dengan apik dan artistik. Ada lantai tembok pula di sampingnya, untuk memarkir mobilku.
Ketika aku turun dari mobil, Tante Ratih pun muncul di pintu depan, dalam kimono putih yang terbuat dari bahan handuk. Gila… adik Bunda yang satu ini, yang montok dan putih bersih ini, tampak seksi sekali di mataku…! Montok tapi proporsional. Bukan gendut.
Tapi aku pura - pura tidak melihat keseksiannya itu, lalu bersikap sopan sebagaimana lazimnya seseorang yhang sedang berhadapan dengan tantenya. Kucium tangan Tante Ratih, yang dibalas dengan cipika - cipiki olehnya.
Lalu wanita 35 tahunan itu mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Langsung membawaku ke ruang makan. Karena nasi kuning dan lauk pauknya sudah terhidang di atas meja makan.
“Heheheee… aku jadi makin lapar lihat nasi kuning dan goreng ayam ini Tante,” kataku sambil duduk di salah satu kursi makan.
“Ayolah makan… gak nyangka bisa ketemu kamu lagi Don. Tante kan tau waktu kamu masih bayi, tau - tau menghilang begitu aja. Ternyata kamu diadopsi sama sahabat ayahmu ya? Dan sekarang tau - tau sudah gede dan tampan gini,” ucap Tante Ratih sambil mencolek pipiku.
“Iya Tante. Makanya aku merasa asing dengan keluarga di sini. Sama Bunda aja kebingungan awalnya. Beneran ini ibuku? Begitu yang terpikir olehku waktu baru berjumpa dengan beliau.”
“Dengan bundamu aja merasa seperti orang asing, apa lagi dengan tante dong.”
“Iya,” sahutku.
“Ayo makan nasi kuningnya, mumpung masih hangat, “Tante Ratih mendekatkan piring berisi nasi kuning, “Ini goreng ayam kampung Don. Bukan ayam broiler. Makanlah sepuasnya.”
“Tante gak nemenin?”
“Tante sih udah sarapan tadi. Masih kenyang. Ayolah makan… tante temenin ngobrol aja.”
Aku mengangguk, sambil mulai menyantap nasi kuning yang disuguhkan oleh Tante Ratih.
“Kok sepi rumahnya Tante? Pada ke mana anak - anak Tante?” tanyaku.
“Anak tante cuma seorang. Dia lagi kerja di pabrik dan tinggal di mess yang disediakan oleh pabrik itu. Yah… tante kan gak punya duit buat biayain kuliah. Makanya sedih juga sih, tamat SMA malah jadi buruh pabrik.”
“Anaknya cowok apa cewek?”
“Cewek. Makanya tante ingin minta tolong sama Donny, kalau bisa sih ajak kerja di Bangkok aja. Kan Reni juga kerja di rumah Donny ya?”
Aku tidak mau memberitahu bahwa Tante Reni sebenarnya sudah kutempatkan di Jakarta. Aku malah membahas masalah lain, “Aku kan mau menetap di sini. Ingin dekat sama Bunda dan keluarga besar Bunda di sini.”
“Lho… kamu kan masih kuliah di Bangkok?”
“Kuliahnya mau ditinggalin dulu. Nanti kuliah di sini juga gak apa - apa. Yang penting aku ingin belajar nyari duit di sini. Ohya… suami Tante ke mana?”
“Wah… sudah lama dia sih menghilang dari peredaran. Awalnya kerja di Jambi, di kebun kelapa sawit. Terus ada kabar kerja di Malaysia. Sampai sekarang gak pernah ngabarin apa - apa ke sini.”
“Sudah berapa lama dia meninggalkan rumah ini?”
“Sudah tujuh tahun. Waktu dia pergi, rumah ini masih gubuk. Ini sih dibangun dengan hasil keringat tante sendiri.”
“Wah… tujuh tahun pisah gitu apa gak renyem Tan?”
“Idiiih… renyem apanya?”
“Itunya… hihihihiiii… akhhhhhh !” aku ketawa sambil makan sampai tersedak. Buru - buru kuminum teh hangat yang disuguhkan oleh tanteku.
Di luar dugaan, Tante Ratih membisiki telingaku, “Emangnya kalau renyem, kamu mau garukin?”
Aku menoleh ke arah Tante Ratih yang duduk di sampingku. Sambil mengatur pernafasan, agar jangan tersedak lagi. Lalu kataku, “Mau banget Tante… garukin wanita seseksi Tante sih siapa juga pasti mau…”
Tante Ratih mengusap - usap celana jeansku pada bagian paha, sambil berkata perlahan, “Main sama cowok semuda kamu sih kebayang… masih seger segalanya.”
Dan gilanya… tangan Tante Ratih lalu bergerak ke ritsleting celana jeansku. Di situ tangannya meraba - raba. Sampai akhirnya memijit - mijit celana jeansku tepat pada bagian penisku…!
“Aku juga kebayang… kalau main sama wanita seseksi Tante… pasti bakal mengesankan,” kataku.
“Serius Don?” tanya Tante Ratih dnegan tangan berusaha menurunkan ritsleting celana jeansku.
Kutatap wajah cantik adik kandung Bunda itu, sambil mengangguk dan membuka gesper ikat pinggangku, lalu sekalian menurunkan ritsleting celana jeansku.
Tangan Tante Ratih pun menyelinap ke balik celana jeansku, langsung menyelinap pula ke balik celana dalamku. Dan… menyentuh batang kemaluanku yang sudah mulai ngaceng ini…!
“Aduuuh… kontolmu gede banget Don… udah ngaceng pula… !” seru Tante Ratih setengah berbisik.
“Mungkin karena Tante terlalu menggiurkan di mataku,” sahutku sambil menyelinapkan tangan kananku ke balik kimono yang terbuka dan mempertontonkan paha putih mulusnya. Lalu… pada saat Tante ratih meremas - remas batang kemaluanku yang semakin ngaceng ini, tanganku pun sudah menyelinap ke balik celana dalam Tante Ratih.
“Memeknya gundul Tan…”
“Iya… kalau jembutnya dibiarin gondrong, suka risih pada waktu keringatan.”
“Kebayang enaknya memek Tante ini…” ucapku sambil mencari - cari kelentitnya yang masih tertutup celana dalam ini.
“Turunin dulu isi perutnya. Biar jangan sembelit,” kata Tante Ratih sambil mengelus - elus moncong penisku yang juga masih tertutup celana dalam.
Namun setelah jemariku menemukan kelentitnya dan mulai menggesek - geseknya, justru Tante Ratih yang tak sabaran lagi. “Di kamar tante aja yuk, biar lebih nyaman, “ajaknya dengan nada tergesa - gesa.
“Iya…” sahutku sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalam Tante Ratih. Sementara Tante Ratih pun melepaskan tangannya dari balik celana dalamku.
“Nasi kuningnya nggak dihabisin dulu?” tanya Tante Ratih sambil berdiri.
Kujawab sambil memeluknya dari belakang, “Memek Tante jauh lebih penting daripada nasi kuning,” bisikku.
Tante Ratih pun ketawa centil sambil melangkah ke pintu kamarnya. Aku pun mengikutinya dari belakang.
Setelah berada di dalam kamarnya, Tante Ratih menutupkan jendela kacanya, lalu menarik gordinnya sampai tertutup total. Sehingga kamar adik Bunda ini jadi remang - remang. Terlebih setelah pintunya ditutup dan dikuncikan, jadi lebih gelap lagi.
Lalu udara di kamar manjadi terang kembali setelah Tante Ratih menyalakan lampu.
Dan… Tante Ratih memijit hidungku sambil berkata, “Setelah gede kamu jadi tampan sekali gini Don. Kalau bukan keponakan, mau deh jadi istri kamu.”
Aku cuma tersenyum, sambil melepaskan celana jeans dan celana dalamku yang sudah turun ke paha. Tinggal baju kaus biru langit yang masih melekat di tubuhku. Sementara Tante Ratih sudah melepaskan kimono putihnya. Lalu memegang batang kemaluanku yang sudah sangat ngaceng dan siap tempur ini.
“Hihihiii… kebayang mantapnya dientot sama kontol segede dan sepanjang ini sih…” ucapnya sambil menimang - nimang dan mengelus - elus penisku.
Lalu ia melepaskan beha dan celana dalamnya, sehingga tubuh indah itu jadi telanjang bulat. Mungkin di antara adik - adik Bunda, Tante Ratih ini yang paling seksi. Karena tubuhnya serba terawat. Toketnya agak gede tapi tidak terlalu gede, sehingga bentuknya masih tampak indah, tidak turun “ngaplek” ke bawah.
Aku pun menanggalkan kaus biru langitku sebagai benda terakhir yang masih melekat di tubuhku. Sehingga aku jadi telanjang juga seperti Tante Ratih.
Seperti tak sabaran lagi, Tante Ratih menarikku ke atas ranjang besinya setelah aku telanjang. Lalu kami bergumul dengan gairah yang sama - sama hangat.
Kadang aku berada di bawah, diciumi oleh Tante Ratih dengan lahapnya. Bukan hanya bibir yang dicium dan dilumat olehnya, melainkan leherku juga dicelucup dan dijilati oleh lidahnya. Bahkan pentil dadaku yang cuma sebesar kacang hijau ini pun disedot - sedot olehnya. Terkadang aku berada di atas, menghimpit Tante Ratih sambil meremas sepasang toketnya yang memang masih lumayan kencang, pertanda rajin merawatnya.
Tadinya aku ingin menjilati memeknya yang tembem dan agak ternganga itu. Namun Tante Ratih mendahuluiku. Mengemut penisku dengan lahapnya, sambil mengurut - urut badan penisku yang tidak terkulum.
Dan setelah batang kemaluanku basah kuyup oleh air liurnya, cepat Tante ratih bertindak. Menempelkan moncong penisku di mulut memeknya, kemudian memek tembem itu turun… mendesak moncong penisku yang lalu membenam ke dalam liang sanggamanya yang hangat dan licin ini.
Tante Ratih pun menjatuhkan dadanya ke atas dadaku, dengan memek yang sudah “menelan” sekujur batang kemaluanku.
Lalu mulailah ia mengayun memeknya, up and down, membuat batang kemaluanku keluar - masuk di dalam liang memeknya yang licin tapi menjepit ini. Sementara kedua tanganku mulai beraksi. Terkadang mendekap pinggangnya erat - erat, terkadang meremas kedua buah pantatnya yang gede tapi kencang padat. Mulutku pun bisa beraksi untuk menjilasti leher jenjangnya yang mulai keringatan.
Makin lama liang memek Tante Ratih makin gencar mengocok batang kemaluanku, diiringi desah - desah nafasnya yang makin lama makin menggila.
“Doooon… aaaaa… aaaahhhh… Dooooon… aaaaah… Doooon… aaaa… Dooonnnn… aaaaaaah… Doooon… aaaaah… Doooon…”
Tante Ratih laksana singa betina yang kelaparan. Gerakan dan goyangan tubuhnya begitu agresif. Begitu pula pada saat ia sudah berada di bawah sementara aku berada di atas, tubuhnya tak pernah diam pada waktu giliran beraksi di atas perutnya.
Pinggul Tante Ratih mulai bergoyamng edan - edanan. Bergoyang ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah, memutar - mutar dan meliuk - liuk, lalu menghempas - hempas ke kasur, sehingga batang kemaluanku terasa dibsot - besot dan diremas - remas oleh liang memeknya yang licin dan “hidup” ini.
Sebagai tanggapan, kugenjot penisku habis - habisan. Bermaju - mundur di dalam jepitan liang memek yang terasa “sangat hidup” ini (karena ada semacam kedutan - kedutan kencang di dalamnya).
Maka rintihan - rintihan histeris dan erotis tanteku pun semakin menjadi - jadi dan mungkin sudah di luar kesadarannya lagi.
“Dooonnnn… oooo ooooooh… Doooon… kontolmu kok enak sekali Dooooon… entot terus Doooon… entoooot teruuuussss… iyaaaa… iyaa… entoooottttttttt Doooon… entoooootttt… edaaaaan… ini enak bangeeeeet… entotttt Dooooooon… enoooooootttt …
Keringat sudah mulai membasahi tubuhku, leher Tante Ratih dan bahkan toketnya pun mulai dibasahi keringatku.
Sementara aku semakin gencar menjilati lehernya disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Bahkan ketiaknya pun tak luput dari jilatan dan gigitan - gigitanku, sementara tangan kiriku semakin asyik meremas - remas toketnya.
Sampailah pada suatu saat krusial dalam persetubuhan ini…
Ketika Tante Ratih sedang berkelojotan, aku pun sedang tancap gas… mengentotnya dengan gerakan yang makin lama makin cepat. Lalu… ketika Tante Ratih sedang mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas, pada saat itu kurasakan penisku seperti diremas oleh liang memeknya. Disusul dengan kejutan - kejutan kencang di liang kenikmatan tanteku ini.
Aku menggelepar di atas perut Tante Ratih. Lalu terkulai lemas di dalam dekapannya.
Amu sangat memuaskan Don,” ucap Tante Ratih ketika aku sudah menelentang di sampingnya, “Baru sekali ini tante merasakan nikmatnya digauli pria.”
Tadinya kupikir Tante ratih akan memaksaku untuk menyetubuhinya lagi, mengingat betapa agresifnya dia tadi. Tapi ternyata tidak.
Tante Ratih bahkan bertanya, “Kamu mau jadi menantu tante?”
“Haaa?! Kan kita sudah melakukannya Tante. Masa aku mau dijodohkan pula dengan anak Tante?” aku balik bertanya.
“Nggak apa - apa. Hubungan kita kan hubungan rahasia. Walau pun Donny sudah jadi menantu tante, kita kan tetap bisa melakukannya. Asal rapi aja merahasiakannya.”
Bayangan wajah Adelita mendadak muncul di dalam terawanganku. Terlebih lagi setelah aku mendapatkan sms darinya yang berbunyi, -Aku jadi gak bisa tidur Bang. Ingat Abang terus. Kapan Abang mau ke kampungku?-
Dalam keadaan masih telanjang bulat, Tante Ratih membuka pintu lemari pakaiannya. Lalu mengeluarkan sebuah buku album foto. “Imey itu cantik lho. Nih lihat foto - fotonya,” kata Tante Ratih sambil membuka album fotonya, lalu menyerahkan album itu padaku, dalam keadaan masih terbuka.
“Nah ini Imey… ini juga… ini juga… bagaimana? Cantik kan?” Tante Ratih menepuk bahuku.
“Memang cantik, Tante. Tapi apakah boleh aku menikah dengan anak Tante yang namanya… mmm Imey ini?”
“Boleh. Kawin dengan saudara sepupu tidak dilarang. Kalau tante kawin denganmu jelas dilarang.”
“Barusan kita kan kawin Tante…” sahutku sambil mencolek perut tante Ratih yang masih telanjang.
Tante Ratih tersipu, “Iya.. iya… menikah maksudnya, bukan kawin. Ohya… itu foto - foto Imey sekitar dua tahun yang lalu. Sekarang sih lebih cantik lagi. Tante mau telepon dia ya, biar bisa pulang dulu dan berjumpa denganmu.”
“Boleh juga. Dengan saudara kan harus dibanyakin silaturahmi, biar jangan mati obor. Apalagi aku dengan Imey kan belum pernah bertemu muka. Kalau ketemu di jalan, pasti saling gak kenal,” sahutku yang merasa bersemangat juga untuk dipertemukan dengan cewek yang bernama Imey itu.
Lalu Tante Ratih mengenakan pakaian dalam dan kimononya kembali. Mengambil handphonenya dan memijat nomor anaknya. Lalu :
“Hallo Mey - - - lagi kerja apa lagi istirahat di mess? - - - Ohya - - - baguslah - - - sekarang ke rumah ya - - - hmm? Nanti aja di rumah disampeinnya. Iya - - - iyaaaa.”
Kemudian Tante Ratih menyimpan kembali handphonenya di atas meja rias.
“Dia segera datang ke sini. Ayo pakai lagi semua pakaiannya. Rambutnya juga sisir, jangan berantakan gitu.”
Aku pun mengenakan semua pakaianku, menyisir rambutku dan keluar dari kamar Tante Ratih. Duduk di atas sofa ruang tamu sambil memperhatikan ke depan.
Tante Ratih pun muncul, dengan mengenakan housecoat panjang, tidak mengenakan kimono lagi.
“Imey takkan lama - lama, karena akan kebagian kerja shift kedua jam empat sore. Jadi jam dua sudah harus pulang lagi ke mess.”
“Ini kan baru jam sepuluh pagi,” sahutku.
“Iya… nanti jam dua kita bisa main lagi, setelah Imey pulang,” kata Tante Ratih sambil menghampiri sofaku dan mencium pipiku.
“Belum kenyang?”
“Belum. Hihihiiiii… “Tante Ratih ketawa centil.
Aku cuma tersenyum - senyum. Padahal yang berada di balik celana dalamku sudah celingukan lagi… hahahahaaa…!
Sejam kemudian terdengar suara motor memasuki pekarangan rumah Tante Ratih.
“Nah… itu motor Imey,” kata Tante Ratih sambil melangkah ke pintu depan dan membuka pintu itu.
“Ada siapa Mah?” tanya cewek bernama Imey itu sambil menunjuk ke arah mobilku yang terparkir di samping rumah Tante Ratih.
“Itu… ada saudara sepupumu,” sahut Tante Ratih sambil mengajak anaknya masuk ke dalam.
“Saudara sepupu?” Imey tampak heran, mungkin karena baru sekali ini berjumpa denganku.
Aku pun terpana ketika ia berdiri di depanku, karena cantiknya itu… ooo my God… dia memang cantik sekali. Kalau kubandingkan dengan Adelita, kuanggap Imey ini sama cantiknya. Kalau Adelita kuberi nilai 9, maka Imey pun layak kuberi nilai 9… Perawakannya sama, cantiknya sama, hanya bedanya mata Imey itu sipit, sehingga kalau sepintas lalu bisa disangka amoy…
“Dia ini Donny… saudara kembar Donna,” kata Tante Ratih pada waktu Imey mau menjabat tanganku.
“Owh… yang tinggal di Bangkok itu?” tanya Imey waktu berjabatan tangan denganku.
“Iya… tapi sekarang sih udah pindah ke sini,” sahutku.
“Wow, asyik dong. Bisa diajak jalan - jalan di hari libur,” kata Imey yang belum melepaskan tanganku dari genggamannya, “Jadi aku harus manggil apa sama dia Mah?”
“Umur kalian hanya beda sebulan. Makanya saling panggil nama aja. Atau kalau mau mengikuti sirsilah, Imey harfus manggil Kang sama Donny. Karena Donny itu anak kakak mamah,” sahut Tante Ratih.
“Nggak usah pakai Kang Kung King Kong deh, kita saling panggil nama aja ya,” ucapku kepada Imey.
“Iya, “Imey mengangguk sambil melepaskan tanganku dari genggamannya, “Sama Donna juga aku saling panggil nama aja.”
Lalu kami duduk di sofa yang berbeda. Imey duduk di samping ibunya, aku duduk di sofa yang berhadapan dengan mereka.
Tante Ratih berkata, “Orang tua angkat Donny sudah pada meninggal. Makanya Donny putuskan untuk tinggal bersama ibunya. Rumah Uwa Ami sekarang sudah keren banget Mey. Donny yang merombaknya. Bahkan sekarang tanah kosong di samping rumah Uwa Ami itu sedang dibangun untuk dijadikan café, yang akan dikelola oleh Donna dan ibunya.
“Wah asyik dong. Aku bisa kerja di café itu nanti?” tanya Imey sambil menatapku dengan senyum.
“Bukan cuma kerja di café, mamah malah ingin agar Donny jadi calon suamimu. Imey mau kan dijadikan calon istrinya?”
Imey menatapku tersipu - sipu, “Mamah main jodohin aja. Emangnya Donny mau sama aku?” taanyanya.
“Nah Don… gimana? Donny mau dijadikan calon suami Imey?”
Kujawab dengan tegar, “Siap Tante. Tapi untuk sementara pacaran aja dulu, karena aku harus kuliah dari awal lagi di sini. Nanti kalau sudah es - satu, baru bisa menikah. Itu pun jangan dulu ngomong apa - apa sama Bunda dan Donna. Kita diam - diam aja dulu, biar jangan bikin heboh keluarga.”
“Iya, “Tante Ratih mengangguk, “Terus gimana dengan pekerjaan Imey? Apakah dia mau dibiarkan tetap bekerja di pabrik?”
“Aku mau buka perusahaan di sini. Nanti Imey kerja di perusahaanku aja. Tapi perusahaannya belum dibentuk. Jadi… untuk sementara biar Imey kerja di pabrik dulu. Setelah perusahaanku terbentuk, dia bisa langsung pindah ke perusahaanku. Tentang gajinya jangan takut, pasti jauh lebih besar daripada di pabrik yang hanya mengandalkan UMR sebagai patokannya…
SAku memang sangat lama menyetubuhi Tante Ratih di ronde kedua ini. Maklum namanya juga ronde kedua, tentu saja durasinya lebih lama daripada ronde pertama. Tapi Tante Ratih takkan tahu bahwa di ronde kedua ini aku melakukannya dengan terawangan melayang ke mana - mana. Terutama teringat pada Adelita yang sudah berulang - ulang mengirimkan sms, berisi kerinduannya padaku yang teramat sangat.
Esok paginya, aku melarikan mobilku menuju ke arah timur, ke luar kota. Untuk mendatangi rumah Adelita yang letaknya cukup jauh dari kotaku, sekitar 120 kilometer jauhnya.
Untuk mencapai alamat rumah Adelita tidak mudah. Karena setelah melewati kilometer 100, maka 20 kilometer berikutnya harus melewati jalan yang belum diaspal. Lubang - lubang berlumpur pun harus kulewati. Tapi aku tetap bersemangat untuk berjumpa dengan Adelita yang sudah sangat kurindukan itu, sekaligus untuk memenuhi janjiku bakal mengunjungi rumahnya.
Akhirnya aku tiba di depan sebuah rumah potongan zaman kolonial Belanda, tapi tampak megah sekali. Bahkan mungkin rumah itu paling megah di antara rumah - rumah di kampung ini. Apakah ini rumah orang tua Adelita?
Tanpa ragu aku mengetuk pintu depan rumah tempo doeloe ini.
Lalu muncul seorang wanita kebule - bulean tapi mengenakan hijab dan jubah muslimah putih bersih. Wanita setengah baya yang cantik dan kebule - bulean itu menyapaku, “Mau ketemu siapa dek?”
Spontan aku bertanya, “Apakah di sini rumah Adelita?”
“Oh, iya. Apakah Adek ini bossnya Lita di Singapore yang bernama Donny itu?” tanyanya dengan sikap berubah, jadi sangat ramah.
“Betul Bu, “aku mengangguk, “Apakah Ibu ini mamanya Adelita?”
“Iya. Silakan masuk Dek,” kata wanita setengah baya itu sambil membuka pintu rumahnya semakin lebar.
Aku pun dipersilakan duduk di salah satu kursi ukiran kayu jati, yang joknya terasa menggunakan pegas. Mungkin umur kursi yang kududuki ini sudah seratus tahunan, tapi tampak sangat terawat.
Wanita berhijab yang cantik rupawan itu pun duduk di kursi yang berhadapan dengan kursiku, dibatasi oleh meja kecil yang bundar dan kakinya berukir pula.
“Lita sedang belanja ke kota. Baru saja berangkat. Apa Dek Donny bersedia menunggunya?”
“Nggak apa - apa bu. Biar saya tunggu aja sampai dia pulang.”
“Tapi masih lama lho Lita pulangnya. Biasanya kalau belanja ke kota, bisa tiga atau empat jam baru pulang.”
“O, begitu ya? Mmm… pake apa dia perginya Bu?”
“Pake angkutan umum Dek. Lita kan belum punya motor. Biasanya anak sebaya dia pada pake motor di sini.”
“Kalau Lita mau, dia bisa beli motor - motor aja sih. Tapi dia kan tinggal di Singapore selama ini. Ohya… Ibu tau ke mana tujuan Lita belanjanya?”
“Tau Dek. Dia selalu belanja di toko langganan saya.”
“Kalau begitu, Ibu bersedia ikut saya menyusul Lita, supaya dia tidak kelamaan pulangnya?”
“Mmmm… boleh deh,” sahut wanita itu sambil bangkit dari kursinya, “Dek Donny udah gak sabar lagi ingin bertemu dengan Lita ya?”
“Hehehee… iya Bu.”
“Saya sih gak usah ganti baju dulu. Yang dipakai ini juga masih bersih kan?”
“Iya Bu. Masih bersih. Pokoknya meski berhijab, Ibu tetap kelihatan cantik.”
“Masa?” wanita itu mencubit pipiku tanpa ragu.
Meski rikuh kujawab juga, “Betul Bu. Pantesan Adelita cantik. Pastui menurun dari mamanya, ya Bu.”
“Mungkin,” sahut mamanya Adelita tampak bangga.
Beberapa saat kemudian wanita berhijab yang tampak kebule - bulean itu sudah duduk di sebelah kiriku, dalam mobil yang sudah kujalankan kembali di atas jalan yang banyak lubang berlumpurnya.
“Maaf Bu, kalau boleh taju, Ibu ini asli mana? Dari Eropa atau Amerika?” tanyaku di belakang setirku. “Saya asli Lebanon Dek.”
“Ooo… kalau Lebanon sih berarti Arab juga ya Bu.”
“Iya.”
“Jadi Adelita itu berdarah campuran Indonesia - Lebanon ya.”
Pikirku, pantesan Adelita cantik sekali.
Tapi aku tidak mengatakan hal itu. Aku malah menanyakan hal lain, “Ibu kan sudah jadi WNI ya?”
“Sejak lahir saya sudah WNI. Karena saya dilahirkan di sini. Sebelum saya lahir, orang tua saya sudah jadi WNI.”
“Bagaimana ceritanya sehingga orang tua Ibu bisa tinggal di Indonesia, lalu menjadi WNI?”
“Waktu itu orang tua saya sengaja mengungsi ke Indonesia. Karena di Lebanon sedang terjadi perang besar - besaran. Lalu mereka merasa kerasan tinggal di Indonesia, kemudian mendaftar untuk menjadi WNI. Cukup lama prosesnya, sampai lebih dari sepuluh tahun, barulah mereka menerima surat kewarganegaraannya.
“Waktu masih muda, Ibu pasti cantik sekali,” ucapku nyelonong ke lain arah. Bahkan dengan pikiran ngeres pula. Membayangkan jika dia telanjang bulat seperti apa ya?
Tapi pikiran itu cepat kutepiskan, karena aku sudah berniat menikahi Adelita. Masa calon mertuaku mau dijahilin pula?
“Ya jelas cantik lah,” sahutnya, “Sekarang juga masih cantik kan?”
Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Lalu mengangguk, “Iya. Saya mau jujur aja, Ibu ini cantik sekali. Kalau bukan mamanya Adelita sih pasti udah saya godain.”
“Hihihihiii… “wanita itu ketawa sambil menggenggam tangan kiriku, “Seneng sama wanita setengah baya ya?”
Aku mengangguk. Lalu spontan teringat Mama almarhumah, teringat Bunda, teringat Tante Ratih dan wanita - wanita setengah baya lain yang pernah hadir dalam kehidupanku.
Bagiku, wanita setengah baya itu punya greget tersendiri. Tidak bisa disamakan dengan cewek muda belia.
“Nanti bisa - bisa Dek Donny bakal ngintipin saya juga dong,” kata mamanya Adelita, lagi - lagi sambil menggenggam dan meremas - remas tanganku.
Aku jadi keceplosan. Sahutku, “Nggak usah nanti, sekarang juga ingin ngintip. Tapi gimana caranya? Pakaian Ibu sangat tertutup begitu…”
“Serius?” tanyanya sambil merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku.
“Sangat serius Bu,” sahutku yang dengan spontan mengecup pipi kanannya itu.
“Kalau gitu putar balik aja. Gak usah ngejar Lita. Biarkan dia belanja dengan tenang dan pulang pada waktunya.”
“Jadi…?!”
“Mumpung saya lagi ngebet sama Dik Donny, mendingan balik lagi ke rumah saya. Nanti saya bikin Dek Donny takkan bisa melupakan saya.”
Penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh wanita setengah baya yang cantik itu, aku pun memutar mobilku yang kebetulan belum jauh meninggalkan rumah wanita itu.
“Kalau boleh tau, nama asli Ibu apa?”
“Nama saya Faizah, pakai husup z jangan pakai J. Faizah itu artinya berjaya. Tapi almarhum ayah Lita suka manggil saya Zah saja.”
Aku cuma mengangguk - angguk, sambil menghafalkan namanya, Faizah… Faizah… Faizah.
Dan… waktu menyetir kembali ke rumah wanita itu, penisku mulai ngaceng seolah minta “sesuatu”.
Setibanya di rumah bergaya zaman kolonial Belanda itu, Bu Faizah langsung membawaku ke dalam. “Itu kamar Adelita…” ucapnya sambil menunjuk ke pintu di sebelah kiriku. “Dan itu kamar saya,” ucapnya sambil menunjuk pintu kamar yang berada di sebelah kanannya.
Pintu yang di sebelah kanan kami itu dibuka. Lalu Bu Faizah menarik lenganku, mengajak masuk ke dalam. Setelah aku berada di dalam kamar yang tercium harum parfum khas timur tengah, Bu Faizah menguncikan pintu itu. Pada waktu dia sedang menguncikan pintu itu, aku pun mendekapnya dari belakang sambil berbisik ke dekat telinganya, “Bu Faizah punya daya pesona yang luar biasa.
Bu Faizah memutar badannya jadi berhadapan denganku, “Dek Donny juga punya daya pesona yang luar biasa. Saya belum pernah mendekati teman Adelita, apalagi menggodanya. Tapi Dek Donny ini seolah memancarkan aura yang bisa memikat hati perempuan mana pun.”
Ucapan itu dilanjutkan dengan pagutan di bibirku, yang kusambut dengan lumatan, dibalas dengan lumatannya pula.
Ini memang aneh tapi nyata. Bahwa setiap berdekatan dengan wanita setengah baya, selalu saja nafsuku bergejolak. Apalagi dengan wanita setengah baya yang cantik dan seolah memancarkan daya pesonanya seperti Bu Faizah ini.
Lalu terdengar bisikan Bu Faizah di dekat telingaku, “Dek Donny ingin agar jubah putih ini dilepaskan ya?”
“Iya Bu… dari tadi saya membayangkan seperti apa indahnya tubuh Bu Faizah kalau jubah putih dan jilbabnya sudah dilepaskan,” sahutku jujur.
Bu Faizah mengangguk sambil tersenyum. Sambil melepaskan jilbab dari kepalanya, sehingga rambutnya yang hitam legam dan agak ikal itu terurai lepas sam\pai punggungnya. Baju jubah putih bersihnyha pun ditanggalkan
Wow… betapa indahnya tubuh perempuan yang kutaksir usianya kepala empat itu. Tubuh yang sangat putih dan mulus itu benar - benar mirip bentuk guitar Spanyol. Ke atas tegap, dengan payudara yang pasti montok di balik behanya, dengan pinggang ramping dan bokong gede yang… aaaah… tubuh yang tinggal mengenakan beha dan celana dalam serba hitam itu teramat sangat menggiurkan…
Tanpa basa basi lagi aku pun menanggalkan celana jeans dan baju kausku. Tinggal celana dalam yang kubiarkan masih melekat di tubuhku.
Aku pun berdiri di depannya, namun kedua tanganku bergerak ke punggungnya, karena ingin melepaskan kancing behanya, sekaligus ingin menyaksikan seperti apa bentuk toket gedenya itu…
Sepasang toket Bu Faizah memang gede, tapi tidak terlalu gede. Sehingga bentuknya masih membusung ke depan, tidak menggantung ke bawah.
Bu Faizah pun langsung meraihku ke atas ranjang besinya yang berkasur konvensional (kasur yang diisi kapuk biasa). Tak cuma meraih ke atas ranjangnya, dia pun langsung memagut bibirku ke dalam lumatan lahapnya, seolah kafilah dahaga yang menemukan oase, lalu minum sepuasnya. Setelah ciuman dan lumatannya terlepas, aku pun melorot turun sedikit, karena ingin mengemut pentil toketnya yang terasa menegang ini (pertanda horny-nya seorang perempuan).
Namun sambil mengemut pentil toket gedenya, tanganku pun merayap ke bawah. Berusaha menyhelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya, karena sudah penasaran sepoerti apa bentuk kemaluan wanita berdarah Lebanon ini. Dan aku sudah menduga bahwa kemaluannya pasti berjembut tebal sekali, seperti ramburt di kepalanya yang begitu tebal dan hitamnya.
Tapi ternyata aku salah duga. Begitu tanganku berada di balik celana dalam hitamnya, aku langsung menyentuh permukaan memek yang licin plontos, alias bersih dari jembut…!
Dan ini membuatku makin bersemangat karena sudah kebayang enaknya menjilati memek timur tengah ini.
Tampaknya nafsu Bu Faizah besar sekali. Begitu jemariku menggerayangi memek plontos di balik celana dalamnya, ia buru - buru melepaskan celana dalam hitam itu. Lalu menerkamku dengan ciuman panasnya di sana - sini. Di bibirku, di leherku di dadaku, di ketiakku di perutku dan bahkan dengan sigap ia melepaskan celana dalamku.
Seperti harimau betina yang sedang naik birahi, ia genggam batang kemaluanku dengan kedua tangannya. Lalu menjilati puncaknya, lehernya dan… happpp… ia masukkan penisku ke dalam mulutnya… lalu menyelomotinya dengan lahapnya, seolah mahluk lapar menemukan makanan lezat yang sangat disukainya.
Dan gilanya, selomotan wanita timur tengah itu begitu trampilnya, sehingga aku jadi terpejam - pejam dalam nikmat yang luar biasa…!
Oooo… baru sekali ini aku menemukan wanita yang begini agresifnya, sehingga aku pun seperti ditantang untuk mengimbanginya dengan serangan yang yang lebih agresif lagi…!
Aku tak mau ejakulasi dini dalam mulut mamanya Adelita ini. Lalu kutarik penisku dari dalam mulut wanita setengah baya itu. Kini giliranku untuk “menyerang”nya. Dengan lumatan lahap di bibir sensualnya. Dengan jilatan bercampur dengan gigitan - gigitan kecil di lehernya yang jenjang dan hangat itu.
Dan desahan - desahan histerisnya mulai terdengar, “Aaaaaah… aaaaaah… Donny… aaaaah… Dooon… aaaaaahhhhh… Doooon… aaaahhhhhhhh… Dooon… aaaahhhh… aaaahhhhhhh… Dooooooonnnn… !”
Sepasang mata bundar beningnya pun merem melek… terlebih lagi ketika aku menyedot - nyedot pentil toket gedenya yang satu dan meremas toket yang satunya lagi… ia semakin gedebak - gedebuk seperti ayam jago yang sedang bertarung di arena adu ayam…!
Cepat aku melorot turun. Dan langsung berhadapan dengan memek tembemnya yang bersih dari bulu. Ia pun merenggangkan sepasang pahanya, seolah memberi keleluasaan padaku untuk melakukan apa pun pada kemaluannya yang menyiarkan harum wewangian timur tengah ini.
Lalu kujilati mulut vaginanya yang agak ternganga itu dengan lahap sekali. Ia pun mulai menggeliat - geliat sambil berdesah - desah lagi. Terlebih setelah jemariku ikut campur pada aksi cunnilingus ini, dengan mengelus - elus kelentitnya yang tampak lebih gede daripada kelentit bangsaku.
“Oooooohhhhh… ooooh… Doooooon… Dooooooon… Doooonny… Doooon… Dooooonnnn… oooohhhh… Doooooon… Doooonnnn… Doooon… oooohhhhhh… Doooooon… Doooon… Dooooon… oooohhh… !”
Berhamburan lagi desahan - desahan erotisnya itu, sementara ketika kucelupkan jari tengahku ke dalam liang memeknya, aku menganggap liang memeknya sudah siap untuk dipenetrasi.
Maka dengan sigap kuletakkan moncong penisku di mulut memeknya yang sudah basah itu, lalu kudorong sekuat tenaga… dan blessss… langsung amblas seluruhnya di dalam liang memek wanita timur tengah itu…!
Dan ia menyambutku dengan merengkuh leherku ke dalam pelukan hangatnya… disusul dengan lumatan binalnya di bibirku.
Aku pun tak mau mengulur waktu lagi. Penis ngacengku mulai mengentot liang memek wanita setengah baya itu, dengan gerakan yang langsung lancar jaya… disambut dengan gerakan pinggulnya yang mirip gelombang samudera menuju pantai. Mirip penari perut yang sedang beraksi di atas panggung.
Gila… liang memek Bu Faizah ini luar biasa enaknya. Tidak terlalu sempit, namun legit sekali. Dan liang memek wanita timur tengah ini tiada hentinya bergerak - gerak seperti gerakan pinggul penari belly dance yang tengah beraksi di panggung pertunjukan.
Ketika aku mulai massive mengentotnya, rintihan - rintihan histerisnya pun mulai berlontaran dari mulutnya, “Doooon… ooooohhhh… saya sudah terlalu lama tidak merasakan… eeee… enaknya kontol… sekalinya dapet, panjang gede gini… oooooh… Dooooon… entotlah memek saya sepuasnya Doooon …
Memeknya pun tiada hentinya bergerak - gerak laksana gelombang ombak yang tengah berkejaran menuju pantai.
Sementara mulutku mulai beraksi, untuk menjilati lehernya yang mulai berkeringat, disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Dan wanita setengah baya itu seperti sangat menikmatinya. Terlebih lagi ketika aku menjilati dan menggigit - gigit ketiak kirinya sambil meremas -remas toket kanannya, ia tampak terlena - lena dalam arus birahi yang semakin menjadi - jadi ini.
Cukup lama semua keindahan dan kenikmatan ini terjadi.
Sampai pada suatu saat… wanita setengah baya itu bverkelojotan sambil memelukku erat -erat.
Sebenarnya aku bisa menahan diri agar jangan ejakulasi dulu. Tapi aku teringat pada Adelita, yang mungkin sebentar lagi akan datang… maka kuupayakan agar bisa mencapai puncak nikmat secara bersamaan.
Lalu… ketika ia masih berkelojotan, aku pun mempercepat entotanku. Maju mundur dan maju mundur terus dengan cepatnya.
Sehingga akhirnya kami tiba di titik puncak dari segala nikmatnya persetubuhan ini.
Dan wow… liang memek wanita timur tengah itu terasa bergerak - gerak reflex seperti gerakan pinggulnya tadi. Disusul dengan kedutan - kedutan kencang… disusul dengan bermuncratannya air mani dari moncong penisku.
Croooootttt… crooooootttt… crotcrot… crooooootttt… croooooootttt… crooootttt… croooottttttt… crottt…!
Kami sama - sama terkapar dan terkulai lemas. Dengan keringat membasahi tubuh kami.
Sesaat kemudian, kucabut penis lemasku dari liang memek Bu Faizah. Kemudian wanita setengah baya itu berkata lirih, “Sudah bertahun - tahun tidak merasakan sentuhan lelaki. Sekalinya mendapatkan, luar biasa nikmatnya. Terima kasih ya.”
Ucapan itu diikuti dengan kecupan hangatnya di bibir dan di sepasang pipiku.
Kuperhatikan tubuh mulus wanita setengah baya berwajah jelita itu sambil berkata, “Nanti setelah Adelita menjadi istri saya, pasti dia akan saya bawa ke kota saya. Ibu ikut aja ya,” kataku sambil mengusap - usap perut Bu Faizah yang masih keringatan.
“Iya. Terus pekerjaan Lita di Singapore bagaimana?” tanyanya.
“Untuk sementara ini biarkan aja dia tetap bekerja di Singapore. Karena saya butuh waktu beberapa bulan untuk mempersiapkan segalanya. Nanti Lita akan saya tempatkan di perusahaan yang baru akan dibuka sebulan lagi di kota saya.”
“Berarti beberapa hari lagi Lita akan kembali ke Singapore?”
“Iya. Dia sangat dibutuhkan di Singapore.”
“Wah… kalau Lita sudah di Singapore, sering - sering main ke sini ya. Karena saya pasti kangen terus sama Dek Donny.”
“Saya juga pasti kangen sama memek legit ini,” sahutku sambil menepuk - nepuk memek Bu Fauziah yang sedang menelentang ini. Plok… plok… plok plok…
Mamanya Adelita tersenyum manis.
“Tapi Adelita jangan sampai tau ya,” ucapnya.
“Iya,” sahutku sambil mengangguk.
Bu Fauziah turun dari ranjang besi itu. Lalu mengeluarkan dua handuk bersih dari dalam lemarinya. Yang satu diserahkan padaku, yang satu lagi dibelitkan ke badannya. Dan mengajakku ke kamar mandi yang berdampingan dengan kamarnya.
Beberapa saat kemudian aku dan Bu Faizah sudah duduk di ruang keluarga, berdampingan di atas sebuah sofa jadul tapi masih enak untuk diduduki.
Sambil menunggu Adelita datang, tiap sebentar Bu Faizah melingkarkan lengannya di leherku, lalu menciumi bibirku dengan hangatnya. Seolah gairahnya takkan pernah pudar meski sudah kusetubuhi juga.
Meski sudah mengenakan baju jubah putihnya kembali, aku pun memanfaatkan waktu luang ini dengan menyelinapkan tanganku ke jubah putih itu. Karena aku tahu kalau Bu Faizah tidak mengenakan celana dalam saat itu.
Dan sambil mengelus - elus memeknya, aku bertanya, “Bu Faizah di sini hanya tinggal berdua dengan Adelita?”
“Iya.”
“Terus kalau Adelita di Singapore, ibu sendirian aja di rumah segede ini?”
“Kalau Lita di Singapore sih ada pembantu yang nginap di sini. Sekarang kebetulan aja pembantunya sedang pulang dulu ke kampungnya.”
“Owh. Tapi di sini kelihatannya aman ya?”
“Sangat aman,” sahut Bu Faizah, “Di kampung ini tidak pernah ada pencurian. Pergaulannya pun seperti dengan saudara.”
“Ibu kerasan tinggal di sini ya?”
“Yaaahhh… mau bagaimana lagi? Rumah ini kan peninggalan ayah Adelita. Saya tidak tega meninggalkannya begitu saja. Kecuali kalau sudah ada tempat yang lebih baik, saya mau aja diajak pindah.”
Tiba - tiba Bu Faizah berkata setengah berbisik, “Itu Lita datang… !”
Aku pun buru - buru mengeluarkan tanganku dari balik jubah putih Bu Faizah. Lalu melangkah ke ruang tamu. Pendengaran Bu Faizah tajam juga. Adelita benar - benar sudah datang. Sedang melangkah di pekarangan depan sambil melihat - lihat mobilku. Cepat aku menyambutnya di ambang pintu depan.
Adelita terbelalak setelah melihatku sedang berdiri di ambang pintu depan. “Bang Donny …!” serunya sambil menghambur ke dalam pelukanku.
Saat itu hari mulai remang - remang… mulai menuju malam.
Di ruang tamu, Adelita merangkul dan menciumi bibirku dengan pelukan yang terasa erat sekali. Tanpa mempedulikan ibunya yang hadir juga di ruang tamu itu.
Lalu terdengar suara Bu Faizah, “Bawa ke dalam kamarmu, Lit. Biar puas kangen -kangenannya…!”
Adelita menoleh ke arah ibunya sambil tersenyum. Lalu menarik tanganku ke arah kamarnya. Aku pun sempat menoleh ke arah Bu Faizah tanpa sepengetahuan anaknya. Lalu mengedipkan sebelah mataku, yang disambut dengan senyum wanita setengah baya itu. Kemudian mengikuti langkah Adelita ke dalam kamarnya.
Tapi setelah berada di dalam kamarnya, Adelita tercenung. Seperti memikirkan sesuatu yang serius.
“Kamu kenapa Del? Kok tiba - tiba seperti yang mikirin sesuatu?” tanyaku sambil membelai rambutnya.
“Gak ada apa - apa. Cuma aku… sedang menstruasi Bang.”
“Ohya?! Gak apa - apa. Tujuanku datang ke sini kan bukan sekadar ingin ngentot kamu.”
“Bang… padahal kalau bisa sih deketin Umi gih…”
“Kamu manggil Umi pada ibumu?”
“Iya. Aku kasihan sama Umi Bang… udah belasan taun dia hidup menjanda… padahal kelihatannya dia masih kuat hasratnya untuk merasakan sentuhan lelaki. Soalnya aku sering mergokin dia sedang masturbasi.”
“Terus?”
“Kalau Abang gak keberatan sih dekatin dia sampai dapat itunya. Aku ingin sekali dia puas dan bahagia Bang.”
“Kamu serius Del?”
“Sangat serius Bang.”
“Emangnya kamu takkan cemburu kalau aku sampai begituan sama Umimu?”
“Nggak. Umi sudah terlalu banyak berkorban demi aku. Tapi aku tak pernah berkorban apa - apa untuknya. Karena itu wajar kalau aku membagi Abang dengannya. Abang adalah milikku yang paling berharga.”
Aku termangu mendengar kata - kata Adelita itu.
“Lagian aku juga tak mau mengecewakan Abang. Sekarang aku sedang mens. Silakan Abang salurkan ke Umi gih.”
“Kalau dia gak mau gimana?”
“Kalau gak mau sih jangan dipaksa bang. Tapi masa sih Umi menolak Abang? Abang ini tampan sekali. Masih sangat muda pula.”
“Mmmm begini aja… kamu harus pura - pura tidur karena kecapean ya. Kalau Umimu tau kamu lagi tidur, mungkin dia mau. Tapi kalau tau kamu tidak sedang tidur, mungkin juga dia takkan mau. Karena malu sama kamu mungkin.”
“Iya… iyaaa… bilangin aja aku sakit kepala karena sedang mens lalu tidur nyenyak sekali gitu.”
“Ohya… kamu sudah laporan sama umimu bahwa kamu sudah kuperawani di Singapore?”
“Iya sudah. Untungnya Umi tidak marah. Malah ingin segera mendapat kepastian dari Abang mengenai hubungan kita selanjutnya. Ya udah… buruan samperin Umi Bang. Aku mau pura- pura tidur.”
“Iya deh. Aku mau mencobanya ya… mudah - mudahan aja dia mau… ohya… kalau aku sukses, mungkin nanti aku mau tidur sama Umi semalaman ya,” kataku
“Iya silakan. Itu lebih baik. Kalau Abang tidur bersamaku, malah takut tercium bau anyir nanti, karena aku lagi mens.,” sahut Adelita sambil menarik selimutnya sampai menutupi sekujur tubuhnya dari ujung kaki sampai kepalanya.
Di dalam hati aku ketawa sendiri. Karena aku yakin akan mendapatkan Bu Faizah, bahkan sebenarnya kalau aku bisa mengentot Bu Faizah lagi, berarti aku akan menyetubuhinya untuk kedua kalinya. Tapi Adelita pasti mengira kalau aku baru mau berusaha PDKT pada uminya.
Di luar kamar Adelita aku celingukan ke sekitarku. Bu Faizah tidak kelihatan. Mungkin sedang tiduran di kamarnya, karena hari sudah mulai malam.
Perlahan kubuka pintu kamar Bu Faizah sambil mengintip ke dalam. Tampak Bu Faizah sedang berbaring membelakangi pintu, dalam kimono putihnya, tidak mengenakan baju jubah putih dan jilbab lagi.
Lalu kenapa sikut Bu Faizah itu bergerak - gerak terus? Apakah ia sedang merasakan sesuatu atau sedang… bermasturbasi?
Dengan sangat perlahan aku mengendap - endap masuk ke dalam kamar Bu Faizah. Kebetulan ia sedang rebah miring dan membelakangiku. Dan… wow… ia memang sedang bermasturbasi. Mungkin tadi, waktu aku memainkan memeknya di balik baju jubah putihnya itu, dia jadi horny lagi. Dan sekarang dia sedang bermasturbasi sambil membayangkan sedang dientot olehku?
Dengan gerakan yang cepat dan tepat, aku menerkam Bu Faizah dari belakang. Lalu dengan cepatnya ttanganku menggantikan tangan yang sedang dipakai masturbasi itu.
“Don… Donny…! “Bu Faizah memekik perlahan sambil meronta dan menepiskan tanganku yang baru saja menyentuh memek di balik kimononya.
“Kenapa Umi cantik?” ucapku sambil meendekap Pinggang Bu Faizah yang sudah duduk sambil mendelik.
“Kalau kelihatan sama Lita nanti gimana?” ucapnya setengah berbisik.
“Adelita sedang tidur nyenyak, karena kecapean habis belanja tadi,” sahutku sambil turun dari ranjang besi Bu Faizah, lalu menutupkan pintu kamarnya yang masih belum tertutup rapat, sekaligus menguncikannya. Lalku melangkah ke arah ranjang besi itu sambil melepaskan baju kausku. Di dekat ranjang besi itu kutanggalkan celana jeans dan celana dalamku juga, supaya Bu Faizah melihat bahwa batang kemaluanku ini sudah siap tempur, sudah ngaceng berat…
Memang sejak membayangkan bakal mengentot wanita timur tengah ini tadi, penisku spontan bereaksi dan ereksi.
“Beneran Lita udah bobo?” tanya Bu Faizah setengah berbisik, sambil memegangi batang kemaluanku yang sudah keras ini.
“Kalau gak percaya, silakan buktikan sendiri sana,” sahutku sambil menarik kimono wanita itu sampai terlepas dari tubuhnya.
Lalu kuterkam tubuh telanjang kitu dengan sepenuh gairah birahiku.
Bu Faizah pun menyambut terkamanku dengan gumulan agresifnya. Melumat bibirku dengan hangatgnya, meremas batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini, kemudian meletakkan moncongnya di mulut memeknya sambil berkata, “Memek saya udah basah. Langsung masukin aja kontolnya yaaa…”
Benar saja. Begitu kudorong penis ngacengku dengan sekuat tenaga, blllllesssssss… langsung amblas seluruhnya ke dalam liang memek calon mertuaku yang berdarah timur tengah ini.
Lalu aku pun mulai mengayun penisku dalam permainan surgawi yang membuatku ketagihan ini.
Bu Faizah pun memamerkan keagresifannya lagi. Menggoyang pinggulnya dengan ayunan maju mundur seperti gerakan ombak bergulung - gulung menuju pantai.
Oooo… betapa nikmatnya menyetubuhi wanita berdarah Lebanon ini…
Bu Faizah yang selanjutnya kupanggil Umi itu, memang wanita yang luar biasa dan sangat memuaskan di atas ranjang. sehingga aku berniat untuk tetap menjalin hubungan dengannya, meski sudah menikahi anaknya sekali pun.
Ketika ayunan penisku semakin kupergencar, rintihan demi rintihan Umi pun terdengar lagi, tapi dia berusaha mengecilkan “volume suara”nya. Rintihan - rintihannya seolah cuma bisikan di dekat telingaku.
“Doooon… semua ini luar biasa Doon… eeeeeh… entot terus Dooon… ooooooh… kontol Donny luar biasa enaknyaaaa… entot terusssss… entooooottttt… iyaaaaaaaa… iyaaaa… iyaaaa… iyaaaaaaaa… iyaaaaaa… oooo… oooo. oooobh Dooon enaaaak… enaaaak sekali kontolnyaaaaaaaa…
Rintihan - rintihan tertahan itu membuatku semakin bersemangat menyetubuhi Umi. Terutama karena goyang gelombang pinggulnya luar biasa enaknya.
Bahkan pada suatu saat, Umi berkelojotan lagi. “Maaa… mau lepas Dooon… barengin lagi Dooon…” ucapnya setengah berbisik.
Tapi mana mungkin aku ngecrot secepat itu. Masalahnya, ini adalah persetubuhan yang kedua bagiku. Dengan sendirinya durasi entotanku pun jadi jauh lebih lama. karena itu aku tetapo menggenjot batang kemaluanku, tanpa mempedulikan Umi yang sudah berkelojotan, kemudian mengejang tegang… dan akhirnya terkulai lemas.
Umi sudah orgasme. Tapi aku belum apa - apa. aku masih tetap menggenjot batang kemaluanku di dalam memek Umi yang sudah basah sekali ini.
Bahkan basah licinnya liang memek Umi ini membuatku semakin lancar menggenjot batang kemaluanku, tak ubahnya pebalap sepeda yang sedang menggenjot pedalnya.
Umi pun tak mau kalah. Dia semakin gila - gilaan mengayun pinggulnya dalam bentuk gelombang ombak menuju pantai. Padahal tubuhnya sudah bermandikan keringat, sementara keringat di tubuhku sendiri lebih basah lagi.
Sampai pada suatu saat terdengar lagi bisikan terengah Umi, “Dooon.. aaaa… aaaaah… ini mau lepas lagi Dooon…”
Lalu Umi berkelojotan sambil mencengkram sepasang bahuku. Pada saati itulah kuayun penisku segencar mungkin. Karena aku pun sudah berada di titik krusial. Titik menjelang tibanya puncak kenikmatanku.
Lalu… ketika sekujur tubuh Umi mengejang tegang, sementara liang memeknya terasa bergerak - gerak erotis, pada saat itu pula kubenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin.
Lalu… berlompatanlah air mani dari moncong penisku.
Croooottttt… crot… crottt… croooottttttt… cret… crooootttttttt…!
Lalu aku pun terkulai di atas perut Umi. Sementara wanita setengah baya yang jelita itu pun terkapar lemas dengan kedua tangan direntangkan lebar - lebar.
Aku pun merebahkan diri di sampingnya. Sambil mempermainkan toketnya yang masih berbentuk indah itu.
“Ya udah… kembali ke kamar Lita gih. Takut dia bangun, nanti nyari - nyari,” kata Umi Faizah.
“Mau tidur sama Umi ah,” sahutku, “mau melukin Umi sepanjang malam.”
“Iiiih jangan, Sayang. Nanti Lita bisa ngamuk. Cepetan balik ke kamar Lita gih.”
“Nggak mau. Kan aku ke sini juga atas permintaan Lita.”
“Permintaan Lita gimana?”
Sebagai jawaban, kuceritakan semua yang telah dibicarakan oleh Adelita tadi. Bahwa Adelita merasa kasihan karena uminya tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun setelah suaminya meninggal. Bahwa Adelita telah merasakan betapa uminya sudah banyak berkorban untuknya, tapi Adelita belum pernah berkorban apa pun untuk uminya.
“Iiii… ini serius Don?” tanya Umi Faizah sambil duduk bersila di atas kasur.
“Serius Umi,” sahutku, “Kalau Umi gak percaya, tanyakan aja sendiri ke Lita sana.”
“Nggak ah. Malu…”
“Kenapa harus malu? Persetubuhan kita yang pertama tadi, Lita memang tidak tahu. tapi yang kedua barusan, memang atas permintaan Adelita yang ingin membahagiakan Umi.”
“Tapi rencana kalian untuk menikah tetap jalan kan?”
“Tetap jalan lah. Aku gak bentrok kok sama Lita. Aku malah seneng membayangkan kalau sudah kawin sama Lita… istriku seolah dua orang. Lita dan Umi. ‘
“Iya Don… terus terang aja, hati umi ini sudah Donny miliki, sejak di dalam mobil donny tadi. jadi mulai sekarang, kapan pun Donny menginginkan umi, akan umi ladeni. Demi Donny tercinta…” ucap Umi Faizah yang dilanjutkan dengan kecup mesranya di bibirku.
Lalu… kami tertidur sambil berpelukan. Dalam keadaan sama - sama telanjang bulat, tapi ditutupi oleh selimut tebal.
Esoknya, ketika hari masih gelap menjelang subuh, aku merasa ada yang membuat kepala penisku geli - geli tapi enak. Ketika kubuka mataku, ternyata Umi Faizah yang tengah mengoral penisku. Spontan alat kejantananku ini bangkit sedikit demi sedikit, sampai akhirnya ngaceng berat…!
Rupanya Umi ingin memanfaatkan sisa waktu sebelum matahari menampakkan diri, dengan main di atas (WOT), yang kuladeni aja dengan sepenuh gairahku yang spontan bangkit ini.
Namun hanya belasan menit Umi main di atas, lalu ambruk di atas perutku. Dia sudah orgasme lagi…!
Lalu kami lanjutkan dalam posisi missionary yang suka disebut juga sebagai posisi konservatif alias MOT (man on top).
Nikmat juga mengentot Umi di hari menjelang subuh ini.
Bahkan ketika entotanku diperlambat, karena ingin mencium bibir sensual Umi Faizah, aku membisiki telinganya, “Umi… persetubuhan dengan Umi ini luar biasa enaknya. Fantastis dan sensasional.”
“Sama Don. Umi juga merasakan begitu. Bahkan waktu ayah Lita masih ada, umi belum pernah merasakan disetubuhi senikmat ini. Donny tau apa sebabnya? Karena umi melakukannya dengan cinta di hati umi.” Ucapan itu Umi lanjutkan dengan kecupan hangatnya di bibirku dan di sepasang pipiku.
Lalu ia menggoyangkan bokong gedenya kembali, sementara aku pun mulai menggencarkan kembali entotanku di hari menjelang subuh ini.
Sampai fajar menyingsing, bahkan sampai mentari muncul di ufuk timur, kami belum selesai melakukan hubungan sex yang sangat nikmat ini.
Sampai akhirnya… ketika Umi berkelojotan lagi untuk yang kesekian kalinya, aku pun menancapkan batang kemaluanku di dalam liang surgawi Umi Faizah.
Lalu terasa liang memek Umi berkejut - kejut kencang, sementara moncong penisku pun sedang menembak - nembakkan pejuhnya.
Crooottttt… crotttt… crooootttttt… crooot… croooottt… crooootttttt…!
Lalu kami terkapar sambil berciuman… dan akhirnya terkulai lemas, namun ciuman kami belum dilepaskan…!
Ketika aku masih berbaring di ranjang besi itu, sementara Umi sedang bersih - bersih di kamar mandi, terdengar pintu diketuk dari luar. Dalam keadaan telanjang aku melangkah ke pintu dan membukanya.
Yang mengetuk itu tak lain dari Adelita. “Bagaimana? Sukses?” tanyanya sambil memperhatikanku yang masih telanjang bulat.
Aku mengangguk sambil mengacungkan jempolku.
Adelita memelukku sambil berbisik, “Terima kasih ya Bang. Semoga semangat dan gairah Umi timbul kembali.”
Tak lama kemudian Umi muncul dari kamar mandi, dalam keadaan cuma dibelit handuk dari toket sampai ke pahanya.
Adelita menghambur ke dalam pelukan Umi. Lalu menciumi pipi sepasang pipi Umi. Lalu berkata, “Aku bahagia karena Umi telah bersedia meladeni pangeranku tercinta.”
“Iya,” sahut Umi salah tingkah, “Maafkan umi ya Lit. Umi memang sudah terlalu lama tidak merasakan sentuhan lelaki. Jadi… semuanya terjadilah…”
“Gak perlu minta maaf Umi. Kan aku yang meminta Bang Donny untuk melakukannya, sekaligus untuk membangkitkan semangat hidup Umi.”
Umi Faizah menciumi pipi Adelita sambil berkata, “Umi makin sayang padamju, Lit.”
Aku cuma bisa tersenyum mendengarkan percakapan mereka. Lalu berkata kepada Adelita, “Cepat mandi gih. Aku akan membawamu ke kotaku. Umi juga harus ikut.”
“Siap Bang,” sahut Adelita sambil bersikap tegak, seperti sikap bawahan kepada komandannya.
Beberapa saat kemudian, setelah sarapan pagi dengan nasi goreng buatan Adelita, aku membawa ibu dan anaknya itu di dalam mobilku menuju kotaku.
Aku memang punya peninggalan Papa di kotaku, berupa dua rumah besar. Yang satu akan kujadikan tempat tinggal Adelita dan Umi (kalau beliau bersedia). Sedangkan yang satu lagi terlalu besar untuk rumah tinggal, karena tadinya pun dipakai untuk kantor Papa almarhum. Jadi bangunan itu pun kurenovasi sedemikian rupa, sehingga cocok untuk dijadikan kantor perusahaanku kelak.
Setibanya di kotaku, Umi dan Adelita kubawa ke rumah megah yang akan dijadikan tempatg tinggalku bersama mereka kelak (kalau aku sudah menikah dengan Adelita).
Rumah itu sudah lengkap dengan perabotannya yang serba mewah. Sehingga aku tak perlu menambahkan apa - apa lagi.
“Nah di sinilah kamu akan kutempatkan nanti setelah menikah,” kataku sambil menepuk bahu Adelita.
“Luar biasa… besar dan megah sekali rumah ini Bang,” sahut Adelita sambil memegang lenganku.
“Senang dengan rumah ini?” tanyaku.
“Tentu aja senang Bang. Bermimpi pun tidak pernah kalau Abang akan menempatkanku di rumah semegah dan se, eah ini. Perabotannya pun kelihatan serba impor ya Bang.”
“Iya, “aku mengangguk. Lalu menoleh ke arah Umi, “Bagaimana? Umi juga mau tinggal di rumah ini kan?”
“Tentu aja mau Don. Ini sih seperti rumah pejabat tinggi saking megah dan besarnya. Mmm… orang tua Donny tinggal di kota ini juga kan?”
“Iya.”
‘Tapi sekarang Donny masih tinggal bersama orang tua kan?”
“Betul Umi. Tinggal Bunda yang masih ada. Kalau ayah sudah meninggal. Nanti setelah melihat kantor perusahaan yang sebulan lagi akan dibuka, Umi dan Lita akan kubawa ke rumah ibuku. Supaya Bunda kenal dengan calon mantu dan besannya.”
“Mudah - mudahan aja ibu Donny setuju untuk menjadikan adelita sebagai calon menantunya ya.”
Setelah mereka puas melihat - lihat rumah itu, baik yang di lantai dasar mau pun di lantai dua, aku membawa mereka ke bangunan yang belum selesai direnovasinya. Bangunan yang kelak akan dijadikan kantor perusahaanku.
“Umi sih kalau disuruh pindah sekarang juga ke rumah itu, mau Don,” kata Umi dalam perjalanan dari rumah menuju calon kantorku itu.
“Nanti kalau Lita sudah ke Singapore lagi, Umi bisa tinggal di rumah itu,” sahutku.
Adelita menoleh ke belakang sambil berkata, “Biar Umi bisa berbulan madu sama Bang Donny. Hihihihiii…”
“Tapi Lita ghak keberatan kan kalau Umi tinggal di rumah itu setelah Lita ke Singapore lagi.”
“Sangat boleh. Biar Umi belajar jadi mertua orang tajir,” sahut Adelita, “Lagian aku merasa kasihan kalau Umi di kampung terus.”
“Lalu kapan kamu mau pulang ke Singapore?” tanyaku.
“Lho… kan Bu Yeyen bilang Bang Donny yang menentukan kapan aku harus kembali ke Singapore.”
“Aku sih inginnya kamu bersih dulu… biar aku bisa merasakan sesuatu darimu.”
“Iya Bang. Baru keluar kemaren… biasanya sih antara sepuluh harian aku mens.”
“Ya udah. Berarti kamu boleh kembali ke Singapore duapuluh hari lagi. Oke?”
“Siap Bang.”
Tak lama kemudian kami tiba di bangunan tiga lantai yang akan kujadikan kantor perusahaanku itu. “Nah… itu kantormu nanti, kalau akte pendirian perusahaannya sudah terbit. Aku sebagai owner hanya akan menjadi komisaris. Sementara kedudukan direktur akan kuserahkan padamu Lit.”
Adelita tersentak kaget. “Aku mau dijadikan direktur?”
“Iya, “aku mengangguk, “Emangnya kenapa? Nggak mau?”
“Bukan nggak mau. Tapi kira - kira aku mampu nggak ya jadi direktur perusahaan gede gitu. Kan baru lihat bangunan untuk kantornya pun sudah kebayang bakal gedenya perusahaan Abang itu.”
“Kan aku yang bakal ngatur semuanya nanti. Walau pun kedudukanku sebagai komisaris, dalam prakteknya aku yang akan membimbing dan mendampingi kamu nati Sayang. Pokoknya nanti di Singapore beli buku - buku tentang managemen dan leadership sebanyak mungkin. Lalu pelajari buku - buku itu sampai benar - benar menguasainya.
“Iya Bang. Tapi bimbing aku nanti sampai mampu menguasainya ya.”
“Iya. Aku juga mau kuliah lagi di sini. Karena bisa malu kalau anak buahku banyak yang sudah sarjana, sementara aku belum jadi sarjana.”
Ketika mobilku sudah meninggalkan bangunan untuk kantor perusahaanku itu, tiba - tiba handphoneku berdering. Kulihat siapa yang call, ternyata dari Bunda.
“Hallo Bunda Sayang…”
“Kamu di mana Don? Kok tadi malam gak pulang. Bikin bunda cemas dan gelisah.”
“Ini Bunda… aku nginap di rumah calon istriku. Sekarang juga mau dibawa ke rumah, agar Bunda bisa berkenalan sama calon istri dan calon besan Bunda. Siapin makanan yang enak - enak ya Bun.”
“Ntar… ntar… calon istri? Kok…”
“Nanti aja jelasinnya di rumah ya Bun. Soalnya aku lagi nyetir nih.”
“Iya, iyaaa…”
Setelah hubungan seluler ditutup, aku melarikan mobilku dalam kecepatan tinggi. karena tak sabar, ingin segera mempertemukan Adelita dan Umi kepada Bunda.
Mudah -mudahan saja Bunda tidak merintangi niat baikku. Karena sebagai manusia normal, aku harus punya istri. sedangkan perempuan - perempuan yang hadir dalam kehidupanku, hampir semuanya takkan bisa kunikahi secara sah.
Setelah tiba di depan rumah baru kami yang dibeli dari Pak Wondo itu, Umi dan Adelita pun turun dari mobilku. Lalu mereka mengikuti langkahku menuju ke dalam rumahku.
“Bundaaaaaaa… ini kami dataaaang… “seruku setelah berada di dalam rumah.
Bunda pun muncul dan memperhatikan Adelita yang sedang mencium tangan Bunda. “Ini calon istrimu Don? Cantik sekali,” kata Bunda sambil mengelus rambut Adelita.
Tapi ketika bertemu pandang dengan Umi, Bunda terbelalak. Umi pun terbelalak.
“Faizah …?!” seru Bunda.
“Teh Ami?!” seru Umi Faizah sambil menghambur ke dalam pelukan Bunda. Lalu mereka sama - sama menangis.
Aku dan Adelita saling pandang. Dan sama - sama tidak mengerti. Kenapa Bunda bisa tahu nama Umi dan kenapa Umi bisa tahu nama Bunda?!
Setelah Bunda dan Umi Faizah duduk berdampingan sambil menyeka air mata mereka, aku bertanya, “Bunda… ini bagaimamna ceritanya? Kok Bunda bisa kenal dengan Umi Faizah?”
“Donny… suami Faizah ini adalah adik kandung ayahmu,” sahut Bunda. Lalu Bunda menoleh ke arah Umi Faizah, “Gadis cantik itu anak dari Zulkifli?”
“Iya Teh. Saya kawin kan cuma satu kali. Sejak Kang Zul meninggal sampai sekarang, saya tidak kawin lagi.”
“Nah Donny… dengar baik - baik,” kata Bunda, “Cewek itu anak pamanmu almarhum. Namanya Zulkifli. Dan Zulkifli itu adik kandung ayahmu… satu -satunya adik lelaki almarhum ayahmu. Jadi cewek itu… eh siama namamu Nak?” tanya Bunda kepada Adelita.
“Nama saya Adelita. Panggil Lita aja Tante.”
“Lita… mmm… panggil uwa aja ya, jangan pake tante - tantean.”
“Iya… hehehee…”
“Jadi…” kata Bunda lagi, “Donny dan Lita ini saudara sepupu. Lita harus manggil Kang sama Donny, karena ayah Donny ini abang kandung ayah Lita.”
“Iya Wa,” sahut Adelita.
“Tapi aku boleh kan menikah dengan Adelita? Maksudku apakah menikah dengan saudara sepupu itu tidak dilarang oleh agama kita?”
“Boleh, boleh, “Bunda mengangguk - angguk. Membuat dadaku plong kembali.
Tapi… diam -diam ada chat dari Imey. Isinya, “Don… kapan kita ketemuan?”
Spontan kujawab*, “Sebentar ya. Aku lagi meeting. “*
Posting Komentar untuk "Cinta Sedarah Bersemi Kembali ( Bagian 2 )"